Jumbo Menghadirkan Kampung, Membicarakan Selingkarnya

Ketika layar film Jumbo sudah semakin menipis, ketika penonton film animasi ini dinyatakan ditonton lebih dari sepuluh juta, saya baru memutuskan pergi ke bioskop untuk menyaksikan film ini. Tadinya saya enggan, bahkan mengarah untuk tidak mau. Karena bagi saya film ini overrated, terlalu muluk-muluk dipromosikan, terlalu berlebihan disokong.

Kecurigaan saya dilandasi hal sederhana, yakni lingkaran pertemanan dan profesi sang sutradara memang tengah dikenal publik luas. Ya, stand up comedy memang tengah naik daun di Indonesia, menguasai YouTube, mengintervensi televisi, merasuki bioskop, hingga berupaya memasuki sendi lainnya, semisal sosial politik. Jangan tanya soal kompetensi mereka, karena sedikit yang kompeten, sisanya belum tahu.

Prasangka tersebut membuat saya baru menonton film Jumbo pada 27 Mei 2025 di Mall Artha Gading, Jakarta Utara—hampir dua bulan sejak filmnya tayang perdana di bioskop. Jam tayang yang tersedia sudah tidak banyak lagi, dan saya memilih untuk menonton saat petang. Saya tidak ada soal, toh saya tidak memiliki banyak ekspektasi untuk mengubah asumsi saya.

Lantas, tentang apa film ini? Jumbo menceritakan tentang seorang kisah bocah yatim piatu bernama Don (10 tahun) dalam mengarungi kehidupannya. Khas sinetron! Disutradarai oleh Ryan Adriandhy, film ini disisipi dengan ihwal impian hingga harapan; juga persahabatan serta kekeluargaan. Jujur ketika itu, saya belum melihat apa yang spesial dari film tersebut. Toh, film-film Indonesia dalam sepuluh tahun belakangan juga banyak menarasikan ihwal terkait keluarga, persahabatan, dan selingkarnya. Yang menjadi daya tawar, paling-paling karena hanya film ini adalah animasi. Tiada lebih!

Belum lagi, film berdurasi 102 menit ini menggandeng artis Indonesia sebagai pengisi suara, mulai dari Bunga Citra Lestari, Ariel Noah, Cinta Laura, Angga Yunanda, dan lain sebagainya. Alih-alih terkesima, saya cenderung melihatnya bak siasat pemasaran film lazimnya, yakni menggandeng artis yang dikenal publik, agar lebih banyak mendapat penonton. Klasik!

Namun ada yang berbeda setelah saya menyaksikan film garapan Visinema Pictures ini. Asumsi saya seakan luntur bersamaan detik dan menit film berjalan. Namun, alih-alih terkesima dengan animasi yang disusun rapi dan memanjakan mata, saya justru melihat ada sesuatu yang lebih menarik dari yang dihadirkan sang penulis naskah—Ryan Adriandhy dan Widya Arifianti—yang membuat saya berpikir ulang mengapa film ini baik. Lebih lagi, mengapa film ini tidak lagi overrated—paling tidak di mata saya, dan mungkin kamu, jika memulai dengan pandangan yang tak jauh berbeda dengan saya.

Kampung dan Mitos

Don tak lebih dari seorang bocil yang menjadi korban perundungandi tempat ia tinggal. Karena perawakannya yang gemuk, ia diejek “Jumbo”. Akibatnya, ia kerap tak diajak serta ketika bermain, karena bentuk tubuhnya yang membuat ia lebih lambat dalam bergerak, baik ketika bermain kasti, maupun sepak bola. Belum lagi ia dijauhi karena kebiasaannya mendongeng, macam seorang party pooper aliasperusak pesta. Alhasil, film ini berpusat pada persahabatan Don, Nurman, dan Maesaroh atau “Mae”—ditambah dengan sosok hantu penasaran bernama Maria atau “Meri”—dalam menghadapi keadaan tersebut. Jika Anda memerlukan nilai moral, ya, nilai kekeluargaan dan persahabatan berperan sentral, laiknya yang dibahas banyak ulasan atas film ini. Ingin lebih? Film ini menceritakan tentang bagaimana Don membalikkan asumsi teman-teman yang menjauhi dan mengejeknya, jika dongeng yang ia ceritakan—dan dibuat oleh orang tuanya—bukan sebuah tertawaan.

Pasalnya, secara tak terduga, Don memiliki kesempatan baik untuk menampilkan dongengnya di sebuah acara festival desa. Di situlah, cerita dimulai, dari proses dalam mementaskan dongengnya; pertemuan dengan hantu Meri; hingga memiliki misi menyelamatkan keluarga Meri yang telah membantunya pentas. Namun, jangan tanya soal apakah film ini masuk akal atau tidak, karena ini film fiktif, hanya rekaan belaka. Jadi saya tidak berniat mendebat mengapa hantu Meri bisa kembali hidup; mengapa Don berkesempatan mengikuti festival kampung sementara rivalnya, Atta, tidak; apa sumber penghasilan Nenek Don hingga Don bisa hidup sejahtera; bagaimana bisa hutan lokasi adegan kejar-kejaran Don dan kawan-kawan serta bapak kepala desa dekat dengan lokasi festival warga; dan seterusnya. Tak ada habisnya.

Sebaliknya, saya melihat terdapat hal-hal yang lebih dari sekadar rekaan, yang bisa dibicarakan, yakni titik berangkat sutradara dalam memulai film ini. Saya memuji Ryan karena ia berangkat dari hal sekitar. Dari apa yang dialami masyarakat kebanyakan, yang dekat dan dirasakan. Ia tak jauh-jauh mencitrakan Indonesia sebagai yang indah dan kaya. Sebaliknya, ia berangkat dari keadaan lingkungan kebanyakan masyarakat tinggal, tanpa harus bermain-main dengan imajinasi mewah yang dilakukan Disney atau Pixar. Tiada pemandangan bak mooi indie.

Dari situ, ada dua hal yang saya garisbawahi, (1) menghadirkan kampung, dan (2) memunculkan isu pembebasan lahan melalui mitos. Perihal ihwal pertama, kekuatan Jumbo bagi saya adalah ia tidak menyerabut kehidupan masyarakat Indonesia dari akarnya. Dimulai dengan hal sederhana, Jumbo menarasikan lingkungan Don tinggal dan seperti apa lingkungannya dicitrakan. Menurut hemat saya, kampung adalah sesuatu yang penting dihadirkan dalam mengartikulasikan apa itu Indonesia ke khalayak, ke anak-anak. Bukan cuma kemewahan kota, kecakapan teknologi, dan mitos pembangunan yang melelahkan sekaligus menjadikan warga bulan-bulanan. Pun dengan konteks ini, film ini memiliki keuntungan akan dekatnya film dengan penontonnya, yakni sepuluh juta penonton yang mayoritas tentu warga Indonesia. Kita bisa sama-sama membayangkan seberapa banyak keluarga kelas atas yang menontonnya, dan mari kita berhitung siapa sisanya, menengah dan bawah, bukan?

Tidak hanya itu, ia juga menggarisbawahi dan mengartikulasikan keseharian—walau terasa glorifikasi pada era tertentu saja. Di mana dihadirkan keseharian masyarakat, seperti permainan bocah, dari kasti, petak umpet, main lompat karet, hingga bermain tamagochi—yang mungkin jadi terasa jauh dengan bocah gen alpha, tetapi bisa menjadi amunisi nasihat untuk para orang tua kepada anak-anaknya agar kembali bermain outdoor dan mengurangi kuantitas bermain gim daringatau ponsel pintar. Pada konteks yang lain, film ini turut menunjukkan kampung dengan pelbagai aktivitasnya, mulai dari profesi salah satu tokoh bernama Acil, yang adalah tukang servis elektronik—khas negara berkembang; kegiatan gotong royong; perangkat kampung yang jelas, seperti kepala desa hingga hansip; hingga kucing yang dapat hidup bebas di lingkungan bertetangga—maklum di Melbourne tempat saya tinggal, kucing harus terus berada di rumah.

Selain itu, Ryan turut menghadirkan ihwal penting yang sarat dengan kebersamaan, yakni festival kampung—sebagai perayaan dari warga untuk warga. Berkenaan dengan film, festival menjadi ruang Don untuk mementaskan dongengnya, sehingga Don dapat menunjukkan kediriannya, agensinya. Hal ini bagi saya juga rekaan masa kini, di mana konteks festival juga terasa akrab dengan masyarakat Indonesia belakangan, apalagi kuantitas festival tengah banyak-banyaknya dibuat dalam lima tahun ini; entah karena program Indonesiana Kemdikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) dari beberapa tahun lalu, dana abadi dari pemerintah, dana istimewa dari pemerintah daerah—khususnya di Yogyakarta—atau festival yang diusung secara mandiri dan organik dari warga.

Kenapa Kampung?

Kendati demikian, mengapa saya menggarisbawahi narasi kampung menjadi spesial dari film ini? Opini saya ini bertalian dengan tulisan dari Melani Budianta, Smart Kampung: Doing Cultural Studies in the Global South (2019). Dalam tulisan itu, kampung merupakan situs aktif yang Melani tempatkan sebagai narasi tandingan dari apa yang diidamkan pembangunan, yakni smart city. Lewat analisis Melani, kampung yang lazim menjadi bulan-bulanan dari smart city, juga pembangunan, memiliki pengertian lain, di mana ia bukan sekadar penanda administratif dan entitas geografis—atau bahkan cercaan sosiologis—tapi juga menjadi lokus budaya yang hidup dan tumbuh. Ia menjadi ruang berlangsungnya perlawanan dari eksploitasi besar-besaran modernisasi, menjadi laboratorium nilai sosial budaya dari apa yang dinihilkan pembangunan. Alhasil, Melani mengerucutkan ide “smart kampung” sebagai budaya tanding. Melalui kampung, Melani menekankan kolektivitas, kerja-kinerja budaya, etika dan adat tradisi, bahkan ketahanan ekologis. Bahkan, Melani menawarkan cara pandang melihat kampung sebagai sumber alternatif dari modernitas, bukan sebagai penghambat, bahkan musuh.

Atas dasar itu, saya menganggap lokus yang diekspresikan dalam Jumbo masuk arena ini. Maka dari itu, perwujudan kampung dalam film ini tentu menjadi narasi penting, bagaimana masyarakat Indonesia memulainya dari lingkungan terkecil, yang dekat dengan perangai masyarakat kebanyakan. Hal ini otomatis terkait dengan ihwal lain yang saya ingin tatap: isu selingkar di kampung dalam Jumbo, semisal pembebasan lahan. Kampung, warga, dan pembebasan lahan atas nama pembangunan bukan hal baru di Indonesia. Berapa banyak warga yang harus dievakuasi, dipindahkan atas nama pembangunan? Isu-isu pembangunan yang kerap menyergap, mencabut hak warga kampung dan harus mengalah atau dikalahkan atas janji-janji yang berwenang.

Dalam konteks Jumbo, Don, Mae, Nurman, dan Atta ingin menolong Meri dan arwah orang tuanya yang tengah ‘ditangkap’ oleh Kepala Desa. Dianggap menghalangi pembangunan jalan, mereka ‘ditangkap’ agar lahan yang di atasnya terdapat kuburan ketiganya bisa digunakan. Kepala Desa yang telah diburu kepentingan keuntungan dari pembebasan lahan menjadi kalang kabut karena pihak kontraktor semakin memburunya. Akhir dari film ini, ya jelas, kepala desa ditangkap karena ia ternyata banyak melakukan kongkalikong dalam urusan tanah. Film tentu berakhir happy ending, pentas dapat terus dilakukan, Meri selamat dari genggaman Kepala Desa, dan lahan pun tetap terjaga.

Walaupun begitu, cerita ini mendapat kontra dari banyak penonton yang menyuarakannya di media sosial, mulai dari ihwal bertolak belakang dengan kaidah agama, membuat anak percaya takhayul juga syirik, hingga cerita pembebasan lahan yang dianggap berat untuk penonton anak-anak. Namun menurut saya, film ini justru berhasil membawakan isu—yang dianggap berat—ini ke logika anak-anak. Fokus ceritanya adalah menyelamatkan Meri dan keluarganya, sementara pembebasan lahan menjadi konteks di belakangnya. Hal ini tentu mengingatkan saya dengan bagaimana mitos ditempelkan pada sebuah hal atau tempat. Sesederhana ketika kecil saya tidak boleh main ke luar rumah di kala maghrib karena nanti akan diculik hantu, semisal kolong wewe atau wewe gombel di Jawa, hantu kopek di tradisi Melayu, phi tai hong di Thailand, dan seterusnya.

Bagi sebagian orang tentu itu tidak mendidik karena berisikan ancaman, tetapi banyak analisis turut menjelaskan hal tersebut. Semisal jika Anda menganut paham Durkheimian—pikiran-pikiran Émile Durkheim—maka mitos memiliki fungsi sebagai alat kontrol sosial. Hantu digunakan orang tua sebagai perangkat aturan waktu untuk si anak, mendaulat rumah sebagai ruang aman ketika malam, dan seterusnya. Jika Anda mendebat dengan pola asuh Barat yang menjelaskan keluar malam dengan logika, apakah bukannya Anda memaksakan logika Anda ke anak-anak? Singkat kata, saya percaya pola asuh di bumi bagian selatan memang memiliki caranya sendiri—yang tidak langsung mendakwa ini salah atau benar, tetapi menggunakan perumpamaan bahkan pikiran sederhana.

Atas dasar itu, saya menganggap, jangan-jangan memang modus operandi mitos ini juga yang menjadi cara anak memahami sesuatu. Dalam film Jumbo, untuk memahami konteks sosial yang lebih besar, jangan-jangan memang tugas Meri adalah mengantarkan anak-anak pada realitas dengan cara playful, sesederhana aku ingin menyelamatkan Meri, namun ‘satu dayung dua pulau’, lahan tetap kita miliki. Ini tentu menarik, tidak hanya menjadi kisah, tetapi sebagai tindak tanduk antropologis.

Kendati demikian, saya tidak yakin Ryan ingin membuka simpul ini lebih jauh, tetapi dari film ini, simpul ini bisa jadi medium kita membayangkan bagaimana jika kita tinggal di kampung, dan kawasan kita diambil, sementara mitos hantu dan makhluk gaib sudah tidak lagi relevan. Jika yang Ada hanya akal sehat dan narasi logis, ke mana kita harus pergi lantas? Jika Meri dihilangkan dari film, di mana kreativitas anak-anak yang tak terbatas distimulasi dan dilatih? Bagaimana menerjemahkan lahan yang ingin dikuasai kepala desa kepada anak-anak tanpa adanya Meri? Soal bagaimana masuk akal atau tidak di mata orang dewasa, biarkan anak memiliki dunianya sendiri, mengartikannya, memahami dengan cara pandang mereka. Sesederhana, jika anak-anak menggemari film ini dan menyukai salah satu karakternya saja, saya pikir kita yang lebih dewasa perlu belajar darinya.