Setan Jawa pentas perdana di Jakarta pada awal September 2016, yang kemudian berlanjut ke pementasan-pementasan di sejumlah kota lain di Indonesia. Salah satunya di Yogyakarta pada 21 Mei 2017, tempat saya menonton Setan Jawa. Saya sebut ‘berpentas’ karena Setan Jawa garapan Garin Nugroho pada dasarnya tidak bisa dianggap murni sebagai film. Penayangan filmnya melibatkan penampilan musik, yang berlangsung beriringan dengan setiap detik durasi film. Bekerjasama dengan komposer Rahayu Supanggah, sajian musik pengiring yang dihadirkan langsung di atas panggung pemutaran film tersebut menjadi suatu peristiwa yang rasanya sukar untuk dilupakan.
Begitulah kemudian Setan Jawa hadir di depan muka: sebagai sebuah peristiwa lintas disiplin kesenian. Penayangan sinema bisu hitam-putih dipertemukan dengan penampilan gamelan orkestra. Beberapa komentar yang muncul soal film tersebut kebanyakan mendudukkannya sebagai sebuah karya campuran: film, musik, tari, teater, dan yang paling digarisbawahi adalah sebagai sebuah pertunjukan. Tapi bagaimanapun juga, menurut saya, Setan Jawa tetap harus didudukkan terlebih dahulu sebagai sebuah karya sinema, karena film menjadi unsur utama yang mendasari keseluruhan penyelenggaraan pertunjukan. Kalaupun ada unsur-unsur selain film yang dilibatkan, maka unsur-unsur tersebut harus disikapi hanya sebagai pendukung. Menariknya, sebagai unsur utama dalam karya ini, aspek naratif dalam film justru menjadi unsur paling lemah dibanding unsur-unsur pendukung lainnya.
Bentuk Lebih Penting Daripada Isi
Melalui sejumlah pernyataan media, pembuat film mengakui Setan Jawa banyak mengambil inspirasi dari film Nosferatu garapan Friedrich Wilhelm Murnau dan bentuk pertunjukan tradisional wayang kulit. Inspirasi dari wayang tersebut mungkin dapat dilihat dari formasi penataan panggung pertunjukan film ini. Layar besar terpampang di atas panggung, lalu para pemusik duduk bersila di di depannya. Penonton berada di jajaran kursi yang telah disediakan: menghadap panggung. Walaupun, soal letak penonton, tentu ada perbedaan yang jelas antara Setan Jawa dan pertunjukan wayang. Di pertunjukan wayang ada beberapa penonton yang melihat dari balik layar (atau memang begini seharusnya cara yang baik dalam menonton wayang), sehingga para pemusik dan dalang tidak nampak. Sementara dalam pertunjukan ini, para pemusik justru menjadi aspek yang ditampilkan.
Posisi penonton ini bukannya tak bermakna. Orang yang menonton di sisi depan layar dianggap masih terfokus pada bentuk. Karena di sanalah dapat dijumpai aneka rupa wayang dengan warna-warni dan keseluruhan tim penampil wayang hadir. Sementara orang yang menonton di balik layar hanya menikmati bayangan dari wayang itu saja. Selain itu, orang yang menonton di balik layar dianggap lebih berfokus pada keseluruhan cerita. Karena bentuk visual telah direduksi sedemikian rupa menjadi bentuk bayangan saja, dan bunyi musik pengiring serta suara dalang hadir dalam bentuk yang murni aural, tidak visual.
Selain pengalaman menonton, yang membedakan Setan Jawa dari pertujukan wayang adalah kehadiran dalang. Dalam Setan Jawa, dalang tidak muncul secara fisik. Dalang—yang dalam hal ini dapat dimaknai sebagai sutradara—hadir melalui penataan gambar-gambar dalam film, melalui kekhasan preferensi pengambilan gambar dan penggunaan unsur seni tari dalam gerak tubuh para aktornya. Gaya semacam ini telah dihadirkan dalam film Garin sebelumnya, yaitu Opera Jawa. Singkatnya, kosa gambar Setan Jawa bersifat bagus dan indah, gerak tari yang dilakukan oleh para aktornya bagus dan indah, paras para aktornya bagus dan indah, kecuali mungkin topeng yang dikenakan sang setan. Meskipun topengnya mengesankan paras yang buruk dan menyeramkan tapi itu semua menjadi gugur dengan kesempurnaan gerak tari dan bentuk tubuh sang setan, sehingga dalam menontonnya tidak tebersit sedikitpun rasa takut dalam diri.
Keindahan dan kebagusan yang terus-menerus dihadirkan ini menjadi persoalan. Kalau ada satu dua keindahan di antara banyak keburukan, maka keindahan itu akan berfungsi dengan baik. Ada perbandingan di dalamnya. Kalau semuanya indah dan bagus, yang nampak hanya itu-itu saja dan cenderung membosankan. Dengan demikian, Setan Jawa memang berpretensi untuk mengutamakan bentuk daripada isi atau keutuhan cerita. Cerita dalam film hanya berfungsi sebagai pengantar gambar, dari suatu keindahan ke keindahan lainnya, tanpa ada benang gagasan yang padu.
Logika Setan yang Compang-camping
Secara garis besar Setan Jawa bercerita tentang kisah cinta beda kelas dan status sosial. Mengambil latar kehidupan di Pulau Jawa era kolonial sekitar abad ke-20. Pertunjukan film ini dibagi menjadi beberapa babak atau chapter, dimulai dari asal mula setan pesugihan hingga usaha mengalahkan setan tersebut.
Dalam film diceritakan tokoh setan pesugihan merupakan penjelmaan dari seorang anak kecil (pribumi) yang mencuri di tanah kolonial, lalu dihukum, disiksa, kelaparan, membunuh penjaga penjara kolonial, dan menderita karena kemiskinan. Cerita kemudian bergerak pada tokoh Setio, pemuda desa miskin yang jatuh hati pada Asih, anak keturunan keluarga bangsawan. Cinta Setio ditolak oleh Ibunda Asih lantaran Setio miskin. Setio lantas meminta bantuan kepada setan untuk membuatnya kaya, melalui ritual pesugihan kandang bubrah.
Pesugihan ini rupanya hanya membuat kesenangan sesaat. Setelah Setio menjadi kaya dan dapat melamar Asih, kehidupan mereka berdua tidak bertambah baik. Setio makin sengsara karena pesugihan kandang bubrah menuntut konsekuensi penganutnya untuk terus-menerus merenovasi rumahnya. Lambat laun Asih mengetahui ritual pesugiah yang dilalui Setio. Didasarkan kecintaanya kepada sang suami, ia menemui setan pesugihan. Mereka menari, bercinta, dan Asih menusuknya dengan tusuk konde. Tusuk konde ini menjadi salah satu simbol penting, karena tusuk konde tersebut telah muncul sebelumnya di tangan Ibunda Asih, yang menolak lamaran Setio dengan menusukkan tusuk konde tersebut ke telapak tangan Setio.
Bagi saya, penggambaran asal muasal setan pesugihan dalam narasi yang dibangun oleh Garin sungguhlah problematis. Pertama-tama, kita mesti terlebih dahulu memahami logika pertentangan antara Setan dan Tuhan. Dalam kepercayaan Islam, ada tiga ketetapan dalam hidup yang semuanya hanya bisa ditentukan oleh Tuhan semata, yaitu rezeki, jodoh, dan maut. Setan mengambil posisi yang berseberangan dengan Tuhan, untuk menggoda manusia sejak kelahiran sampai akhir zaman. Melalui kehadirannya dalam momen-momen frustasi dan keputus-asaan, setan memberi ‘alternatif’ kepada manusia atas apa yang diinginkan manusia dan tidak dikabulkan oleh Tuhannya. Alternatif setan atas ketetapan Tuhan dalam hal rejeki adalah pesugihan, dalam hal jodoh ialah pengasihan atau pelet, dan atas maut adalah susuk kebal. Demikian maka kita dapat pahami, mengapa Setio memilih menggunakan pesugihan ketimbang pengasihan, karena Asih pun diam-diam menaruh hati pada Setio.
Logika umum pertentangan Setan-Tuhan menjadi tidak masuk akal dalam usaha Garin menghadirkan cerita asal mula setan pesugihan. Seorang anak kecil (pribumi) yang mencuri dari tanah kolonial dan menderita karena kemiskinan yang dibentuk oleh kolonialisme kemudian berakhir menjadi setan. Bagaimana mungkin kemiskinan dan penderitaan yang dihadirkan oleh kolonial, dan tindakan kecil perlawanan yang dilakukannya mengakibatkan anak tersebut menjadi setan? Perkembangan cerita sungguhlah lemah dan tidak masuk akal, melemahkan keseluruhan cerita dalam Setan Jawa. Jika saja Garin bersetia pada logika pertentangan Setan dan Tuhan pada umumnya, maka ia tidak perlu repot menghadirkan genealogi setan pesugihan yang mengada-ada dalam Setan Jawa.
Sebelumnya telah disebutkan bahwa pada akhirnya Asih menari, bercinta, dan membunuh setan pesugihan. Dalam hal ini, kekasatan setan dalam adegan ini menjadi suatu hal tidak logis. Ia dibunuh dengan benda yang kasat, bercinta secara kasat. Sementara, sepanjang Setan Jawa, kita dapat menemui kehadiran seekor kura-kura yang wujudnya menyerupai phallus atau penis. Kehadiran kura-kura tersebut ditempatkan sebagi penanda kehadiran setan, misalnya saat ia hadir maka rumah Setio akan menjadi rusak dan ia harus memperbaikinya lagi. Karena memang begitulah logika pesugihan kandang bubrah bekerja. Rumahnya akan terus-menerus minta direnovasi, dan akhirnya akan menuntut anggota keluarga menjadi tiang dari rumah tersebut.
Pertanyaannya: mengapa Asih tidak bercinta dengan kura-kura tersebut atau membunuh kura-kura tersebut? Mengapa justru ia menghadapi wujud setan yang asli? Lalu apa gunanya muncul kura-kura tersebut, mengapa tidak setan wujud aslinya saja yang terus-menerus muncul? Dalam hal ini logikanya menjadi timpang. Jika setan itu tak kasat, lalu ia mewujud dalam bentuk kura-kura, maka wujud kasatnya yang dapat disentuh. Dalam ramuan film horor yang lain dapat ditemui kerapian logika ini misalnya dengan membaca doa pada setan. Doa sifatnya tak kasat, yang selaras dengan setan yang tak kasat. Atau, misalnya, menghancurkan benda bertuah sebagai wujud kasat setan. Kasat dengan kasat, tak kasat dengan tak kasat.
Setan pesugihan dalam Setan Jawa hadir sebagai kosmetik yang dibangun dengan logika yang salah kaprah. Anak kecil yang mencuri di tanah kolonial yang menderita, sengsara, dan lapar justru dijadikan setan. Padahal justru kolonialisme yang telah membuat orang-orang yang dijajah menjadi menderita, lapar, dan sengsara. Rakyat terjajah sebagian besar pasti mengalami kelaparan dan kemiskinan, dan kolonialisme yang telah mencuri segalanya dari tanah ini. Lalu anak kecil ini dihadirkan sebagai pencuri. Bagi saya, anak kecil ini adalah simbol dari rakyat terjajah dan tindakannya mencuri adalah tindakan subversif. Dalam Setan Jawa, ia dikerdilkan menjadi setan pesugihan.
Keputusan pembuat film Setan Jawa untuk membangun logika yang sedemikian sembrononya justru berbahaya dan berkecenderungan mereproduksi tatapan kolonialis, yang diperkuat dengan kehadiran eksotisme kultur Jawa melalui tari-tarian, musik gamelan, dan mitologi pesugihan. Bagaimana bisa sesama kaum terjajah menempatkan satu tindakan perlawanan bukan sebagai sebuah bentuk aksi perlawanan, melainkan sebagai suatu tindakan setan?