Belah Diri dalam Narasi: Tentang Kejujuran yang Tak Selamanya Polos

belah-diri-dalam-narasi_highlight

Akhirnya saya menonton Republik Twitter. Saya ingin tahu seheboh apa fenomena click-activism sehingga harus difilmkan. Setelah The Social Network (2010) dan I Know What You Did on Facebook (2010), akhirnya ada lagi film tentang fenomena media sosial yang nyerempet isu politis. Ternyata film tersebut hanya mengkonfirmasi dua tulisan yang saya baca sebelumnya, “Kita Cuma Baru Bisa Berkicau” (Rizki Alfi Syahril, dimuat dalam situs ini), dan “Bukan Realita, Hanya Linimasa” (Adrian Jonathan Pasaribu, dalam filmindonesia.or.id). Adrian dan Rizki mempertanyakan validitas media sosial yang dalam Republik Twitter nampaknya terlalu dibesar-besarkan. Beberapa dari argumen penting yang dibangun adalah: 1) ada jurang antara tindakan nyata dan ngetwit, dan 2) tidak semua orang punya akses ke twitter (baca: hanya kelas menengah).

Kritik Adrian dan Rizki sebenarnya mengetuk pintu yang sudah terbuka lebar. Film maupun kritiknya justru berangkat dari dan asumsi yang sama bahwa media sosial sekadar alat komunikasi saja yang tidak sebaiknya dipuja berlebihan, kerja-kerja politik riil tidak boleh ditinggalkan, dan di antara keduanya fenomena latah belaka. Bahkan boleh dibilang jika filmnya sendiri sudah menyatakan pesimisme yang senada dengan kritik-kritiknya, meski dengan kadar ketajaman yang berbeda. Baik film maupun kritiknya tergoda untuk terlalu cepat ingin mencari bagian mana yang secara a priori empiris. Di luar pertanyaan tentang mana yang riil dan yang maya, saya memilih isu yang hanya dikemukakan secara superfisial atau bahkan absen dari artikulasi Republik Twitter maupun kritik-kritiknya, yakni soal-soal seputar kaitan media sosial dan representasi politik.

Personality Split

Di pertengahan tahun 1990-an, ketika internet mulai mendunia, kita menyaksikan film-film seperti Hackers (1995), The Net (1995), dan sejenisnya. Fokus utama dalam film-film ini adalah kerahasiaan negara dan kerahasiaan pribadi yang terancam tidak saja oleh hacker tapi juga oleh sifat dari medium itu sendiri. Internet sekadar menjadi perpanjangan hasrat para hacker untuk menjebol apa yang bisa dijebol, dan bagi negara, mengontrol apa yang bisa dikontrol. Sisanya, daur ulang cerita konspirasi.

Lalu di tahun akhir tahun 1990-an, kita menemukan film seperti You’ve Got Mail (1998), tentang kehidupan sehari-hari yang dimediasi teknologi populis macam AOL. Mulai dari sinilah kita berani mengatakan bahwa setelah internet kehidupan asmara tidak akan sama lagi. (Toh, kita tidak punya nyali untuk menyatakan poin yang sama terkait kehidupan politik.) Orang bisa menjalani dua kehidupan yang berbeda: simpatik di Yahoo Messenger dan bajingan di dunia nyata. Narasi tentang, katakanlah,  personality split inilah yang lantas terus diulang oleh film-film sejenis, mulai dari Hard Candy (2005) hingga Republik Twitter.

Kita bisa mengetahui kasus personality split ini karena struktur naratif filmnya sendiri menuturkan hal yang sama (bahwa di balik persona internet terdapat manusia tulen yang tidak senantiasa setia dengan citraan yang ia tampilkan di layar, dan seterusnya). Dengan kata lain, pemahaman tentang latar belakang memediasi kritik dan teks yang dianalisisnya. Bagaimana kalau kehidupan nyata yang jauh lebih kompleks dan kasar itu tidak ditampilkan sebagai latar belakang? Itu sebabnya, narasi politik (terutama dalam bentuk dokumenter tentang krisis politik) menjadi kasus yang menarik karena senantiasa dituturkan dalam nada penuh urgensi, dan apa sebelumnya yang hanya background kini beralih jadi foreground. Singkatnya, ia dianggap bertutur tentang kebenaran tanpa mediasi fiksi yang beresiko mengaburkan kebenaran itu sendiri.

Pada titik inilah kritikus bertugas mencari personality split dalam teks yang dianggap “jujur”, dan dalam situasi dimana informasi tentang latar belakang sedikit sekali tersedia. Ketika orang beramai-ramai menuntut “kejujuran” dan “transparansi” di internet (sebuah tuntutan yang sia-sia, pastinya), yang patut ditanyakan adalah: jujur pada siapa? Siapa figur yang kita bayangkan berada di hadapan kita ketika mengatakan “kejujuran”?

Salah satu adegan dalam Burma VJ (2008)

Kamera dan Subyek

Beberapa waktu lalu Burma VJ (Anders Østergaard, 2008) diputar dalam mata kuliah Film and Religion in Southeast Asia di kampus saya. Dokumenter ini melaporkan runtutan peristiwa protes tahun 2007 melawan rezim komunis di Myanmar. Dapat ditebak jika dalam diskusi seusai pemutaran topik yang pertama diangkat adalah peran biksu dalam gerakan demokrasi (klise-klise semacam “peran progresif agama”), yang lantas segera dibandingkan dengan apa yang terjadi di Indonesia kini. Yang membuat saya tertarik lagi-lagi bukan konten dari film itu, melainkan bentuknya yang sungguh-sungguh terlibat dengan bentuk salah satu media baru: Youtube. Di bagian awal narator menuturkan keresahan sosial pasca-kenaikan harga BBM. Para biksu berhenti menerima derma dari masyarakat. Mereka pun mulai turun ke jalan, disusul para jurnalis dan warga sipil lainnya. Isu pun beralih dari kenaikan harga BBM ke penggulingan rezim komunis. Lalu muncul nama Aung San Su Kyi dan flashback protes besar serupa di tahun 1988, seakan-akan protes kali ini sekadar pengulangan.

Perbedaan yang segera nampak adalah keterlibatan langsung pemegang kamera, yang tidak muncul dalam rekaman-rekaman protes 1988 yang dibuat oleh para jurnalis asing.  Ada dua tugas yang diemban rekaman video amatir: mengabarkan kepada dunia dan mengawasi barisan agar tidak disusupi intel dan jurnalis. Dalam waktu yang singkat, melalui situs-situs video, seluruh dunia pun tahu apa yang tengah terjadi. Nyaris tidak ada kamera profesional dan gambar yang bagus. Semua amatir. Semua spontan.  Video-video ini kemudian diunggah langsung ke internet atau, ketika akses internet mulai diputus, diselundupkan ke perbatasan Thailand hingga akhirnya diproses di negeri yang jauh, Denmark.

Permasalahan dalam film ini tidak terletak pada rendahnya kualitas video (yang justru akan dipuji kritikus karena diasumsikan “telah melaporkan peristiwa langsung dari barikade”) bukan pula pada komentar-komentar narator yang partisan (“tidak cover both side”, kata seorang teman—tapi siapa yang tidak partisan waktu itu?) meski berusaha tampil objektif. Masalah utama film ini adalah ketika ia merasa “kejujurannya” harus dipertanggungjawabkan di hadapan Amerika Serikat dan Uni Eropa sebagai pelindung demokrasi, termasuk di tempat yang jauh seperti Myanmar. Tidak ada kontradiksi sedikitpun antara rekaman video amatir dan siaran berita CNN dan FoxNews yang disisipkan di tengah film. Yang terjadi adalah narator menyesuaikan apa yang dikatakannya dengan siaran berita dan bukan sebaliknya. Tidak ada narasi tentang pemiskinan sebagai dampak konsesi-konsesi sumber daya alam antara junta militer Myanmar dan pebisnis-partai asal RRC (rahasia umum di Myanmar yang sangat ganjil jika tidak dituturkan di dokumenter yang “jujur”).

Burma VJ menggeneralisir perjuangan demokrasi di Myanmar adalah perjuangan menuntut hak-hak warga negara, pemerintahan yang bersih, dan pemilu yang bebas (lalu dimanakah isu kenaikan BBM yang diangkat di awal cerita?). Singkat kata, tidak sekadar melaporkan tapi juga menulis laporan tentang pergolakan di Myanmar dari kacamata Barat (sebagaimana yang terjadi pada kasus distorsi pemberitaan di Tiananmen dahulu, atau revolusi di Timur Tengah belakangan ini).

Menjelang film berakhir, para biksu digambarkan telah diculik dan militer mulai menembaki barisan protes. Sang narator menyelamatkan diri ke perbatasan Thailand. Maka ketika Burma VJ dibuat dengan tujuan menggalang solidaritas internasional untuk rakyat Myanmar, pesan yang tersembunyi adalah seruan kepada “komunitas internasional” untuk melakukan Intervensi Humanitarian karena “kami menginginkan apa yang kalian miliki di Barat” (konfirmasi dari tipikal narasi berita FoxNews: “Mereka tidak punya apa yang kita syukuri di Barat”). Melihat rekaman tentang gerakan yang kocar-kacir itu, Myanmar seolah menjadi endangered species dalam demokrasi liberal di Asia Tenggara yang butuh dikonservasi oleh pihak luar. Resepnya: “Sebarkan teknologi, sisanya biarkan mereka yang bicara kepada kita.”

Gambar ikonik dari La hora de los hornos (1968)

Dari Melawan ke Mengemis

Saya pun membayangkan seandainya ada film yang mengangkat peristiwa yang sama di Myanmar dan tetap mempresuposisikan “kehadiran pihak ketiga”. Hanya saja pihak ketiga itu bukan AS dan Uni Eropa melainkan Zambia dan Kongo, misalnya, yang belakangan masuk ke dalam spheres of influence neokolonialisme Tiongkok.

Ada baiknya kita menonton kembali La hora de los hornos (The Hour of the Furnaces). Dokumenter-propaganda tersebut diproduksi tahun 1968 oleh Octavio Getino dan Fernando Solanas. Film ini dibuat salah satunya untuk menggalang solidaritas Dunia Ketiga dan secara tegas memposisikan dirinya dalam gerakan anti-imperialis sedunia. Bedanya dengan Burma VJ, sejak awal kita sudah diberitahu bahwa ini adalah film propaganda. Jadi, mana yang lebih baik: film yang jujur akan watak propagandisnya, atau film yang berusaha objektif namun tidak menyadari wataknya yang propagandis? Antara La hora de los hornos dan Burma VJ, mengapa bisa terjadi pergeseran besar dari “melawan” ke “mengemis”? Dari angkat senjata ke mistifikasi “protes-tanpa-kekerasan” yang nampak sopan?

Entah akan ada berapa banyak lagi film seperti Burma VJ. Inilah kasus personality split yang paling murni, dimana subjeknya ingin melaporkan peristiwa sejujur-jujurnya ke seluruh dunia, namun di saat yang sama merasa harus mempertanggungjawabkan kejujuran tersebut pada pihak selain dirinya. Belah diri macam inilah yang harus dibaca, dalam representasi yang sekilas bebas fiksi dan didukung oleh klaim-klaim immediacy of facts—yang kini didukung oleh perkembangan kontemporer teknologi informasi.