Lima Film Pilihan untuk Menghindari Kerepotan

fulan-dea-anugrah_hlghSebagai anggota ordo penghindar kerepotan dan pengagum hewan kukang, mestinya saya tidak mengerjakan tulisan ini, atau menolak permintaan untuk mengerjakan tulisan ini, atau menutup kotak chat sepersekian detik setelah Windu bertanya: Oi, Pace, ko lagi apa kah?

Tapi ternyata saya lemah sekali. Tekad dan keterampilan mengelak dari kerepotan yang ditempa serangkaian latihan keras itu tiba-tiba hilang daya. Saya terbujuk habis-habisan oleh rasa sayang dan ketidakinginan bikin kecewa bapatua yang selalu membiarkan saya membaca buku atau nonton film sambil tidur-tiduran dan pada akhirnya benar-benar tertidur di sofa perpustakaan yang ia kelola.

Lagi pula, pikir saya waktu itu, menulis tentang lima film kegemaran bukanlah hal yang kelewat merepotkan. Windu bilang tenggatnya awal Oktober dan saya menyanggupi. Kini, menjelang Oktober, saya baru sadar, bahwa pikiran yang saya kemukakan di awal paragraf ini adalah bidah yang mesti diganjar tujuh kali cambuk menurut hukum ordo kami. Tapi biarlah. (Scholtheim Agung XIV, seorang penghindar kerepotan yang hidup pada abad-13, dipacul kepalanya karena mengatakan tapi biarlah).

Kelima film di bawah ini dipilih oleh narator Anda yang lemah hati atas dasar subyektivitas dan pertimbangan yang santai-santai saja. Sebagian digemari karena jagoannya bicara hal-hal yang ingin dibicarakan oleh narator atau mengalami nasib yang serupa dengannya, sedang sisanya dipilih, tentu saja, berdasarkan alasan-alasan lain yang tersisa. Daftar disusun secara alfabetis dan tidak menunjukkan peringkat.

fulan-dea-anugrah-01_

Ali G Indahouse (Mark Mylod, 2002)

Tidak memasukkan karya Sacha Baron Cohen dalam daftar ini adalah kejahatan, dan itu bukan dari jenis kejahatan yang baik seperti bicara kotor atau mengencingi pos ronda.

Sebenarnya, posisi Ali G Indahouse dalam daftar ini boleh diganti dengan fim-film Cohen yang lain, The Dictator atau Borat, misalnya. Apa saja kecuali Brüno. Bukan karena ia film yang buruk atau kurang jenaka atau saya menganggapnya ofensif. Brüno tak kalah menghibur dibandingkan dengan karakter-karakter Cohen yang lain. Yang bikin ia tak bisa jadi favorit saya (meskipun saya terpingkal-pingkal sampai nyaris kencing di celana waktu menontonnya) adalah keinginan menggebu Brüno untuk jadi tenar, atau dalam bahasanya sendiri: “Mein plan was to become the biggest gay movie star since Schwarzenegger” dan “I am going to be the biggest Austrian celebrity since Hitler.”

Fiksional atau bukan, saya benci orang-orang yang berhasrat jadi pesohor.

fulan-dea-anugrah-02_

Butch Cassidy and the Sundance Kid (George Roy Hill, 1969)

Saya menyukai The Good, The Bad, and The Ugly, For a Few Dollars More, dan Unforgiven. Dua yang pertama disutradarai Sergio Leone dan yang terakhir oleh Clint Eastwood—yang juga memerankan tokoh utama di ketiga film tersebut. Saya kerap menonton ulang bagian-bagian yang saya senangi dari film-film itu—adegan tembak-tembakan topi dalam For a Few Dollars More, misalnya. Tapi jika ditanya “siapa jagoan wild west kegemaranmu?” kemungkinan besar saya akan bilang Butch Cassidy yang diperankan Paul Newman.

Saya mengagumi kemampuan Butch dalam berpikir cepat dan meyakinkan orang. Ingat bagaimana ia memenangkan duel melawan Harvey Logan? Logan, dengan badannya yang tegap dan penuh otot itu, tampaknya mustahil bisa dirobohkan dengan tangan kosong oleh koboi kurus beruban mana pun; tapi Butch bicara dan bicara dan bicara, membikin Logan kelewat yakin pada dirinya sendiri dan lengah, lalu Butch menendang biji pelir Logan dan menghantam rahangnya sekuat tenaga.

Seorang teman perempuan yang saya ajak menonton film ini terkulai seperti bayam ketika Butch dan Kid memutuskan untuk menyerbu puluhan polisi/tentara yang mengepung mereka di akhir cerita. Ia bilang, adegan itu mengingatkannya pada potongan lirik lagu-tema Tokyo Drifter: If I die, like a man I’ll die.” Itu membuat kawan saya sedih. Saya menepuk-nepuk pundaknya dan meyakinkan dia bahwa perempuan dewasa boleh menangis kapan saja, tidak hanya ketika ditinggal kawin atau terlambat datang bulan.

fulan-dea-anugrah-03_

Hana-bi (Takeshi Kitano, 1997)

Bagian ini sebenarnya jatah film-film tentang wiseguys. Saya punya kecintaan khusus terhadap para pebisnis kejahatan terorganisir tersebut. Seandainya ayah saya datang dari Sisilia (bukannya Jawa Barat) dan menikah dengan perempuan yang juga berdarah Italia (bukan Tionghoa), besar kemungkinan saya tumbuh dewasa dengan mengagumi para Don alih-alih Jet Li, dan mempelajari seni “penawaran yang tak bisa ditolak”—bukannya feng shui—sejak dini.

Seperti banyak orang, favorit saya adalah trilogi The Godfather. Tapi, sialnya, saya selalu kerepotan menjelaskan hal-hal yang saya senangi secara berlebihan. Saya memelototi monitor selama sejam dan menaruh jari-jari di keyboard sesuai pakem kursus mengetik dan tidak berhasil menulis satu kalimat pun. Terdorong oleh keputusasaan plus naluri mempermudah diri sendiri, akhirnya saya ganti memikirkan Goodfellas, Casino, Scarface, dan Mean Streets. Tapi hasilnya sama belaka.

Lalu saya ingat Hana-bi, film yang bercerita tentang seorang polisi bernama Nishi Yoshitaka. Baik dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadi, masalah yang dihadapi Nishi benar-benar tak ada habisnya. Kesulitan demi kesulitan muncul dan berkembang biak dengan cepat seperti elit PKS: sahabatnya tertembak dalam tugas dan menjadi cacat permanen, istrinya terkena leukemia, ia sendiri terlilit utang dengan kelompok yakuza, dan sebagainya. Takeshi Kitano menyampaikan semua itu secara menarik. Ia meramu brutalitas dengan melankoli, kemurungan dengan humor, dan membungkus kompleksitas masalah dengan gaya bercerita yang ganjil.

Saya tidak punya alasan untuk tak menggemari Hana-bi.

fulan-dea-anugrah-04_

In the Mood for Love (Wong Kar-wai, 2000)

Seorang kenalan saya—kali ini seorang laki-laki—pernah mengatakan bahwa kisah cinta terbaik sepanjang masa adalah kisah pria yang menggunting senja demi seorang perempuan. Ia mengucapkan itu dengan gaya deklamasi. Gagah sekali. Saat itu saya duduk berselonjor sekitar tiga meter di belakangnya dan nyaris mati menahan hasrat untuk memadamkan rokok di ubun-ubunnya.

Seminggu setelah kejadian itu, kebetulan kami bertemu lagi dan saya mengundangnya ke pemutaran film-film Wong Kar-wai di perpustakaan Literati. Salah satu film yang ditayangkan adalah In the Mood for Love. Saya tanya apakah ia masih berminat pada kisah-kisah cinta? Ia menjawab ya dan berjanji—lagi-lagi dengan lagak dramatis—akan datang bersama serombongan gadis manis yang gampang terharu pada kisah cinta. Saya tentu saja gembira dan segera merasa bersalah karena pernah berniat mencelakakannya. “Ia mungkin orang yang lugu, tapi hatinya baik,” begitu pikir saya sesaat setelah kami berpisah jalan.

Sampai lima menit menjelang pemutaran film In the Mood for Love, saya secara khusus menunggu ia dan rombongannya datang. Tapi ia tidak datang. Saya pikir ia lupa dan saya meneleponnya untuk mengingatkan. Ia mengangkat telepon pada panggilan kedua. Saya tanya apakah nomor yang saya hubungi benar. Ia bilang ya dan bertanya balik: “Ini siapa?” Saya menyebutkan nama saya dan mengingatkannya perihal undangan menonton. Ia minta maaf karena tidak ingat siapa pun yang bernama seperti itu dan bilang tidak pernah berencana datang ke pemutaran film mana pun. “Tapi kau bilang kau ingin nonton film tentang kisah cinta terbaik sepanjang masa, kan?” kata saya. “Tidak,” ujarnya, “lagi pula, mustahil ada kisah cinta yang lebih dahsyat ketimbang kisah seorang pria yang menggunting senja buat pacarnya.”

Saya mengucapkan terima kasih, menutup telepon dengan perasaan riang, dan segera melangsungkan acara. Kapan-kapan, kalau kami bertemu lagi, saya akan membenturkan kepalanya ke aspal.

fulan-dea-anugrah-05_

Stardust Memories (Woody Allen, 1980)

Saya mengenal Woody Allen lewat Love and Death (1975). Itu pengalaman menonton yang benar-benar menyenangkan. Dan karena pengalaman-pengalaman menyenangkan cenderung membuat kita ingin mengulanginya lagi, sejak itu saya mencari film-film Woody Allen yang lain.

Yang mula-mula menjerat saya adalah dialog dan narasi khas Allen yang tidak hanya jenaka, tapi juga “licin”. Misalnya:

“You’re disgusting, but I love you” “Well, my disgustingness is my best feature

Atau:

You can’t control life. It doesn’t wind up perfectly. Only art you can control. Art and masturbation. Two areas in which I am an expert.”

Saya menyukai tokoh-tokoh utama—sebagian besar diperankan oleh Allen sendiri—yang cerewet, mengasihani diri sendiri, gemar mencemooh dan terkesan membenci apa saja. Dan Stardust Memories adalah salah satu yang terbaik dalam poin-poin tersebut. Tapi, kira-kira apa tujuan Woody Allen membuat film tentang sutradara fiktif yang ngehek itu? Apa yang ia pikirkan? Konon Stardust Memories adalah film yang paling tidak disukai para penggemarnya. Jadi, sekali lagi, buat apa?

Seorang karakter dalam novel I am a Cat karya Natsume Soseki mengatakan: “Please never confuse … with my heaven-sent-taste for the comicality of things. Should such confusion prevail, the God of Comedy would have no choice but to weep for mankind’s lack of perspicacity.” Entah apa tujuan Stardust Memories, tapi bagi saya, ‘heaven-sent-taste for the comicality of things’ itulah yang berharga darinya.