Sore itu, 10 November 2014, entah kenapa gubernur Jakarta, Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama, tetiba jadi selo. Biasanya Ahok harus rapat ini itu, tanda tangan sini, nyindir pejabat sana atau marahin bawahan yang itu. Sore itu ia jadi santai bak di pantai. Keanehan inilah yang menyebabkan redaksi Cinema Poetica bisa bertemu dan ngobrol ringan soal film di sela-sela beliau tanda tangan dokumen dan ngunyah pepaya.
Karena Ahok bukan tipe artis yang kalau wawancara harus tahu dan setuju dulu pertanyaannya apa, beliau sedikit blank ketika disuruh menyebut lima film yang paling berkesan dalam hidupnya. Beliau memang hobi nonton tapi ya nggak terlalu dipikirin kayak yang dilakukan para kritikus. “Apa ya? Banyak,” jawabnya, standar bak merek SNI. Saya tak hilang akal, saya coba tanya film yang akhir-akhir ini beliau tonton. Siapa tahu ada yang berkesan.
“Yang baru saya tonton ya Soekarno [Hanung Bramantyo, 2014]. Kita tahu ada tugu Dirgantara, apa kenapa. [Jangan tanya maksud ‘apa kenapa’ itu apa, saya juga kurang paham] Banyak sih film-film bagus sebetulnya, tapi terakhir paling ingat ya itu,” jawabnya, “Scene yang paling saya ingat adalah dialog Bung Karno dengan Muhammad Hatta. Pada saat itu Bung Karno tanya, bagaimana kalau sampai kita gagal? Bung Hatta jawab, biar sejarah yang membersihkan nama kita. Itu keren itu.”
Ahok, yang dilantik jadi gubernur dengan banyak drama itu, memang gemar sejarah. Kalau ke rumahnya, Anda bisa lihat koleksi buku-buku biografi dan sejarah beliau. “Jadi Bapak mau jadi kaya Soekarno?” tanya saya, yang ditanggapi dengan sedikit pandangan curiga. Pertanyaan itu terlintas begitu saja di benak saya; apabila Ahok suka Soekarno, bisa saja presiden pertama kita itu memang panutan beliau.
“Soekarno model apa dulu ini? Yang versi mana ini? Kalau yang doyan perempuan, bisa jadi masalah itu. [Tertawa] Aku kira film itu jujur ya. Soekarno itu emang kayak magnet. Cewek kalau lihat dia kayak histeris aja,” jawabnya. Bisa juga gubernur satu ini menjawab hati-hati, biasanya ceplas-ceplos saja. Dan Ahok mengerti juga inti film Hanung yang satu itu. Film Soekarno buatan Hanung memang banyak membahas tentang tokoh prokalamator kita bak artis Korea yang digilai banyak perempuan.
Setelah agak lama, Ahok mulai tune in. Beliau mulai menggali ingatan tentang film-film yang ia suka sejak dari kecil. Maklum, Ahok yang besar di Gantung, Belitung Timur, sudah akrab dengan dunia film sejak kecil. Ayahnya seorang pengusaha timah sukses, yang diversifikasi usahanya juga sampai ke bioskop permanen dan keliling. Mungkin kapan-kapan filmmaker kita bisa curhat ke beliau soal distribusi dan ekshibisi film di Jakarta. Insya Allah beliau paham.
“Ada film Hong Kong yang lucu banget. Itu kisah film penulis buku terkenal bagaimana suami-suami menghadapi istri yang galak. Dia tulis buku tentang cara cara menghadapi istri sampai dia punya banyak fans. Saking banyaknya fans ini, mereka ingin jumpa penulis. Mereka gak nemu alamatnya karena dirahasiakan. Akhirnya mereka cari siapa penulis buku ini. Di akhir cerita ketemulah si rumah penulis. Semua fans datang ketok ketok pintu. Rumahnya sepi, ditungguin, mana nggak keluar keluar juga. Akhirnya mereka paksa manjat jendela kamar mandi pengen tahu apa yang terjadi di dalam. Begitu lihat di dalam, film itu habis. Tahu gak abisnya gimana?” ceritanya panjang lebar sambil memberi sedikit spoiler alert, “Itu pengarang buku lagi dirantai dan dipukul-pukulin sama istrinya. Ternyata buku itu adalah kompensasi, karena dia gak bisa ngelawan istrinya.”
Saya ikut tertawa sekaligus berpikir keras judul film tersebut. Saya coba tanya-tanya beliau soal film itu, siapa tahu beliau ingat judulnya apa dan tahun berapa dibuatnya, tapi apa boleh buat beliau sudah tak ingat. Sampai tulisan ini diturunkan, kami tetap tidak bisa menemukan judul film yang dimaksud Ahok. Kalau ada pembaca yang tahu, mohon hubungi redaksi Cinema Poetica.
Cerita lucu mengingatkan Ahok pada komedi-komedi tahun 70an. Beliau menyebut film Bing Slamet Dukun Palsu (Motinggo Boesje, 1973). “Saya masih inget jampi jampinya: dung dung pret dung dung pret,” ucapnya bernostalgia sambil terkekeh-kekeh. Ahok, yang terkenal galak dengan komentar-komentar pedasnya bak cabe sepuluh ini, juga gemar film Ateng dan Iskak. “Saya juga ingat film Ateng Iskak Koboi Cengeng [yang dimaksud Bing Slamet Koboi Cengeng, film Nya Abbas Akup tahun 1974]. Itu lucu banget. Ateng kan diikat, kemudian dia ditodong pistol sama penjahatnya. Karena kena perutnya kan geli. Dia ketawa dan nggak bisa berhenti.”
Kesukaan Ahok terhadap film berlanjut hingga beliau remaja dan tua. Ia bercerita bahwa tempat menonton favoritnya di Gadjah Mada Plaza (dulu namanya Galaxy dan Century), Golden Truly di Gunung Sahari, juga bioskop di Pluit Plaza. Ahok memilih tempat-tempat itu karena dekat dengan rumah beliau di Muara Karang. Juga karena murah.
Ahok memang terkenal hemat. Sifat ini yang bikin banyak pejabat DKI ketar-ketir karena hobi beliau corat-coret usulan anggaran. “Dulu kalau lagi suntuk, saya suka ke bioskop. Seharian, menonton tiga sampai empat film. Enak membayangkan kehidupan orang lain, jadi mengkhayal di dalam,” ungkapnya. Kalau nggak jadi gubernur, ada bakat sebenarnya jadi kritikus kalau frekuensi nontonnya segini. Sampai sekarang Ahok juga masih rajin nonton ke bioskop, terutama bersama anak-anaknya, salah satunya Nicholas Sean Purnama yang ganteng itu (sila cek Google kalau tidak percaya). “Saya lebih suka nonton di bioskop, lebih seru. Gede dan suaranya bagus banget. Ada (home theater) sih di rumah, kenceng juga. Suasananya beda sama nonton di rumah. Sama anak-anak juga nonton di rumah, suka nonton HBO, Cinemax, Fox Movie,” katanya.
Film terakhir yang beliau tonton dengan anak-anaknya, setidaknya sampai dengan wawancara ini, adalah The Equalizer (Antoine Fuqua, 2014). “Tadinya mau nonton November Man tapi udah gak keburu,” katanya. Ahok memang menyukai film-film action and perang, meski dari tadi lebih banyak ingat film komedi.
Bagi Ahok, film bukan hanya hiburan tapi juga pelajaran. Tak pelak ia sering mengajak pegawai-pegawai negeri pemerintah daerah untuk menonton bersama, untuk mempelajari tentang kehidupan Jakarta atau tentang korupsi. Ahok yang kurang doyan blusukan ini bilang supaya mereka mengerti kalau bikin program nggak sembarangan dan tepat sasaran (amin!). Film-film yang Ahok pernah tonton rame-rame bersama pegawainya di antaranya Negeri Tanpa Telinga (Lola Amaria, 2014); Jalanan (Daniel Ziv, 2013); dan Tabula Rasa (Adriyanto Dewo, 2014). Mari berdoa bahwa hobi Ahok ini bisa berpengaruh pada kebijakan yang positif untuk perkembangan industri film di Jakarta. Kalau harapan ini terasa muluk-muluk, ya sudahlah.