Maaf, Kami Punya Segudang Maaf

Cuplikan film Sejauh Kumelangkah karya Ucu Agustin (Foto: In-Docs)

Maaf adalah kata sakti. Setidaknya, ia bisa menyelesaikan banyak kasus pelanggaran hak cipta di Indonesia. Pada akhir Mei 2020, sebuah perusahaan properti di Bekasi membuat acara drive-in yang belakangan diketahui memutarkan film Indonesia dan film asing tanpa izin. Salah satu pemilik film mengajukan protes dan somasi yang ditanggapi permintaan maaf.[i] Penyelenggara drive-in pun mengubah program kegiatannya. Kasus soal pembajakan dan pelanggaran hak cipta itu dianggap selesai.

Pada pertengahan Agustus, seorang menteri menyebarkan tautan film bajakan tentang kepahlawanan di media sosialnya demi membangkitkan gairah kebangsaan para pembaca pesan atau pengikutnya. Tindakan “atas nama” memang sering membuat orang lupa daratan dan menyangkal lautan. Teguran seorang sineas berpengikut 1,7 juta akun, hampir sepuluh kali lipat pengikut akun sang menteri, membuat pesan di media sosial tersebut segera dihapus dari jagad maya.[ii] Sosok pimpinan kementerian yang di dalamnya menyandang kata Reformasi itu pun tak hanya menghapus pesannya tapi juga segera minta maaf, yang kemudian disambung dengan seruan betapa pentingnya menghargai hak cipta.

Nyatanya, kita tak beranjak. Pada 5 Juni, dokumenter Sejauh Kumelangkah karya Ucu Agustin tayang di TVRI, dalam rangka program Belajar dari Rumah milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Film yang sama kemudian disiarkan di UseeTV milik PT Telkom. Menurut pihak pembuat film, penayangan di TVRI dan UseeTV dilakukan Kemendikbud tanpa kontrak, bahkan karya Ucu diubah isi dan bentuknya.[iii] Pada 2 Oktober, tim kuasa hukum Ucu mengajukan somasi kepada Kemendikbud, TVRI, dan Telkom.

Insiden-insiden ini terjadi ketika wacana serta kosakata anti-pembajakan sudah ramai disuarakan di publik. Dari awal 2020 saja, sudah banyak kampanye perihal hak kekayaan intelektual atas nama keberlangsungan industri kreatif dan penghidupan pekerjanya. Bahkan, dari 2017 sampai 2019, Asosiasi Produser Film Indonesia menggelar kampanye anti-pembajakan film, yang turut melibatkan Badan Ekonomi Kreatif selaku perwakilan negara dan Badan Perfilman Indonesia sebagai wadah pemangku kepentingan perfilman.

Namun, sebagai bangsa, kita punya stok alasan berlimpah untuk meremehkan, memaklumi, dan membuat penghargaan atas karya intelektual sebatas slogan di poster dan spanduk. Kampanye memuat kata-kata pentingnya penghargaan itu hanya berlaku dalam periode tertentu, selebihnya menjadi urusan dan risiko masing-masing pembuat/pemilik karya. Kesuksesan dan keberadaan karyanya ditunggangi, sikap atas pemerkosaannya cukup dengan kata maaf. Lalu hening, hingga masa kegiatan seremonial sosialisasi, kampanye, atau edukasi soal anti-pembajakan berlangsung lagi.

Kita butuh suara gugatan yang mendesak, karena akar masalahnya sudah terlampau menjalar. Praktik busuk terhadap karya/pencipta karya intelektual terus terjadi, sementara para institusi pemangku kepentingan diam membatu. Berbagai komponen dalam ekosistemnya terendam air yang keruh dan penuh sampah, seperti istilah “reformasi birokrasi” pada spanduk kegiatan seminar dan lokakarya, dua puluh tahun setelah 1998. Dibutuhkan suara dentuman seperti gerakan #MeToo untuk membongkar praktek predatoris di industri film. Atau gugatan Parti Liyani, buruh migran asal Nganjuk, Jawa Timur, yang menantang sistem hukum Singapura.

Semua maaf yang terdengar selama ini sejatinya menyiratkan isu mendasar dari kasus pelanggaran hak cipta: ketimpangan kuasa. Jika hak cipta karya yang dilanggar adalah milik perusahaan besar, maka mereka sangat mungkin memiliki sumber daya untuk memaksa pelanggar mengikuti ‘kebijaksanaan’ mereka atau melakukan somasi. Bagaimana jika terjadi pada pencipta karya yang tidak bernaung pada lembaga mapan atau bekerja mandiri? Apalagi jika pelaku pelanggaran adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas kebijakan pendidikan dan kebudayaan, dan menjadi penentu penyaluran berbagai proyek produksi kebudayaan. Relasi kuasanya makin timpang.

Pada konteks inilah, somasi Ucu menjadi penting sebagai pengingat keruhnya air dalam ekosistem perfilman. Kemendikbud jelas bersalah, dia sudah minta maaf dan itu sepertinya dirasa cukup, karena segudang alasan “atas nama” dan argumentasi buruk dalam Siaran Pers Klarifikasi Isu Penayangan Film Sejauh Melangkah di Program Belajar dari Rumah pada 5 Oktober 2020.[iv] Buruk, karena alih-alih mengakui kesalahannya, ia melempar kesalahan itu pada TVRI dan UseeTV serta merasa perlu mendengar masukan dari In-Docs untuk minta maaf pada 6 Juli 2020, enam hari setelah surat keberatan yang diajukan In-Docs. Pada surat klarifikasi itu, Kemendikbud bahkan tidak mengakui telah terjadinya pelanggaran hak cipta. Pada kronologi yang disampaikan In-Docs (di Facebook pada 15 Oktober 2020), Kemendikbud jelas telah melakukan fait accompli dengan melakukan transfer uang tanpa kesepakatan dengan pemilik film.[v] Argumen bersembunyi di balik tidak adanya keuntungan komersial juga menunjukkan Kemendikbud seolah memaklumi praktik pelanggarannya.

Diamnya banyak institusi film memperlihatkan sikap abai yang menimbulkan pertanyaan “Untuk apa mereka ada?”. Sineas berdiri di atas kaki sendiri, sementara yang dihadapi seringkali setara prajurit sekompi. Timpang. Malpraktik administrasi based on trust oleh In-Docs menunjukkan keteledorannya (yang dipaparkan dalam rilis kronologi In-Docs di Facebook) dalam menjaga karya yang direkomendasikannya. Menjadi kewajiban moral bagi In-Docs untuk menjaga berjalannya proses penanganan kasus pelanggaran ini, serta tidak membuat perhitungan untung-rugi bagi lembaga lalu meninggalkan pembuat film menanggung sendiri risiko menjaga hak atas karyanya.

Pada akhirnya, pelaku ekosistem film Indonesia perlu menguji integritasnya dengan menempatkan diri dalam kasus pelanggaran hak cipta oleh Kemendikbud. Setidak-tidaknya kita perlu bertanya kepada diri kita sendiri. Apakah kita mau hidup dalam rantai makanan yang serba mematikan? Atau dalam rantai kemandirian yang saling mendukung?


CATATAN

[i] Permata Adinda. Meikarta Drive In Cinema Ketahuan Memutar Film Secara Ilegal. Asumsi.co, 5 Juni 2020. Diakses pada 19 Oktober 2020.

[ii] Friski Riana. Menteri Tjahjo Kumolo Dikritik Sineas Karena Membagikan Tautan Film Bajakan. Tempo.co, 17 Agustus 2020. Diakses pada 19 Oktober 2020.

[iii] Adi Briantika. Tayangkan Film Tanpa Izin: Kemendikbud, TVRI, & Telkom Kena Somasi. Tirto.id, 5 Oktober 2020. Diakses pada 19 Oktober 2020.

[iv] Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kemendikbud Klarifikasi Isu Penayangan Film Sejauh Kumelangkah di Progam Belajar dari Rumah (BDR). Kemdikbud.go.id, 5 Oktober 2020. Diakses pada 19 Oktober 2020.

[v] Pernyataan In-Docs pada 15 Oktober 2020 di Facebook sudah dihapus, diganti dengan pernyataan baru di situs In-Docs pada 17 Oktober 2020. Sikap In-Docs masih sama dengan pernyataan sebelumnya: menganggap hak Ucu Agustin telah dilanggar dan mendukung usaha penyelesaiannya melalui jalur hukum. Bedanya, pernyataan di situs In-Docs tidak menyantumkan kronologi kejadian, nama kontak dari pihak Kemendikbud, serta salinan korespondensi antara In-Docs dengan Kemendikbud.