Riset tentang penonton memang masih sedikit dilakukan di Indonesia. Satu dari sedikit riset tentang penonton itu adalah riset Dyna Herlina pada 2013, yang ia paparkan dalam tulisan Siapa Penonton Film Indonesia? di filmindonesia.or.id pada 2014. Dilakukan di Yogyakarta, riset Dyna membahas tentang faktor-faktor yang memengaruhi keputusan konsumen memilih tontonan di bioskop. Seluruh informan dan responden didapatkan di Studio 21 (di Plaza Ambarukmo) dan Empire XXI (di Jalan Urip Sumiharjo). Riset ini menggunakan dua tahapan, yaitu FGD dengan 20 informan lalu penyebaran kuesioner ke 225 responden. Dari riset itu, terpetakan sembilan faktor yang menurut statistik melatari pertimbangan penonton: “sinopsis dan ulasan film, sutradara dan aktor, genre, film adaptasi, cerita, sumber informasi netral, jadwal pemutaran, efek visual, dan objectionable content.” Akan tetapi, pemaparan Dyna akan risetnya dalam tulisan filmindonesia.or.id tidak menjelaskan bagaimana informan dipilih dan penarikan sampel terhadap 225 responden dilakukan. Konsekuensinya, kesahihan hasil riset ini masih diragukan.
Riset lainnya yang terhitung masih segar adalah riset Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC). Pada 4 November 2015 di CGVblitz Grand Indonesia, Jakarta Pusat, Ade Armando mewakili SMRC mempresentasikan hasil riset bertajuk Memahami Pola Menonton Kelas Menengah Muda Urban Jakarta kepada 125 hadirin—terdiri dari pembuat, pegiat, artis, ekshibitor, wartawan, hingga anggota lembaga sensor film. Melalui pendekatan kuantitatif, riset ini dilakukan selama September dan Oktober 2015 dengan mengambil sampel sebanyak 505 mahasiswa secara non-random dari Universitas Indonesia, Universitas Paramadina, dan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Temuan dalam riset SMRC secara umum dibagi dalam tiga bagian. Bagian pertama menjelaskan tentang pola perilaku menonton film bioskop kelas menengah muda urban Jakarta—bagaimana tingkat kesukaan responden berpengaruh ke pilihan film serta intensitas menonton film. Bagian kedua menjabarkan tentang preferensi tontonan responden—yang turut dikaitkan dengan sarana menonton film (di bioskop atau tidak) dan negara asal film tersebut diproduksi. Bagian terakhir menuturkan bermacam pertimbangan mengapa memilih untuk menonton film Indonesia, atau tidak, di bioskop. Pada bagian ini juga dijabarkan tentang akses informasi responden terhadap film Indonesia, preferensi genre, serta persepsi responden terhadap film Indonesia. Setiap bagian dari presentasi ini turut dilengkapi kesimpulan atas data yang terkumpul.
Metodologi penelitian membuat ilmu sosial menjadi ilmiah—begitu ungkap para pemikir ilmuwan sosial yang mencoba mengadopsi legitimasi ilmu alam kepada ilmu sosial. Upaya adopsi ini diawali oleh pendekatan positivisme yang melihat setiap fenomena sosial selalu ada pola, aturan, sebab, dan konsekuensi—seperti halnya ilmu alam. Melalui pendekatan ini, fenomena sosial diukur dengan perhitungan matematis, sehingga keterkaitan antar satu fenomena dengan fenomena lainnya dapat terjelaskan. Pendekatan ini dipraktikkan dalam penelitian kuantitatif, tak terkecuali riset penonton oleh SMRC ini.
Mengkritik penelitian kuantitatif artinya juga mengkritik metodologi penelitian. Kesahihan temuan penelitian kuantitatif bergantung pada metodologi dan cara bernalar peneliti dalam menjelaskan suatu penelitian sosial. Oleh karena itu, yang perlu digugat pertama kali dari hasil suatu riset kuantitatif adalah metodologinya, bukan pada temuan penelitiannya.
Hipotesis Tak Berdasar
Dalam paparan hasil riset SMRC, terdapat sejumlah permasalahan metodologis dan cara bernalar yang justru melemahkan temuan data dan berbagai klaim dari riset ini. Pertama, penalaran instan dalam membaca data-data sekunder—meliputi jumlah produksi film, jumlah total penonton, rerata penonton per film, pertumbuhan layar dari 2007 sampai 2014 Semua ini dirumuskan menjadi hipotesis yang cenderung tidak berdasar. Misalnya, pada slide ke-13, data pertumbuhan produksi film Indonesia dihubungkan dengan statistik perkembangan jumlah layar menjadi hipotesis bahwa “perkembangan produksi film (Indonesia) sebenarnya diiringi dengan perkembangan jumlah layar yang sepadan”.
Patut dipertanyakan apa yang dimaksud dengan “sepadan” di sini. Tidak ada data lain dalam paparan SMRC yang menunjukkan bahwa alokasi jumlah layar dan jam tayang film Indonesia turut bertambah seiring dengan pertambahan jumlah layar. Istilah “sepadan” baru tepat ketika penambahan jumlah layar bioskop yang ada sejalan dengan pertambahan kuota jumlah layar dan jam tayang untuk film Indonesia. Bagi SMRC, naiknya jumlah layar sama dengan naiknya kesempatan tayang film Indonesia—yang jumlahnya terus bertambah dari tahun ke tahun. Nyatanya itulah permasalahan film Indonesia yang paling mendasar: ketimpangan alokasi jumlah layar dan jam tayang untuk film Indonesia di bioskop. Nyatanya juga, kenaikan jumlah layar tidak menjamin apa-apa.
Selama tiga tahun terakhir, penulis menganalisa jadwal tayang jaringan bioskop di Indonesia. Pada 2013, Grup 21—sebagai pemilik 83 persen bioskop di Indonesia—hanya menyediakan sekitar 22 – 27 persen dari total seluruh jam pertunjukan yang dimilikinya untuk film Indonesia. Begitu pula dengan Grup Blitzmegaplex yang menguasai lima persen pangsa pasar bioskop nasional. Mereka hanya menyediakan sekitar 10 persen dari total seluruh pertunjukan yang dimilikinya untuk film Indonesia.
Kondisi ini relatif sama pada 2014. Sepanjang Januari sampai Juni 2014, jatah jam pertunjukan film Indonesia di jaringan bioskop nasional masih belum mencapai kuota minimal 60 persen sebagaimana diatur dalam Undang-undang. Selama enam bulan terakhir, beredar 53 film Indonesia di bioskop-bioskop Grup 21. Film-film itu total hanya mendapat jatah 202.703 jam—atau 31 persen—dari 662.400 jam pertunjukan yang dimiliki Grup 21. Grup Blitzmegaplex jauh lebih buruk. Dari 77.400 jam pertunjukan yang dimilikinya selama enam bulan terakhir, Blitzmegaplex menyediakan jatah 11.921 jam pertunjukan untuk film Indonesia–alias15 persen dari keseluruhan jam pertunjukan yang dimilikinya. Walau ada kenaikan presentase tiga sampai lima persen, film Indonesia tetaplah bukan tuan rumah di bioskop negerinya sendiri.
Cara bernalar SMRC yang problematis ini sebenarnya malah dikuatkan oleh data pertambahan jumlah layar dan turunnya jumlah penonton film Indonesia, seperti yang ditampilkan dalam tabel di slide ke-16:
Dalam membaca data di atas, SMRC hanya melihat bahwa penambahan jumlah layar berbanding terbalik dengan perolehan penonton film Indonesia. Kesimpulannya jadi teramat menyederhanakan perkara, bahwa jumlah penonton turun terjadi karena pertumbuhan gedung bioskop dan layar berlangsung di pasar yang sudah ‘sesak’.
Faktanya, kenaikan jumlah layar dan penurunan jumlah penonton film Indonesia adalah dua hal yang berbeda. Masih banyak variabel-variabel lain yang menentukan. Penurunan jumlah penonton, walau jumlah layar bertambah, belum tentu menunjukkan menurunnya minat penonton film terhadap film Indonesia. Bisa jadi, ini masalah aksesibilitas penonton dalam mendapatkan pilihan tontonan film Indonesia di bioskop. Singkatnya, tata edar.
Satu contoh kasus yang penulis bisa tampilkan adalah tata edar film Cinta Tapi Beda pada 2012. Dalam satu minggu pemutaran, jumlah jam tayang film karya Hestu Saputra dan Hanung Bramantyo ini menurun drastis dari 346 jam pertunjukan menjadi 252. Menariknya, dari 252 jam pertunjukan Cinta Tapi Beda, mayoritas penempatan jam tayang ditaruh hanya di awal (sekitar jam dua belas siang) dan akhir pertunjukan (sekitar jam sembilan malam). Jeda antara jam tayang tersebut diisi oleh film impor. Wajar jika pada akhirnya Cinta Tapi Beda sebentar saja beredar dari layar bioskop. Wajar juga jika perolehan penontonnya tidak terlalu besar. Pertanyaannya, apa landasan kebijakan bioskop terkait model tata edar seperti ini? Ini yang perlu dijawab pihak bioskop.
Tabel di atas dapat juga dibaca sebagai bukti bahwa pertambahan jumlah layar yang ada memang untuk film impor, bukan untuk film Indonesia. Sehingga pertambahan jumlah layar sebanyak apapun, tumbuh di pasar yang sesak atapun tidak, tidak memberikan dampak apa-apa terhadap film Indonesia. Selama film impor masih mendominasi tata edar, penonton film pun akan tetap memiliki akses yang terbatas untuk memilih tontonan film indonesia. Salah satu imbasnya adalah penurunan jumlah penonton film Indonesia.
Sampel yang Terbatas
Problem lainnya adalah sampel riset SMRC, yang terkumpul dengan cara non-random sampling. Secara metodologis, metode ini berdasar pada asumsi peneliti bahwa setiap elemen populasi tidak memiliki kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel. Misalnya, sembilan elemen populasi dipilih sebagai sampel karena letaknya dekat dengan rumah peneliti, sedangkan yang lainnya, karena jauh, tidak dipilih—kemungkinannya 0 (nol). Dalam konteks riset SMRC, dipilihnya tiga kampus atau mahasiswa-mahasiswa tersebut bisa jadi karena sampel yang dipilih dekat dengan peneliti, sedangkan mereka (universitas atau mahasiswa) yang jauh dari peneliti tidak terpilih sebagai sampel.
Penarikan sampel secara non-random ini berbeda dengan random sampling yang memberikan kesempatan yang sama untuk diambil kepada setiap elemen populasi. Artinya jika elemen populasinya ada 50 dan yang akan dijadikan sampel adalah 25, maka setiap elemen tersebut punya kemungkinan 25/50 untuk bisa dipilih menjadi sampel. Atau jika di Jakarta ada seratus kampus dan tiga kampus yang dipilih, artinya setiap kampus punya kemungkinan 3/100 untuk bisa dipilih menjadi sampel.
Metode penarikan sampel ini vital, karena menentukan apakah data tersebut dapat digeneralisir atau tidak. Selain itu, penarikan sampel juga menentukan cara memaparkan data. Jika kita menggunakan non-random sampling, maka pemaparan data seharusnya berupa statistik deskriptif saja, yaitu mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya—tanpa ada tujuan untuk membuat kesimpulan untuk generalisasi. Begitu juga sebaliknya, jika kita menggunakan random sampling, maka pemaparan data bisa berupa statistik inferensia, yaitu statistik dengan kesimpulan yang dapat diberlakukan pada tingkat populasi berdasarkan data sampel, dan memiliki signifikansi atau tingkat kepercayaan terhadap validitas data tersebut.
Pembacaan hasil temuan riset SMRC sebenarnya baik-baik saja. Bahkan, pada slide ke-4, ada peringatan bahwa “hasil penelitian tidak dapat digeneralisasi kepada seluruh kaum muda Jakarta”. Masalahnya ada pada retorika—ada beberapa penarikan kesimpulan yang terlalu menggeneralisir dengan menggunakan kata “penonton”, bukan “responden pada tiga kampus”. Misalnya pernyataan pertama di slide ke-63 dan ke-67 ini:
Riset yang baik perlu ditunjang dengan komunikasi yang baik pula. Kata “penonton” dalam kesimpulan-kesimpulan di atas berpotensi menciptakan salah kaprah. Apabila dipahami mentah-mentah atau dibaca oleh orang awam tentang riset, maka mereka akan dengan mudah bilang bahwa kalau begitu lebih baik bikin film adaptasi novel atau biografi saja. Padahal, pengetahuan akan adaptasi novel atau biografi erat kaitannya dengan literasi responden. Ketika mahasiswa mengatakan adaptasi novel dan biografi jadi cara mereka untuk mengetahui film, itu wajar, karena tingkat literasi mereka lebih tinggi dari masyarakat kebanyakan. Tapi, nyatanya, penonton film Indonesia tidak hanya mahasiswa. Menggunakan istilah “responden pada tiga kampus” jauh lebih tepat ketimbang “penonton”.
Ada baiknya SMRC juga menjelaskan gambaran umum apa itu riset dengan metode penarikan sampel non-random, beserta pertimbangan-pertimbangan di balik penggunaan metode tersebut. Misalnya, penarikan sampel non-random dilakukan karena peneliti tidak mempunyai data pasti tentang ukuran poulasi dan informasi lengkap tentang setiap elemen populasi. Atau, memang tidak ada kemauan dari peneliti untuk melakukan generalisasi hasil penelitian. Harapannya, mereka yang datang juga bisa paham bagaimana cara menyikapi data yang dipublikasikan SMRC.
Sampai sekarang, meski sudah ada publikasi riset tentang penonton di Indonesia, belum ada yang cukup sahih untuk mewakili gambaran utuh tentang penonton film Indonesia. Riset penonton oleh SMRC, dan riset-riset sejenis yang mendahuluinya, barulah langkah awal. Para pemangku kepentingan perfilman Indonesia perlu lebih giat melakukan riset-riset lanjutan terkait kepenontonan film di Indonesia. Sudah saatnya perfilman kita tidak lagi dibaca dengan mitos dan asumsi, tapi dengan data dan metode yang terukur. Riset yang kredibel tidak hanya akan mengisi kekosongan wacana dan ilmu pengetahuan dalam perfilman Indonesia, tapi juga untuk landasan bagi kebijakan pemerintah maupun strategi bisnis para pelaku film.
REFERENSI
Babbie, Earl. The Practice of Social Research, 8th Edition. New York: Wadsworth Publishing, 1998
Bailey, Kenneth D. Methods of Social Research, 4th Edition. New York: The Free Press, 1994.
Bryman, Alan. Social Research Methods, 2nd Edition. Oxford: Oxford University Press, 2004.
Herlina, Dyna. Siapa Penonton Film Indonesia? 8 Januari 2014. Filmindonesia.or.id, diakses pada 10 November 2015.
May, Tim. Social Research: Issues, methods and process third edition. Open University Press: Buckingham, 2001.
Neuman, W Lawrence. Social Research Methods, Qualitative and Quantitative Approach. Needham Heights, Massachusetts: Allyn and Bacon, 2003.
Ramadani, Deden. 2014. Catatan Tengah Tahun Film Indonesia 2014. 10 Juli 2014. Filmindonesia.or.id, diakses pada 10 November 2015.
Ramadani, Deden. Jumlah Bioskop dan Film Bertambah, Jumlah Penonton Turun. 26 Mei 2014. Filmindonesia.or.id, diakses pada 10 November 2015.
Ramadani, Deden. Risalah 2012: Jumlah Bioskop Bertambah, Harga Tiket Naik. 24 Februari 2013. Filmindonesia.or.id, diakses pada 10 November 2015.
Saiful Mujani Research & Consulting. Memahami Pola Menonton Kelas Menengah Muda Urban Jakarta. Oktober 2015.