Setelah kehabisan tiket, lupa jadwal pemutaran, info terlambat, dan kosongnya stok di rental film, saya akhirnya punya kesempatan menonton Cin(T)a setelah sekian lama tertunda. Ketika film ini diputar di berbagai festival dan acara khusus di universitas-universitas, teman-teman saya berkomentar, “bagus sih,” dan kemudian sibuk menirukan dialog-dialog yang memang cerdas dan catchy itu. Cin(T)a adalah film dengan premis sensitif dan menggugah: kisah cinta dua manusia beda agama. Cina dan Annisa adalah mahasiswa arsitek. Meski sama-sama anak arsitek, perbedaan mereka banyak: mulai dari suku, agama, angkatan, jenis kelamin, status sosial, otak, sampai pandangan hidup. Dalam kasus ini, agama bukan sekedar bagaimana cara menyembah Tuhan, tapi juga tradisi, pola pikir, gaya hidup, dan karakter. Perbedaan-perbedaan inilah yang kerap menimbulkan masalah. Namun, dalam film ini, masalah terbesarnya adalah keduanya sangat cinta kepada agama masing-masing. Tema seberat ini bagi saya, ceritanya pasti akan sampai berdarah-darah (dramanya) dan turun naik-turun naik (emosinya), apalagi settingnya di Indonesia, di mana pernikahan beda agama belum lumrah dilakukan.
Namun sayang, eksekusi film ini kurang bagus. Baru 30 menit menonton, saya sudah sibuk memandangi timer DVD player dan gelisah tak karuan. Film ini rasanya sangat lama. Dialognya memang lucu, menarik, cerdas, atau apalah. Gambarnya pun digarap dengan sangat hati-hati dan teliti, bahkan terlalu teliti. Sampai seolah-olah ada suara atau sorot mata yang bilang: “Lihat ini gua buat film keren, lihat baik-baik gambarnya, bagus kan?! Sinematografinya mantap, komposisinya ok. Lihat dialognya, cerdas kan?! Gua beda nih sama film serampangan! Lihat baik-baik, ayo pelototin!” Begitu terus sampai akhir cerita dan terus terang saja itu melelahkan dan menggelisahkan.
Perihal karakterisasi tokoh-tokoh, film ini sudah sangat baik. Saya suka karakter Cina, kecuali bahasa inggrisnya yang lancar jaya, ia terlihat luwes memerankan orang dengan dua juta optimisme dan kelugasan hidup. Adegannya lompat-lompat dan makan apel yang tak pernah habis itu jadi ciri khasnya. Sedangkan Annisa yang lembut dan selalu sedih ini adalah karakter yang penuh kejutan. Dia awalnya terlihat sendu dan bodoh, tapi ternyata pintar juga, kecuali soal arsitektur. Ia selalu mampu menyambung apapun yang dikatakan Cina tentang dunia dan Tuhan. Misalnya, ketika Cina bilang; “Kalau nggak kamu aja pindah agama?” Annisa membalas, “Masih mau loe sama gua, Tuhan aja berani gua khianatin, apalagi elo nanti.” Wow!
Masalahnya: apa pentingnya dialog-dialog di atas bila tidak mendukung narasi? Apa gunanya juga kalau cerita tak bergeser dari dua mahasiswa arsitek bicara soal Tuhan dan multikulturalisme? Plot baru berjalan maju ketika terjadi pengeboman di beberapa gereja di Indonesia ketika malam natal. Annisa dan Cina sama-sama terpukul karena mereka begitu mengagungkan perdamaian atas nama Tuhan. Alasan itu yang dipakai sampai akhir cerita mengapa mereka berdua akhirnya berjarak. Bukan tak menaruh simpati pada pengeboman itu, namun hal itu jadi sangat tak berdasar untuk dijadikan motif yang kuat mengapa Cina berubah dan mereka tak lagi bersama. Ada tiga hal yang mendukung pendapat saya barusan. Satu, semua orang tahu konflik beragama bukan urusan kemarin sore, sejak Perang Salib dulu Islam dan Kristen bawaannya gontok-gontokan melulu. Dua, pemboman gereja tidak menyangkut Cina secara pribadi. Bukan keluarganya yang tertimpa musibah. Masalah terberat dia hanya masalah ekonomi. Karena tidak mendapat beasiswa padahal nilainya paling tinggi di kelas, Cina merasa tak dianggap warga negara. Ia ingin melanjutkan sekolah ke Singapura, yang menawarkannya beasiswa. Tiga, tidak ada konflik apa-apa pada level personal dan keluarga. Mereka belum duduk berdua menghadap orang tua Annisa dan bilang, “kami ingin menikah, tapi tidak mau pindah agama.” Tidak ada juga adegan si ibu menangis dan ayah muntab. Lantas kenapa mereka jadi mutung sendiri dan memutuskan berpisah? Atau dari awal memang mereka tidak percaya bahwa cinta bisa mengatasi perbedaan agama?
Bagi saya, film ini mengkhianati pesannya sendiri. Sayang sekali. Padahal ketika Cin(T)a mulai dengan wawancara tentang dua orang beda agama yang ingin menikah, film ini sudah berasa sangat manis (terbukti dari semut yang tak pernah absen di setiap scene). Scene ketika keduanya bersama pun puitis. Masalahnya: setelah manis kemudian apa?
Cin(T)a | 2010 | Sutradara: Sammaria Simanjuntak | Negara: Indonesia | Pemain: Saira Jihan, Sunny Soon