Meiske Taurisia—akrab dipanggil Dede oleh sobat dan kerabat—awalnya tidak terpikir menjadi produser film. Ia lulus dengan latar belakang pendidikan arsitektur dan desain tekstil. Ia lama bekerja sebagai desainer interior di Bandung dan Jakarta, sampai akhirnya singgah ke Belanda untuk studi master tentang strategi desain dan busana. Pengalaman pertamanya di dunia film juga tidak jauh-jauh dari bidang studinya, sebagai penata busana di sejumlah film panjang Indonesia. Beberapa di antaranya: Garasi (2006), 3 Hari untuk Selamanya (2006), D’Bijis (2007), The Photograph (2007).
Kariernya berubah jelang produksi Babi Buta yang Ingin Terbang (2008). “Edwin sudah punya naskah, saya sudah baca, tapi dia belum punya produser,” cerita Meiske sambil tertawa, “tiba-tiba dia sama Sidi [Saleh] celetuk begitu saja, kalau lo aja yang jadi produser bagaimana?” Momen itu menjadi kali pertama Meiske mendalami peran produser film. Ia mengaku banyak belajar dari Nan Achnas dan Mira Lesmana, yang ia perhatikan sewaktu berkeja untuk kedua sineas berpengalaman tersebut. Momen itu juga menandai berdirinya babibutafilm, kolektif kreatif yang sampai dengan tulisan ini dibuat telah menghasilkan empat film panjang dan enam film pendek.
Peredaran karya-karya babibutafilm bergantung pada layar-layar alternatif, salah satunya festival film. Tak ada satu pun, kecuali Belkibolang (2010), yang masuk bioskop. Babi Buta yang Ingin Terbang aktif beredar di sirkuit festival dunia, sempat menang FIPRESCI Prize di Rotterdam International Film Festival 2009. Begitu juga Postcards from the Zoo pada 2012, yang dalam perjalanannya menjadi film pertama Indonesia yang berkompetisi di Berlinale. Tahun ini, The Fox Exploits the Tiger’s Might masuk seleksi Cannes Film Festival dalam program Critics’ Week. Di Indonesia, film pendek Lucky Kuswandi itu bersama Kisah Cinta yang Asu karya Yosep Anggi Noen dan Sendiri Diana Sendiri karya Kamila Andini tayang beberapa minggu di Kineforum DKJ—dengan rencana pemutaran lanjutan di layar-layar alternatif milik komunitas. Adapun Trip to the Wound (Edwin, 2007); Hullahoop Soundings (Edwin, 2008); Someone’s Wife in the Boat of Someone’s Husband (Edwin, 2013); dan Rocket Rain (Anggun Priambodo, 2014) sudah singgah di berbagai festival film, baik nasional maupun internasional.
Meiske ingin lebih dalam mengulik dimensi ekonomi dari industri film—sembari tentunya melakoni dan menyiapkan sejumlah produksi film. Tahun lalu ia menuntaskan riset API Fellowship tentang pendanaan film di Jepang, Thailand, dan Indonesia. Tahun ini ia kembali ke bangku kuliah, ke Universitas Indonesia pada program Magister Perencanaan & Kebijakan Publik. Di sela-sela kerutinannya ini, Meiske bercerita pada Cinema Poetica tentang sekelumit pekerjaannya sebagai produser, film-film yang ia buat, dan kenapa Indonesia darurat layar alternatif.
Kenapa tidak pernah produksi film untuk bioskop?
Sebenarnya kita mau. Tapi, ibarat bikin baju, jualnya di department store yang besar atau di distro yang kecil-kecilan. Kalau di film, pilihannya apa toko itu? Bioskop kan? Mungkin yang harus orang-orang tahu, yang disebut bioskop nggak cuma yang sebesar itu. Kineforum juga bioskop kan? Tapi pengetahuan orang tentang keragaman bentuk bioskop, tentang keragaman layar, ada nggak? Siapa sih yang nggak mau filmnya masuk bioskop? Pertanyaannya, di sini ada nggak variasi layar?
Layar yang beda sendiri cuma Kineforum, itu juga cuma satu yang kaya begitu. Begitu gue ngomong bioskop, semua orang ngebayanginnya 21. Gue nggak bisa masuk 21. Film gue itu bukan film yang sekali tayang dan penontonnya banyak. Lo nggak akan nemu baju yang sama di department store dan di distro. Pasarnya beda, kreativitas pembuatnya beda. Kita harus bisa ngeliat produk apapun yang kita buat, pasarnya seperti apa. Gue memang nggak bisa masuk ke 21, karena gue nggak perlu retail sebesar 21. Gue hanya perlu Kineforum yang banyak. Dan di sini nggak ada. Mungkin kalau ada dua puluh Kineforum di Indonesia, gue akan masuk ke dua puluh kineforum itu.
Apa yang mbak cari dari ekshibisi lewat layar alternatif?
Audiensnya. Audiens yang memang suka film-film yang tayang di eksebisi skala kecil. Dengan spesialisasi yang bermacam-macam. Pasar gue bukan pasar yang besar. Tapi bukan berarti niche market itu nggak penting. Niche market perlu, karena kesukaan orang terhadap film beda-beda.
Lalu keuntungannya?
Keuntungan juga beda-beda. Gue suka nonton film-film yang menantang, baik pengetahuan maupun perasaan gue. Saat gue ingin menonton film-film itu, di sini nggak terlalu banyak. Akhirnya gue memutuskan kalau mau menonton film-film seperti itu, ya gue bikin aja.
Gue rasa itu semua harus mulai dari pembuatnya. Konsekuensinya: produksi lebih susah. Timbal balik yang gue dapat juga tidak dalam bentuk duit, tapi lebih ke kontribusi bagi keragaman film Indonesia. Itu sudah cukup. Selama gue masih bisa hidup, itu cukup.
Bukankah risikonya besar membuat film niche? Bagaimana pendanaannya?
Produk besar maupun produk kecil ya sama susahnya sama. besar punya kesulitan dituntut untuk menjaring penonton yang banyak. Di gue kesulitannya adalah mencari orang yang mau terlibat dengan film niche. Di film yang besar mungkin ada yang mau, karena hitungan bisnisnya jelas.
Kalau di film gue, gue nggak bisa menjanjikan penghasilan, berarti kan harus berpikir bagaimana siasatnya untuk menemukan orang yang mau. Kalau nggak ada, ya gue harus cari hibah. Hibah tidak menuntut gue untuk mengembalikan uang, tapi mereka menuntut gue untuk bikin film yang bagus. Jadi tanggung jawab gue adalah memastikan film yang gue bikin berkontribusi lewat konteks, misalnya, film yang mengandung inovasi. Jadi mau bikin film besar atau kecil, semua punya kesulitannya masing-masing. Itu pilihan aja. Menurut gue kita nggak perlu komplain.
Film yang dananya dari hibah tentu harus memenuhi sejumlah standar, salah satunya standar estetis. Sebagai produser, mbak terlibat sejauh apa dalam proses kreatif dan proses produksi untuk memastikan filmnya jadi sesuai standar yang disyaratkan?
Kalau mau bikin film bagus, pegangan gue adalah sutradara. Itu yang paling penting buat gue. Sutradara harus punya visi terhadap film-film yang beragam. Tanggungjawab kreatif suatu film ada di pundak sutradara. Dari pilihan sutradara itu, gue bisa memastikan hasilnya akan bagus, hasilnya menjadi film menantang seperti yang gue bayangkan. Gue mungkin nggak akan terlalu tahu detail seperti shot atau adegan. Itulah kepercayaan gue terhadap sutradara. Gue mau sutradara yang berani dan punya keunikan. Ide harus datang dari mereka.
Orang berpikir bahwa gue sama sekali nggak terlibat. Tentunya saat kita bikin kan ngobrol. Kalau nggak ngobrol, apa dong kerjaan gue? Dari ngobrol kita jadi paham maksud masing-masing, jadi paham juga akan seperti apa nanti filmnya. Ini sama sekali bukan urusan gue dengan sutradara. Ini tentang filmnya, dan bagaimana film ini bisa jadi bagus, beragam, dan menantang untuk konteks film tersebut. Karena kalau gue mengharapkan keragaman dari film tapi gue yang mengarahkan, nggak beragam dong jadinya? Kalau gue yang memaksakan, kenapa nggak gue aja yang jadi sutradara? Ketika sutradara menyodorkan ide yang mengejutkan, buat gue itu menyenangkan.
Semua produser pasti terlibat langsung dengan filmnya, ngobrol dengan sutradara. Masalah ikut syuting, turun lapangan atau tidak, itu tergantung masing-masing. Gue ikut syuting semua film babibutafilm, kecuali Sendiri Diana Sendiri dan Kisah Cinta Yang Asu karena gue di Bangkok. Tapi tentunya selama proses, kami membahas dan kami sama-sama tahu kita suka film yang seperti itu. Ide datang dari sutradara nggak masalah buat gue. Gue udah lepas semua ego gue, gue tidak pernah merasa tersaingi. Karena agenda gue jelas, gue memang mau lihat apa yang dibikin oleh sutradara. Sesuatu yang mungkin baru, mengejutkan, dan menantang buat gue. Untuk itu gue harus berani, dan untuk berani, gue harus kenal baik dengan sutradara.
Kesuksesan film yang tayang di bioskop bisa dan biasanya diukur dari jumlah penonton. Kalau mbak sendiri yang filmnya tidak tayang di bioskop, bagaimana mengukur kesuksesan?
Kesuksesan yang paling penting adalah pembuatnya happy. Pembuat puas dengan apa yang dibikin. Gue percaya nggak gue sendiri kok yang suka model film-film yang gue buat. Ini cuma masalah ngumpulin orang yang sukanya sama untuk bisa mengapresiasi itu. Bahwa jumlah orangnya sedikit, itu nggak masalah. Tapi bahwa apa yang kita buat ada orang yang apresiasi, itu udah berhasil buat gue.
Awal bikin Babi Buta Yang Ingin Terbang, kita sempat ngobrol, mau yang dateng nonton filmnya cuma dua orang juga nggak masalah. Karena berarti udah ada dua orang lagi yang cukup mengapresiasi film ini. Bahwa film ini nggak diterima dalam waktu satu hari, sepuluh hari, satu bulan, dua bulan, atau seperti sekarang, gue masih tetap muter Babi Buta Yang Ingin Terbang setelah tujuh tahun, ya tidak apa-apa. Bahwa penontonnya gue total mungkin sekitar 1000-1500 selama tujuh tahun, ya tidak apa-apa. Tidak harus semuanya besar dalam waktu cepat.
Karena kita sama-sama percaya apa yang kita bikin ini memang bagus. Memang bagus itu sangat subjektif, tapi kita percaya kok ada inovasi yang kita bikin saat kita membuat film yang jujur. Gue kerja bareng Edwin sama gue kerja bareng Yosep Anggi Noen itu beda sekali. Saat kita bisa membuat variasi-variasi itu, itu sudah jadi indikator keberhasilan. Bahwa setelah itu filmnya masuk festival menurut gue itu bonus dan memperlihatkan filmnya bisa diterima di pasar internasional. Itu bisa jadi salah satu indikator tambahan.
Apakah semua film yang diproduksi babibutafilm diusahakan masuk festival?
Iya, kita selalu usahakan dan submit. Sekarang kalau mau ngomongin festival film, gue tanya balik ke orang-orang deh. Apa tujuannya bikin festival film walaupun sudah ada bioskop?
Untuk memutar film-film alternatif?
Gue punya agenda untuk buat film-film yang variatif, yang alternatif. Pada akhirnya kalau film yang gue bikin hanya diputar di festival, itu adalah konsekuensi yang wajar. Market gue adalah orang-orang yang ikut festival, karena mereka mencari film yang beragam tadi. Karena itu gue selalu memasukkan film gue ke festival. Karena mereka target market gue.
Adakah sikap politik dari babibutafilm yang ingin dituturkan lewat film-film kalian?
Gue nggak tahu soal politik ya. Pastinya, saat pertama kali bikin Babi Buta yang Ingin Terbang, gue, Edwin, Sidi [Saleh], Iponk [Wahyu Tri Purnomo] pernah bareng-bareng bikin buku kecil. Isinya apa sih film itu buat kami masing-masing. Buat gue, film itu dokumentasi kehidupan—menceritakan tentang apa yang kita alami dan rasakan. Bahwa yang kita pilih adalah sisi kemanusiaan yang misalnya mengandung SARA, yang tabu, itu kan cuma sebagian kecil dari begitu banyak spektrum kemanusiaan. Kebetulan kami memang memilih hal-hal yang dianggap SARA, yang mepet-mepet ke isu itu. Tapi kembali lagi ke konsep yang ingin membuat film dengan keragaman, ini cuma masalah memilih spektrum kemanusiaan.
Gue cukup sering ke komunitas. Ada obrolan yang membekas dari teman-teman yang di luar Jawa. Gue tanya sama mereka kenapa nggak bikin film yang kontroversial, tapi bagi mereka yang di daerah untuk membuat film aja udah susah banget. Untuk bisa filmnya tayang di Jakarta, itu kesulitan lagi. Jadi saat mereka bikin film, mereka sudah memikirkan supaya bikin film yang bisa diputar di Jakarta. Kalau untuk tayang harus bikin film yang cukup aman, akhirnya itu yang jadi motivasi mereka untuk membuat film. Dari membuat naskah pun mereka sudah mempraktekkan sensor, self censorship.
Gue sedih banget mendengar itu. Karena kita ini filmmaker, yang konon kerjaannya bercerita, bercerita apa yang kita lihat dan rasakan. Tapi kalau saat membuat film saja sudah menyensor hasil observasi kita sehari-hari, terus apa yang didokumentasikan? Menurut gue itu jadi satu esensi yang sangat penting.
Gue percaya film itu adalah produk pengetahuan dan budaya. Produk pengetahuan itu artinya ada kaedah yang dipelajari sebagai ilmu pengetahuan. Tandanya kita perlu belajar sesuatu sehingga bisa membuat film, walaupun tidak baku harus sekolah film. Tapi gue cukup banyak nonton dan punya background seni, akhirnya sedikit banyak sudah membentuk persepsi gue terhadap kebudayaan.
Gue melihat film sebagai medium ekspresi. Biarkanlah film bercerita apa yang mau diekspresikan oleh pembuat film. Di titik itu, film juga menjadi produk budaya karena film merekam apa yang dilihat pada suatu masa. Film dari tahun 30an sampai sekarang beda-beda, karena problem di zaman itu beda dengan zaman sekarang. Lewat film kita bisa membaca apa yang menjadi problem di tahun itu dan kenapa orang bersikap seperti itu. Bayangkan saat tiba-tiba pembuat film membatasi. Apa yang dicatat kalau begitu? Gue nggak kebayang kalau film sekarang sampai dua puluh tahun ke depan sama terus. Zaman terus berubah kan. Filmnya juga harus terus berubah, terus beragam. Itu yang gue cari dari film.
Tadi mbak bilang film adalah medium ekspresi, bercerita tentang apa yang mau diekspresikan pembuat film. Apakah ini artinya mbak bikin film untuk diri sendiri?
Permulaannya bisa dari sana. Gue percaya memang sebaiknya dari sana. Kita harus percaya dulu dengan prinsip kita. Tapi bukan berarti film itu hanya melayani gue. Kalau gitu gue nggak perlu screening dong?
Gue mau memberikan film itu bagi publik. Tapi publik kan macam-macam, ada yang suka ada yang tidak, ada yang cocok ada yang tidak. Tidak apa-apa. Kita ketemu kok penonton film-film yang alternatif itu. Masalahnya, kalau dibandingkan dengan di luar negeri yang ada banyak layar alternatif atau arthouse cinema, di Indonesia tidak ada. Dengan arthouse cinema, kita tidak perlu susah-susah mencari. Kalau di Indonesia gue yang harus mencari dengan mengadakan screening, gue kerjasama bareng komunitas. Sehingga orang-orang yang suka film alternatif ini bisa datang.
Jangan berpikir bikin film itu masalah persaingan. Yang sering dibahas di publik akhirnya jangan dipikir bahwa semua pembuat filmnya ingin punya pasar yang besar. Nggak gitu. Nggak semua film bisa seperti itu. Semua punya seninya masing-masing, punya tujuan beda-beda. Itu yang menurut gue penting dipahami semua orang.
Seperti yang gue bilang tadi, di luar negeri banyak layar alternatif, banyak arthouse cinema. Di Indonesia cuma ada satu layar alternatif yang bisa dibilang permanen, ya Kineforum itu. Itu juga cuma satu, di Jakarta. Indonesia butuh layar alternatif, butuh sekali. Ada juga kegiatan pemutaran atau layar-layar bentukan komunitas, yang jumlahnya tidak sedikit di Indonesia. Menurut gue, komunitas itu calon arthouse cinema.
Tapi kan komunitas tidak pasti. Bulan ini bisa ada, bulan depan bisa tidak ada.
Apa sih yang pasti di hidup ini? Menurut gue itu yang membentuk attitude kita. Lo nggak mungkin mengharapkan arthouse cinema tiba-tiba ada, mengharapkan layar alternatif tiba-tiba banyak di Indonesia. Orang mungkin belum tahu bisnisnya arthouse cinema bagaimana. Ketidakpastian ini jadi tugas kita semua, bagaimana membuat ini lebih pasti. Bahwa itu perlu waktu, ya jelas, dan itu di tataran rel yang berbeda. Masalahnya ada nggak yang mikirin itu? Sedikit sekali. Jadi jangan mengharapkan dalam waktu dekat arthouse cinema ada.
Kalau begitu, sebagai produser film-film yang niche, bagaimana mbak melihat industri film di Indonesia?
Memang tidak bisa dipungkiri bioskop sinepleks macam 21, blitzmegaplex, Cinemaxx, dan Platinum terlalu dominan. Jumlah layar-layar alternatif kita memang masih terlalu sedikit—yang sudah ada itu pun tidak semuanya permanen. Persaingannya jadi nggak ada, pilihan film buat publik juga jadi terbatas. Jadi gue berharap banget suatu hari nanti akan ada banyak arthouse cinema. Gue siap jadi pasiennya. Gue yang akan ngantri untuk muterin film-film gue. Tapi struktur itu kan nggak ada.
Itu kita ngomongin dari sisi toko. Jadi kita jangan hanya membahas film sebagai karya saja. Kita juga perlu tahu perfilman itu butuh instrumen apa saja. Ada rumah produksi yang memproduksi film, terus ada bioskop yang mempertujukkan film. Kita sudah punya dua, nah film itu posisinya di mana? Antara produksi dan eksebisi kan? Pertanyaannya di Indonesia kita punya distributor film tidak? Nggak ada kan?
Kalau kita lihat, struktur pasarnya cuma ada sinepleks tadi. Kalau kita belah lagi dalam sinepleks-sinepleks itu, persaingannya pun tidak sehat, karena ada yang punya kekuatan besar sekali. Saat bioskop sudah sebesar itu, distributor tidak akan ada karena toh pasarnya cuma satu. Saat kita ngomongin ada satu yang besar banget, distributor jadi tidak punyai fungsi. Distributor hanya akan jualan ke tempat yang sama. Itu logika ekonomi. Akhirnya dengan kondisi yang seperti itu, produser film menjual langsung ke bioskop.
Konsekuensi dari tidak adanya distributor, tidak ada yang mendanai dan menjamin pembuat film. Ketika misalnya ada sepuluh produser, distributor pasti ingin dapat untung dari mendistribusikan film tersebut. Distributor memastikan agar mendapat film-film yang bagus dari produser. Untuk memastikan produser mau memberikan filmnya, distributor harus memberi jaminan. Itu yang kita sebut dengan pre-sale. Distributor berani memberi uang ke produser untuk mendanai film. Artinya, distributor adalah institusi finansial dalam ekosistem film. Saat distributor tidak ada, akhirnya tidak ada yang menjamin keuangan para produser. Akibatnya setiap produser harus cari uang masing-masing dan menjual langsung filmnya ke bioskop. Produser di Indonesia itu kerjanya double gila-gilaan, dari cari duit sampai jualan.
Lebih pilih ada distributor atau tanpa distributor seperti sekarang?
Kita nggak bisa berharap sesederhana itu. Atau mungkin gue saja yang terlalu realistis. Chain atau toko kita tidak bertambah. Bertambah itu bukan cuma sekadar ada bioskop lain di luar 21, bukan cuma blitzmegaplex atau Cinemaxx, tapi juga soal kuat nggak menghadapi persaingan dengan 21? Kalau nggak cukup seimbang, distributor tidak akan jalan. Kita memang perlu persaingan bisnis bioskop yang lebih sehat. Saat ini kentara sekali siapa yang mendominasi.
Apakah karena itu mbak jadi riset dan studi tentang industri film?
Gue memang sedang penasaran banget tentang industri film. Gue percaya kita perlu menjaga keingintahuan dan prinsip kita. Di satu sisi perlu tegas, di sisi lain juga fleksibel. Menurut gue kualitas itu perlu untuk kerjaan di bidang film. Lo perlu stamina untuk bisa terus. Gue sekolah karena gue merasa ada yang gue nggak tahu, gue sekolah karena gue ingin tahu.
Mulai 2013, gue tertarik mengamati dan mencari tahu tentang pendanaan film di luar. Gue penasaran bagaimana orang-orang di luar bisa punya funding. Karena itu pada tahun 2013 gue memutuskan melakukan riset tentang film financing. Gue dapet grant dari Jepang. Gue riset selama enam bulan di Tokyo, lalu enam bulan lagi di Bangkok. Dari situ gue belajar banyak banget.
Dua negara ini kebetulan tidak banyak funding juga. Makanya banyak yang tanya juga ke gue, “Lo mau riset tentang film financing ke negara-negara yang sebenarnya tidak punya funding?” Gue sengaja memilih seperti itu karena kalau gue risetnya ke Prancis atau Korea Selatan mungkin gue akan stress karena mereka punya industri yang bagus banget, punya funding untuk sineas lokal mereka.
Tapi mereka punya itu juga karena sudah dilengkapi dengan berbagai macam instrumen dari pemerintahnya. Di Korea Selatan ada KOFIC, di Prancis ada CNC—dua instuitusi yang memang full memikirkan film. Kita belum bisa adaptasi apa yang mereka sudah lakukan. Negaranya berbeda, strukturnya berbeda, instrumen pemerintahnya berbeda, pola pikir orangnya berbeda. Kita nggak bisa menerapkan kebijakan dan strategi perfilman mereka begitu saja. Gue dateng ke negara yang nggak ajeg siklus modalnya, gue melihat kalau keberlangsungan finansial mereka tinggi juga ya, sampai mereka bisa melakukan apa yang sudah mereka lakukan sejauh ini. Justru setelah riset satu tahun itu yang membuat gue berpikir gue mau tahu lebih lanjut tentang negara gue, gue putuskanlah untuk sekolah lagi.
Setelah melihat perbandingan dari negara lain, apa harapannya ke depan bagi pemerintah dan publik Indonesia?
Di Jepang itu berbeda dengan Eropa. Gue kebetulan sempat tinggal di Belanda dua tahun, jadi tahu sedikit banyak perfilmannya seperti apa. Di Belanda atau Eropa, ada arthouse cinema dan biasanya dikelola negara dan pemerintah daerahnya. Di Jepang, Tokyo, punya arthouse cinema yang namanya mini-theaters, cukup banyak dan dikelola oleh swasta. Dan mereka bisa hidup.
Menurut gue itu gila. Mereka berjuang luar biasa untuk bisa tetap bertahan. Orang Eropa punya kesadaran budaya lebih tinggi, oleh karena itu pemerintahnya mengalokasikan dana tertentu untuk menghidupkan arthouse cinema, menghidupkan film-film alternatif. Ada kesadaran itu.
Di Jepang ketika kita melihat arthouse cinema juga bisa dikelola secara swasta, artinya pemerintah tidak perlu merasa cukup mendukung film alternatif. Swasta dibiarkan semua. Antara sinepleks dan mini-theater, keduanya bersaing bebas. Tapi kita bisa lihat filmnya memang beda-beda. Mini-theater hidup dari film yang alternatif tersebut. Dari situ terlihat betapa struktur negaranya beda dan itu akhirnya menentukan akhirnya apakah mereka mau terlibat atau tidak dalam sektor film yang mengedepankan keragaman.
Ketika ditarik lebih makro lagi, artinya pemerintah Jepang tidak mau terlalu terlibat dalam budaya. Ya biarkan saja semua itu swasta. Mereka susah payah, berat banget operasional bioskop sekarang ini, apalagi setelah transisi ke teknologi DCP. Biayanya besar. Mereka akhirnya minta bantuan ke pemerintah untuk soft loan.
Di Bangkok, ada dua bioskop alternatif, masing-masing tiga studio. Kondisi Thailand kurang lebih sama seperti kita, nggak punya funding dan arthouse cinema sedikit. Di sektor komersilnya, Thailand terbagi jadi lima wilayah, Mereka ada distrubutor karena kesepakatan mereka untuk membagi saat film itu keluar dari Bangkok—mereka harus bekerja sama dengan bioskop lokal masing-masing. Artinya tidak ada satu kepemilikan atau chain yang menguasai seluruh Thailand. Tidak ada yang dominan.Kalau di sini kan bebas memiliki satu Indonesia. Dari pengamatan gue itu, gue bisa melihat tidak ada satu kebijakan pun yang bisa diaplikasikan ke Indonesia karena semuanya beda. Kita harus mencari sistem yang pas untuk sinema kita.
Mbak sendiri sudah menemukan sistem itu?
Belumlah. Itu perlu satu negara yang memikirkan. Pastinya monopoli itu jelas ada, dan itu nggak sehat. Nggak sehat buat yang bikin film, buat sesama bioskop, dan buat konsumen. Semuanya kena. Buat pemerintah sih mungkin nggak ya, mereka nggak terlalu mikirin. Kontribusinya film buat devisa negara kecil kok. Di Jakarta mungkin jadi terlihat besar, besar sekali kontribusi film dalam pajak hiburan. Di Jakarta pajak hiburan itu nomor satunya bioskop dan selalu bersaing dengan tempat rekreasi. Jauh lebih besar dari pajak hiburan lainnya.
Ini mungkin gue terlalu memukul rata ya, tapi kalau semua seperti Jakarta yang bioskopnya cukup banyak, mungkin orang-orang mau nonton ke bioskop. Tapi masalahnya nggak seperti itu. Di Jakarta jelas bahwa bioskopnya banyak, income juga banyak. Tapi lagi-lagi harus diperhatikan harga tiketnya. Gue yakin daya beli orang-orang di tiap daerah beda-beda, apalagi untuk negara seluas Indonesia.
Jadi yang paling menyebalkan dari industri kita adalah monopoli?
Nggak sebel, ngapain gue sebel. Gue nggak berhak sebel karena tujuan gue bukan kesana. Tapi gue sebagai orang luar yang filmnya tidak tayang di biokop jadi bisa melihat itu. Kalau ditanya apa yang bikin gue sebel, ya gue berharap kita punya lebih banyak arthouse cinema, jauh lebih banyak dari yang ada sekarang. Itu doang.
Arthouse cinema bukan masalah yang simpel. Orang nonton film kan pasti punya tafsir beda-beda. Makanya setiap pemutaran kami bikin diskusi, supaya pembuat dan penonton bisa ngobrol. Itu asyik sekali melihat banyak pemikiran beda-beda. Itu tidak salah. Dialog itu penting karena dari situ kita bisa mendengar hal yang beragam lagi. Nah arthouse cinema bisa jadi ruang untuk itu.
Tujuan kita membuat film seperti ini justru supaya melihat keragaman, bukan menyeragamkan. Di salah satu pemutaran Rocket Rain, ada penonton yang mau menikah. Pas diskusi setelah pemutaran, dia berterimakasih karena dari film itu dia seperti diceritakan kemungkinan-kemungkinan yang akan alami saat menikah nanti. Mendengar seperti itu rasanya menyenangkan.
Apakah diskusi-diskusi itu ada dampaknya saat membuat film?
Justru itu menyemangati kita untuk membuat film-film yang beragam. Gue rasa mereka mengharapkan kita untuk membuat film-film yang seperti itu. Itu mungkin yang buat gue bertahan. Sebenarnya film-film yang gue bikin yang katanya nggak jelas, susah, atau apalah, sebenarnya mereka paham kok.
Gue nggak percaya ada film yang susah. Itu cuma masalah biasa atau nggak. Saat orang-orang terbiasa mereka akan jadi suka kok. Menurut gue, babibutafilm memang diperlukan untuk menyediakan film-film yang beragam itu. Dari situ gue merasa itulah kontribusi gue di film.
Tulisan ini merupakan hasil dari lokakarya Mari Menulis! edisi #KolektifJakarta 2015, program pemutaran yang diselenggarakan Kolektif dan babibutafilm pada 4-26 April di Kineforum DKJ.