Laura Mulvey: Kenikmatan Visual dan Sinema Naratif

Daftar Isi

  1. Pengantar dari Cinema Poetica
  2. Nota Penterjemah
  3. Psikoanalisis sebagai Alat Politik
  4. Pelenyapan Kenikmatan sebagai Senjata Radikal
  5. Kenikmatan dalam Memandang / Keterpesonaan pada Tubuh Manusia
  6. Wanita sebagai Imej, Lelaki sebagai Pemandang
  7. Ikhtisar

Pengantar dari Cinema Poetica

Dunia awal 1970-an luar biasa bergemuruh. Pada 1975, Paman Sam hengkang dengan memalukan dari Saigon, Vietnam. Sejak beberapa tahun sebelumnya, pelajar dan pekerja turun ke jalan, menginjak-injak konservatisme golongan tua, membikin musik, sastra, dan karya seni baru, juga menulis ulang norma-norma kehidupan baru. Sinema pun berubah. Eksperimen-eksperimen baru digelar. Sensor dan berbagai konvensi sinema lama kian rutin dilanggar. Dalam hiruk-pikuk itulah Laura Mulvey menulis Visual Pleasure and Narrative Cinema. Terbit di jurnal Screen pada 1975, esai ini melejitkan namanya di panteon kajian film.

Para akademisi film sebelumnya adalah pemberi resep. “Film yang baik haruslah menciptakan gambaran yang utuh tentang masyarakat”, “Film yang revolusioner mesti menggambarkan massa sebagai protagonis”, dan sebagainya—sebuah konsekuensi tak terhindarkan mengingat banyak akademisi juga bekerja sebagai pembuat film. Pada 1950-an, seiring kian mapannya industri sinema, aktivitas membuat dan menilai film berkembang jadi dua medan kerja yang terpisah. ‘Angkatan’ Mulvey, jika bisa disebut demikian, ambil jarak dari ranah produksi dan lebih berperan sebagai analis. Jean-Luc Comolli dan Jean Narboni di Prancis, yang masuk dalam generasi ini, mengamati film sebagai produk ideologis, bagaimana gaya dan pilihan dalam sinema niscaya menyimpan watak politis sekalipun tak disadari pembuatnya. Mereka semua memilih untuk menginterogasi perkembangan sinema seiring dengan perkembangan masyarakat.

Film-film yang diamati Mulvey berasal dari zaman Hollywood Klasik, sebuah periode dalam sejarah produksi film Amerika antara 1920-an hingga 1960-an. Yang paling awal dibahas Mulvey adalah Morocco (1930) dan yang teranyar adalah Marnie (1964). Inilah zaman ketika laki-laki selalu jadi hero di layar lebar sementara perempuan berperan sebagai pendukung semata. Paling baik, perempuan hanya jadi ‘pendamping’ si laki-laki. Paling buruk, perempuan jadi femme fatale, karakter yang merusak ambisi dan dunia yang dibangun laki-laki. Dalam dua tipologi karakter tersebut, perempuan jadi objek seksualisasi di depan kamera. Dari sini kita mengenal apa yang Mulvey sebut sebagai male gaze alias “tatapan laki-laki”. 

Mulvey menggunakan psikoanalisis, yang sejak 1930-an digunakan untuk membedah fenomena kebudayaan massa secara umum, dan sejak 1960-an khususnya diadopsi—bersama linguistik struktural—oleh kajian film yang baru dirintis di Prancis dan dunia anglofon. Dalam pandangan Mulvey dan generasinya, kamera—sebagai instrumen teknologis penunjang “transparansi” dan “objektivitas”—rupanya tidak bisa lepas dari hubungan-hubungan sosial di sekitarnya yang kerap tak kasat mata—atau tak boleh diperlihatkan—yang terbangun di atas eksploitasi kaum kerja, kolonialisme, dan patriarki—yang sentral dalam esai Mulvey. Realitas-realitas pahit itulah yang justru terkubur ketika kamera terus dipandang sebagai medium yang berpretensi netral, non-partisan, objektif, sementara ia justru aktif membentuk—atau mereproduksi—tatanan dunia yang ada.

Menimbang dari rujukan yang digunakan (film-film klasik Hollywood), Visual Pleasure mungkin terlihat kuno. Ribuan variasi gaya, genre, dan corak produksi sinema baru telah muncul. Jumlah sutradara perempuan hari ini jauh lebih banyak ketimbang saat Visual Pleasure ditulis. Namun, sejauh teknologi film terus diperbaharui dan selama manusia terus berada di balik operasionalnya, gugatan Mulvey terhadap patriarki dalam sinema masih relevan. Dalam spirit itu, yang perlu dilakukan adalah menguji dan memperkaya model analisis Visual Pleasure dengan menghadapkannya dengan karya-karya kekinian dan perkembangan sosial masyarakat kita hari ini.

Mohd Sazni, kawan kami dari Malaysia, menerjemahkan Visual Pleasure ke Bahasa Melayu dengan suntingan Ali Aiman Mazwin. Langkah ini sangat kami apresiasi, mengingat tak banyak teks kajian film yang tersedia dalam Bahasa Melayu maupun Indonesia, terlebih lagi teks monumental sekelas Visual Pleasure. Oleh karena itu, dengan banyaknya irisan antara Bahasa Melayu dan Indonesia, kami sepakat untuk menerbitkan terjemahan ini di situs Cinema Poetica. Harapannya, inisiatif serupa dapat memicu lebih banyak diskusi dan inisiatif serupa untuk kemaslahatan orang banyak.

Nota Penterjemah

Laura Mulvey, tokoh filem feminis terkenal dunia, menulis esei ini pada 1973 dan kemudian menerbitkannya pada 1975 di jurnal Screen, sebuah jurnal filem berpengaruh di Britain. Dengan meminjam beberapa konsep psikoanalisis dari Sigmund Freud seperti skopofilia dan dari Jacques Lacan seperti fasa cermin, beliau menghujahkan bahawa ideologi patriarki yang menjadi aturan dominan dalam masyarakat dan dalam filem cereka naratif sinema Hollywood ketika itu (bahkan sehingga kini pun) sering kali menstrukturkan imej dan kehadiran watak wanita di dalam filem sebagai watak pasif dan objek seksual kepada kehendak/renungan lelaki (pelakon/spektator) heterokseksual, baik secara naratif mahupun melalui elemen formal filem. Dalam esei ini juga, Laura Mulvey memperkenalkan teori renungan lelaki (male gaze) yang mempermasalahkan bagaimana wanita dipandang demi kenikmatan yang berasaskan struktur sosial aktif/lelaki dan pasif/perempuan.

A. Psikoanalisis sebagai Alat Politik

Yang menonton dan yang ditonton dalam Rear Window (1954)

Esei ini menggunakan psikoanalisis bagi meneroka di mana dan bagaimana keterpersonaan pada filem diperkukuh melalui corak-corak keterpersonaan yang sedia ada pada subjek individu dan lingkungan sosial yang membentuknya. Ia mempersoal bagaimana filem merefleksi, menyingkap dan memperguna interpretasi perbezaan seksual yang mengawal imej, cara pandang erotik dan spectacle[1] yang sekian lama terbina dalam aturan sosial. Sebelum teori dan praktis baru boleh dimajukan untuk mencabar sinema lama, penting untuk kita fahami dahulu apa yang ada dalam sinema dan fungsinya. Di sini, teori psikoanalisis digunakan sebagai alat politik—untuk menunjukkan bagaimana kecenderungan bawah sedar masyarakat patriarki membina bentuk filem.

Paradoks falosentrisme[2] ialah kebergantungannya kepada imej wanita yang dikembiri[3] untuk membentuk aturan dan makna kepada falosentrisme itu. Wanita adalah tunjang sistem ini: kerana kekurangan[4] wanitalah yang melahirkan falus[5]sebagai satu kewujudan simbolik, sementara kehendak wanita itu pula adalah untuk mengisi kekurangan yang ditandai falus. Tulisan terkini dalam jurnal Screen mengenai psikoanalisis dan sinema belum memadai untuk meneliti kepentingan representasi bentuk wanita dalam aturan simbolik, yang akhirnya, terhenti setakat pengembirian[6]. Ringkasnya: fungsi wanita dalam membentuk kebawahsedaran patriarki mempunyai dua tingkat. Pertama, wanita membawa simbol ancaman pengembirian[7] melalui ketiadaan penis, dan yang kedua pula, wanita membesarkan, serta mengangkat anaknya ke dalam aturan simbolik[8]. Apabila berjaya, makna kewujudannya di dalam proses tersebut sudah selesai, dia tidak akan hadir ke dunia undang-undang dan bahasa kecuali sebagai ingatan yang berbolak-balik antara ingatan keibuan yang penuh subur[9] dan ingatan akan kekurangan wanita[10]. Kedua-duanya boleh dibuktikan oleh alam (atau anatomi menurut Freud). Kehendak wanita tertakluk kepada imejnya sebagai pembawa luka berdarah, yang hanya boleh wujud melalui hubungannya dengan pengembirian dan tidak pula boleh melampauinya. Wanita menjadikan anaknya sebagai penanda[11] kepada kehendaknya sendiri untuk memiliki penis (syarat yang dianggapnya perlu untuk masuk ke aturan simbolik). Dia perlu samada dengan rela hati berserah kepada bahasa, Nama-Bapa[12] dan Undang-Undang[13], atau bergelut untuk mengekalkan anaknya bersamanya dalam kesamaran aturan khayalan[14]. Maka dalam budaya patriarki, wanita adalah penanda kepada Yang Lain bagi lelaki[15], terikat oleh aturan simbolik di mana para lelaki boleh menghadirkan fantasi dan obsesi mereka melalui bahasa dengan memaksakannya ke atas imej senyap wanita yang masih terikat dengan kedudukannya sebagai pembawa makna, bukan pencipta makna.

Analisis ini ternyata menarik minat feminis dalam membingkaikan kegelisahan yang dirasai di bawah aturan falosentrik. Ia membuka mata kita untuk memahami akar penindasan, jelas dengan rinci permasalahan serta cabaran utamanya: bagaimana untuk kita melawan kebawahsedaran yang distruktur seperti bahasa (yang terbentuk ketika momen penting ketibaan bahasa) walhal kita sendiri masih diperangkap bahasa patriarki. Tentunya penyelesaian masalah ini tidak boleh wujud secara tiba-tiba melainkan dengan mula memeriksa sistem patriarki melalui alat-alat yang telah disediakannya, antaranya psikoanalisis—satu alat penting dari sekian-sekian alat yang lain. Kita masih terpisah jauh daripada isu-isu penting tentang kebawahsedaran wanita yang sangat jarang diperkatakan dalam teori falosentrik: penjantinaan bayi perempuan dan hubungannya dengan aturan simbolik, wanita matang seksual sebagai bukan-ibu[16]keibuan di luar pemaknaan falus, perihal vagina…. tetapi, ketika ini, teori psikoanalisis yang ada sekurang-kurangnya mampu mengembangkan pemahaman kita terhadap status quo serta aturan patriarki yang menawan kita.

B. Pelenyapan Kenikmatan sebagai Senjata Radikal

Sebagai sistem representasi yang terkehadapan, sinema mengajukan beberapa persoalan tentang bagaimana kebawahsedaran (yang dibentuk oleh aturan dominan) membentuk cara melihat dan nikmat memandang. Sinema sendiri telah berubah sejak beberapa dekad yang lalu. Ia bukan lagi satu sistem gergasi berasaskan pelaburan modal besar sebagaimana Hollywood pada 1930-an, 1940-an dan 1950-an. Perkembangan teknologi (16mm, dll.) telah mengubah keadaan/syarat untuk penghasilan filem, yang kini boleh diterajui oleh para artisan atau golongan pemodal. Maka, sinema alternatif kini sudah boleh dikembangkan. Terdapat ironi dan keswasedaran dalam sinema Hollywood, namun ia masih lagi sentiasa terikat dengan mise-en-scène formal yang lahir daripada konsep sinema dalam ideologi dominan. Oleh itu, sinema alternatif boleh menyediakan ruang untuk melahirkan filem yang radikal dari segi politik dan estetika, serta mencabar andaian-andaian asas sinema arus perdana. Hal ini bukanlah bermakna kita menolak filem arus perdana secara moralnya, tetapi lebih kepada untuk menonjolkan ciri dan bentuk formal filem yang merefleksi obsesi dan psike masyarakat yang menghasilkannya, malah, untuk menekankan bahawa sinema alternatif secara jelasnya harus bermula dengan melawan obsesi dan andaian ini. Sinema avant-garde dari segi politik dan estetikanya kini boleh wujud, meskipun hanya sebagai satu tindak balas.

Meski tidak mutlak, salah satu aspek penting keajaiban gaya Hollywood (dan semua sinema di bawah pengaruhnya) yang menjadikannya popular dan gah ialah manipulasi kenikmatan visual yang mahir dan menakjubkan. Kerana tidak dilawan, filem arus perdana ini mengekod erotik ke dalam bahasa aturan patriarki yang dominan. Hanya melalui kod-kod yang masuk ke dalam sinema Hollywood yang maju inilah, subjek yang terasing—yang berbelah bahagi dalam ingatan khayalannya[17] kerana rasa kehilangan dan rasa terancam dengan kekurangan fantasi—akhirnya dapat menemui secebis kepuasan: pada keindahan formalnya dan bagaimana ia bermain dengan obsesi yang membentuk diri. Esei ini membincangkan bagaimana kenikmatan erotik dijalin ke dalam filem, apa maknanya, dan di mana duduk letak imej wanita khususnya. Ada yang mengatakan bahawa apabila kita menganalisis kenikmatan atau keindahan, kita juga turut memusnahkannya. Itulah tujuan esei ini dikarang. Kepuasan dan pengukuhan ego yang mewakili titik kemuncak sejarah filem haruslah dilawan. Bukan dengan niat untuk membina kenikmatan baru, yang tidak boleh wujud dalam bentuk abstrak, mahupun untuk mendatangkan ketidaknikmatan yang diintelektualkan, tetapi untuk membuka jalan bagi menyanggah sepenuhnya kesenangan dan kemewahan filem cereka naratif. Alternatifnya adalah keterujaan untuk meninggalkan masa silam tanpa perlu menolaknya, untuk melampaui bentuk-bentuk yang lapuk dan menindas, atau untuk berani memecahkan jangkaan-jangkaan kenikmatan yang dianggap normal demi membidani bahasa kehendak yang baru.

II. Kenikmatan dalam Memandang / Keterpersonaan pada Tubuh Manusia

Tippi Hedren dan Sean Connery dalam Marnie (1964)

A. Sinema memberi beberapa ruang kenikmatan. Antaranya skopofilia. Ada beberapa keadaan di mana sumber kenikmatan boleh didapati hanya dengan memandang, sepertimana sebaliknya. Freud dalam Three Essays on Sexuality (1905) membezakan skopofilia sebagai salah satu komponen naluri seksualiti yang wujud sebagai dorongan yang tidak terikat dengan zon erotogenik. Beliau menafsir skopofilia sebagai pengobjekan manusia lain, dengan meletakkannya di bawah renungan[18] yang bersifat ingin tahu dan mengawal. Contoh paling khusus dibawa beliau adalah aktiviti-aktiviti voyeur kanak-kanak, kehendak mereka untuk memandang dan memastikan hal yang bersifat peribadi dan terlarang (sifat ingin tahu terhadap alat kelamin dan fungsi tubuh orang lain, keberadaan atau ketiadaan penis, serta aktiviti seksual). Dalam analisis ini, skopofilia secara dasarnya bersifat aktif. (Kemudiannya, dalam Instincts and Their Vicissitudes (1915), Freud terus mengembangkan teori skopofilianya, pada mulanya mengaitkannya dengan auto-erotisisme pra-genital, dan kemudian, kenikmatan untuk memandang itu dipindahkan kepada orang lain secara analoginya. Di sini terdapat hubungan rapat antara naluri aktif dan perkembangan naluri yang selanjutnya dalam bentuk narsisistik). Walaupun naluri boleh berubah atas pelbagai faktor, terutamanya pembentukan ego, ia terus wujud sebagai asas erotik dalam kenikmatan memandang orang lain sebagai objek. Di tahap ekstrem, ia boleh menyumbang kepada sumbaleweng[19], melahirkan voyeur obses dan pengintai[20], yang mana kepuasan seksual mereka hanya dapat dipenuhi dengan memandang orang lain sebagai objek, secara aktif dan mengawal.

Sekali pandang, seperti tiada kaitan antara sinema dengan dunia gelap di mana mangsa-mangsa dipandang secara rahsia tanpa rela. Apa yang dilihat di layar memang terang-terang ditayangkan. Namun, kebanyakan filem arus perdana, dan aneka kelaziman yang mempengaruhinya secara sedar, memaparkan dunia kedap dan terasing yang tersingkap secara magis, tanpa peduli dengan kehadiran para spektator[21], lantas menghasilkan rasa keterasingan serta merangsang phantasy voyeur mereka. Tambahan pula, perbezaan ekstrem antara kegelapan auditorium (yang turut mengasingkan para spektator) dan keindahan gerak-geri cahaya dan bayang-bayang pada layar yang gah membantu memberi ilusi pengasingan voyeuristik. Biarpun filem sememangnya ditayangkan, dan sememangnya bertujuan untuk ditonton, suasana tayangan dan kelaziman naratif memberi ilusi kepada spektator seolah-olah mereka melihat satu dunia yang tersendiri. Selain itu juga, sudah terang lagi bersuluh bahawa kedudukan spektator dalam sinema adalah satu kekangan ke atas kecenderungan ekshibisionisme mereka dan satu projeksi kehendak mereka yang terpendam ke atas para pelakon.

B. Sinema memenuhi keinginan asasi untuk merasa nikmat apabila memandang, namun ia juga pergi lebih jauh dari itu, di mana skopofilia dikembangkan dari sudut narsisistiknya. Menjadi kelaziman filem arus perdana untuk memberi perhatian pada tubuh manusia. Semua skala, ruang dan cerita adalah antropomorfik. Di sini, rasa ingin tahu dan keinginan untuk memandang bercampur baur dengan keterpesonaan pada kemiripan dan pengecaman[22]: muka manusia, tubuh manusia, hubungan antara manusia dan alamnya, keberadaan manusia secara tampak di dunia. Jacques Lacan ada menerangkan bagaimana momen kanak-kanak mengenalpasti imejnya sendiri dalam cermin adalah penting dalam pembentukan ego. Beberapa rangka analisis tersebut sesuai dibincangkan di sini. Fasa cermin berlaku apabila kemahuan fizikal kanak-kanak tersebut mengatasi kemampuan motornya, dan hasilnya, dia gembira dapat mengecam dirinya sendiri kerana membayangkan imej cerminannya lebih lengkap, lebih sempurna berbanding apa yang dialaminya melalui tubuhnya sendiri. Pengecaman ini kemudiannya dilapisi dengan pengecaman palsu[23]: imej yang dicam itu dikenalpasti sebagai refleksi tubuh sendiri, tetapi pengecaman palsu yang menganggapnya lebih hebat itu memprojeksikan tubuh tersebut ke luar diri sebagai ego sempurna[24], satu subjek terasing, yang kemudiannya, diintrojeksi kembali sebagai kesempurnaan ego[25], lalu memberi ruang bagi identifikasi dengan yang lain pada masa depan. Fasa cermin ini mendahului fasa bahasa bagi kanak-kanak.

Penting untuk esei ini nyatakan bahawa imejlah yang menjadi asas binaan kepada matriks aturan khayalan, pengecaman/pengecaman palsu dan identifikasi, dan oleh itu, artikulasi pertama ‘Aku’, iaitu subjektiviti. Ini adalah momen di mana keterpersonaan terdahulu dengan memandang (pada wajah ibu, sebagai contoh yang paling jelas) bertembung dengan cetusan awal keswasedaran. Maka, kelahiran hubungan cinta/kecewa berpanjangan antara imej dan swaimej seterusnya menemui kemuncak ekspresinya dalam filem dan memperoleh pengiktirafan penuh girang daripada penonton filem. Selain persamaan antara layar dan cermin (contohnya, pembingkaian bentuk manusia dalam persekitarannya), sinema juga telah menstrukturkan keterpersonaan yang begitu kukuh sehingga boleh membiarkan ego hilang buat sementara sambil mengukuhkan ego pada masa yang sama. Perasaan lupa pada dunia sebaik sahaja ego mulai menanggapinya (saya lupa siapa saya dan di mana saya berada) adalah satu nostalgia kepada momen prasubjektif dalam pengecaman imej. Dalam masa yang sama juga, sinema berbeza dari segi penghasilan ego sempurna yang diekspresikan secara khusus melalui sistem bintang filem, di mana para bintang menjadi tumpuan dalam ruang dan cerita di layar apabila mereka menjalani proses kompleks kemiripan dan perbezaan (yang terkenal berlakon sebagai orang kebanyakan).

C. Bahagian II. A dan B telah menggariskan dua aspek bertentangan mengenai struktur kenikmatan memandang dalam situasi sinema yang lazim. Yang pertama, skopofilia, terhasil daripada kenikmatan menggunakan orang lain sebagai objek rangsangan seksual melalui deria penglihatan. Yang kedua, berkembang melalui narsisisme dan pembentukan ego, terhasil daripada identifikasi imej yang dipandang. Maka, dalam konteks filem, aspek pertama menunjukkan berlakunya pemisahan antara identiti erotik subjek dengan objek di layar (skopofilia aktif), dan yang kedua memerlukan identifikasi ego dengan objek di layar melalui keterpersonaan dan pengecaman spektator terhadap sesuatu yang menyerupainya. Yang pertama berkait dengan naluri seksual, sementara yang kedua dengan libido ego. Dikotomi ini penting bagi Freud. Biarpun beliau melihat dua aspek ini berinteraksi dan bertindan antara satu sama lain, dalam perihal kenikmatan pula, ketegangan antara dorongan naluri dan pemeliharaan diri terus menjadi satu pertentangan yang ketara. Kedua-duanya adalah struktur formatif, mekanisme, bukan makna. Kedua-duanya harus datang dengan satu ideal, kerana jika wujud secara sendirian, aspek-aspek ini tiada sebarang penandaan[26]. Kedua-duanya enggan menghiraukan realiti persepsi, dengan mencipta konsep dunia yang dikhayalkan dan dierotikkan yang membentuk persepsi subjek dan memperlekehkan objektiviti empirikal.

Sepanjang sejarahnya, sinema nampaknya telah menghasilkan sebentuk ilusi realiti apabila percanggahan antara libido dan ego telah menemui satu dunia fantasi di mana ia boleh saling melengkapi. Dalam realiti, dunia fantasi di layar terikat kepada undang-undang yang melahirkannya. Naluri seksual dan proses-proses identifikasi mempunyai makna dalam aturan simbolik yang memperincikan kehendak. Kehendak pula, lahir dengan bahasa, membuka kemungkinan untuk melampaui kenalurian dan khayalan, tetapi titik rujukannya akan terus berbalik kepada momen traumatik sewaktu kelahirannya: iaitu kompleks pengembirian[27]. Oleh itu, pandangan[28], biarpun menawarkan kenikmatan secara tersurat, namun ia juga boleh memberi ancaman secara tersirat, dan representasi/imej wanitalah yang mengukuhkan paradoks ini.

III. Wanita sebagai Imej, Lelaki sebagai Pemandang

Marilyn Monroe saat produksi River of No Return (1954)

A. Dalam dunia yang diatur oleh ketidakseimbangan seksual, kenikmatan dalam memandang telah dipisahkan antara aktif/lelaki dan pasif/wanita. Renungan lelaki[29] yang menjadi penentu yang akan memprojeksikan phantasy-nya kepada figura wanita yang disesuaikan dengan renungan tersebut. Dalam peranan tradisional wanita sebagai ekshibisionis, mereka dipandang dan dipersembahkan dalam masa yang sama, di mana penampilan mereka dikodkan untuk kesan erotik dan kesan visual yang kuat, agar mereka boleh dianggap sebagai menggambarkan apa-yang-perlu-dipandang[30]. Paparan wanita sebagai objek seksual adalah leit-motif dalam spectacle erotik: daripada poster kepada tarian bogel, Ziegfeld kepada Busby Berkeley, wanita mengikat pandangan lelaki, serta bermain menurut (dan menandakan) kehendak lelaki. Filem arus perdana dengan kemas menggabungkan elemen persembahan dan penceritaan. (Namun, sila rujuk bagaimana adegan nyanyian-tarian dalam filem musikal memecahkan kelancaran diegesis ini). Kehadiran wanita adalah satu elemen spectacle utama dalam kebanyakan filem naratif, meski kehadiran visualnya cenderung untuk berfungsi melawan perkembangan jalan cerita dan untuk membekukan aliran aksi ketika momen-momen erotik sedang berlangsung. Maka, kehadiran yang asing ini kemudiannya harus dijalinkan secara terpadu ke dalam naratif. Seperti mana yang dikatakan oleh Budd Boetticher:

“Apa yang penting adalah apa yang heroin cetuskan, atau lebih tepat apa yang dia lambangkan. Wanitalah yang menjadi pencetus kepada hero, atau lebih tepat dia sendiri adalah cinta ataupun ketakutan yang dicetuskannya, atau keprihatinan hero kepada wanita tersebut, yang menyebabkan hero bertindak seperti itu. Tanpa hero, wanita itu sendiri tidak mempunyai sebarang kepentingan.”

(Kecenderungan terbaru dalam filem bernaratif adalah untuk mengenepikan masalah ini sama sekali; oleh itu terhasillah apa yang Molly Haskel gelar sebagai “buddy movie”, di mana erotisisme homoseksual aktif dalam susuk lelaki utama boleh menggerakkan cerita tanpa gangguan.) Biasanya, pemaparan wanita berfungsi pada dua peringkat: (1) sebagai objek erotik kepada watak dalam cerita di layar, (2) dan sebagai objek erotik kepada spektator di dalam auditorium—dengan ketegangan yang sering bertukar ganti antara pandangan di kedua-dua peringkat. Sebagai contoh, penggunaan watak gadis panggung[31] membolehkan kedua-dua pandangan secara teknikalnya bersatu tanpa gangguan dalam diegesis. Persembahan pelakon wanita menurut naratif, manakala renungan spektator dan renungan watak lelaki dalam filem dijalin dengan kemas tanpa menjejaskan verisimilitud naratif. Buat seketika, kesan seksual persembahan wanita tersebut membawa filem itu ke daerah yang tidak pernah dijelajahi di luar masa dan ruangnya. Begitulah penampilan pertama Marilyn Monroe dalam filem The River of No Return (1954) dan nyanyian Lauren Bacall dalam To Have or Have Not (1944). Begitu juga, syot dekat yang lazim pada kaki (Dietrich sebagai contoh) atau wajah (Garbo) menyuntik mod erotisisme yang berbeza ke dalam naratif. Sebahagian tubuh yang terpisah memusnahkan ruang Renaissance, memecahkan ilusi kedalaman yang diperlukan naratif, menampakkan kedataran, atau kualiti yang seperti tampalan atau ikon, bukannya verisimilitud pada layar.

B. Pembahagian peranan secara heteroseksual yang aktif/pasif ini juga turut mengawal struktur naratif. Menurut prinsip ideologi yang berkuasa (baca: patriarki) dan struktur fizikal yang mendukungnya, figura lelaki tidak dapat menanggung beban objektifikasi seksual. Lelaki enggan merenung ekshibisionis yang menyerupainya. Maka, sebab itulah berlakunya pemisahan antara persembahan dan penceritaan untuk menyokong peranan lelaki sebagai ejen aktif yang menggerakkan cerita ke hadapan, membuatkan sesuatu terjadi. Lelaki mengawal phantasy filem dan juga muncul sebagai perlambangan kuasa dalam makna yang lebih luas: wakil kepada pandangan spektator, yang memindahkannya ke sebalik layar untuk meneutralkan kecenderungan luar-diegetik yang diwakili wanita sebagai imej spectacle. Ini boleh terjadi dengan membina sebuah filem yang menumpukan pada seorang figura utama yang boleh diidentifikasi oleh spektator. Ketika spektator mengidentifikasikan dirinya mereka dengan protagonis lelaki utama, dia memprojeksikan pandangannya pada watak tersebut, penggantinya dalam layar[32], agar kuasa protagonis lelaki tersebut yang mengawal situasi bergerak selari dengan kuasa aktif pandangan erotik spektator, yang mana kedua-duanya memberikan rasa kemahakuasaan. Oleh itu, perwatakan glamour bintang filem lelaki bukanlah objek erotik dalam renungan tersebut, tetapi ego sempurna yang bersifat lebih sempurna, lebih lengkap, dan lebih berkuasa yang terhasil sewaktu momen awal pengecaman di hadapan cermin. Watak di dalam cerita boleh membuatkan sesuatu terjadi dan mengawal cerita lebih baik daripada subjek/spektator, seperti mana imej di dalam cermin mengawal koordinasi motor dengan lebih baik. Berbeza dengan wanita sebagai ikon, figura lelaki aktif (kesempurnaan ego hasil dari proses identifikasi) memerlukan ruang tiga dimensi, sama seperti ketika proses pengecaman-cermin[33], di mana subjek yang terasing membatinkan perlambangan dirinya sendiri dalam kewujudan khayalan[34] ini. Lelaki merupakan figura di dalam landskap. Di sini fungsi filem adalah untuk menghasilkan semula setepat mungkin apa yang dikatakan sebagai persepsi/pengalaman manusia yang semula jadi. Teknologi kamera (seperti fokus dalam terutamanya) dan pergerakan kamera (yang ditentukan oleh tindakan protagonis), digabungkan dengan suntingan halimunan (yang dituntut realisme), semua ini berkecenderungan untuk mengaburkan batas ruang layar. Protagonis lelaki bebas untuk mengawal pentas, sebuah pentas dengan ilusi ruang di mana dia menentukan pandangan dan mencipta tindakan.

Cary Grant dan Jean Arthur dalam Only Angels Have Wings (1939)

C.1 Bahagian III. A dan B telah menggariskan ketegangan yang wujud di antara bentuk perlambangan wanita di dalam filem dan kelaziman sekitar diegesis tersebut. Setiap satunya dikaitkan dengan satu pandangan: sebagai spektator melalui hubungan skopofilia secara langsung dengan bentuk wanita yang dipaparkan untuk keseronokannya (mencerminkan phantasy lelaki), serta sebagai spektator yang terpersona dengan imej cerminannya di dalam sebuah ilusi ruang alami, dan melalui imej cerminan itulah spektator dapat mengawal dan memiliki wanita yang berada dalam diegesis. (Ketegangan antara, dan pertukaran dari satu kutub ke kutub yang lain boleh menjadi struktur dalam sesebuah teks. Maka, baik di dalam filem Only Angels Have Wings (1939) serta To Have and Have Not (1944), kedua-dua filem bermula dengan wanita sebagai objek hasil gabungan renungan spektator dan semua protagonis lelaki di dalam filem. Wanita itu terasing, glamour, dan menjadi objek seksual. Tetapi sebaik sahaja naratif berkembang, dia jatuh cinta dengan protagonis lelaki utama dan menjadi milik lelaki tersebut, lalu hilang perwatakan glamour luarannya, seksualitinya yang umum, serta konotasinya sebagai gadis panggung—erotisisme wanita tersebut terikat kepada bintang lelaki itu sahaja. Melalui identifikasi dengan watak lelaki tersebut, dan penglibatan dalam kuasanya, spektator juga secara tidak langsung memiliki wanita tersebut).

Namun dalam sudut psikoanalisis, figura wanita mengajukan masalah yang lebih rumit. Wanita juga mencerminkan sesuatu yang boleh terus dipandang tetapi dinafikan dalam masa yang sama: dek kerana ketiadaan penis pada wanita membayangkan ancaman pengembirian dan juga ketidaknikmatan. Akhirnya, makna wanita terletak pada perbezaan seksual, iaitu ketiadaan penis yang dapat dipastikan secara visual, sebagai bukti nyata yang menjadi asas kompleks pengembirian yang penting untuk masuk ke aturan simbolik dan undang-undang bapa[35]. Oleh itu, wanita sebagai ikon, yang dipaparkan untuk renungan dan keseronokan lelaki sebagai pengawal pandangan aktif, sentiasa mengancam untuk menimbulkan keresahan yang ditandainya sejak awal. Kebawahsedaran lelaki mempunyai dua jalan keluar daripada keresahan pengembirian[36]: yang pertama dengan menumpukan kepada penghasilan semula trauma asal (menyiasat wanita tersebut, merungkai misterinya) diimbangi dengan penjatuhan, hukuman atau penyelamatan objek bersalah (antara kaedah yang selalu diguna pakai dalam filem noir); cara kedua adalah dengan penafian sepenuhnya terhadap pengembirian melalui penggantian objek fetisy atau menukarkan susuk itu sendiri kepada imej fetisy agar ia meyakinkan dan tidak berbahaya (pemujaan berlebihan, mencipta kultus bintang wanita). Cara kedua, iaitu skopofilia fetisy, meningkatkan keindahan fizikal objek, mengubahnya kepada sesuatu yang dengan sendirinya memuaskan. Cara pertama, voyeurisme, sebaliknya berkait dengan sadisme: kenikmatan diperoleh dengan meneroka rasa bersalah (yang berkait dengan pengembirian), menegaskan kawalan dan memberi pesalah itu hukuman atau kemaafan. Sisi sadistik ini sangat cocok dengan naratif. Sadisme memerlukan cerita dan bergantung kepada penghasilan sesuatu kejadian, serta pemaksaan perubahan pada orang lain, pertarungan semangat dan kekuatan, menang/kalah, semuanya berlangsung dalam masa linear dengan permulaan dan penamat. Bagi skopofiliafetisy pula, ia boleh wujud di luar masa linear kerana naluri erotik hanya tertumpu kepada pandangan semata-mata. Semua percanggahan dan kesamaran ini boleh dijelaskan dengan lebih mudah melalui filem-filem Alfred Hitchcock dan Josef Von Sternberg di mana kedua-duanya mengambil pandangan sebagai kandungan atau subjek utama dalam kebanyakan filem mereka. Filem Hitchcock lebih kompleks kerana beliau menggunakan kedua-dua mekanisme itu. Manakala dalam filem Sternberg, banyak contoh skopofilia fetisy boleh ditemui.

Marlene Dietrich dan Gary Cooper dalam Morocco (1930)

C.2 Umum mengetahui yang Sternberg pernah mengatakan yang beliau terbuka untuk filemnya ditayangkan secara terbalik agar cerita dan penglibatan watak tidak mengganggu keasyikan spektator terhadap imej di layar. Kenyataan ini menarik walaupun polos. Polos dalam erti kata yang filem-filemnya memang memerlukan susuk wanita (contoh jelas, Marlene Dietrich dalam kebanyakan filem Sternberg) yang boleh diidentifikasi. Tetapi menarik kerana ia menekankan bahawa buat Sternberg, ruang bergambar yang berbingkai tersebut adalah lebih utama berbanding naratif atau proses-proses identifikasi. Sementara Hitchcock meneroka sisi penyiasatan dalam voyeurisme, Sternberg pula menghasilkan fetisy mutlak, membawanya ke satu tahap di mana pandangan berkuasa dari protagonis lelaki (ciri filem naratif lama) disekat agar imej boleh mempunyai hubungan erotik langsung dengan spektator. Keindahan wanita sebagai objek dan ruang layar bersatu; wanita bukan lagi pembawa rasa bersalah tetapi menjadi produk sempurna, di mana tubuhnya digaya dan difragmenkan melalui syot dekat, sebagai kandungan filem dan penerima langsung pandangan spektator. Sternberg tidak mengutamakan ilusi kedalaman layar; layarnya cenderung satu dimensi, kerana cahaya dan bayang, renda, stim, pepohon, jaring, riben dan lain-lain mengurangkan medan visual. Hampir tiada langsung pengantaraan pandangan melalui mata protagonis lelaki utama. Sebaliknya, kehadiran watak kabur seperti La Bessière dalam filem Morocco (1930) bertindak sebagai pengganti kepada pengarah, yang turut terpisah daripada identifikasi spektator. Biarpun Stenberg menegaskan yang ceritanya tak relevan, apa yang penting ia berkait dengan situasi, bukan suspens, dengan masa kitaran bukan linear, sementara perkembangan plotnya pula berkisar pada kesalahfahaman dan bukannya konflik. Yang terpenting adalah tiadanya renungan lelaki yang mengawal keseluruhan adegan di dalam cerita. Titik kemuncak drama beremosi dalam kebanyakan filem Dietrich, iaitu momen-momen agung penuh makna erotik, berlaku tanpa kehadiran lelaki yang dicintainya. Terdapat saksi-saksi, spektator-spektator lain di dalam layar yang memandangnya, namun mereka merenung bersama, bukannya mewakili renungan spektator di luar layar. Seperti di penghujung filem Morocco (1930), Tom Brown telah lama menghilangkan diri ke padang pasir apabila Amy Jolly menendang sandal emasnya lalu berjalan mengikutinya. Manakala di penghujung filem Dishonored (1931), Kranau tidak menghiraukan nasib Magda. Dalam kedua-dua situasi ini, kesan erotik, yang disucikan kematian, dipaparkan sebagai satu spectacle kepada para spektator. Hero lelakinya salah faham, dan yang paling penting, tidak melihatnya.

Sebaliknya, dalam filem-filem Hitchcock, hero lelakinya melihat apa yang spektator lihat. Namun, dalam filem-filem yang akan saya bincangkan, Hitchcock menggunakan keterpersonaan kepada imej melalui erotisisme skopofilia sebagai subjek filem. Tambahan lagi, dalam filem-filem ini, heronya menggambarkan percanggahan dan ketegangan yang dialami spektator. Dalam filem Vertigo (1958) khususnya, juga filem Marnie (164) dan Rear Window (1954), pandangan sangat penting dalam plot, di mana ia berubah-ubah antara voyeurisme dan keterpesonaan fetisy. Hitchcock juga memanipulasi lebih jauh proses tontonan normal, serta melondehkannya; beliau menggunakan proses identifikasi yang biasa dikaitkan dengan ketepatan ideologi[37] dan pengecaman moraliti mapan lalu mendedahkan sisi sumbangnya. Minat Hitchcock pada voyeurisme, samada sinematik ataupun non-sinematik, tidak pernah disembunyikannya. Hero-heronya adalah teladan dalam aturan simbolik dan undang-undang—pegawai polis (Vertigo), lelaki dominan yang punya harta dan kuasa (Marnie)—tetapi dorongan erotik membawa mereka kepada situasi sukar. Wanita menjadi objek kepada kedua-dua kuasa yang ingin menundukkan orang lain samada melalui kemahuan sadistik atau renungan voyeur. Kekuasaan itu disokong oleh undang-undang yang nyata dan rasa bersalah wanita (yang secara psikologinya, mengingatkan kepada pengembirian). Sumbaleweng sebenar sekadar tersembunyi sipi di sebalik topeng nipis ketepatan ideologilelaki berada di pihak yang benar menurut undang-undang, perempuan tidak. Hitchcock mahir menggunakan proses-proses identifikasi dan luwes dalam menggunakan kamera subjektif dari sudut pandang protagonis lelaki, lalu menarik spektator larut ke dalam posisinya, membuatkan mereka berkongsi renungan meresahkan itu. Spektator ditarik ke dalam situasi voyeuristik di dalam ruang layar dan diegesis yang memparodikan diri mereka sendiri di sinema. Douchet dalam analisis beliau ke atas filem Rear Window menganggap ia sebagai metafora kepada sinema. Jeffries ialah spektator, manakala kejadian-kejadian di blok pangsapuri bertentangan itu ialah layarnya. Ketika dia melihat, dimensi erotik disulam ke dalam pandangannya, yang menjadi imej utama dalam filem. Lisa, iaitu temannya tidak mengujakan minat seksual Jeffries, sekadar tempelan, selagi mana Lisa kekal berada di ruang spektator. Apabila Lisa menyeberangi sempadan di antara bilik Jeffries dan blok bertentangan, hubungan erotik mereka mekar semula. Jeffries bukan sekadar melihat Lisa melalui lensanya sebagai imej penuh makna dari jauh, dia juga melihat Lisa sebagai penceroboh bersalah yang terdedah kepada seorang lelaki berbahaya yang mengancam untuk menghukumnya, lalu diselamatkan Jeffries. Ekshibisionisme Lisa telah ditunjukkan melalui obsesinya pada pakaian dan gaya, dan sebagai imej pasif kesempurnaan visual; voyeurisme dan kegiatan Jeffries juga telah ditonjolkan melalui kerjayanya sebagai wartawan fotografi, pembikin cerita dan penangkap gambar. Sungguhpun begitu, disebabkan dia tidak boleh bergerak, membuatkan dia terikat pada kerusinya sebagai spektator, lantas mengambil posisi phantasy sebagai spektator sinema.

Dalam Vertigo, kamera subjektif mendominasi. Selain satu babak imbas kembali dari sudut pandang Judy, naratifnya berkisar tentang apa yang Scottie nampak atau tidak. Spektator mengikuti perkembangan obsesi erotik serta kekecewaannya dari sudut pandangnya sahaja. Voyeurisme Scottie sangat jelas: dia jatuh cinta pada perempuan yang diekori dan diintipnya, meskipun mereka tak pernah berbual. Sisi sadisnya juga terang-terang kelihatan: dia memilih (dan bebas memilih, kerana dia pernah menjadi peguam yang berjaya) untuk menjadi pegawai polis, kerjaya yang memerlukannya terlibat dalam pemburuan dan penyiasatan. Natijahnya, dia mengekori, memerhati dan jatuh cinta pada satu imej sempurna bagi kecantikan dan kemisterian wanita. Bila dia berhadapan dengan Judy, dorongan erotiknya adalah untuk membuatkan Judy menyerah dan memaksanya menjawab pertanyaan yang bertalu-talu. Kemudian, dalam bahagian kedua filem, dia melakonkan semula penglibatan obsesnya dengan imej yang suka dilihatnya secara rahsia. Dia mengkonstruk semula Judy sebagai Madeleine, memaksanya untuk patuh pada setiap rinci termasuklah penampilan fizikalnya mengikut fetisy Scottie. Ekshibisionisme dan masokisme Judy menjadikannya pasangan pasif ideal kepada voyeurisme sadistik aktif Scottie. Judy tahu dia kena berlakon, dan hanya dengan terus melakonkan semula wataknya, baru dia boleh membuat Scottie terus berminat secara erotik. Tetapi melalui pengulangan ini, Scottie dapat membuatnya mengalah lantas berjaya mendedahkan rasa bersalah Judy. Rasa ingin tahu Scottie berjaya dan Judy dihukum. Dalam Vertigo, penglibatan secara erotik dengan pandangan membuat spektator keliru: keterpersonaan spektator makan diri apabila naratif membawa dan mengikatnya dalam proses yang dia sendiri sedang lakukan. Di sini, hero Hitchcock terletak kemas dalam aturan simbolik, secara naratifnya. Dia memiliki semua ciri-ciri superego patriarki. Oleh itu, spektator, yang dibuai dengan rasa selamat yang palsu daripada watak tumpangannya yang berada di sisi hukum, melihat menerusi pandangan watak tersebut dan mendapati dirinya turut bersubahat lantas terperangkap dalam kesamaran moral pandangan. Vertigo bukan sekadar menyentuh isu sumbaleweng polis,lebih penting lagi ia juga menumpukan kepada kesan pemisahan antara aktif/memandang, dan pasif/dipandang dari segi perbezaan seksual dan kuasa simbolik lelaki yang terangkum dalam idea seorang hero. Marnie juga turut berlakon untuk renungan Mark Ruthland dan menyamar sebagai imej yang-perlu-dipandang[38] yang sempurna. Mark juga orang yang berada di sisi undang-undang, namun kerana tenggelam dalam obsesinya pada rasa bersalah Marnie dan rahsianya, Mark ingin sekali melihat Marnie melakukan jenayah, membuatnya mengaku bersalah lalu menyelamatkannya. Maka, Mark juga turut bersubahat apabila dia bertindak mengikut implikasi kuasanya. Dia mengawal wang dan kata-kata, jadi dia boleh dapatkan apa yang dia mahu.

IV. Ikhtisar

Adegan ikonik dari Vertigo (1958)

Latar belakang psikoanalisis yang dibincangkan di dalam esei ini tepat untuk mengkaji kenikmatan dan ketidaknikmatan yang ditawarkan dalam filem naratif lama. Naluri skopofilia (kenikmatan dalam memandang orang lain sebagai objek erotik), dan sebagai perbandingan, libido ego (membentuk proses-proses identifikasi) bertindak sebagai mekanisme atau pembentukan yang diperguna oleh sinema. Imej wanita sebagai bahan mentah (pasif) untuk renungan (aktif) lelaki memajukan lagi hujah tentang struktur representasi, menambah satu lagi lapisan yang dituntut oleh ideologi aturan patriarki, apabila ia digerakkan dalam bentuk sinema kegemarannya—filem naratif ilusionis. Hujah ini merujuk kembali teori psikoanalisis di mana representasi wanita sebagai penanda pengembirian, mendorong kepada mekanisme fetisy atau voyeur untuk mengelakkan ancaman tersebut. Tiada satu pun lapisan-lapisan yang saling berkait ini intrinsik bagi filem, namun hanya melalui bentuk filemlah, percanggahan yang sempurna dan indah dapat dicapai, hasil daripada kebolehan sinema dalam menyusun atur pandangan. Sinema menjadi wahana untuk memandang, di mana pandangan boleh dipelbagaikan dan didedahkan. Inilah yang membuatkan sinema sedikit berbeza dari segi potensi voyeurnya, berbanding tarian bogel, teater, pertunjukan dan lain-lain. Daripada hanya sekadar menyerlahkan wanita sebagai apa-yang-perlu-dipandang, sinema pergi lebih jauh dengan menjadikan cara wanita dipandang itu sendiri sebagai satu spectacle. Dengan memanfaatkan ketegangan antara ciri-ciri filem sebagai wahana yang mengawal dimensi masa (suntingan, naratif) dan wahana yang mengawal dimensi ruang (perubahan pada jarak, suntingan), kod-kod sinema mencipta renungan, dunia, dan objek, lalu menghasilkan ilusi yang sepadan dengan kehendak. Kod-kod sinema ini dan hubungannya dengan struktur luaran formatif harus dileraikan sebelum filem arus perdana dan kenikmatan yang ditawarkannya boleh dilawan.

Sebagai permulaan (untuk sebuah penamat), pandangan skopofilia-voyeur yang merupakan bahagian terpenting dalam kenikmatan filem-filem lama juga boleh dirungkaikan lagi. Terdapat tiga jenis pandangan yang boleh dikaitkan dengan sinema: pandangan kamera yang merakam ruang di hadapan kamera[39], pandangan spektator yang menonton produk yang sudah siap, dan pandangan watak antara satu sama lain di dalam ilusi filem. Kelaziman filem naratif menafikan dua pandangan pertama dan meletakkannya di bawah pandangan ketiga, selalunya dengan tujuan untuk menghapuskan kehadiran kamera yang mengganggu dan mengelakkan kesedaran spektator yang boleh menghasilkan penjarakan. Dengan ketiadaan kedua-dua aspek ini (kewujudan nyata proses rakaman, pembacaan kritikal oleh spektator), barulah drama cereka mampu mencapai realiti, keketaraan dan kebenaran. Meskipun begitu, seperti mana yang dihujahkan esei ini, struktur pandangan dalam filem cereka naratif mengandungi percanggahan dalam premisnya sendiri: imej wanita sebagai ancaman pengembirian akan selalu menggugat kesepaduan diegesis dan memecahkan dinding dunia ilusi sebagai satu fetisy yang mengganggu, statik dan satu-dimensi. Oleh itu, kedua-dua pandangan tersebut yang wujud secara nyata dalam ruang dan masa tertakluk secara obsesnya di bawah keperluan neurotik ego lelaki. Kamera menjadi satu mekanisme yang melahirkan ilusi ruang Renaissance, pergerakan-pergerakan lancar mengikut kesesuaian mata manusia, ideologi representasi yang berlegar sekitar persepsi subjek; pandangan kamera pula dinafikan untuk mewujudkan sebuah dunia meyakinkan di mana pengganti penonton[40] boleh mencapai verisimilitud melalui lakonannya. Pada masa yang sama, pandangan penonton dihalang daripada memiliki daya intrinsik: sebaik sahaja representasi fetisy imej wanita mengancam untuk memecahkan dinding ilusi, dan imej erotik di layar dipaparkan secara langsung (tanpa pengantaraan) kepada spektator, fetisyisasi[41], yang menyembunyikan ancaman pengembirian, membekukan pandangan, mengikat spektator dan menghalangnya daripada menjarakkan diri daripada imej di hadapannya.

Interaksi kompleks antara pandangan ini ada khusus pada filem. Penentangan pertama terhadap longgokan agam kelaziman filem lama (yang sudah dilakukan oleh pengarah-pengarah filem radikal) adalah dengan membebaskan pandangan kamera kepada kejiriman[42] masa dan ruang, serta memerdekakan pandangan spektator kepada hubungan dialektik dan penjarakan penuh semangat. Tidak dapat disangkal lagi bahawa perkara ini akan melenyapkan kepuasan, kenikmatan dan keistimewaan “tetamu halimunan”[43], dan menyerlahkan bagaimana filem bergantung kepada mekanisme voyeur aktif/pasif ini. Namun, wanita, yang imejnya sentiasa dicuri dan diperguna untuk tujuan ini, tidak boleh melihat kemerosotan bentuk filem lama lebih daripada sekadar satu penyesalan sentimental sahaja.


[1] Terjemahan paling tepat untuk istilah spectacle belum ditemui—yang mana dalam konteks esei Laura Mulvey ini merujuk kepada persembahan atau elemen dalam persembahan yang mengkagumkan penonton/spektator. Walau bagaimanapun, dalam beberapa konteks tertentu dalam terjemahan esei ini, penterjemah menterjemahkannya kepada persembahan.

[2] Phallocentrism

[3] Castrated

[4] Lack

[5] Phallus

[6] Castration

[7] Castration threat

[8] The symbolic (order)

[9] Memory of maternal plenitude

[10] Memory of lack

[11] Signifier

[12] Name of the Father

[13] Law

[14] The imaginary (order)

[15] Male other

[16] Non-mother

[17] Imaginary memory

[18] The gaze

[19] Perversion

[20] Peeping Tom

[21] Istilah spektator digunakan oleh penterjemah untuk membezakannya dengan istilah penonton (audience/viewer). Dalam penteorian pengajian filem, istilah penonton digunakan untuk menggambarkan kolektif penonton sementara istilah spektator digunakan untuk mengambarkan (secara hipotetikal) penonton individu.

[22] Recognition

[23] Misrecognition

[24] Ideal ego

[25] Ego ideal

[26] Signification

[27] Castration complex

[28] The look

[29] Male gaze

[30] To-be-looked-at-ness

[31] Show-girl

[32] Screen surrogate

[33] Mirror-recognition

[34] Imaginary existence

[35] Law of the father

[36] Castration anxiety

[37] Ideological correctness

[38] To-be-looked-at

[39] Pro-filmic event

[40] Audience surrogate

[41] Fetishsation

[42] Materiality

[43]Invisible guest”