Mengapa Hantu Indonesia Selalu Perempuan?

Pertanyaan ini sebenarnya tidak hanya berlaku di Indonesia. Di berbagai kawasan Asia Tenggara, dari Malaysia, Thailand hingga, Burma, perempuan kerap hadir sebagai figur hantu mengerikan dalam berbagai ceritera rakyat dan film horor.

Di Indonesia, kita punya figur hantu Mak Lampir, Nini Pelet, Nyi Blorong, Sundel Bolong, Pontianak, sampai Nyi Roro Kidul. Semuanya perempuan. Di dunia perfilman, Suzanna dikenal sebagai ikon hantu dalam sejarah modern film horor Indonesia. Pertanyaannya: mengapa perempuan? Mengapa hantunya bukan Zainal Abidin atau WD Mochtar, dua tokoh yang sering menjadi figur bapak otoriter dalam film zaman rezim Orde Baru?

Saya punya beberapa penjelasan antropologis yang mungkin bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Struktur Masyarakat

Hampir semua struktur kekerabatan di Asia Tenggara dan Jawa bersifat bilineal. Dalam artian, dua kekuasaan diberikan seimbang antara laki-laki dan perempuan, walau masing-masing punya porsi dan spesialisasi kerja yang berbeda.

Urusan harta warisan, misalnya. Dalam tradisi fikih atau hukum waris Islam, anak laki-laki mendapat warisan lebih dibanding anak perempuan. Dalam masyarakat bilineal, harta warisan rumah dan urusan domestik biasanya diserahkan kepada anak bungsu atau kepada perempuan. Oleh karena itu perempuan seringkali digambarkan menjadi penghuni rumah. Bahkan, kelak hingga mati, ia masih menghantui tata urusan warisan di generasi selanjutnya. Di beberapa perkebunan teh atau kopi di Jawa, perempuan menempati kelas hantu paling mengerikan, karena sepanjang hidupnya perempuan banyak mengurusi warisan dan properti yang dijatuhkan kepada mereka.

Pada struktur kekerabatan patrilineal, seperti di Batak dan Maluku, garis marga ditarik dari garis laki-laki. Sepintas, laki-laki tampak punya kuasa lebih. Nyatanya, pada praktik keseharian, perempuan justru punya kuasa lebih dibanding laki-laki. Jodoh memang diciptakan Tuhan, tapi mama/ibu yang mengaturnya. Coba perhatikan, ada berapa orang Ambon atau Batak yang gagal menikah dengan perempuan yang dicintainya, hanya karena mama/ibu tidak setuju. Sedangkan si bapak selalu anteng-anteng saja dan cenderung mengikuti keinginan anak laki-lakinya. Oleh karena itu ibu justru menjadi sosok yang ditakuti. Studi antropologi James Hagen (1996) di Seram Selatan, Maluku, menunjukkan banyak anak laki-laki yang membawa lari tunangannya hanya karena ibunya tidak menyetujui hubungan mereka.

Dalam pandangan saya, struktur masyarakat orang Indonesia lebih didasarkan pada usia, daripada perbedaan gender seperti dalam ideologi feminisme barat. Orang menghormati orang lain bukan karena perbedaan jenis kelamin, tapi karena perbedaan usia. Itu kenapa, jika Anda sering bercakap-cakap dengan orang asing di terminal atau di kereta, pertanyaan yang sering ditanyakan adalah “Umurnya berapa mas?”

Tidak heran jika semakin berusia seorang perempuan, semakin ia dihormati. Perempuan Indonesia dihormati ketika ia memasuki masa menopause. Berbeda dengan perempuan di Barat yang semakin sendiri dan kesepian pada usia tua, perempuan di Indonesia justru semakin sibuk. Ia mengurusi cucu-cucunya dan semakin dihormati anak-anaknya. Perempuan berusia lanjut di Indonesia cenderung menghabiskan waktunya untuk beribadah. Ia teramat dipatuhi dan tidak lagi bergantung pada suaminya (yang mungkin sudah meninggal).

Perempuan berusia lanjut juga cenderung menjadi manajer di dapur ketika bekerja. Ia tinggal memerintah saja bumbu-bumbu apa saja yang harus dimasukkan dalam masakan. Usia harapan hidup perempuan lebih panjang dibanding laki-laki, sehingga usia penghormatan terhadap dirinya juga jauh lebih panjang. Karena itu, figur perempuan bukan saja menjadi dihormati tapi juga disegani. Dalam berbagai mitologi, sosok itulah yang kemudian dibentuk citranya menjadi menakutkan.

Di tengah banyaknya diskriminasi terhadap perempuan, saya mencoba melihat dari perspektif lain. Modernitas mengubah relasi gender dalam rumah tangga, yang memungkinkan perempuan menjadi kepala keluarga karena ia yang memasok kebutuhan ekonomi. Dalam berbagai studi antropologi, perempuan punya kekuatan lebih dibanding laki-laki dalam memendam hasrat mereka terhadap seks dan uang. Itu kenapa perempuan seringkali menjadi manajer dan pengaturan keuangan dalam rumah tangga. Hal-hal ini yang memicu kecemasan laki-laki. Keberadaan hantu perempuan merupakan perwujudan dari alam bawah sadar, dari ketakutan masyarakat modern terhadap perempuan.

Bomoh, pengusir setan yang sering membantu buruh pabrik kesurupan. Fotonya sering dipajang di dinding-dinding pabrik.

Kerasukan di Pabrik

Di perspektif yang berbeda, antropolog Aihwa Ong (1987) melihat perempuan dan hantu dalam perspektif ekonomi moral. Studi beliau tentang buruh di Selangor dan Kedah, Malaysia, menunjukkan bahwa buruh perempuan mempunyai moralitas yang longgar karena mereka jauh dari sanak famili, jauh dari kontrol saudara laki-laki. Mereka bisa pulang ke kos jam kapanpun dan tidak ada pengawasan yang ketat. Buruh perempuan juga menghabiskan uangnya untuk membeli pakaian dan kosmetik, tidak memenuhi aturan kampung, serta memiliki hubungan yang melintasi batas ras dan etnis—tak sedikit buruh perempuan yang berpacaran dengan etnis Cina.

Karena itu, gambaran pengekangan terhadap perempuan sebenarnya menunjukkan moral anxiety atau kecemasan moral dalam struktur patriarki. Daerah buruh industri Malaysia, yang kebetulan dikuasai oleh partai konservatif PAS (Partai Islam se-Malaysia), mengharuskan perempuan baik-baik saja sesuai harapan laki-laki.

Menariknya, perempuan yang dianggap bermoral lemah mudah sekali kena hantu atau kerasukan setan. Dibanding laki-laki, tercatat lebih banyak buruh perempuan yang kerasukan jin atau setan di sekitar wilayah pabrik. Aihwa Ong mensinyalir histeria buruh perempuan yang kerasukan setan di kawasan pabrik ini karena dikekangnya kebebasan mereka. Buruh perempuan yang kerasukan setan adalah mereka yang mengalami masa transisi dari perdesaan ke wilayah urban, dari sistem pekerjaan desa yang santai menuju pendisiplinan pabrik.

Kerasukan setan menunjukkan perlawanan terhadap otoritas laki-laki yang direkonstruksi dalam mode kapitalisme pabrik. Kerasukan setan, juga perwujudan perempuan sebagai sosok hantu, merupakan kemarahan terhadap tekanan laki-laki, beban kerja yang tidak manusiawi, pelecehan seksual, dan upah yang tidak naik. Ditambah keharusan perempuan mengirim uang (remittance) untuk menghidupi keluarga di desa asal mereka. Lengkap sudah. Dengan kata lain, perempuan kerasukan setan di wilayah pabrik merupakan tindakan passive-aggresive, atau perlawanan tidak langsung, karena tingkat stres yang tinggi namun tidak dapat diekspresikan. Lebih penting lagi, fenomena buruh perempuan kerasukan setan turut terkait dengan tidak adanya labor union atau sarekat kerja, khususnya untuk perempuan, sehingga keluhan-keluhan buruh perempuan tidak dapat disampaikan dengan baik.

Phalat khik, jimat untuk menangkal serangan ‘hantu janda’.

Transisi Kapitalisme

Hantu perempuan lahir dari masa transisi kapitalisme, dari masyarakat pertanian ke industri. Transisi ini menggiring ambiguitas laki-laki dalam melihat peran baru perempuan sebagai pekerja. Studi menarik dari Mary Beth Mills (1995) tentang serangan ‘hantu janda’ (phii mae maai) di Isan, Thailand Timur Laut, menunjukkan hal tersebut. Isan adalah daerah miskin perbatasan Thailand dan Laos, yang paling banyak memproduksi buruh migran perempuan ke Bangkok. Bahkan mayoritas pekerja seks di Bangkok berasal dari desa Isan. Hal ini membuat frustasi bagi suami-suami yang ditinggalkan di desa, yang hanya bekerja sebagai petani. Pada saat yang sama, mereka tidak bisa menekan perempuan untuk tidak bekerja di Bangkok, karena biaya hidup modern di Isan meningkat, mulai dari biaya sekolah, transportasi, kesehatan, hingga pembelian pupuk untuk pertanian. Modernitas menjadi musabab bagi kecemasan laki-laki yang tidak mampu menyelaraskan biaya hidupnya.

Pada 1990an, tingkat kecemasan dan kerentanan memuncak sehingga isu phii mae maai atau serangan hantu janda meruyak di segala penjuru desa Isan. Hantu janda ini digambarkan haus seks dan menyasar para perjaka di Isan. Untuk melindungi serangan hantu janda yang dipercaya mampu menyebabkan sakit dan kematian, warga memasang patung phallus (berbentuk kontol) yang terbuat dari kayu di depan gardu kampung. Beberapa laki-laki juga menggunakan jimat kontol-kontolan ini di pergelangan tangannya, atau yang disebut dengan phalat khik. Menariknya, untuk menghindari serangan hantu janda, banyak laki-laki yang berdandan seperti waria (male transvestite). Mereka mengenakan daster, bedak dan gincu agar phii mae maai tidak tertarik.

Kemunculan phii mae maai adalah kecemasan dunia laki-laki terhadap modernitas, sekaligus kecemasan terhadap kapasitas perempuan beradaptasi terhadap modernitas dengan menjadi buruh migran. Pemasangan phallus laki-laki ditujukan untuk memuaskan phii mae maai yang digambarkan haus seks sekaligus rakus terhadap dunia kerja modern. Namun, ketakutan terhadap janda haus seks ini merupakan kebalikan dari realitas sebenarnya, di mana perempuan diharuskan pasif dalam seksualitas. Laki-laki lebih aktif untuk urusan seks, bahkan sering jajan ke prostitusi kalau ada uang berlebih.

Studi Mary Beth Mills ini mirip dengan kajian Michael Taussig, The Devil and Commodity Fethisisim in South America (1980). Para petani di Kolombia berubah menjadi buruh perkebunan. Mereka mendapatkan uang dengan mudah, namun cepat sekali terjerat dengan hutang karena tingginya hasrat konsumsi. Kapitalisme dan modernitas kemudian dianggap seperti hantu atau setan yang bukan hanya menimbulkan kecemasan, tapi juga kemelaratan. Melalui kepercayaan dan ritual terhadap setan, buruh perkebunan kemudian mengakui bahwa kapitalisme mempunyai kekuatan magis yang bahkan dapat membuat orang meninggal dalam keadaan melarat.

Mengapa figur hantu mengerikan selalu perempuan kini mulai terungkap. Ia hadir seiring dengan kecemasan laki laki dalam menyikapi transisi pra kapitalis ke industri kapitalisme. Figur hantu perempuan menunjukkan bentuk ketakutan masyarakat patriarki, sekaligus frustasi terhadap modernitas yang mewajibkan orang untuk harus selalu maju dan mampu bersaing. Norma kecemasan ini diproduksi dalam ratusan film horor Indonesia yang melalui sosok hantu perempuan. Jika pengusir hantu dalam film versi lawas Pengabdi Setan (1980) adalah seorang agamawan/ustad dan kini ia justru mati dibunuh oleh setannya (2017). Tapi ada satu hal yang belum berubah dan mungkin tidak akan pernah berubah: hantunya tetap perempuan.

Artikel ini merupakan hasil penyuntingan dari tulisan berjudul sama yang pertama kali tayang di blog pribadi penulis.