Setelah edisi Inggris novel Gulag Archipelago karya Aleksandr Solzhenitsyn diterbitkan pada tahun 1974, dunia lagi-lagi terbelah dua: yang-totaliter dan yang-demokratis. Sebelum itu kita mengenal banyak divisi-divisi lain, mulai dari Kapitalis vs. Komunis, Imperialis vs. Anti-Imperialis, Blok Barat dan Blok Timur (plus Non-Blok); semua divisi ini sebagian besar tercipta saat Perang Dingin. Kemenangan dunia yang-demokratis itu pun menemukan momentumnya dalam keruntuhan Uni Sovyet, unifikasi Jerman, berakhirnya politik Apartheid di Afrika Selatan, dan insiden Tiananmen. Selebihnya, sejak tahun 1989, tugas-tugas yang tersisa adalah menyebarkan resep-resep demokrasi liberal, HAM, dan pasar bebas ke seluruh penjuru dunia, terutama di negeri-negeri yang sedang dilanda krisis atau perubahan politik. Hal ini sudah terlalu lazim diketahui.
Penerapan tiga resep paten di belahan dunia lain yang sedang krisis sayangnya tidak sesederhana itu. Setidaknya tidak sesederhana tudingan sejumlah pengkritik bahwa isu HAM, misalnya, cenderung berfungsi sebagai dalih intervensi asing. Kenyataannya jauh lebih kompleks dari itu.
Mari kita ambil contoh narasi seputar insiden Tiananmen dan keruntuhan rezim-rezim sosialis Eropa Timur: “mereka menginginkan demokrasi liberal, kebebasan berpendapat, plus McDonalds dan Levi’s, persis seperti yang kita punya di Barat”; varian narasi yang sedikit berbeda muncul tahun lalu ketika Mesir bergolak. Fungsi mendasar krisis politik di belahan dunia lain (baca: di negeri-negeri “totaliter”) adalah memberikan cermin yang mampu mengafirmasi kebaikan sistem politik di negeri-negeri promotor demokrasi liberal—seolah-olah “sistem kita mungkin bobrok, tapi jauh lebih baik dari yang lainnya”. Cina dan beberapa negara lainnya mati-matian agar peristiwa macam Arab Spring tidak sampai menyebar luas ke teritori mereka, dengan membatasi akses internet dan memperketat pengawasan dalam negeri. Langkah pemerintah Indonesia lebih halus dan cantik: perwakilan diplomatik dikirim ke Mesir untuk mengatakan: “Anda sekalian, rakyat Mesir, sudah saatnya belajar dari Indonesia, dari transisi demokrasi 1998.” Pesannya: rezim kita yang sekarang, tak peduli betapa pun menyedihkan dan tunawatak, masih jauh lebih baik daripada Mesir. Pernyataan ini keluar tahun lalu, ketika kita disibukkan oleh isu kekerasan agama dan pengerahan militer dalam konflik-konflik lokal.
Maka, memfilmkan sosok-sosok (biasanya dari pelosok Asia atau Afrika) yang tersohor dengan label pro-demokrasi bukanlah tanpa resiko. Nama-nama seperti Nelson Mandela, Dalai Lama, Aung San Suu Kyi (atau yang lebih klasik, Gandhi) boleh jadi sekadar menjelma “Orang Barat yang lahir di Afrika Selatan, Tibet, dan Myanmar”, yang “memperjuangkan perubahan politik tanpa kekerasan dan dianiaya karena keyakinannya”, (atau dalam jargon semi-relijius Amnesty Internasional: Prisoner of Conscience). Tentu perjalanan orang-orang yang saya sebut di atas tidak sesederhana gambaran ala santo sekuler seperti yang kita telan mentah-mentah selama ini. Di tahun 1970an hingga pertengahan 1980an, Mandela masih mengadvokasi kekerasan dan politik kelas (yang baru ditinggalkanya setelah Amnesty Internasional menawarkan status semi-relijius Prisoner of Conscience sebagai bagian dari kampanye Internasional). Selain itu, jika bisa bersikap sportif dan sedikit lebih objektif, Tibet-nya Dalai Lama adalah sedikit dari rezim teokrasi di dunia yang masih beroperasi. Saya membayangkan ada sebuah film cerita yang menuturkan salah satu episode kehidupan Mandela ketika ia masih bertugas memasok senjata untuk African Nation Congress pada tahun 1950-an. Tidak cuma politically incorrect, cerita seperti ini juga tidak NGO-friendly.
Dalam konteks ideologi liberal-humanitarian di jaman kita yang gemar mencap ini-itu sebagai kekerasan, bayangan Mandela yang menenteng senjata dan Dalai Lama yang teokratis masing-masing akan sulit dibedakan dari gambaran tipikal gerilyawan Afrika dan Khomeini berjubah biksu. Tasteless dan absurd.
Terlepas dari keberhasilan Mandela menghapus sistem Apartheid, ketika banyak warga kulit hitam di Afrika yang menyatakan lebih suka tinggal di masa Apartheid ketimbang melarat seperti sekarang, orang pun harus kembali memeriksa peran “komunitas internasional” (perhatikan tanda kutipnya) dalam merngartikulasikan perjuangan melawan Apartheid. Apakah intervensi “komunitas internasional” justru melemahkan tuntutan-tuntutan keadilan dan mereduksinya ke dalam perjuangan demi kesetaraan warna kulit tanpa kesetaraan ekonomi? Pertanyaan-pertanyaan serupa bisa dipindahkan ke konteks Myanmar, terutama ketika Aung San Suu Kyi bebas dari tahanan rumah akhir tahun lalu dan NLD (National League of Democracy, partai oposisi yang dipimpinnya) memenangkan pemilu. Apakah perjuangan demokrasi di Myanmar sesederhana menyingkirkan junta militer dari pemerintahan? Selama junta militer masih merepresentasikan kepentingan neo-kolonialis Republik Tiongkok, saya kira masalahnya jauh lebih kompleks. Kita pun harus kembali memeriksa lebih jauh keterlibatan “komunitas internasional” yang memobilisir dukungan untuk Suu Kyi, yang kini dirayakan sebagai “Mandela Baru” di media-media.
Itu sebabnya film The Lady layak dibahas. Berdurasi dua jam lebih 12 menit, film yang disutradarai Luc Besson ini mengisahkan perjalanan Suu Kyi, seorang ibu rumah tangga yang terbang dari London untuk menjenguk ibunya di Myanmar dan tiba-tiba didaulat memimpin oposisi. Penunjukkan tersebut bukan tanpa alasan. Sebagai putri seorang pendiri republik, Suu Kyi punya legitimasi simbolik yang besar untuk mengambil alih kepemimpinan oposisi yang tengah kocar-kacir. Di tengah represi luar biasa dari junta militer, partai Suu Kyi, NLD, memenangkan pemilu dengan perimbangan suara yang telak, sebuah kemenangan yang mengantarnya ke tahanan rumah. Demikian, rumahnya diawasi tentara 24 jam. Simpati dunia internasional pun mengalir.
Jangan lupakan juga peran sang suami, Michael Aris, yang terus mengkampanyekan nasib Suu Kyi dan Myanmar di forum-forum internasional. Ia pria yang sabar dan istiqomah: rela bolak-balik London-Rangoon, melobi Komite Nobel agar memberikan penghargaan kepada Suu Kyi, sembari mengurus dua anak laki-laki mereka. Kematiannya di tahun 1998 dituturkan dengan mengharu biru. Beberapa tahun sebelumnya ia divonis kanker prostat, dan sayangnya ia tidak bisa bertemu sang istri untuk terakhir kalinya di Myanmar karena visanya berulangkali ditolak. Adapun Suu Kyi diperbolehkan ke luar negeri namun tidak boleh kembali ke Myanmar. Semua cobaan ini dilaluinya dengan tabah dan berani. Plus, ia tak pernah tergoda main mata dengan senjata, sekalipun itu sangat memungkinkan. Di film ini, satu-satunya buku yang nampak ia baca adalah buku tentang Gandhi, yang juga dibaca salah seorang pengikutnya.
Setelah menghabiskan waktu dua jam dua belas menit dalam kamar gelap, saya pun berkesimpulan bahwa The Lady mengkonfirmasi apa yang saya tulis di paragraf kedua dan ketiga: Myanmar sekadar berperan sebagai cermin ideologis yang sempurna bagi para promotor demokrasi liberal di tengah krisis-krisis akut yang dihadapinya—dalam hal ini adalah Inggris. Sejak awal diperlihatkan budi baik kedutaan besar Inggris yang mencetak pamflet NLD, menyediakan sarana komunikasi untuk Suu Kyi dan suaminya, dan seterusnya. Yang lebih menyedihkan, itu semua tidak berlangsung atas nama intervensi politik melainkan cinta, sesuatu yang sangat sulit digugat oleh kita-kita yang berhati lembut. Alhasil, dalam film ini Suu Kyi justru hanya berperan sebagai pion “komunitas internasional” (sekali lagi lihat tanda kutipnya) untuk menyingkirkan sebuah kediktatoran Asiatik. Jika bagi neo-kolonialis Cina junta militer adalah “our local army friend”, bagi “komunitas internasional” Suu Kyi dan NLD adalah “our local freedom friends”. Sebagian besar kesan yang diperoleh dari The Lady adalah bahwa perjuangan Suu Kyi tidak ditentukan oleh progresi gerakan massa yang dipimpinnya, tetapi oleh pihak luar, mulai dari (oke, ini bocoran dari luar filmnya) Amnesty International, Paus, hingga Bill Clinton.
Mari kita ambil contoh Indonesia sebagai perbandingan. Meski sampai taraf tertentu IMF dan WTO tertentu punya peran dalam penggulingan Suharto, memfilmkan pejabat-pejabat dua lembaga tersebut dalam pose heroik menuntut Suharto mundur akan sangat cabul rasanya. Tapi di sinilah poinnya: ada “1998 kita” dan “1998 mereka”. Di Myanmar: “Suu Kyi kita” dan “Suu Kyi mereka.”
Kritikan standar yang sering dilayangkan kepada pada film-film biografi politik adalah bahwa konten biografis tokoh menutupi konteks sosial yang lebih luas dan kompleks. Boleh jadi hal ini berlaku pada The Lady. Jika dibaca menurut skema ini, The Lady tidak lebih dari cerita cinta di tengah pergolakan politik, dengan penculikan, pembantaian aktivis, dan hadiah Nobel sebagai bumbu ala kadarnya. Dengan jalur yang berbeda, motif yang sama mencapai puncaknya dalam bentuk humanisasi sosok-sosok jahat yang sepuluh tahun terakhir menjadi tren dalam sinema dunia, misalnya seperti yang ditunjukkan dalam film Die Üntergang (Hitler yang manusiawi) sampai Waltz with Baashir (prajurit Israel yang dijangkiti perasaan bersalah). Dalam Waltz with Baashir khususnya, sang prajurit dikisahkan sebagai orang baik-baik yang terjebak begitu saja dalam perang, sementara negara Israel tetap digambarkan jahat dan manipulatif. Dalam The Lady, kita menemukan sentuhan baru. Persona privat maupun publik Suu Kyi yang kita kenal selama ini jauh dari durjana, sehingga tidak perlu lah main humanis-humanisan untuk mempermaknya. Ironisnya, justru persona inilah yang mudah menjadi topeng untuk menyelamatkan muka dunia lama yang tengah bangkrut.
.
The Lady | 2011 | Sutradara: Luc Besson | Negara: Prancis, Inggris | Pemain: Michelle Yeoh, David Thewlis, Jonathan Woodhouse, Jonathan Raggett, Susan Woolridge, Benedict Wong