Turis Romantis: Lebih Baik Menyaksikan Daripada Menyangsikan

turis-romantis-2015_hlgh

Tatkala layar bioskop dipenuhi oleh arisan superhero, mata saya tertuju pada satu film produksi negeri sendiri, yaitu Turis Romantis (2015). Alasannya sederhana saja; bukan alasan sakral macam pemboikotan pribadi terhadap film komprador asing, ataupun alasan banal karena saya penggemar serial Mahabharata, melainkan karena sutradara di balik Turis Romantis adalah Senoaji Julius.

Sebelumnya nama Senoaji Julius saya kenal sebagai sutradara sejumlah film pendek anak-anak, seperti Boncengan (2012), Gazebo (2013), dan 2B (2014). Dari film-film tersebut, menurut saya pribadi, beliau selalu memperlakukan film sebagai media pembelajaran yang menyenangkan. Di Boncengan, ia menekankan tentang perilaku jujur dan solidaritas antar teman, Gazebo tentang imajinasi yang tak terkira, dan 2B tentang keberanian untuk bertanggungjawab. Pengemasannya pun tak kalah apik. Ini bisa dilihat dari permainan pengambilan gambar di Gazebo (yang berlangsung hanya dalam satu ruangan), dan permainan warna di 2B, yang memberi kontras antara keadaan ideal dan tak ideal. Tak pelak, rasa penasaran pun menghantui, dan membuat saya segera mampir untuk menyaksikan film panjang pertamanya.

Turis Romantis bercerita tentang Azan Khan (Shaheer Sheikh), seorang turis dari India yang mendapat privilese lebih untuk menentukan lokasi kunjungan, karena anggota tur lainnya batal hadir. Di Indonesia ia didampingi oleh Nabil (Kirana Larasati), pemandu wisata dadakan yang sedang dalam krisis finansial karena ayahnya terjerat hutang dengan rentenir. Nabil yang ogah-ogahan sembari kalut itu pun menemani Azan Khan hari demi hari, tanpa benar-benar berbagi masalah yang ia hadapi. Sedang Azan Khan yang adalah fotografer, terus mencari titik romantis untuk ia foto, sambil mencari makam kakeknya. Nantinya, seperti kisah cinta lokasi pada umumnya, Azan Khan tergiring untuk menyelamatkan hidupnya Nabil.

Bintang Televisi di Layar Lebar

Rasanya publik sudah menilai dari awal bahwa film ini hanyalah karya oportunis yang mendompleng popularitas Shaheer belaka. Sukses di industri layar kaca Indonesia, pemeran serial Mahabharata itu memang tengah menarik perhatian para penonton televisi Indonesia–dari yang menggemari, sampai yang mencibir. Dengan membuat Turis Romantis ini, produser tentu berharap massa penggemar Shaheer akan datang menonton filmnya.

Meskipun sudah memiliki nama di industri televisi, menghadirkan bintang India ini di layar lebar tentu perkara tersendiri, karena segmennya bisa jadi berbeda. Apa iya mereka yang biasa menonton Shaheer (secara cuma-cuma) di televisi mau menontonnya (secara tidak cuma-cuma) di bioskop? Jumlah penonton yang hanya mencapai angka 36.663, dan tulisan penuh cibiran di Kompasiana oleh penulis yang belum menonton filmnya ini mungkin cukup menjawab hal itu (baca: Shaheer Sheikh, Turis Romantis, dan Jeleknya Film Indonesia).

Siasat mengangkat bintang televisi ke layar lebar mungkin sukses untuk Comic 8 (2014) yang menampilkan para stand-up comedian televisi, dan mampu meraih 1.624.067 penonton. Akan tetapi, harus diingat bahwa para comic itu pada dasarnya bukan bintang televisi saja. Mereka juga berpengaruh di media sosial, dan di komunitas-komunitas stand-up comedy.

Dengan kata lain, berbeda dengan Turis Romantis dan Shaheer-nya, target pasar dari Comic 8 dan para stand-up comedian tidak berada di tataran penonton televisi per se, melainkan juga para anak muda yang aktif media sosial, dan mempunyai mobilitas ke acara stand-up comedy ataupun ruang bioskop. Tapi bagaimanapun juga, dugaan ini tentu hanya satu dari sekian banyak penyebab lain, seperti misalnya keberadaan orang-orang dengan pola pikir serupa si penulis Kompasiana itu, masalah publikasi, lokasi layar, hingga keberadaan film asing yakni Avengers dan Furious 7.

Amor dan Humor di Kota Jogja

Lantas bagaimana dengan filmnya? Untuk filmnya sendiri, Turis Romantis memang masih terjebak pada berbagai kebiasaan buruk sejumlah film Indonesia yang sudah-sudah. Film masih dipenuhi dengan kebetulan menyenangkan, seperti ketika Nabil dan Azan bertemu sang ibu di jalan, sehingga Azan tahu lokasi pemakaman kakeknya; ketika di pemakaman Nabil tak sengaja duduk di atas kuburan kakeknya Azan; dan ketika salah satu penjahatnya ternyata adalah polisi.

Konteks kulturalnya pun lemah. Kota Jogja tidak terlalu penting dan tidak berfungsi menyuguhkan suatu konteks yang kuat. Jogja hanya digunakan sebagai kota yang memungkinkan turis mampir, dan kemudian ditaburi sedikit kosakata Jawa (yang bersaing dengan bahasa India, Inggris, dan Indonesia). Tidak ada kontribusi berarti dari latar Jogja terhadap cerita, maupun karakterisasi protagonisnya.

Sebagai sebuah cerita yang mengandung wacana, film juga terasa hanya menampilkan betapa buruknya wajah Indonesia. Indonesia ditampilkan sebagai tempat orang-orang terjerat hutang, berjudi, menipu, dan mencuri, sedangkan turis adalah seorang yang kaya, tangguh, dan penolong. Secara teknis pengambilan gambar, film juga tidak menyuguhkan sesuatu yang istimewa. Hanya cut-to-cut sederhana, yang bahkan sesekali cukup mengganggu ketika kamera mengambil zoom ke wajah tokoh yang tengah berdialog.

Akan tetapi, terlepas dari itu semua, Turis Romantis tetap bisa dinikmati. Ada beberapa alasan; salah satunya adalah karena film ini komedi. Di awal, kita bisa melihat bahwa konflik cerita lahir secara komedi, yaitu saat sang ayah jatuh sakit karena terlalu senang menang judi. Sampai akhir, film kemudian secara konsisten terus menjalani dan menutup masalahnya dengan komedi juga. Boleh dibilang, ruh film ini bukanlah dramanya, tapi komedinya. Seakan Senoaji Julius tengah memperlakukan para tokoh dewasa di Turis Romantis sebagai anak-anak yang biasa ada di film pendeknya; tokoh-tokoh yang polos, nyeleneh, dan doyan ngguyu. Ini bisa terlihat saat adegan yang menyertakan tokoh-tokoh penjahat, atau secara spesifik di adegan Azan tiba di gudang untuk menyelamatkan Nabil.

Kita juga bisa menemukan dua cara menghadapi situasi sulit, pertama apa yang diperagakan Nabil, yaitu berupaya sebisa mungkin walau jelas tak mungkin kesampaian; atau seperti ibunya yang berpasrah dan melakukan kegiatan sehari-harinya tanpa beban, seakan tiada hari esok.  Kedua cara menghadapi masalah ini pun diasah lebih jauh. Nabil nyatanya tidak semata-mata ingin membayar hutang; ia juga ingin menyelamatkan ibunya, sembari mengutuk dan berusaha menuntaskan segala pengaruh buruk ayahnya. Sedangkan sang ibu yang tidak berjuang untuk membayar hutang pun bukan sekadar pasrah belaka. Ia cinta dan hormat kepada sang suami yang dahulu berjudi demi istri dan anaknya.

Cara Mengundang Gelak Tawa

Dalam hal cara penyampaian gagasan, mungkin film Turis Romantis adalah kebalikan dari film Mengejar Mas-Mas (2007) besutan Rudy Soedjarwo, yang kebetulan juga berlatar di kota Jogja. Mengejar Mas-Mas membangun konflik dengan penghayatan (drama) yang kuat di awal, yaitu saat adegan Shanaz (Poppy Sovia) menangis habis-habisan di awal film, dan adegan ia bertengkar hebat dengan ibunya (Ira Wibowo); baru setelah itu gagasan film muncul dari pertemuan Shanaz dengan Mas Parno (Dwi Sasono) yang sarat komedi.

Turis Romantis sebaliknya. Di awal, semuanya serba humor. Nabil masih bisa mengejutkan Azan dengan topeng; ibunya masih bisa menggoda Azan yang ia duga calon menantunya; Azan masih jauh dari murka meski diajak ke tempat-tempat tidak penting; tingkah para penjahat masih seperti badut ulangtahun; dan sound effect lucu tidak pernah absen. Tapi humor itu tidak menetap hingga akhir.

Ada dua adegan menangis yang betul-betul dimunculkan tanpa konteks komedi. Adegan itu adalah ketika Azan menangis di makam kakeknya, dan ketika ibunya Nabil menangis di dapur. Untuk adegan ibunya Nabil memang disertakan pula bahwa ia sambil memotong bawang. Namun karena sang ibu mengobrol dulu baru mencari bawang untuk diiris, nampaknya adegan itu tidak dimaksudkan untuk lawakan. Bahkan, mungkin lebih miris dari itu, bawang hanya digunakan oleh sang ibu untuk tetap tampil kuat di depan anaknya.

Singkat kata, gagasan hadir melalui si ibu dan Azan Khan, dengan Nabil sebagai avatar yang menerima pembelajarannya. Nabil belajar dari Azan Khan yang berjuang untuk mencari sang kakek, walau Azan tak pernah bertemu sang kakek, dan walau kakeknya itu lari dari nenek yang ia sayangi. Ini cocok dengan situasinya Nabil yang mana ibunya dia begitu menyayangi sang suami, walaupun  sudah meninggalkan hutang dan gemar berjudi.

Alhasil, kedua poin itu pun menjadi sinkron, dan menyuguhkan gagasan yang asyik. Tak peduli seburuk apapun pribadi kakeknya Azan, atau ayahnya Nabil, selama sang nenek, dan sang ibu mencintainya dengan sungguh-sungguh, maka kedua pria tak bertanggungjawab itu tetap layak diperjuangkan. Bukan karena mendukung pribadi buruk mereka, namun sesederhana rasa percaya terhadap cinta dan keputusannya sang nenek, dan cinta serta keputusannya sang ibu–yang Azan dan Nabil cintai dengan sungguh-sungguh.

Sebab-akibat yang Kurang Lekat

Tak pelak, di tengah segala humor dan gangguan yang disebutkan sebelumnya, Turis Romantis tetap nikmat untuk dicerna. Terlihat ada kesadaran dari pembuatnya untuk memberikan suguhan emosional dan intelektual, yang lebih dari sekadar lelucon dan tawa. Walaupun kemudian rasanya tetap perlu dipertanyakan dari mana datangnya segala gangguan dan kekosongan sebab-akibat pada film. Pasalnya, seusai film, saat ditampilkan take-take yang gagal, terdapat adegan yang penting dalam menggiring narasi, namun hilang di dalam film–lenyap di meja penyuntingan. Adegan itu adalah adegan Azan Khan menginterogasi maling, yang kemungkinan besar membuat Azan mengetahui letak gudang tempat Nabil disekap. Dalam film, Azan hanya tiba-tiba muncul, tanpa keterangan jelas ia tahu dari mana lokasi gudang itu. Namun entahlah, tidak cukup jelas, apakah benar adegan itu bermaksud demikian, hilang ke mana adegan itu, dan siapa yang bertanggungjawab di belakangnya. Lagipula pada dasarnya hal itu tidak terdapat di dalam film.

Dalam filmnya sendiri, sebenarnya ada berbagai upaya untuk membentuk sebab-akibat yang baik—satu hal yang kerap alpa dalam film-film kita. Misalnya ketika Nabil panik karena bertemu mantan bosnya, sehingga ia tak hati-hati dan masuk ke kamar mandi yang rusak, terus basah kuyup; ketika basah kuyupnya itu mengakibatkan kertas rutenya basah (walau tetap bisa dilihat), sehingga Azan meminta pergantian rute; ketika bertambahnya tulisan (tanda) di tembok yang menyatakan barang apa saja yang diambil, untuk menyiratkan konsistensi ucapan si rentenir yang sebelumnya berkata akan mengosongkan rumah mereka; ketika Nabil mengatakan bahwa gudang rahasia si penjahat tidaklah rahasia-rahasia amat; atau ketika Azan bisa ke rumahnya Nabil, sebab sebelumnya ia pernah ke sana saat secara kebetulan bertemu sang ibu di jalan. Upaya-upaya itu terlihat, namun tidaklah cukup, karena masih banyak sekali yang bolong, dan terasa seperti kebetulan yang tak berdasar.

Bila disimpulkan, intinya film ini berjalan dengan gaya komedi Senoaji Julius yang biasa dikenal di film pendek anak-anaknya. Film tetap diperlakukan sebagai media pembelajaran menyenangkan, yang tidak menyertakan terlalu banyak penderitaan, dan jeli dalam memberikan konsekuensi kepada para penjahat; tak peduli itu adalah ayahnya Nabil, bila ia melakukan kejahatan, maka ia harus mendapat konsekuensi. Walaupun tidak ada kebaruan dalam bentuk apapun dan terdapat sejumlah kekosongan sebab-akibat, Turis Romantis tidaklah seburuk cibiran orang-orang yang mencap film negerinya sendiri jelek dan minim riset tanpa benar-benar melakukan riset (dengan menontonnya).

Turis Romantis | 2015 | Durasi: 95 menit | Sutradara: Senoaji Julius | Produksi: Mahaka Pictures & Spectrum Film | Negara: Indonesia | Pemain: Shaheer Sheikh, Kirana Larasati, Mike Lucock, Alby Jufri, Retno Yunitawati, Adi Marsono

https://www.youtube.com/watch?v=Aa6jk111fpk