Tidak ada anak yang girang ketika diberitahu bahwa Santa Klaus itu tidak ada. Tidak ada pula orang yang senang ketika dikata pekerjaan yang dilakukannya sia-sia, dicela bahwa idealismenya tak lebih dari sekadar utopia. Apalagi pada hari pertama kerja.
Namun itulah yang dihadapi tokoh polisi pada film pendek Wrong Day (2011) garapan sutradara asal Palu, Yusuf Radjamuda. Sang polisi muda—yang tengah bertugas untuk pertama kalinya—secara tidak sengaja terlibat percakapan dengan kriminal kelas teri yang dikejarnya. Dalam percakapan itu, sang kriminal mengungkapkan kekesalannya tentang polisi yang menurutnya “tebang pilih” saat hendak menangkap orang. Ia protes tentang koruptor-koruptor yang dibiarkan bebas berkeliaran. Sang polisi yang bangga akan profesinya itu merasa terhina, merasa dituduh tidak berguna. Ia pun mencengkram kerah baju si kriminal. Sang kriminal—yang terintimidasi—kemudian berteriak, “Saya kira hari Minggu polisi libur!”
Benturan antara tatanan ideal dengan tatanan realita memang senantiasa terjadi dalam kehidupan. Layaknya dua sisi mata uang yang saling berlawanan, nilai-nilai yang ideal tidak mungkin hadir tanpa didampingi nilai-nilai realita yang, ironisnya, selalu merupakan kontras dari nilai ideal. Tarik-menarik antara dua polar ini sering ditemukan ketika menjalankan suatu peran; lebih spesifik lagi, suatu profesi atau pekerjaan.
Ada orang-orang yang menyadari keberadaan konflik ini sejak dini, yaitu sejak mereka bahkan belum menjalankan profesi tersebut. Mereka sudah tahu apa saja yang dituntut masyarakat dari profesi yang akan mereka jalani. Misalnya saja, profesi dokter yang secara normatif dituntut untuk selalu menyembuhkan dan menolong mereka yang sakit. Namun, fakta sosial seperti mahalnya biaya pendidikan dokter membuat nilai ideal tentang dokter sebagai penyembuh yang diikat oleh sumpah Hipokrates pun bergeser. Profesi kedokteran kini lebih dititikberatkan pada aspek ekonomi: pada bagaimana mudahnya dokter mendapatkan uang, pada penetapan tarif praktek yang tinggi akibat adanya keinginan untuk “balik modal”. Sebagian mahasiswa kedokteran sudah tahu tentang fakta ini bahkan sebelum mereka lulus dan menjalankan praktek kedokteran. Bahkan, ada di antara mereka yang dengan sengaja memilih untuk menjalankan nilai-nilai yang terjadi di realita alih-alih nilai ideal. Akan tetapi, banyak juga yang baru mengetahui timpangnya kenyataan yang ada dengan imaji mereka selama ini ketika mereka sudah turun langsung ke lapangan. Sang Polisi termasuk kelompok yang terakhir ini.
Kenaifan tokoh polisi—yang merupakan perlambang kubu ‘ideal’—tercermin saat ia dengan polosnya bertanya kepada sang kriminal, “Kenapa kamu menolong saya?” Seolah, dalam alam pikirannya, baik dan jahat itu merupakan bentuk dikotomi mutlak tanpa ada area antara. Setegas hitam dan putih, tanpa adanya abu-abu. Polisi muda yang idealis itu kemudian diserang bertubi-tubi dengan pernyataan-pernyataan kekecewaaan kriminal yang hendak ditangkapnya itu. Hari ketika ia berusaha mulai menegakkan kebenaran malah berakhir menjadi hari di mana ia menerima tamparan realita pula. Mungkin inilah sebabnya film ini diberi judul Wrong Day (Hari yang Salah).
Sang kriminal sendiri merupakan representasi kubu ‘realita’ dalam film ini. Dialog-dialognya menjadi cermin bagi si polisi untuk melihat apa sesungguhnya pandangan masyarakat sekarang tentang profesi yang diagungkannya itu. Puncaknya, teriakan “Saya kira hari Minggu polisi libur!” pun menjadi lambang pandangan masyarakat yang meragukan kredibilitas polisi saat ini.
Akan tetapi, konflik ini gagal tergambarkan dengan apik karena akting tokoh ‘polisi’ yang belum memadai. Tidak terlihat sama sekali bentukan mimik orang yang harga dirinya terluka di wajah sang aktor. Emosinya hampa, hanya ekspresi di permukaan saja. Padahal, durasi film Wrong Day yang terhitung sangat pendek ini, tiga menit saja, menuntut dinamika emosi yang cepat dan kentara. Itulah yang menyebabkan film ini kurang “nendang” rasanya.
Wrong Day | 2011 | Sutradara: Yusuf Radjamuda | Negara: Indonesia | Pemain: Rizal Darvi, Ipin Cevin