Artikel ini merupakan terjemahan dari salah satu subbab di buku Film Art: An Introduction, Sixth Edition (hal. 422-425) karya David Bordwell.
Hingga pertengahan tahun 1960-an kondisi industri film Hollywood masih stabil, dengan menghasilkan film-film sukses seperti The Sound of Music (1965) dan Dr. Zhivago (1965). Namun, kondisi itu tak berlangsung lama. Film-film produksi studio besar Hollywood mulai ditinggalkan. Film-film mereka tidak lagi diincar oleh stasiun-stasiun televisi, yang dulunya berani membayar tinggi untuk memutarnya pasca pemutaran bioskop. Jumlah penonton bioskop menurun hingga hanya satu milyar orang per tahun (jumlah yang kurang lebih konstan hingga awal 90-an). Mulai tahun 1969, perusahaan-perusahaan film Hollywood menderita kerugian $200 juta tiap tahunnya.
Akan tetapi para produser Hollywood tidak mau menyerah begitu saja. Salah satu strategi mereka adalah dengan memproduksi film-film yang bertemakan budaya tandingan (counter culture), yang ditujukan bagi generasi muda saat itu. Film yang paling populer dan berpengaruh adalah Easy Rider (1969) yang disutradarai Dennis Hopper dan M*A*S*H (1970) oleh Robert Altman. Akan tetapi selain kedua judul itu, film-film bertemakan sejenis terbukti tidak terlalu populer. Film-film yang menghidupkan kembali industri Hollywood adalah film-film yang memiliki target-pasar yang lebih luas. Contohnya adalah The Godfather (1972) oleh Francis Ford Coppola, The Exorcist (1973) oleh William Friedkin, Jaws (1975) dan Close Encounters of the Third Kind (1977) oleh Steven Spielberg, Halloween (1978) oleh John Carpenter; American Graffiti (1973), Star Wars (1977), dan The Empire Strikes Back (1980) oleh George Lucas. Selain itu, film Obsession yang disutradari Brian de Palma, Taxi Driver dan Raging Bull yang disutradari Martin Scorsese juga mendapat banyak pujian dari para kritikus.
Para sutradara-sutradara muda ini dijuluki movie brats. Mereka tidak lahir dari dalam sistem industri Hollywood, namun dari sekolah-sekolah film: NYU (New York University), USC (University of Southern California), dan UCLA (University of California: Los Angeles). Mereka tidak hanya menguasai mekanisme produksi sebuah film, tapi juga paham mengenai estetika dan sejarah film. Dan tidak seperti para sutradara generasi sebelumnya, para movie brats memiliki pengetahuan yang luas mengenai film dan sutradara-sutradar terkenal, termasuk mereka yang belajar di luar sekolah (otodidak).
Seperti halnya para sutradara New Wave Prancis, para movie brats juga membuat film-film yang sifatnya sangat pribadi bagi mereka. Mereka membuat film seperti film-film yang ada sebelumnya, namun juga mencoba untuk mewarnainya dengan kepribadian atau pengalaman hidup mereka. American Graffiti bukan sekedar film musikal remaja, namun juga refleksi pengalaman masa remaja George Lucas tinggal di California tahun 1960-an. Martin Scorsese membumbui film Mean Street dengan pengalaman masa mudanya di Little Italy. Coppola memberi rasa dan gambaran kentalnya ikatan persaudaran dalam sebuah keluarga Italia dalam The Godfather. Paul Schrader menyalurkan obsesinya pada kekerasan dan seksualitas dalam skenario yang ia tulis, Taxi Driver dan Raging Bull, serta film yang ia sutradarai, seperti Hard Core (1979).
Karena film adalah bagian penting dalam hidup para movie brats, banyak karya mereka yang terinspirasi dari film-film Hollywood yang sudah ada. Psycho menginspirasi de Palma di filmnya Dressed to Kill (1980). Film Howard Hawks yang berjudul Bringing Up Baby menginspirasi Peter Bogdanovich membuat film What’s Up, doc? (1972). John Carpenter terinspirasi film Hawks lainnya, Rio Bravo, ketika membuat film Assault on Precinct 13 (1976), sampai-sampai Carpenter mendedikasikan editing filmnya pada “John T. Chance”, salah satu karakter dalam film itu.
Selain film Hollywood, banyak dari mereka yang juga mengidolakan film-film Eropa, seperti Scorsese yang terpengaruh gaya visual Luchino Visconti dan sutradara Inggris Michael Powell. Beberapa sutradara bercita-cita membuat film-seni rumit bergaya Eropa. Salah satu contoh paling terkenal adalah film Coppola yang berjudul The Conversation (1974), yang memiliki kemiripan dengan film Blow-up (1966) garapan Michaelangelo Antonioni dalam hal kesan ambigu antara realita dan halusinasinya.
Robert Altman dan Woody Allen menuangkan pengaruh film-film Eropa dengan inovasi yang berbeda. Three Women (1977) karya Altman dan Interiors (1978) karya Allen, contohnya, sangat dipengaruhi oleh karya-karya Ingmar Bergman. Allen menghidupkan kembali komedi tata krama (comedy of manner) dalam film Annie Hall (1977), Manhattan (1979), dan Hannah and Her Sisters (1985). Altman, dengan karyanya McCabe and Mrs. Miller (1971) dan The Long Goodbye, memperlihatkan sebuah film yang kasar, padat dengan score, dan pelanggaran konvensi-konvensi dari genre bersangkutan, seperti McCabe & Mrs. Miller yang dikategorikan sebagai anti-western , karena dalam film itu ia melawan aturan genre western tradisional. Dalam film Nashville (1975), Altman membangun plotnya dari pertemuan secara kebetulan antara 12 karakter yang ada, dimana tak satupun ditonjolkan sebagai ‘sang protagonis’. Altman mengeksplorasi modus naratif sepanjang karirnya, yang dipuji diantaranya ialah A Wedding (1978), Short Cuts (1993), dan A Prairie Home Companion (2006). Karena eksplorasinya, multiplot atau plot berjejaring menjadi opsi umum bagi film-film independen, seperti Magnolia (1999), Crash (2005), dan Me and You and Everyone We Know (2005).
Para movie brats terus berkembang menjadi sutradara-sutradara besar. Lucas dan Spielberg menjadi produser yang disegani, bekerja sama dalam seri Indiana Jones dan menghidupkan generasi Hollywood Baru. Coppola gagal mempertahankan studio miliknya, namun ia tetap dinilai sebagai seorang sutradara hebat. Sedangkan reputasi Scorsese terus melonjak, dan pada akhir tahun 1980-an ia adalah sutradara Amerika yang paling dipuja.
Pada tahun 1980-an, generasi baru muncul dan mulai menarik perhatian masyarakat, membentuk Hollywood yang lebih baru lagi. Lucas dan Spielberg tetap memproduksi banyak film-film sukses, namun banyak pula sutradara-sutradara muda yang mulai naik daun: James Cameron (The Terminator, 1984; Terminator 2: Judgement Day, 1991), Tim Burton (Beetlejuice, 1988; Batman, 1989), dan Robert Zemeckis (Back to the Future, 1985; Who Framed Roger Rabbit, 1988). Kebanyakan film-film sukses tahun 1990-an diproduksi oleh dua generasi Hollywood baru ini: Spielberg dengan Jurrasic Park (1993), De Palma dengan Mission: Impossible (1996), Lucas dengan The Phantom Empire (1999), serta Zemeckis dengan Forrest Gump (1994), Cameron dengan Titanic (1997), dan Burton dengan Sleepy Hollow (1999).
Bangkitnya industri film Hollywood juga didorong oleh para pembuat film dari luar Hollywood. Banyak dari mereka yang berasal dari luar negeri—dari Inggris (Tony Scott, Ridley Scott), Australia (Peter Weir, Fred Schepisi), Jerman (Wolfgang Peterson), Belanda (Paul Verhoeven), dan Finlandia (Rennie Harlin). Pada tahun 1990-an, sutradara-sutradara wanita mulai bermunculan dan sukses, seperti Amy Heckerling (Fast Times at Ridgemont High, 1982; Look Who’s Talking, 1990), Martha Coolidge (Valley Girl, 1983; Rambling Rose, 1991), dan Penelope Spheeris (Wayne’s World, 1992).
Beberapa sutradara film independen hijrah ke industri mainstream, memfasilitasi mereka dengan budget yang lebih besar dan pemain-pemain yang terkenal. David Lynch yang dulunya membuat film berbujet rendah seperti Eraserhead (1978) ke film cult klasik, Blue Velvet (1986). David Cronenberg, yang dulunya selalu membuat film horor berbujet rendah seperti Shivers (1975), semakin populer dengan film high-budgetnya, The Dead Zone (1983) dan The Fly (1986) (Keduanya berbudget lebih dari $10 juta). Hollywood Baru juga menyedot beberapa sutradara dari kelompok sosial minoritas, yang dulunya beroperasi secara independen. Wayne Wang adalah sutradara Asia-Amerika yang paling berhasil (Chan is Missing, 1982; Smoke, 1995). Spike Lee (She’s Gotta Have It, 1986; Malcolm X, 1992) membuka jalur bagi sutradara Afrika-Amerika lainnya, seperti Reginald Hudlin (House Party, 1990), John Singleton (Boyz N the Hood, 1991), Mario van Peebles (New Jack City, 1991), dan Hughes bersaudara (Menace II Society, 1993).
Lepas dari itu, beberapa sutradara memutuskan untuk tetap menjadi sutradara film independen. Dalam filmnya Stranger Than Paradise (1984) dan Down by Law (1986), Jim Jarmusch menceritakan beberapa karakter, yang bergerak tanpa arah yang jelas maupun motivasi yang kuat. Allison Anders mengulas tentang kesepian yang dirasakan perempuan jaman sekarang, baik di kota-kecil (Gas Food Lodgin, 1992) ataupun di kota metropolitan (Mi Vida Loca, 1994). Dalam filmnya yang berjudul Just Another Girl on the IRT (1994), Leslie Harris menggambarkan tentang kesulitan-kesulitan yang dialami para wanita kulit ‘berwarna’ yang tinggal di daerah urban.
Mengenai gaya penyajian film, tak ada pergerakan film koheren yang muncul dalam kurun waktu 1970 sampai 1980-an. Kebanyakan para sutradara muda saat itu mengikuti tradisi dari sinema Amerika klasik. Continuity editing (gaya editing yang mengedepankan kehalusan perubahan gambar) tetap merupakan norma, namun dengan perkembangan editing yang lebih maju untuk mengimbangi perkembangan inovasi plot yang ada. Beberapa sutradara mengembangkan cara bertutur Hollywood tradisional dengan teknik visual yang baru, atau dihidupkan kembali. Mulai dari film Jaws, Spielberg selalu menggunakan teknik deep focus, seperti yang dilakukan Orson Welles dalam Citizen Kane. Lucas mengembangkan teknik motion-control, untuk animasi miniatur yang dalam film Star Wars. Perusahaan Lucas, Industrial Light and Magic (ILM), menjadi ujung tombak inovasi teknologi efek visual. Spielberg dan Lucas juga menjadi ujung tombak reformasi menuju penggunaan teknologi suara digital untuk pemutaran film kualitas tinggi di bioskop (THX).
Sedangkan para sutradara yang memiliki modal terbatas menuturkan cerita mereka dengan gaya yang lebih flamboyan. Taxi Driver dan Age of Innocence karya Martin Scorsese menggunakan pergerakan kamera dan slow motion untuk memperkuat efek emosional dari adegan. De Palma lebih ‘blak-blakkan’ cara penyajiannya. Filmnya menggunakan long take, komposisi overhead yang mencolok, dan split screen. Coppola bereksperimen dengan fast-motion black-and-white dalam Rumble Fish (1983), pembicaraan telepon hanya dengan menggunakan foreground dan background dari satu shot (Tucker, 1988), dan efek spesial klasik dalam Bram Stoker’s Dracula (1993).
Beberapa pendatang baru Hollywood lebih memperkaya konvensi tentang genre, modus naratif, dan gaya-penyajian. Sebagai contoh adalah film The Joy Luck Club (1993) yang disutradarai Wayne Wang. Belatar di kehidupan keluarga Tionghoa di Amerika, The Joy Luck Club bercerita bercerita tentang pengalaman pribadi 3 orang ibu dan 4 orang anak mereka. Struktur plotnya akan mengingatkan kita pada struktur plot Citizen Kane. Dalam sebuah pesta minum teh, tiga ibu tersebut mengingat kembali masa lalu mereka masing-masing sebelum tinggal di Amerika. Setelah kilas balik, cerita beralih pada pengalaman anak-anak mereka di Amerika. Hasilnya adalah cerita-cerita kaya akan paralel tematik dan dramatik. Terkadang jukstaposisi antara ibu dan anak menghasilkan kontras yang tajam. Di lain waktu, cerita mereka menyatu menunjukkan adanya kesamaan pengalaman dari tiap generasi. Suara voice over dalam film memberikan informasi terjadinya pengambilalihan cerita oleh tokoh lain, dengan masih memberi kesempatan bagi Wang dan penulis skenarionya untuk menggunakan kilas balik sedemikian rupa, sehingga menghasilkan efek emosional yang lebih kuat.
Usaha yang sama untuk mengembangkan konvensi juga dilakukan sutradara film independen yang lain. Joel dan Ethan Coen melihat setiap film sebagai aturan yang akan dilanggar sebagai upaya mengeksplorasi media film. Dalam Raising Arizona (1987), kombinasi tracking shot yang cepat dengan penggunaan lensa wide angle yang terdistrosi menghasilkan kualitas gambar seperti gambar komik. Pendekatan yang kurang lebih persis dilakukan Gregg Araki dalam filmnya The Living End (1992). Dalam film Trust (1991), Hal Hartley menguatkan penggunaan close up dan komposisi background/foreground yang dinamis untuk medramatisir filmnya.
Para sutradara film independen tahun 1980-an dan 1990-an juga bereksperimen dengan konstruksi naratif. Dalam Barton Fink (1991), Coen-bersaudara beralih dengan sangat halus dari potret Hollywood tahun 1930-an menjadi sebuah dunia fantasi. Quentin Tarantino dalam film Reservoir Dogs (1993) dan Pulp Fiction (1994) mengacak kronologis cerita, yang mengingatkan kita akan flashback kompleks dari film-film 1940-an. Tidak seperti flashback dalam film The Joy Luck Club, perubahan cerita dan waktu dalam film-film ini tidak dimotivasi kenangan dari karakter. Penonton dipaksa untuk memikirkan alasan dari perubahan alur dan waktu itu. Dalam Daughters of the Dust (1991), Julie Dash menggunakan dialek kental bahasa Gullah dan mengeksplorasi skema waktu yang rumit untuk menyatukan/meleburkan waktu masa kini dan masa depan. Dalam satu adegan, efek optik (optical effect) memberikan karakter dalam film sedikit penglihatan mengenai seorang anak kecil yang bahkan belum dilahirkan saat itu.
Tahun 1980-an dan 1990-an, ketika para sutradara baru sedang berusaha mengadaptasi konvensi-konvensi klasik ke dalam bentuk yang lebih modern, industri film independen berkembang secara tak terduga. Pada tahun 2000-an, kedua trend yang ada (industri mainstream dan independen) bergabung. Di saat film-film independen menarik minat lebih banyak penonton, studio-studio besar memborong perusahaan-perusahaan distribusi seperti Miramax dan October Films. Media memberi kesan bahwa Hollywood kalah bersaing film-film independen, namun sesungguhnya studio-studio besar mulai mendominasi perusahaan-perusahaan pemberi akses para penonton pada film-film independen. Sundance Film Festival, dibentuk sebagai sebuah forum film di luar Hollywood, menjadi pasar untuk menemukan talenta-talenta baru oleh studio-studio besar, yang biasanya akan diberikan proyek baginya yang lebih diminati pasar. Karena itu setelah Kevin Smith sukses dengan filmnya, Clerks (2004), ia menyutradarai Mallrats (1995), sebuah komedi untuk Universal. Robert Rodriguez sukses dengan El Mariachi (1992), lalu diminta untuk membuat ulang film itu dengan dibintangi Antonio Banderas dengan judul Desperado (1995).
Namun terkadang bahkan film-film bermodal-besar dari para sutradara film independen ini tetap bersifat eksperimental. Kevin Smith dalam film Dogma (1999) yang dimainkan bintang-bintang terkenal mempertanyakan doktrin agama Katolik. David O. Russell membuat Three Kings (1999), sebuah film aksi yang mengkritisi kebijakan perang Teluk dengan gaya flamboyan dan ala era digital. Semenjak munculnya Pulp Fiction, film-film studio besar mulai serius menggarap bentuk naratif mereka. Film thriller seperti The Sixth Sense (1999) mendorong para penontonnya untuk melihatnya dua kali untuk mengetahui bagaimana narasi telah menipu mereka. Cerita bisa disampaikan dengan flashback yang kompleks, seperti The Limey karya Steven Soderbergh. Sebuah film mungkin menceritakan bagaimana seorang karakter ternyata adalah halusinasi pikirannya (Fight Club, 1999), atau karakter itu bisa masuk ke pikiran karakter yang lain (Being John Malkovich, 1999), atau bahwa dunia ini hanyalah ilusi yang diciptakan sebuah software jenius (The Matrix, 1999) atau seorang novelis (Stranger than Fiction, 2006). Dalam upaya untuk bereksperimen dengan model naratif, studio film Amerika mulai melirik film-film dari belahan dunia lain, seperti Breaking the Waves (1996), Sliding Doors (1998), dan Run Lola Run (1998).
Awal abad baru ini, banyak film terbaik Hollywood yang dibuat oleh generasi terbaru, yakni mereka yang lahir tahun 1960-an dan 1970-an, yang hidup dikelilingi video games dan internet. Seperti generasi sebelum mereka, para sutradara ini membentuk ulang konvensi formal dan style dari sinema klasik, dan juga membuat inovasi mereka lebih bisa diterima penonton yang lebih luas.