Ekky Imanjaya: Mengkritik dengan Jujur dan Santun

ekky-imanjaya_hlgh
Kredit foto: Bambang Heryanto

Sebelum wawancara ini, saya hanya mampu mengenal sosok Ekky Imanjaya lewat akun media sosialnya. Linimasa menjadi ruang pertemuan paling dekat, selain tentunya karya tulis yang ia buat. Berbagai tulisannya seputar perfilman Indonesia pernah terbit di sejumlah media, salah satunya situs RumahFilm–sebuah kolektif pengkaji film yang aktif dari 2007 hingga 2013. Dosen tetap di jurusan film Binus International ini juga banyak menulis artikel seputar perfilman Indonesia di media luar, seperti Jump Cut, Colloquy, Cinemasia, dan Journal of European Studies. Kini, ia tengah menempuh S3 Film Studies di University of East Anglia, Norwich, Inggris.

Ekky Imanjaya, menurut rekan-rekan yang sudah lama mengenalnya, adalah sosok yang bersahabat dan asyik untuk diajak berdiskusi. Ucapan tersebut mulai saya rasakan sendiri sejak menerima surel pertama dari Mas Ekky, begitu akhirnya saya memanggil beliau. “Oke, dengan senang hati. Saya akan jawab semampu saya,” tulisnya menanggapi tawaran wawancara saya. Sederhana, tapi cukup membuat saya senang—dan penasaran.

Pada 30 November 2015, saya terhubung dengan Mas Ekky lewat Skype. Waktu di sana menunjukkan pukul 13.00, sementara di Jakarta masih 20:00. Mas Ekky tampak santai mengenakan kaos ungunya. Saya punya waktu dua jam, karena Mas Ekky mesti menjemput putrinya pulang sekolah. Selama dua jam, kami berbincang tentang pandangan dan pengalaman beliau terkait kritik film di Indonesia.

Menurut Mas Ekky, apa itu kritik film?

Kritik film, menurut saya, terbagi menjadi beberapa level. Level pertama lebih sering saya pahami sebagai panduan menonton—memberi tahu kepada pembaca letak bagus dan buruknya film. Level yang lain itu pemaknaan film. Ini yang dilakukan oleh, di antaranya, kawan-kawan Cinema Poetica dan Jurnal Footage.

Sebagai contoh, apa yang menjadi perhatian dari RumahFilm itu mengenai film dan hubungannya dengan masyarakat, berdasarkan konteks sosial dan politiknya. Fokusnya pada bagaimana sebuah film layak ditonton dan penting untuk dihubungkan dengan wacana-wacana terkait, misalnya, nasionalisme, sensor, ataupun kondisi politik, sosial, budaya saat itu. Intinya: mengapa film ini penting.

Mas Ekky sendiri awalnya bagaimana bisa terlibat dalam dunia kritik film?

Semuanya berawal dari jadi reporter kanal Gaya Hidup di Astaga.com pada awal 2000. Tak lama kemudian, saya dan teman saya, Ibe (Dyah Indrapati),  diminta mengasuh kanal Astaga!Layar. Ibe fokus ke film-film komersil, sedangkan saya lebih ke film art atau festival film.

Saat itu saya merasa makin sering meresensi film. Saya semakin senang, jaringan juga bertambah luas. Kenal wartawan lain, kenal pembuat film.

Sampai kemudian terbentuk RumahFilm?

Itu juga dari makin luasnya jaringan, yang mempertemukan saya dengan orang-orang dengan visi misi yang selaras. Saya diajak oleh Krisnadi Yuliawan. Waktu itu Krisnadi baru selesai mengikuti program Asian Public Intellectual Fellowship, dan dia sedang menggodok ide awal tentang RumahFilm dengan Asmayani Kusrini. Selain saya, ada Hikmat Darmawan dan Eric Sasono. Kebetulan saya kenal Krisnadi, Eric, dan Hikmat sewaktu masih kuliah di Universitas Indonesia. Mereka senior saya, dan saya senang membaca tulisan-tulisan mereka di media sejak masih kuliah.

Terbentuklah RumahFilm.org pada 2007. Seiring berjalannya waktu, kami mengajak Ifan Ismail, salah satu kontributor RumahFilm, untuk bergabung.

Ekky Imanjaya
Alexander Matius, Joko Anwar, dan Ekky Imanjaya saat diskusi tentang film-film B Orde Baru di kineforum DKJ, Juni 2014 (kredit foto: Anies Wildani/kineforum)

Mas Ekky tadi sempat bilang, seiring seringnya meresensi film, mulai terbentuk jaringan pertemanan dengan pembuat film. Nah, bagaimana Mas Ekky melihat relasi di antara pembuat dengan kritikus film?

Sebelum itu kita mesti tahu kritikus film, secara sederhananya, itu terbagi jadi dua tipe. Pertama, yang bergaul dengan pembuat film. Kedua, yang sama sekali tidak bergaul dengan pembuat film.

Kritikus yang bergaul dengan pembuat film biasanya mengakrabkan diri untuk mendapat wawasan, yang nantinya bisa dia pakai untuk memahami pemikiran si pembuat film. Bahkan ada juga yang sampai datang langsung untuk melihat proses produksinya.

Bagi yang nggak bergaul dengan pembuat film, seringkali karena ingin berjarak. Mereka takut, ketika berteman dengan seorang pembuat film, nanti akan menyulitkan mereka saat menulis kritik. Terutama saat film temannya itu sedang jelek. Antara nggak enak mengkritiknya, atau kritiknya jadi setengah-setengah. Atau, bisa juga karena alasan akses dan teknis sih. Karena tinggal di pelosok, misalnya.

Kalau Mas Ekky pilih yang mana?

Saya berteman dengan para pembuat film. Mungkin karena awalnya saya jurnalis yang perlu wawancara mereka dan acap diundang ke acara atau preview. Menurut saya sih, kalau kita merasa benar, kita harus berani. Walau itu film teman atau kenalan, kita harus adil dan jujur dalam menilai karyanya. Yang penting kan tidak merendahkan orang. Kita menulis tidak mengkritisi orangnya, tetapi filmnya, walau selalu ada risiko kita tidak disukai sineasnya juga sih.

Roger Ebert adalah contoh kritikus berwibawa yang berteman baik dengan banyak sineas. Dalam konteks musik di Indonesia, Denny Sakrie adalah contoh yang bagus. Dia dekat dengan banyak musisi, namun tetap bisa menulis dengan kritis.

Menarik ketika Mas menyebutkan kritik tidak boleh merendahkan. Menurut Mas Ekky, bagaimana semestinya kritik film ditulis?

Penulis kritik film harus subjektif, nggak ada penulis kritik yang objektif. Maksud subjektif di sini adalah sikap dan posisi penulis dalam menilai sebuah karya, dan mampu menjelaskan sikap tersebut dalam tulisannya.

Begitu juga dalam menyikapi film yang menyerempet suatu isu. Isu censorship, misalnya. Kita mesti tahu posisi kita, sebagai yang setuju apa yang tidak setuju dengan censorship. Lalu tuangkan sikap tersebut ke dalam tulisan. Tentu kita juga perlu menguraikan pandangan kedua belah pihak.

Sementara berkaitan dengan karya film, setiap film memiliki yang namanya director statement—pernyataan yang ingin disampaikan sutradara melalui filmnya. Saat kita menulis, kita tidak mesti mencari tahu apa pernyataan si pembuat film. Kita boleh punya pembacaan tersendiri, dan itu tidak masalah, sekalipun berbeda dengan niatan pembuatnya.

Kalau mengenai ‘merendahkan’ tadi bagaimana, Mas?

Kita tidak menyerang orangnya, atau tidak menggurui. Kita ulas yang kita rasa penting untuk diulas. Kita harus sadar juga kalau kita adalah bagian dari perfilman. Kita bukan hakim, tapi pengulas. Kritikus, jurnalis, akademisi film adalah tugas intelektual, bukan pengadilan.

Nah, mengenai ‘merendahkan’ ini menjadi menarik, karena bukan saja kritikus yang terkadang merendahkan pembuat film, tapi ada pula pembuat film yang terkadang memiliki pandangan yang sedikit merendahkan kritikus. Nggak semua pembuat film begitu sih, tetapi kita tentu pernah dengar omongan seperti: “Kritikus film tahu apa? Nggak tahu produksi film, nggak tahu mise en scene, nggak tahu teori estetika film.” Nah itu merupakan sebuah otokritik untuk kritikus film.

Kritikus diharapkan memahami dasar-dasar bahasa film, apa itu pencahayaan, low key lighting, dan semacamnya. Pengetahuan yang dimiliki kritikus film, idealnya, harus sama dengan pengetahuan pembuat film. Artinya kita harus mempertimbangkan berbagai elemen yang bakal kita cantumkan dalam tulisan kita. Jadi, selain memahami posisi saat menulis, kita juga mesti memiliki bekal pengetahuan film.

ekky-imanjaya_02
Teddy Soeriaatmadja dan Ekky Imanjaya, sesi diskusi pasca pemutaran film Something in the Way dalam acara London Indonesian Film Screenings and Workshop on Indonesian Cinema, 16-20 October 2013 (kredit foto: Suraji FC)

Oke, sekarang kita mulai beralih ke perbincangan mengenai kritik film di Indonesia. Bagaimana mas Ekky melihat kritik film di Indonesia dari zaman dulu hingga sekarang?

Saya melihat ada dua kutub yang kontras. Di ujung yang satu, bila ditengok zaman Orde Baru dulu, terdapat apa yang suka dibilang elit budaya—orang-orang yang seide dalam Politik Selera di bidang kebudayaan, seperti Salim Said, Asrul Sani, Rosihan Anwar. Mereka termasuk sosok yang aktif di berbagai bidang, dari mulai produksi film, kajian film, menjadi komite di dewan film nasional, juri di Festival Film Indonesia, dan lain hal yang terkait.

Akademisi seperti Krishna Sen dan Thomas Barker meyakini bahwa keberadaan para elit budaya ini cukup berpengaruh, khususnya dalam mengembangkan arah perfilman tanah air. Mereka berusaha membangun bingkai tentang film nasional, mencari tahu film Indonesia itu seperti apa. Selain itu, mereka juga membangun sejarah kanon film Indonesia. Misalnya ide tentang film harus “mencari wajah Indonesia yang sebenarnya” atau “film kultural edukatif”.

Namun, di sisi ujung lainnya, saat kita sandingkan dengan zaman sekarang, rasanya sekarang sifatnya lebih sporadis dan efeknya tidak sekuat para elit budaya era 1970-1980an dulu. Misalnya, belum banyak yang berhasil membuat sejarah kanon (bottom up), maupun menjadi sebuah gerakan yang kuat, misalnya menjadi sparring partner buat para sineas untuk sama-sama mengembangkan perfilman nasional. Semoga saya salah.

Mas Ekky sendiri mengharapkan apa dari kritik film Indonesia sekarang ini?

Masih perlu lebih banyak lagi kritikus film yang keberadaannya dianggap setara dengan pembuat film. Dalam artian, suaranya didengar oleh para filmmaker, dan disegani oleh masyarakat film maupun umum. Caranya ya seperti yang saya katakan tadi. Seorang kritikus film harus konsisten dan mampu menjaga mutu tulisannya.

Ada pembuat film tertentu yang memang suka, atau setidaknya bisa menerima, dikritik. Mereka secara langsung atau nggak langsung butuh kritikus, sebagai masukan, sebelum atau sesudah filmnya diedarkan. Atau, seperti yang saya tadi sebutkan, sparring partner.

Kalau kita melihat kembali sejarah, di balik gerakan-gerakan film seperti Neorealisme Italia dan French New Wave, ada penulis-penulis besar seperti Andre Bazin. Tulisannya kuat. Selalu berbukti. Pembuat filmnya setuju atau minimal mempertimbangkan pendapat kritikus. Ada dialog di antara keduanya.

Apa yang mas harapkan ada di dunia kritik film Indonesia ke depannya?

Pertama, saya berharap adanya asosiasi perkumpulan kritikus film di Indonesia. Waktu awal 2000an, saya dan beberapa teman sempat mengusahakan terbentuknya asosiasi itu, semacam FIPRESCI. Tapi, karena satu dan lain hal, niatan tersebut belum terwujud.

Kedua, saya berharap lebih banyak tulisan film kita dibuat edisi bahasa Inggrisnya. Banyak orang luar yang ingin tahu tentang sinema Indonesia, terutama untuk tujuan penelitian. Pada 2007, Cahiers du Cinema merilis edisi khusus tentang sinema dunia. Indonesia cuma ada dua link. Padahal, Malaysia dikasih ulasan dua halaman. Thailand, Bosnia, dan banyak negara-negara lainnya diulas dengan serius di sana. Tapi bukan Indonesia. Salah satunya, mungkin karena waktu itu sedikit sekali yang menulis dengan berbahasa Inggris.

Saya juga berharap agar semua pihak, sineas dan kritikus, makin menyadari bahwa apresiasi, kritik film, juga kajian ilmiah film adalah bagian penting dari lingkaran perfilman, seperti produksi dan ekshibisi. Dan saya berharap agar lebih banyak lagi mutual benefit dan mutual respect antara kedua belah pihak.

ekky-imanjaya_03
Ekky Imanjaya saat presentasi di University of Hawaii at Manoa, 2011

Pada zaman sekarang, keberadaan media digital bisa dikatakan cukup berpengaruh, khususnya terkait dengan perkembangan kritik film. Bagaimana Mas Ekky menanggapi fenomena ini?

Dengan adanya media internet, tempat untuk menulis kritik lebih luas, tidak seperti dulu. Mulai banyak blog-blog atau website. Sifatnya juga lebih bebas. Ketimbang media-media lain seperti trade magazine yang tujuannya memang untuk endorse, ya jualan. Penulis nggak bisa mengkritik secara utuh, kebanyakan diarahkan ke promosi filmnya. Adanya kerjasama media, baik sebagai media partner maupun pengiklan, bikin penulisnya jadi nggak leluasa dalam mendedah film yang diulas.

Kalau kita perhatikan, tidak sedikit yang kontennya terbatas sinopsis, wawancara sutradara atau pemainnya, behind the scene. Sedikit sekali konten yang terkait penilaian film. Namun, ada pula media seperti Kompas atau Tempo, yang punya perhatian ke perkembangan film nasional tapi punya ruang terbit yang terbatas. Rubriknya kecil dan cuma terbit seminggu sekali.

Di media umum, biasanya juga ada kebijakan tukar menukar desk setiap beberapa tahun. Ini yang seringkali menghalangi perkembangan penulis. Seseorang tak bisa selamanya menangani rubrik film. Selalu ada orang baru yang belajar film mulai dari awal lagi.

Di sinilah peluang untuk blogger film, orang-orang yang memang khusus menulis tentang film. Tapi harus diakui memang sulit membangun reputasi sebagai kritikus film yang baik. Karena blog sendiri, jadinya nothing to lose. Masih saja ada yang nyampah sesukanya, terkesan tidak terlalu peduli dengan peningkatan kualitas tulisan. Padahal, kalau dia konsisten menulis dan punya ciri khas yang kuat, pasti bakal ada pembacanya sendiri. Setelah bisa konsisten, barulah mulai mengupayakan peningkatan mulai tulisan.

Bagaimana sih Mas rasanya menjadi seorang kritikus?

Kalau buat saya pribadi, rasanya lebih seperti mimpi sih.

Kenapa begitu?

Ayah saya pernah bilang,“Sukses adalah love what you do, do what you love.” Itu yang sampai sekarang saya pegang. Saya ingin menjadi kritikus, mimpi saya.

Dulu, Ibu saya suka heran, “Pekerjaan apa sih tuh kritikus film? Memang ada duitnya?”. Itu terjadi awal 2000an, saat saya masih aktif menjadi salah satu pengelola Komunitas Budaya Musyawarah Burung. Saat itu, teman-teman sedang kumpul di rumah saya, dan ibu saya menanyakan hal itu. Saya jawab ibu saya, “Suatu hari nanti saat ada orang-orang luar yang ingin mencari tahu atau meneliti tentang film Indonesia, saya yakin mereka akan datang ke saya. Bahkan, saya akan diundang hingga ke Hawaii untuk membahas film Indonesia!” Secara eksplisit saya menyebut kata “Hawaii”.

Sekitar sepuluh tahun kemudian, Maret 2011, saya bersama para aktivis film dari Asia Tenggara diundang oleh University of Hawaii at Manoa, untuk menjadi salah satu pembicara di roundtable discussion dalam konferensi Studi Asia terbesar sedunia. Panitia membiayai saya dan beberapa teman lainnya. Saat mendapat kabar undangan itu, Hikmat, yang waktu itu kebetulan sedang main ke rumah saya, mengingatkan, “Ingat nggak, lo dulu pernah bilang soal ke Hawaii ke nyokap lo!”

Dua bulan sebelumnya, saya juga diundang program International Visiting Leadership Awards keliling enam kota di Amerika Serikat, termasuk ke Hollywood dan Sundance Film Festival. Dan, asyiknya lagi, saya bisa bertemu para sineas kelas dunia. Misalnya, saya pernah wawancara Jafar Panahi dan Yasmin Ahmad. Saya juga pernah hadir sebagai wartawan di festival film kelas dunia seperti Rotterdam dan Berlinale Film Festival.

Terakhir, secara singkat, apa itu “kritikus film yang baik” menurut mas Ekky?

Menjadi kritikus film yang baik tuh pertama suka terhadap film. Ia haruslah bermula sebagai movie buff dan lahir dari passionnya. Kedua, jujur dan adil. Walau sedang menulis tentang film teman sendiri, ia harus tetap bisa menghadirkan argumentasi yang kuat. Dan terakhir: santun.