Gugat Pegat: Mengurai Skema Cerai di Purbalingga

gugat-pegat-cerai-purbalingga_hlgh

Perkara cerai tak melulu karena masalah personal pasutri. Ada faktor-faktor eksternal yang turut mendorong pasutri ke sidang perceraian. Sebut saja masalah ekonomi, budaya patriarki, perkara agama, dan sebagainya. Nilai-nilai materil ataupun non-materil yang datang dari lingkup sosial tersebut menyelinap ke setiap rumah tangga, dan kadangkala menjadi dalang dari setiap huru-hura. Dengan kata lain, problema romansa macam ketidakcocokan, perselisihan, maupun perselingkuhan kadang bukan hanya masalah berdua, tapi imbas dari ketidakberesan di tingkat struktural masyarakat.

Menjadi menarik ketika fenomena perceraian ditangkap oleh seorang siswi SMA Negeri 1 Bukateja Purbalingga, Gita Prischa Maharani, lewat filmnya Gugat Pegat (2015)–yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘gugat cerai’. Di tengah hamparan romantika dangkal di media arus utama, sutradara muda Purbalingga ini justru berkiblat ke realitas daerahnya. Alih-alih berbicara tentang tangis sesenggukan, apalagi mengeksploitasi perpisahan demi asupan emosi, ia membicarakan perceraian sebagai gejala sosial yang kontekstual.

Gugat Pegat bercerita tentang sepasang suami-istri di Purbalingga. Kondisinya: sang suami menganggur, sedangkan sang istri bekerja di pabrik rambut palsu. Masing-masing sepakat bahwa keadaan tersebut tidaklah ideal. Terlihat dari bagaimana mereka bercerita ke temannya masing-masing; sang istri dengan temannya di pabrik, sang suami dengan temannya di warung kopi. Sang istri percaya bahwa suaminya harus bekerja. Sang suami juga percaya ia harus bekerja, namun sebagai sarjana, ia tidak mau kerja ‘kasar’ dengan menjadi tukang ojek.

Saling-silang pendapat ini diperburuk oleh kondisi di Purbalingga. Industri bulu mata dan rambut palsu yang tengah marak, nyatanya lebih banyak menyerap tenaga kerja wanita ketimbang pria. Dalam film, terlihat spanduk-spanduk lowongan kerja yang hanya terbuka untuk wanita. Para pria, apalagi yang sarjana, jadi kelimpungan. Dalam sebuah obrolan di warung kopi, sang suami dan konconya sepakat bahwa tenaga kerja pria memang sudah tak ada harganya lagi di Purbalingga.

Hubungan pasutri ini kian runyam. Harapan keduanya berujung kecewa, diplomasi di ranjang juga tak berguna. Secara visual maupun verbal, tanda-tanda ihwal perpecahan keduanya pun tampil dengan subtil. Misalnya ketika adegan sang istri tidur membelakangi, shot retakan tembok yang tergaris di antara foto pernikahan, dan adegan cium-tangan sang istri dengan pria lain. Penanda yang terakhir bahkan menjadi kontras dengan adegan sang suami mengantar sang istri kerja di awal film. Sang istri justru tidak mencium-tangan suaminya.

Dalam perwujudannya di Purbalingga, ide mengenai kesetaraan gender dalam perkawinan masih tersendat entah di mana, mungkin di persimpangan ekonomi dan budaya. Nampak bahwa di kota kecil seperti Purbalingga, tidak ada yang elok dari kondisi istri bekerja sementara suami mengurus rumah. “Kebalik,” kalau kata sang istri dalam film.

Padahal sang suami sebetulnya tidak nganggur-nganggur amat. Ia mampu mengisi kekosongan aktivitas domestik, seperti halnya mencuci baju sampai dalamannya sang istri. Tapi alih-alih menjadi potret ideal nan mewah, sebagaimana anak urban dan dunia maya gembar-gemborkan, kondisi tersebut justru merupakan suatu hal yang memalukan.

Potret sosial yang disajikan Gugat Pegat nampaknya harus mendapat perhatian oleh para akademisi, peneliti, aktivis, hingga pejabat yang bernaung di ranah sosial. Dalam sebuah artikel berjudul Nikah Mudah, Cerai Gampang di Kompas (4 Juli 2015), ada bahasan tentang tingginya angka cerai dengan penggugat dari pihak istri. Di sana tertulis bahwa dari kasus cerai yang diputus pengadilan agama di Indonesia, 70% diajukan oleh istri atau cerai gugat. Mengacu pada data itu, testimoni narasumber pun mencoba menerangkan perubahan yang terjadi—perempuan sebagai istri dan pihak yang menuntut cerai menjadi titik sentral penjelasan mereka.

Muncul tafsir-tafsir seperti, “Perempuan sudah punya kesadaran untuk bertindak menghadapi ketidakadilan yang mereka hadapi,” dari Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag Muharam Marzuki. Ada pula komentar dari Budi Wahyuni, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang juga Wakil Ketua II Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, “Dalam rumah tangga, istri dan anak masih dianggap sebagai obyek. Akibatnya, komunikasi dan relasi kekuasaan di dalam keluarga buruk.”

Mungkin pendapat mereka tidak salah, tapi patut dipertanyakan dari mana datangnya bacaan mereka itu. Menafsir sebab tunggal suatu fenomena dengan data yang mencakup wilayah seluas Indonesia tentu suatu tindakan yang terburu-buru. Setiap kota punya konteksnya masing-masing. Cerai di Jakarta berbeda dengan cerai di Purbalingga, meskipun sama-sama terjadi lewat gugatan istri. Oleh karenanya, apa yang tercatat di film Gugat Pegat menjadi suatu hal penting—bukan sebagai penyuguh kebenaran, tapi sebagai perspektif dalam melihat suatu fenomena.

Kebutuhan akan film yang mampu memotret isu secara kontekstual pun kian membumbung tinggi di negeri ini. Bukan saja untuk pengembangan wacana dan diskursus isu sosial di publik, tapi juga untuk perkembangan sinemanya sendiri. Sekarang ini ada tuntutan besar terhadap kualitas film tanah air, khususnya pada segi penceritaan. Sudah terlalu lama penonton terjejal dengan kisah ‘cinta sejati’ serba kebetulan yang menghamba pada premis romantis. Sementara itu, bila cukup jeli, ada ruang lain yang juga layak untuk dibahasakan lewat film, yakni mengenai tatanan dan perubahan sosial yang merasuk ke ruang-ruang pribadi berbagai individu.

Inilah yang Gugat Pegat tawarkan. Film pendek karya pelajar SMA Negeri 1 Bukateja Purbalingga berhasil menuturkan problema pasutri yang amat lekat dengan tatanan sosialnya, sehingga romansa tak mengawang-awang, dan cinta tak lagi niscaya. Gugat Pegat boleh jadi sederhana dari segi estetika dan dramaturgi. Akting para pemainnya juga kaku, menjadikan film ini gagap dalam mengkomunikasikan muatan emosi para tokohnya. Tapi sebagai suatu penyampaian gagasan dan catatan peradaban, salah satu film pemenang Festival Film Purbalingga 2015 ini adalah sebuah pencapaian yang patut diapresiasi.

Gugat Pegat | 2015 | Durasi: 11 menit | Sutradara: Gita Prischa Maharani | Produksi: Sabuk Cinema, SMA Negeri 1 Bukateja Purbalingga | Negara: Indonesia | Pemeran: Agustina Delfi Permatasari, Nugroho Wahyu Prasetyo, Dody Tri Iwanda, Singgih Tri, Tyna Novia Widiantari, Dwi Setyani