Laris Tak Selalu Manis

2016 adalah tahun kembalinya penonton film Indonesia ke bioskop. Jumlah penonton film Indonesia mencapai 34,5 juta, melampaui 32 juta penonton yang pernah dicapai pada 2008. Tak hanya itu, rekor film terlaris pun terpecahkan. Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! (Part 1) karya Anggy Umbara sukses menjaring 6.868.616 penonton—melewati rekor 4.719.453 penonton oleh Laskar Pelangi pada 2008 silam.[i]

Pencapaian pada 2016 tentu membuat kita makin optimis dalam menatap tahun-tahun ke depan. Walaupun begitu, ada beberapa catatan yang harus diperhatikan terkait pencapaian pada 2016. Salah satunya adalah mengenai masih menumpuknya penonton di segelintir film saja. Tercatat, dari 34,5 juta penonton film Indonesia pada 2016, 80% atau 27 juta penonton disumbang oleh 10 film. Rata-rata perolehan untuk 110 film lainnya hanya 67 ribu penonton.

Kenyataan bahwa hanya film-film jenis tertentu yang disaksikan masyarakat sebetulnya tidak mengherankan. Pasalnya, di tengah kondisi jumlah layar di Indonesia yang minim, pihak bioskop memang lebih menyokong film-film yang diasumsikan laris, alias film-film formulaik. Film-film macam ini mengincar target audiens yang jelas. Film adaptasi buku mengincar pembaca, film remake mengincar penonton film aslinya, sementara film sekuel mengincar penonton film pendahulunya. Penceritaan dibuat sesederhana mungkin; jajaran pemerannya berisikan tokoh yang seterkenal mungkin.

Singkat kata, film formulaik adalah film-film yang daya jualnya dinilai tinggi bahkan ketika film-film tersebut belum beredar. Film yang diasumsikan laris umumnya singgah di banyak layar pada hari perdana penayangannya. Sedangkan film yang promosinya minim atau diasumsikan tidak laku harus berjuang mati-matian.[ii]

Tak aneh bila kemudian sebagian besar pembuat film terus menghadirkan film-film formulaik dengan promo besar-besaran. Sebab, agar filmnya dapat beredar seluas-luasnya, para pembuat film memang harus menjamin bahwa akan ada banyak orang yang datang ke bioskop untuk filmnya. Dalam cara pandang ini, keragaman konten hanya akan dianggap sebagai risiko—kondisi ini membuat film Indonesia gitu-gitu aja. Bila diteruskan, bisa diduga film Indonesia akan kembali terjebak dalam stereotip tertentu, seperti yang pernah diidap pada tahun-tahun silam, ketika film Indonesia dianggap hanya menawarkan konten “horor esek-esek”.

Mula-Mula adalah Formula

Kita tentu ingat soal menjamurnya film horor dengan judul-judul ajaib, semacam Nenek Gayung (2012), Kakek Cangkul (2012), Suster Keramas (2009), dan lain-lain. Film-film ini umumnya mengangkat urban legend dengan bumbu adegan-adegan erotis. Meski tidak pernah menempati peringkat pertama, film-film horor macam ini kerap berada di jajaran sepuluh film terlaris. Pada 2008, Tali Pocong Perawan bahkan mencapai angka satu juta penonton, sehingga membuatnya menjadi film terlaris ketiga pada tahun itu.

Pada 2014-2016, film “horor esek-esek” lenyap dari jajaran sepuluh besar film terlaris. Pasar jenuh, hujatan bermunculan. Tapi bukan berarti jalan untuk menjadi laris telah hilang. Nyatanya, formula laris tetap datang dari karya ekranisasi, biopic, religi, sekuel, remake, dan berbagai campuran di antaranya, yang kadang juga ditambahkan dengan bumbu “latar luar negeri”. Selain itu, ada juga pola lain yang terasa khas pada masa ini: kehadiran film-film yang berisikan stand-up comedian. Film-film berisikan stand-up comedian menarik untuk sedikit ditelisik, karena ini adalah kekhasan yang terjadi pada kisaran 2014-2016.

Kehadiran para stand-up comedian mungkin mengingatkan kita pada masa-masa ketika para pelawak panggung (Srimulat), radio (Warkop DKI), dan televisi (Extravaganza) mampir ke layar lebar. Walaupun begitu, merambahnya para stand-up comedian ke film sebetulnya agak berbeda. Pasalnya, para komika ini tidak hanya terkenal di televisi, melainkan hampir di setiap jenis media, termasuk media sosial. Raditya Dika misalnya memiliki lima belas juta lebih followers di twitter dan dua juta lebih subscribers di YouTube. Di sinilah kemudian, dalam hal membuat film laris, jumlah followers dan subscribers seseorang tentu mengisyaratkan jumlah penonton yang akan didulang nantinya.

Massa penggemar seorang pemeran seringkali dianggap sebagai jaminan suatu film akan laris. Meski demikian, kenyataan tidak pernah sesederhana itu. Para pembuat film umumnya tetap menggabungkan formula-formula lain untuk semakin menambah daya jual filmnya. Danur (2017) misalnya. Meskipun novel Danur telah cetak ulang berkali-kali, para pembuat filmnya tidak langsung yakin. Mereka tetap berusaha memperluas segmennya dengan menghadirkan Prilly Latuconsina. Efeknya, basis penonton Danur tampak terdiri dari: pembaca buku Danur, barisan penggemar Risa Saraswati, pendengar musiknya Homogenic dan Sarasvati, fans-nya Prilly Latuconsina, hingga penggemar film horor atau thriller yang telah lama menantikan pesona mistis Shareefa Daanish.

Dari pengemasannya, Danur juga tampak jeli dalam membaca zaman. Danur tidak menampilkan secuilpun adegan erotis—seolah sadar bahwa pada masa sekarang konten erotis dalam film horor tidak lagi relevan. Para pembuat film Danur memilih untuk melirik film horor luar yang tengah ngetren: Insidious. Konflik dengan setan diselesaikan lewat perjuangan fisik dan mistik di dimensi lain. Lagi-lagi, ini adalah petunjuk zaman, yang mana pada masa sekarang setan bukan dikalahkan oleh surat pendek ataupun tasbih yang dikalungkan di leher. Ini 2017; bukan 80an, bukan pula 90an. Walaupun, sebetulnya lucu juga kalau kita berandai-andai Danur muncul pada kisaran 2009. Bisa jadi, Danur mengambil fase dewasa Risa, dengan Dewi Persik sebagai pemerannya. Judulnya: Melihat Arwah sambil Goyang Pinggul.

Menjadi Tuan Rumah

Sering kita dengar cita-cita “film Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri”. Sayangnya cita-cita itu tidak pernah diwujudkan dengan membuat film yang lebih serius, ataupun membangun jaringan eksibisi dan distribusi yang lebih sehat. Industri film kita terus saja bergantung pada siklus eksploitasi yang merugikan: menemukan formula film laris, eksploitasi habis-habisan, pasar jenuh, penonton lari, cari formula lain, ulangi sampai mati. Seakan-akan industri film Indonesia baru bertanggungjawab membuat penonton datang ke bioskop, namun belum bertanggungjawab untuk pengalaman menontonnya.

Kita seharusnya belajar dari perlakuan kita terhadap pencapaian 2008. Mengulang formula laris secara semena-mena hanya akan membuat penonton ogah kembali ke bioskop. Apalagi pada 2016 kemarin market share film Indonesia hanya 32%, kalah jauh dibandingkan dengan market share sebesar 55% yang pernah diraih pada 2008.[iii] Terlalu riskan rasanya menyuguhkan pola yang berulang, ketika yang memilih film Indonesia bahkan belum sampai setengah pengunjung bioskop. Walaupun, hal ini tampaknya memang sudah telanjur terjadi, mengingat antrian film Indonesia pada 2017 telah dipenuhi oleh sekuel (Ayat-Ayat Cinta 2, Eiffel I’m in Love 2, dan lain-lain) dan remake (Jailangkung, Hantu Jeruk Purut, dan lain-lain).

Memanfaatkan momentum jelas sah-sah saja. Membuat remake dan sekuel juga sah-sah saja. Akan tetapi, tentu perlu ada tawaran yang benar-benar jelas dari segala bentuk remake dan sekuel itu. Kalau membuat remake, upayakan agar gagasan lampau bisa berbicara untuk konteks masa sekarang. Misalnya seperti ketika Galih dan Ratna karya Lucky Kuswandi mampu menjawab keresahan pacaran beda kelas pada era digital. Sementara kalau membuat sekuel, pastikanlah memang ada kisah yang belum kelar dari film pertama. Jangan mengada-ada, bahkan sampai mengklaim sekuel yang telah ada (Lost in Love) tidak sahih untuk dikatakan sebagai kelanjutan dari film yang ingin dibikin (Eiffel I’m in Love 2). Kalau memang kenyataannya hanya mau ambil momentum, katakan saja, tapi tunaikan dengan seserius mungkin. Intinya, sekali lagi, jangan hanya bertanggungjawab mendatangkan penonton, tapi bertanggungjawablah juga dengan pengalaman menonton mereka.

CATATAN

[i] Data jumlah penonton diperoleh dari filmindonesia.or.id

[ii] Ambil contoh film Istirahatlah Kata-Kata. Pada hari pertamanya di Bandung, film ini hanya tayang di Ciwalk pada pukul 12.00 dan 14.00. Jam tayang ini jelas merugikan. Terlebih, dengan rating 17+, film ini lebih ditujukan kepada mahasiswa dan pekerja yang umumnya beraktivitas sampai sore. Memang, Istirahatlah Kata-Kata masih cukup beruntung. Meski jam tayangnya tak ideal, film ini tetap menuai cukup banyak penonton, sehingga layar dan jam tayang kemudian bertambah.

[iii] Rizky Sekar Afrisia. 2016. Jumlah Penonton Indonesia Tertinggi setelah Enam Tahun. Cnnindonesia.com, diakses pada 15 Mei 2017.