
Setelah menyaksikan secara maraton sejumlah film fiksi pendek Indonesia yang diproduksi selama kurun waktu 1984 sampai 2012, pikiran saya terbawa pada sebuah kata: pembangunan. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan pembangunan sebagai “perihal membangun”. Oleh karena itu mesti ada keterangan tambahan, berupa kata benda yang disematkan untuk memperjelas perihal apa yan dimaksud, misalnya pembangunan ekonomi dan pembangunan politik. Ketika istilah “pembangunan” menjadi semacam mantra magis yang memesona rakyat di rezim orde baru, sebetulnya pernahkah kita benar-benar tahu apa yang tengah “negara” (baca: penguasa) bangun? Lantas di mana posisi kita sebagai rakyat pada “perihal membangun” tersebut? Saat modernitas diasosiasikan dengan pembangunan, apakah dengan menjadi (seolah-olah) modern berarti manusia Indonesia telah sukses terbangun?
Salah satu pelopor dunia sinema, Lumière asal Prancis, pernah mengungkapkan bahwa baginya film adalah cerminan dari realitas. Pelopor sinema yang lain, Georges Méliès, menggunakan film untuk “lari” dari kenyataan sehari-hari dan menciptakan realitas yang baru. Kedua pendapat tersebut sekilas nampak kontradiktif, namun saat kita telisik lebih lanjut, sebetulnya itu masih berkutat dengan pertanyaan yang sama dengan bidang-bidang seni yang lain: seni adalah cerminan-tiruan realitas atau perlawanan terhadap realitas? Lantas, apakah mewakili dan melawan realitas menunjukkan bahwa kita tidak dapat lepas dari realitas atau turut andil dalam kelindan dengan realitas? Berangkat dari pandangan tersebut, tulisan ini tidaklah dimaksudkan untuk menguliti perjalanan film fiksi pendek sepanjang renggang waktu 28 tahun, melainkan ditujukan untuk menelisik keberadaan film fiksi pendek sebagai bagian dari cerminan-sekaligus-perlawanan terhadap realitas perjalanan Indonesia.

Perjalanan Indonesia
Gerbong Satu Dua merupakan film perdana dari Garin Nugroho yang diproduksi pada 1984. Menyaksikan Gerbong Satu, Dua, mau tak mau membuat kita membanding-bandingkannya dengan film Hiroshima mon Amour atau Last Year at Marienbad karya Alain Resnais. Penyajian kedua film tersebut memiliki keserupaan, baik dalam tampilan visual yang (konon) “sangat Eropa”, dan terutama pada percakapan antara tokoh utama laki-laki dan perempuan yang mendominasi durasi film.
Mari beralih pada kisah dalam Gerbong Satu Dua. Seorang laki-laki mengejar gerbong kereta api seraya berkata-kata akan kegelisahannya karena tidak lagi mampu memahami realitas. Laki-laki yang gelisah tersebut berkisah pada seorang perempuan, bahwa kenyataan dan mimpi tidaklah pernah sungguh memiliki batasan yang pasti. Bukankah mimpi juga merupakan bagian dari kenyataan? Apakah kenyataan adalah perwujudan dari mimpi? Jika kemakmuran dan kesejahteraan adalah mimpi (baca: cita-cita) berbangsa dan bertanah air ; jika mimpi dianggap sebagai kenyataan; barangkali karena itulah, negara sudah merasa tidak perlu mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan lagi? Jangan-jangan kita berhenti sebatas pada, meminjam pembukaan UUD 1945, “pintu gerbang” kemerdekaan saja? Dan secara paradoksal, mimpi-mimpi yang ada di masyarakat menunjukkan bahwa dalam kenyataan, sebetulnya masyarakat Indonesia belum tiba pada “kemerdekaan” yang dimaksud.
Laju kereta api seumpama percepatan pembangunan yang mesti berlari-lari kita kejar. Sementara itu, dari dalam gerbong sang tokoh perempuan justru dihadapkan pada kenyataan bahwa sebetulnya yang dikejar sang tokoh laki-laki hanyalah gerbong yang “kosong” dan “rusak”. Kemudian melalui gerbong yang sama, yang masih terus melaju, si tokoh perempuan justru mendapati kenyataan yang lain. Rumah-rumah kumuh yang semrawut di pinggiran rel menyempurnakan gambaran mengenai kondisi sosial yang yang menyedihkan. Kedirian perempuan dalam pembangunan di zaman itu juga merupakan ke(tidak)satuan dari potongan-potongan yang ganjil. Atribut impor, misalnya dalam potongan iklan tas dan sepatu, muncul dari sosok si perempuan melalui visual yang terfragmentasi. Namun ketika kedirian perempuan ditampilkan secara utuh, yang muncul adalah sosok perempuan Jawa. Dari jauh kita nampak “Indonesia”, namun ketika kita amati lebih dekat fragmen-fragmennya, rupa-rupanya kita tidak lebih dari diri yang dipenuhi tempelan yang asing dan tidak pada tempatnya.
Dalam Gerbong Satu Dua, tujuan pembangunan disindir sebagai jalanan megah di kota, lengkap dengan gedung-gedung megah di kanan-kiri dan pusat perniagaan. Si tokoh utama laki-laki makin lama makin tidak mampu mengejar laju kereta, ia terseok-seok hingga kemudian berhenti mengejar lajunya. Film ditutup dengan satir mengenai seorang anak yang melangkah dengan arah yang berlawanan dengan laju kereta. Sang anak menghampiri guru, dan meminta gurunya memberikan ujian susulan menyanyikan lagu kebangsaan. Sang anak melakukan “kekeliruan” dengan menyanyikan lirik “Padamu negeri, jangan lupakan kami….“
Kemasan film dan kisah yang disajikan dalam Gerbong Satu Dua membuat saya menduga-duga, jangan-jangan yang selama ini kita klaim sebagai “asli Indonesia” sebetulnya tidak lebih dari “adaptasi setengah hati” yang berkutat hanya pada tingkat permukaan, tampilan, dan kesan? Semacam kedirian yang tak tentu dan ganjil, sama seperti gaya punk asal Inggris yang diusung oleh grup band Melayu asal Indonesia.
Kecurigaan, mungkin juga ketakutan pada pembangunan muncul dalam karya Riri Riza, Sonata Kampung Bata (1992). Film dibuka dengan adegan komidi putar, yang kemudian mengingatkan kita pada film Sjumandjaja Kerikil-kerikil Tajam (1984) yang juga menyindir pembangunan ala orde baru. Komidi putar seolah merepresentasikan mimpi pembangunan zaman itu. Seolah bergerak, padahal hanya memutar di tempat dan tidak beranjak ke mana-mana. Bata sebagai bahan baku penting untuk mendirikan bangunan, rupanya tak serta-merta mengantarkan para warga desa itu merasakan “efek” (baca: kesejahteraan) pembangunan. Ada harga yang mesti dibayar jika hendak menikmati wahana komidi putar itu. Adegan si anak laki-laki yang tidak dapat menikmati wahana komidi putar ditutup dengan manis, saudarinya datang dan membantu memutarkan komidi putar. Barangkali hanya dengan gotong-royong dengan sesama “saudara” kita baru bisa menikmati “komidi putar” itu.
Ada suara lain dalam sayup irama Sonata Kampung Bata. Dalam film ini terbersit semacam kecurigaan, bahwa jangan-jangan peranan perempuan di era Orde Baru hanya sebatas pendorong laju pembangunan. Sedikit menengok ke belakang, pada era orde baru keberadaan perempuan direduksi menjadi peranan “istri”, misalnya dengan kemunculan organisasi bhayangkari dan Pembina Kesejahteraan Keluarga (PKK). Terjadi domestifikasi, perempuan di-rumah-kan, prestasinya “diukur” dari dukungan untuk menyukseskan suami (dan anak), serta aktivitasnya yang dibatasi program-program yang dicanangkan (dan tentu saja turut mensukseskan kepentingan) pemerintah, seperti sepuluh program pokok PKK dan Keluarga Berencana (KB). Jika “istri” saja sudah bernasib demikian, lantas bagaimana dengan nasib perempuan yang bukan “istri”?
Pasca reformasi, “pembangunan” bukan lagi persoalan mantra magis orde baru. Di era ini, pembangunan sudah sukses menjelma menjadi kekuasaan tanpa wajah. Tarik menarik antara mengawetkan tradisi masa lampau dengan tuntutan progresivitas dan kebaruan telah dimenangkan oleh progresivitas-kebaruan itu sendiri. Tentu saja situasi ini didasari, didukung, bahkan kemudian dipergunakan untuk memelihara kelanggengan kapitalisme global. Siapa yang mampu mengalahkan idelogi tanpa-ideologi ini? Satu-satunya tujuan kapitalisme ialah perkara keuntungan. Keawetan barang misalnya, disingkirkan oleh hasrat keranjingan pada kebaruan. Ketradisionalan, kekunoan, dinilai sejauh memiliki “harga” sebagai “barang antik”, atau yang dalam bahasa populer disebut vintage.
Kisah tentang dilema perempuan terkait tarik menarik tradisi dan kebaruan muncul dalam film berjudul Ibu karya Renas Makki (2004). Ibu tua dengan segala atribut tradisionalnya, dipaksa zaman untuk melacur demi bertahan hidup. Atribut tradisional Sang Ibu terasa kontras dengan situasi sosial di tempatnya bekerja dimana orang yang menggunakan jasa Ibu datang dengan sedan mewah, semacam representasi golongan orang kaya baru yang banyak lahir pada zaman pasca reformasi. Sang Ibu menjadi sisa-sisa peninggalan masa lalu, yang seolah dipuja namun sebetulnya dilecehkan. Dalam film Ibu yang dibuat pasca-reformasi, tokoh sang ibu kemudian tidak beranjak dari portret domestifikasi sosok ibu ala Orde Baru.
Dalam khazanah ke-Indonesia-an, tidak sulit mencari penggunaan terma “ibu” dalam frasa sehari-hari, misalnya ibu pertiwi, ibu kota, ibu negara, bahasa ibu, bahkan ibu jari. Coba bandingkan dengan bahasa Inggris yang cenderung menggunakan terma father. Barangkali itu terkait dengan sejarah dan tradisi lokal kita yang menyanjung eksistensi ibu. Ibu analog dengan bumi (falsafah Jawa), atau dengan langit yang menurukan hujan (falsafah Sunda). Feminitas ibu terkait dengan kesuburan sebagai permulaan dari kehidupan. Menyaksikan film Ibu, saya membayangkan tokoh ibu sebagai representasi dari eksistensi ibu pertiwi (baca: Indonesia). Sebagaimana nuansa thriller yang muncul pada bagian akhir film Ibu, sang tokoh ibu digambarkan merasa ketakutan, namun di saat yang sama, ibu tidak sanggup lari dari iming-iming materi dari sosok laki-laki antagonis-kapitalistik. Atribut lokal-tradisional ibu, pada akhirnya hanya menjadi atribut “tempelan” sebagai pemanis produk jualan. Rasa-rasanya, itu tidak jauh berbeda dengan keadaan hari-hari ini. Bukankah kini lokalitas dan budaya khas ibu pertiwi (baca: Indonesia) tidak lebih dari sekedar produk ekonomi kreatif dan eksotisme yang dikomodifikasi?

Barat dan Timur, Kota dan Desa
Mari kita menengok pada simbol yang diidentifikasi sebagai “barat” yakni keberadaan McDonald. Pada tahun 1940 di Amerika Serikat telah lahir apa yang disebut McDonald yang mencetak agen-agen dan waralaba McDonald ke seluruh dunia, termasuk masuknya McDonald ke Indonesia pada tahun 1991. Saat tengah terjadi demostrasi anti-barat, demonstran kerap menduduki resto cepat saji McDonald, meski sebetulnya tidak ada korelasi langsung antara keduanya. Namun demikianlah perlawanan terhadap kekuasaan. Kekuasaan merupakan perkara abstrak, oleh karena itu perlawanan terhadapnya membutuhkan pelampiasan pada sosok konkret yang terakrab. Perlawanan Edwin pada kapitalisme juga mengulang pola yang relatif serupa. Kesinisannya pada kapitalisme demikian kentara dalam film Kara, Anak Sebatang Pohon (2004). Kapitalisme bahkan telah merangsek pada jiwa-jiwa generasi yang konon merupakan penerus bangsa, sesederhana memasukan suwiran ayam ke dalam mulut. Perlawanan tokoh Kara dalam menghabisi Ronald McDonald, digambarkan berakhir dengan penyerahan sukarela Kara terhadap nikmatnya menyeruput minuman bersoda! Edwin seolah-olah hendak mengatakan bahwa perlawanan terhadap kapitalisme merupakan perjuangan tidak seimbang melawan raksasa. Alih-alih merobohkannya, kita tanpa sadar kerap kali malah jatuh menjadi antek-anteknya. Semuanya terasa nihil belaka.
Anganku Tinggi Ke Bawah karya Charles Edward (2011) berupaya meminjam kacamata dua anak remaja di daerah pegunungan Sulawesi untuk melihat apa itu kemajuan dan manifestasinya dalam bentuk kota. Kedua anak tersebut merasakan rasa penasaran terhadap kehidupan perkotaan, sekaligus menghibur diri dengan menertawakan kehidupan perkotaan yang (mungkin) tidak lebih baik dari kehidupan keduanya di daerah pegunungan. Dikotomi kota dan desa yang sering muncul pada film-film panjang Indonesia di tahun 80an, dimunculkan kembali pada film ini. Apa artinya menjadi “kota-an”, sebagai kontras dari istilah peyoratif “kampungan”, bagi kedua anak itu? Dalam salah satu dialognya dikatakan bahwa alam merupakan anugerah untuk semua manusia, oleh karena itu bukanlah sesuatu yang sepatutnya dimonopoli atau dieksploitasi manusia kota. Pertanyaan yang membuat saya penasaran, seberapa besarkah jurang antara kota dan non-kota di Sulawesi? Sebab rasa-rasanya “kota” pada Anganku Tinggi ke Bawah lebih mengacu pada makna konotatif ketimbang denotatif. Situasi ini kurang lebih senada dengan dikotomi barat-timur, yang sebetulnya tidak pertama-tama mengacu pada makna denonatif berupa letak geografis.
Perjalanan tontonan saya berhenti pada film Aku Kudu Piye, Tweeps? (2012) karya Luhki Herwanayogi. Jika membandingkannya dengan film-film sebelumnya, Aku Kudu Piye, Tweeps? terasa paling khusyuk bermain dalam dunia privat. Hanya satu tokoh, yakni seorang remaja, dan hanya satu latar tempat, yakni kamar. Film ini berkutat pada seorang tokoh remaja laki-laki yang demikian keranjingan pada penggunaan teknologi (baca: gadget) hingga menyeretnya dalam persoalan yang mestinya tidak perlu terjadi. Sang tokoh utama hanya berinteraksi dengan gadget-nya, bahkan konflik pun lahir dari sana. Film ini menjadi semacam representasi dari situasi kekinian : kehidupan urban, ruang privat, dunia maya, dan “dilema remeh-temeh” generasi penerus bangsa. “Pencapaian” empat belas tahun reformasi nampak pada kisah ini, yakni pada kenyataan bahwa kita telah demikian terbuai oleh aneka ekses pembangunan dan aneka fasilitas yang ditawarkan pertumbuhan Indonesia pada abad 21. Di zaman ini, konon, teknologi bukan lagi perkara perpanjangan tangan, melainkan sudah menjadi perpanjangan urat-saraf!

Dua Wajah Pembangunan
Pada 8 Agustus 1972, salah satu guru bangsa Indonesia, Soedjatmoko, menyampaikan pidato bertajuk Lingkungan Hidup Manusia, Nilai-nilai, dan Pendidikan, pada Indonesian Unicef Staff Seminar. Soedjatmoko telah mewanti-wanti bangsa kita mengenai paradoks pembangunan. Pembangunan seumpama dua sisi koin. Di satu sisi, ia mutlak diperlukan guna menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran, namun di sisi lain hasil dari pembangunan tersebut justru akan merusak pembangunan yang telah ada, misalnya melalui persoalan lingkungan hidup dan dehumanisasi. Tantangan negara berkembang menjadi lebih pelik dalam perkara pembangunan ini, salah satunya yang berpengaruh adalah jumlah penduduk dan angka pertumbuhan penduduk. Pemikiran Soedjatmoko 42 tahun yang lalu sebetulnya sangatlah relevan dengan Indonesia hari-hari ini, namun jangankan pemikirannya, banyak orang yang bahkan tidak mengetahui sosoknya.
Fokus dan pengagung-agungan pada masa depan telah membuat pembangunan kerap kali abai pada masa lalu (baca: sejarah), padahal tidak ada yang lebih pasti ketimbang masa lalu. Itu sama halnya seperti mengendarai mobil tanpa pernah mau melihat ke spion. Benar-benar berbahaya. Kita kerap kali asal saja menempelkan kebaruan, tanpa sempat memikirkan apakah itu tepat? Sementara sejarah hanya dianggap sebagai ornamen wajib buku pelajaran anak sekolah, namun ironisnya kita tidak pernah sungguh-sungguh “belajar” darinya.
Menyamakan pembangunan fisik (atau material alias nampak dan dapat dicerap indera) sebagai ciri-ciri kemajuan dan kesejahteraanmerupakan sebuah kekeliruan besar. Orde baru telah memulai kekeliruan fatal ini melalui aneka program pembangunannya. Situasi diperparah dengan pembangunan yang bersifat sentralistik, seolah-olah Indonesia hanya perkara pulau Jawa dan terutama Jakarta. Kekeliruan pandangan ini seperti dipelihara bahkan setelah Orde Baru tidak lagi berkuasa. Meskipun pembangunan tidak lagi menjadi terminologi magis penguasa, pembangunan fisik teruslah berlanjut, bahkan semakin masif dan kian lepas kendali. Semuanya atas nama pembangunan ekonomi dan industrialisasi yang konon diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Secara anomali, kita mengasosiasikan kemakmuran bangsa pada pembangunan gedung-gedung pencakar langit, pendirian jalan tol, pusat perbelanjaan mewah, dan kepemilikan barang-barang tersier. Pada tahun 2013, Jakarta bahkan memiliki prestasi “membanggakan” sebagai kota dengan jumlah mall terbanyak di dunia. Kemunculan orang kaya baru, alias naik kelasnya para kaum menengah, kita samakan dengan kesuksesan pembangunan, demikian pula dengan angka-angka yang konon merupakan indikator pembangunan dan indikator laju pertumbuhan ekonomi. Bahkan hingga hari-hari ini, 16 tahun pasca tumbangnya orde baru, pemerintah bisa saja mengklaim angka-angka itu sebagai kesuksesan program pengentasan kemiskinan, meski dalam hidup sehari-hari, kita bisa melihat (bahkan merasakan) betapa beban hidup tak pernah menjadi lebih mudah, dan harga-harga sembako tak pernah menjadi lebih murah. Demikian pula dengan penguasaan teknologi, tentu tidak bisa kita samakan semata-mata dengan banyaknya penggunaan ponsel di masyarakat.
Pasca reformasi, kebebasan dalam kehidupan berdemokrasi disamakan dengan sikap boleh melakukan apapun dan sesukanya. Demokrasi mengakomodasi kebebasan, sekaligus secara paradoksal, mengakomodasi pula pihak-pihak yang anti-demokrasi itu sendiri. Kebebasan tentulah memiliki batasan, sebab jika ia tanpa batasan, maka sebetulnya ia tidak bebas lagi. Di sisi lain, kita demikian berbangga dengan predikat negara demokrasi terbesar dan pujian sebagai negara yang sukses menjalankan demokrasi. Apakah demokrasi hanya semata-mata persoalan pemungutan suara dan kemenangan suara mayoritas seperti ajang pencarian bakat di televisi? Saat kini kita berada pada masa menjelang pemilu pemilihan presiden, mungkin juga dapat kita pertanyakan, sudahkah pesta demokrasi menjadi tanda kematangan kehidupan bernegara dan berbangsa kita? Pesta itu merayakan apa, untuk siapa, oleh siapa? Mungkin kita patut curiga, jangan-jangan demokrasi kita memang sukses, namun hanya sebatas di tingkat prosedural? Perbedaan diselesaikan dengan adu otot, sementara apa yang diyakini sebagai dialog sebetulnya tidak lebih dari, meminjam perkataan Niehls Mulder, dua monolog yang tidak bertemu.

Persimpangan Jalan
Pembangunan tentu adalah bagian dari kebijakan negara, dan saya pun bertanya-tanya, mungkinkah ada pilihan realistis lain bagi negara selain “membangun”? Rasa-rasanya tidak ada jalan lain. Pembangunan fisik tidaklah dapat terhindarkan, jangan-jangan karena yang non-fisik tidak mudah diamati, tidak terukur, dan cenderung spekulatif? Jika sudah demikian, rasa-rasanya ini bukanlah dilema Indonesia saja, melainkan juga merupakan dilema bersama negara-negara di dunia. Saya teringat film Revolutionary Road (2008) karya Sam Mendes yang mengisahkan bagaimana American dream tidaklah seluhur dan seindah kenyataannya. Bagaimana kecukupan material khas kelas menengah tidaklah menjadi jaminan atas ketenteraman hidup.
Kembali meminjam pemikiran Soedjatmoko, pembangunan termasuk pula di dalamnya penggunaan teknologi, mestilah pertama-tama, menjadikan kemanusiaan manusia sebagai tujuannya, sekaligus menempatkan manusia yang menjadi pelindung atas alam semesta. Jika hasil dari pembangunan fisik tidak berbanding lurus dengan pembangunan kemanusiaan, adakah yang salah dengan pembangunan kita?
Corak pemikiran yang, meminjam istilah Martin Heidegger, bersifat rasional-instrumental telah membuat manusia memperalat alam, bahkan sesama manusia. Keberadaan sesuatu hanya dilihat sejauh memberikan manfaat atau keuntungan kepada saya, dan pada dunia yang demikian materialistik, kepemilikan kapital menjadi semacam “tujuan akhir yang luhur”. Corporate Social Responsibility (CSR) yang digadang-gadang dapat kian meluhurkan tujuan akhir tersebut, yang berlandaskan pada prinsip “sudah kaya, berjiwa sosial pula”, terkadang hanya dijalankan setengah hati, dan tentu saja sejauh tidak menganggu-gugat keuntungan para pemilik modal. Tentu menyedihkan saat menjadikan manusia lain dan alam hanya sebatas variabel. Bayangkan saja gedung-gedung pencakar langit dan mall-mall mewah di ibukota, di sela-selanya adalah pemukiman padat nan kumuh. Banjir ibukota seolah-olah menjadi bencana nasional, sementara bencana di luar pulau Jawa, diselesaikan secepat kalimat ‘Medan yang sulit menyulitkan proses evakuasi’, “hanya” karena banjir ibukota telah melumpuhkan berputarnya roda ekonomi.
George Ritzer pada 1993 merilis pemikirannya yang bertajuk The McDonaldization of Society terkait perubahan di masyarakat. Cara kerja restoran cepat saji McDonald rupa-rupanya telah merengsek ke dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Berbagai faktor yang rasional diupayakan dan diterapkan agar tercipta efisiensi, keterukuran, standardisasi, kenyamanan, penguasaan terhadap ketidakpastian, proses yang cepat, dan ongkos yang murah. Akibatnya, kualitas tak lebih penting dari kuantitas, dan ironisnya, faktor-faktor rasional itu justru menyebabkan irasionalitas pada masyarakat: manusia menjadi robot! Situasi semacam ini tentu sangat kentara di negara yang tengah menggenjot dirinya menjadi negara industri seperti Indonesia. Seirasional negara agraris yang terus-terusan mengimpor beras karena lahan pertanian dialihkan menjadi pabrik-pabrik. Seirasional penghematan biaya operasional pabrik, hingga tidak ada sistem pengolahan limbah. Seirasional pembukaan lahan kelapa sawit, hingga jutaan hektar hutan diratakan dengan api. Seirasional konsumerisme sebagai kompensasi dari kerja. Seirasional sistem pendidikan kita yang melahirkan pekerja perhubungan yang bergelar Sarjana Pertanian. Seabsurd gerakan-gerakan membungkuk di restoran cepat saji – pegawai pribumi yang berseru Irassaimashe! pada sesama orang pribumi di Sushi Tei. Seirasional membeli barang hanya karena merek dan citranya!

Pembangunan Manusia Indonesia
Dalam tulisan bertajuk Building, Dwelling, Thinking, Heidegger mengungkapkan bahwa perubahan bahasa telah membuat terminologi membangun (to build) tereduksi dari makna sebenarnya yakni menghuni (to dwell), sebab pada makna awalnya, membangun-terjadi-bersamaan-dengan-menghuni. Orang-orang zaman ini, menyamakan membangun hanya dengan persoalan fisik (to build), akibatnya dalam pemikiran kita, kita harus selalu membangun bangunan fisik dahulu, barulah kemudian dapat menghuni. Padahal menghuni merupakan sebuah keniscayaan, karena kita pertama-tama adalah penghuni bumi. Menghuni mengisyaratkan perasaan homey, betah, adanya keamanan dan kenyamanan, serta adanya harmoni dengan sesama penghuni (manusia dan alam semesta). Hanya manusia yang “memiliki keterikatan batin” (sebagai kontras dari paradigma rasional-instrumental) dengan dunia, yang dapat sungguh-sungguh membangun. Kita tidak dapat membangun, jika masih berpijak pada niat untuk memperalat yang lain. Dengan kata lain, pada membangun, yang non-fisik sama pentingnya, serta mesti hadir bersamaan dengan yang fisik.
Manusia tidaklah menghuni dunia sendirian, alam selalu ada bersama-sama dengan kita, oleh karena itu, manusia mesti menjadi pemeliharanya. Pembangunan, oleh karena itu, harus selalu memikirkan aspek kontinuitas. Masih dalam teks pidatonya pada forum Indonesian Unicef Staff Seminar (1972), Soedjatmoko mengusulkan penerapan kesederhanaan hidup, yakni dengan pola konsumsi yang berada dalam batas-batas sumber daya yang pada kita.Tentu saja memperjuangkan kemanusiaan manusia, bukanlah dalam arti homo mensura yang menjadikan eksistensi dan ketahanan manusia sebagai alasan pembenaran segala hal. Dalam menggunakan sumber daya alam, kita tentu tidak boleh hanya semata-mata memikirkan “kepentingan” manusia.
Mari kita mengalihkan pandangan pada kehidupan kita sehari-hari, sedangkah kita membangun-sekaligus-menghuni Indonesia? Jangan-jangan yang selama ini kita lakukan atas nama pembangunan dan kemajuan sebetulnya tidak membuat kita kian manusia(wi) dan tidak pula menempatkan kita sebagai pelindung alam? Bagaimana dengan apartemen yang iklannya kerap wara-wiri di televisi swasta, yang konon merupakan solusi atas keterbatasan lahan, solusi bagi mereka yang hendak memelihara privasi, dan disinyalir ramah lingkungan? Bagaimana dengan perusahaan air minum kemasan yang konon telah membuat warga di timur Indonesia dapat mengakses air, sementara kawasan pabriknya telah menguasai air sebagai bagian dari “bumi, air, dan kekayaan alam….” (UUD ’45 Pasal 33)? Bagaimana dengan kasus reklamasi Tanjung Benoa Bali demi pembangunan tempat wisata? Bagaimana dengan kasus wabah Tomcat sebagai akibat dari menurun drastisnya populasi burung akibat perburuan liar? Bagaimana dengan tidak terkendalinya jumlah kendaraan bermotor yang kemudian menciptakan kemacetan dan kesemerawutan lalu lintas, dan selanjutnya menyebabkan pemborosan BBM, serta polusi udara dan suara? Bagaimana dengan pembangunan kota yang telah melahirkan pribadi-pribadi yang atomis dan terasing dari tempat hidupnya?
Dalam progresivitas pembangunan ekonomi dan industrialisasi yang bermuara pada persoalan kapital, turbulensi sosial menggejala bersamaan dengan fantasmagoria terhadap aneka kemutakhiran, yang sering kali sebetulnya tak benar-benar kita butuhkan. Bukankah tak semua yang terjadi di masa lalu mesti kita pertahankan, dan tidak semua kebaruan mesti kita terapkan? Tantangan kehidupan tidak lagi berwujud sebagai sesuatu yang menjegal perjalanan kita. Tantangan justru lahir dari buaian dan pemanjaan aneka “kemudahan” dan keterkecukupan. Pembangunan yang secara fisik nampak mewah dan maju, mestilah beriringan dengan pertumbuhan “kedewasaan” (baca: kemanusiaan) manusia yang menghuninya. Saat kita hanya menitikberatkan salah satunya, maka yang terjadi adalah jurang yang kian dalam dan lebar. Belum lagi kesenjangan pembangunan antar-daerah, yang menyebabkan daerah yang kaya makin kaya, sementara yang miskin kian miskin dan tertinggal. Ketika pembangunan hanya menyebabkan alienasi manusia, serta melahirkan perasaan ketidakpedulian dari huniaannya, saat itulah sebetulnya membangun (to build) telah gagal menjadi “pembangunan” (building, dwelling).
Kembali meminjam pemikiran Heidegger dalam Building, Dwelling, Thinking, bangunan hendaklah menjadi seperti jembatan. Dalam metafora pemikiran George Simmel, jembatanlah yang akan menghubungkan dua tebing dengan jurang di antaranya. Keberadaan jembatan tidak menghalangi aliran sungai yang berada di bawahnya, ia justru membuat kita menyadari keberadaan kedua tepian sungai, rerumputan yang berada di sekitar arus sungai, demikian pula dengan makhluk hidup yang berada di sana. Keberadaan jembatan tidaklah menjadi “ancaman” bagi keberlangsungan kehidupan (bahkan ketidakhidupan), ia justru memelihara harmoni kehidupan.
Film-film fiksi pendek yang telah saya saksikan pun telah menjadi jembatan antara realitas perjalanan Indonesia dan saya, dan selanjutnya melalui tulisan ini, saya harapkan mampu pula menjadi jembatan antara realitas-yang-telah-saya-tangkap dengan para pembaca. Akhir kata, selamat membaca, selamat memahami realitas, dan selamat menghuni!
Tulisan ini merupakan hasil pengembangan Kelas Apresiasi Festival Film Solo 2014