JB Kristanto: Saya Tak Pernah Menyebut Diri Sebagai Kritikus

JB Kristanto (paling depan) membuka malam peluncuran hasil restorasi film Lewat Djam Malam
JB Kristanto (paling depan) membuka malam peluncuran hasil restorasi film Lewat Djam Malam

Lahir 8 Agustus 1944, JB Kristanto adalah seorang kritikus film yang sudah banyak berkarya. Tangannya telah menuliskan berbagai tulisan yang meninjau persoalan film di Indonesia sejak dulu hingga sekarang. Ia juga menghimpun Katalog Film Indonesia, sebuah buku yang memuat data-data tentang film Indonesia sepanjang masa yang diperbaharui secara berkala. Buku ini telah luas dipakai sebagai acuan. Mas Kris, begitu ia akrab disapa, turut memprakarsai berdirinya situs filmindonesia.or.id, pusat data mengenai film dan perfilman Indonesia. Ia juga beberapa kali didaulat menjadi anggota juri dalam Festival Film Indonesia. Gotot Prakosa menyebutnya sebagai ‘kritikus dengan intensitas luar biasa’.[1]

Di sela perhelatan Bulan Film Nasional 2011 di Kineforum Taman Ismail Marzuki beberapa waktu lalu, JB Kristanto berbaik hati untuk meladeni kami mengobrol sebentar.

Apa ukuran seseorang sehingga ia bisa menyebut dirinya sebagai kritikus?

Terus terang, saya tidak pernah menyebut diri saya kritikus. Orang yang menyebut saya begitu. Saya lebih melihat diri saya sebagai penulis resensi, sebab saya menulis resensi. Ukurannya lebih ke profesi. Saya tidak pernah mengaku sebagai kritikus, karena saya belum pernah menulis kritik.

Kritik yang anda maksud yang seperti apa?

Kritik yang panjang dan lebarlah kira-kira. Kalau anda baca majalah Sight and Sound, kira-kira semacam itu. Saya pernah menulis panjang dan lebar, tapi tidak mengenai satu film, melainkan membahas beberapa film. Dalam salah satu artikel saya yang cukup panjang, judulnya ‘Film Indonesia dan Akal Sehat’, tulisan itu kan dihubungkan oleh satu tema, yakni logika, yang saya pandang sangat kurang dalam film Indonesia. karena dalam pandangan saya, menulis resensi mengenai suatu film tidak hanya berarti mencela atau memuji film tersebut, melainkan juga mengkritik aspek budaya. Saya menggunakan tulisan tersebut untuk membidik problem dalam film-film Indonesia.

Kalau menurut sejarah, film Indonesia mulai ada tahun 1926. Sejak kapan kritik film Indonesia itu ada?

Kalau itu saya tidak tahu. Tapi bila merujuk kepada Sinematek Indonesia, pada tahun 1930-an kritik film itu sudah hadir di Indonesia. Sebab dalam salah satu buku saya, judulnya ‘Nonton Film Nonton Indonesia’, saya pernah mengutip tulisan yang berasal dari tahun 1930-an, yang juga membicarakan penggunaan logika dalam film Indonesia. Saya ingin menunjukkan bahwa penggunaan logika dalam film Indonesia ternyata sudah dikritik sejak tahun 1930-an tersebut.

Apakah kritik film itu bagian dari industri film?

Mungkin bisa saja seperti itu. Tapi secara “lembaga”, kritik film bukanlah bagian dari industri. kalau pertanyaannya “Apakah kritik film memiliki pengaruh terhadap industri?” Iya, kritik film memiliki pengaruh terhadap industri.

Di Indonesia, apakah pengaruh kritik film sudah berpengaruh terhadap Industri film?

Saya tidak tahu. Secara personal mungkin berpengaruh.

Dari segi proses kreatif secara keseluruhan?

Mungkin saja. Tapi masalahnya, sekarang ini yang menulis resensi dengan betul itu kan sedikit. Tempo saja diledek, dan saya setuju dengan itu. Karena disana kritik filmnya lebih kepada like dan dislike daripada menulis resensi yang benar. Terus terang, saya tidak tahu apakah kritik film berpengaruh terhadap proses pembuatan film. Dan saya tidak mau tahu. Buat apa?

Tulisan yang jelas pengaruhnya terhadap industri bukanlah tulisan tentang film, melainkan tulisan tentang industri film. Seperti  tulisan-tulisan mengenai perihal impor film yang muncul akhir-akhir ini. Itupun saya tidak tahu sejauh apa pengaruhnya.

Seperti interaksi antara film dengan penontonnya. Bagaimana interaksi resensi anda dengan pembaca resensi anda?

Tidak tahu. Saya jarang dapat tanggapan balik. Dulu waktu saya jadi wartawan, yang berpengaruh terhadap pembaca bukanlah tulisan resensi kita, tetapi bintang yang kita berikan terhadap suatu film. Karena lebih mudah melihat bintang dibanding membaca tulisan, bukan? Tapi ada juga film yang bintangnya banyak tapi tidak laku.

Kenapa itu kira-kira?

Sebagai penulis resensi, saya menyadari bahwa resensi saya hanyalah salah satu ukuran. Setiap hendak memberi bintang, saya akan beri pengantar: anda boleh setuju boleh juga tidak terhadap bintang ini, tetapi anda dipersilakan menjadikan bintang ini sebagai ukuran. Jadi katakanlah bila saya memberi empat bintang, bisa saja penonton hanya memberi satu bintang. Jadi memang resensi hanyalah salah satu ukuran, ada film yang saya beri tiga-empat bintang dan laku, ada juga yang tidak. Bahkan dulu ada film yang dihabisi oleh media, dihujat oleh para distributor film, tapi meledak di pasaran. Judulnya Ratapan Anak Tiri. Ini menunjukkan betapa relatifnya hubungan antara resensi dengan fakta perdagangan. Di satu kesempatan bisa cocok, pada kesempatan lain bisa berlainan.

Bagaimana kedudukannya orang yang berprofesi sebagai kritikus tapi juga merangkap sebagai juru program (programmer) festival film?

Dulu tidak ada yang namanya juru program. Begini, jangankan menjadi kritikus merangkap juru program festival film, menjadi kritikus merangkap pembuat film saja sah-sah saja bagi saya. Saya pribadi memang mengatakan “tidak” untuk jadi pembuat merangkap kritikus. Tapi saya tidak bisa memaksakan sikap saya ini pada orang lain. Arswendo Atmowiloto umpamanya, dia membuat film dan juga menulis kritik. Masalahnya bukan pada etis atau tidak etis, akan tetapi pada kredibilitas. Orang percaya atau tidak atas apa yang ia lakukan baik itu pada tulisan resensi juga pada karyanya. Seorang Budi Darma dan Sapardi Djoko Damono, mereka menulis kritik yang bagus, juga menulis novel yang bagus..

Khalayak mengenal anda sebagai salah satu kritikus yang konsisten sampai pada usia senior. Kami hendak mengadukan kegalauan anak-anak muda yang baru mau memulai untuk menulis tentang film, dapatkah kita hidup dari pekerjaan ‘murni’ sebagai kritikus film saja?

Saya khawatir tidak bisa. Saya bisa bertahan karena Kompas menggaji saya sebagai seorang wartawan. Seperti misalnya Eric (Sasono) juga, dia punya pekerjaan lain, tapi dia memiliki obsesi tersendiri mengenai film. Kebetulan saya yang “menemukan” Eric. (Tertawa) Saya membaca tulisannya di blog, bagus, saya hubungi dia dan memintanya untuk menulis di Kompas.

Dari pengalaman anda di Kompas, apakah ada posisi khusus Wartawan Film ?

Itulah yang saya sesali. Dulu saya mendukung opini bahwa wartawan itu harus dipindah-pindah agar ia mengetahui banyak bidang. Semakin kesini, saya menyesali setelah sadar, bahwa ada wartawan yang sebaiknya berada di bidang yang sama selamanya, agar akumulasi pengetahuannya semakin lama semakin bertambah. Saya pribadi pernah dipindah-pindah, pernah menjadi koordinator penulis Tajuk Rencana di Kompas, biasa juga menulis tentang aspek kebudayaan lain selain film, tapi itu tidak mengurangi fokus dan obsesi saya terhadap film. Sehingga meskipun saya punya pekerjaan yang beragam, saya lebih dikenal sebagai wartawan film.

Apakah ketidak-idealan menjadi kritikus saja berlaku secara global atau hanya pada konteks Indonesia?

Di luar negeri juga begitu, biasanya penulis kritik itu attached pada satu lembaga. Misalnya di Time Newsweek, Richard Corliss adalah orang yang menulis tentang bidang film. Nah meskipun tulisan obituari, misalnya Elizabeth Taylor yang baru saja mangkat, yang menulis obituarinya adalah Richard Corliss sebab itu juga masih menyangkut film. Tidak hanya resensi, dia akan menulis segala sesuatu yang berkatian dengan bidang film. Apabila ada film yang menonjol dan menjadi laporan utama, dia juga yang akan menulis.  Memang di luar negeri lebih memungkinkan, tapi saya melihat bahwa seorang kritikus belumlah bisa hidup hanya dari tulisan kritiknya semata. Jurnal film dan kesenian itu oplahnya sedikit. Kalaupun ada kritikus merangkap teoritikus, katakanlah André Bazin, dia kan juga bekerja sebagai dosen di samping mengasuh majalah Cahiers du Cinéma.

Selain kepuasan personal, apa standar kesuksesan seorang kritikus?

Saya tidak tahu. Saya tidak pernah berpikir sampai ke sana. Tapi kalau mau dipikir, mungkin diakui atau tidak diakuinya sebuah tulisan bisa menjadi standarnya. Tapi saya sendiri tak pernah memikirkan itu. Empat lima kali saya pernah diundang menjadi juri FFI, saya melihat diri saya diakui. Tapi kalau melihat diri saya sukses, apalagi dari segi material, tidaklah.


[1] Selengkapnya di https://cinemapoetica.com/wawancara/gotot-prakosa-kritikus-itu-bukan-sekedar-reporter/