
Beberapa waktu lalu, iseng-iseng saya mengunggah video TikTok membahas Tentang Dia (2005) karya Rudy Soedjarwo, dan menyebutnya sebagai salah satu pionir sinema sapphic atau WLW (Women Loving Women) di Indonesia era 2000an. Tanpa saya duga, responsnya ternyata cukup ramai; banyak yang berkomentar betapa sejak kecil mereka sudah bisa menangkap nuansa queer dalam hubungan dua protagonisnya. Tapi ada satu komentar yang begitu ngotot dan lantang dengan bilang: “Tentang Dia bukan film GL (Girl’s Love). Rudi [nama tokoh dalam film] bilang sendiri dia bukan lesbian!”
Komentar ini, kendati terdengar sederhana, bagi saya cukup mengilustrasikan level literasi media penonton film di Indonesia; spesifiknya, kecenderungannya untuk menerima informasi secara literal. Dialog karakter dianggap sebagai kebenaran final. Jika tokoh bilang “saya bukan ini”, maka publik menganggapnya sah dan selesai. Tak perlu ditafsir, tak perlu mempertimbangkan konteks, apalagi dibaca ulang.
Tentu saja, pembacaan harafiah terhadap dialog semacam itu tetap sah-sah saja, mengingat film juga bekerja di level denotatif—sesuatu yang langsung bisa dipahami berdasarkan kombinasi dari apa yang diucapkan dan apa yang tampak di layar. Misalnya, ketika seorang karakter berkata “kakiku sakit”, sesaat setelah ia tertabrak mobil, tentu penonton akan langsung memahami maknanya, tanpa mempertanyakan kemungkinan ironi di baliknya.
Namun, film—sebagaimana seni pada umumnya—jarang sekali beroperasi sesederhana itu. Karakter bisa saja berbohong, menyembunyikan informasi, atau punya agenda terselubung. Dalam konteks Indonesia yang sejak lama menstigmatisasi identitas non-heteroseksual, pernyataan Rudi (agar tidak tertukar dengan karakter ini, untuk selanjutnya nama sutradara akan saya sebut sebagai Soedjarwo), yang menyangkal bahwa dirinya seorang lesbian, dapat dibaca sebagai bentuk mekanisme bertahan dari tekanan sosial yang luar biasa besar. Dalam “Representasi Homoseksualitas dalam Film Indonesia Kontemporer”, Maimunah mencatat bagaimana film-film Indonesia kerap menggunakan strategi kode dan ambiguitas demi menyiasati sensor dan norma publik yang menolak representasi eksplisit queer. Rudi, dalam konteks ini, bukan sedang berkata jujur, melainkan bisa jadi sedang melindungi dirinya.
Pembacaan Retrospektif 20 Tahun Kemudian
Ditilik dari kacamata hari ini, pembacaan queer atas Tentang Dia terasa tak terhindarkan. Film ini dirilis pada 2005, ketika ruang kritik atau tulisan film untuk melakukan pembacaan queer belum jamak dilakukan di Indonesia. Menariknya lagi, Tentang Dia rilis pada tahun yang sama dengan Detik Terakhir, film yang menghadirkan representasi lesbianisme secara eksplisit; di mana relasi seksual sesama jenis dihadirkan blak-blakkan tanpa ada upaya penyamaran. Kontras ini memperlihatkan bawa Tentang Dia memang secara sadar memilih pendekatan yang lebih subtil dan simbolik, bukan karena ketidakmungkinan menampilkan queer secara langsung.
Diadaptasi dari cerpen karya Melly Goeslaw, film ini berkisah tentang Gadis (Sigi Wimala), seorang remaja yang mengalami trauma dan kehilangan semangat hidup, pasca mantan kekasihnya menghamili sahabatnya sendiri. Ia kemudian bertemu Rudi (Adinia Wirasti), perempuan tomboi yang dikenalnya setelah secara tak sengaja menabraknya saat ia tengah menyetir. Hubungan mereka berkembang menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Atau setidaknya, begitulah film ini membingkainya.
Seiring relasi mereka yang semakin intens, Gadis mulai merasa bingung dengan perasaannya sendiri. Dalam kebingungan itu, ia memutuskan untuk mengkonfrontasi Rudi. Pertanyaan yang muncul bukan hanya tentang bagaimana Rudi melihat dirinya, tetapi juga tentang bagaimana Gadis mulai melihat dirinya sendiri.
Penolakan Rudi terhadap label ‘lesbian’ tidak serta-merta menghapus kemungkinan queer dalam karakternya. Sebagaimana dicatat oleh Rosalia Engchuan dalam “A Political Dance in the Rain”, dalam iklim moral panic dan penolakan sosial yang menguat pasca-reformasi, banyak sineas queer Indonesia menggunakan strategi ambiguitas untuk tetap bertahan. Identitas seksual bukan hanya soal deklarasi, tetapi juga tentang bagaimana karakter menavigasi hasrat, trauma, dan ketertarikan dalam ruang sosial yang represif.
Dalam sebuah scene klimaks yang berlatar di sebuah rooftop, Gadis mengkonfrontasi Rudi dengan bertanya, “Sebenarnya hubungan kita ini apa?” Rudi menjawab dengan nada marah, “Jadi lo pikir gue lesbi dan selama ini gue naksir sama lo?” Is Mujiarso, dalam tulisannya di Kompas pada 2005, menilai adegan ini sebagai bentuk penguatan norma heteronormatif. Ia juga menyebut bahwa adegan tersebut meniadakan interpretasi lain tentang orientasi seksual, karena pengakuan Rudi secara eksplisit membatasi ruang tafsir.
Tapi saya tak sepenuhnya setuju dengan klaim Is. Marahnya Rudi bukan sekadar penyangkalan, tetapi reaksi emosional terhadap tuduhan yang menyentuh sesuatu yang rapuh dan tersembunyi. Alih-alih meniadakan kemungkinan queer, adegan ini justru memperlihatkan kompleksitas emosi dan tekanan yang dirasakan oleh banyak individu queer yang teralienasi di masyarakat yang menolak keberadaan mereka. Tekanan itu tidak hanya tersirat dalam dialog, tapi juga dimanifestasikan secara visual dalam satu shot mencengangkan yang muncul menjelang akhir film: sebuah crane shot yang memperlihatkan Gadis berlari kebingungan di Bundaran HI—salah satu titik paling ramai di Jakarta—tanpa satu orang pun di sekelilingnya. Dengan menciptakan imaji Jakarta yang hampa, film ini mencoba mengilustrasikan rasa kesendirian orang-orang seperti Gadis dan Rudi. Dalam sepi yang tidak natural itu, ia diperlihatkan benar-benar sendiri. Kekosongan ini bukan sekadar latar, tapi bisa dibaca sebagai refleksi dunia sosial yang telah menghilang atau sengaja disingkirkan dari orbit kedua karakter. Dengan demikian, tekanan yang mereka alami bukan hanya berasal dari dalam diri, tetapi juga dari absennya masyarakat yang bisa menerima atau memahami keintiman mereka.
Bukan hanya dari teks verbal, pembacaan queer juga dapat dilakukan melalui gestur sinematik: cara film membingkai tubuh, ruang, dan tatapan. Salah satu contoh paling kuat adalah pilihan framing di tiga scene berbeda yang semua tejadi di rooftop. Soedjarwo membingkai tiga kali dengan wide shot yang diambil dari belakang, memperlihatkan Gadis dan Rudi memunggungi kamera, duduk bersisian, dan menghadap cakrawala kota.
Per Persson, dalam bab “Variable Framing and Personal Space” di buku Understanding Cinema, menjelaskan bahwa wide shot semacam ini mampu menciptakan ruang intim yang tak terucapkan. Sebuah ruang yang bukan untuk disaksikan publik, tetapi untuk dihayati oleh mereka yang berada di dalamnya. Dengan tidak menyediakan cover shot atau close-up untuk percakapan yang terjadi dalam tiga scene ini, Soedjarwo memberi jarak kepada penonton. Jarak yang sengaja dibuat karena keintiman yang ada di dalamnya, yang seolah bukan untuk konsumsi penonton. Seiring obrolan bergulir, kamera pun perlahan menjauh, sebagai bentuk penghormatan terhadap keintiman yang rentan.
Shot dari belakang juga cenderung bisa menciptakan nuansa shared vulnerability, ketika dua tokoh saling terbuka satu sama lain, tapi tidak pada dunia. Kamera tidak menginterupsi karena ia tahu: ini adalah ruang aman, tempat satu-satunya di mana mereka bisa menjadi diri sendiri.

Kode, Gaya, dan Strategi Queer
Menontonnya ulang hari ini, menyadarkan saya pula betapa isyarat queer coding dalam Tentang Dia bertebaran di mana-mana. Yang paling kentara, tentu saja, keputusan Rudi untuk tidak memakai nama aslinya — nama yang diasosiasikan dengan identitas perempuan — dan memilih nama maskulin seperti “Rudi”. Dalam salah satu adegan pasca kematian Rudi, Pak Dibyo (Didi Petet), bos Rudi di warung makan seafood kaki lima yang menampungnya sejak ia kabur dari keluarganya, bercerita pada Gadis bahwa Rudi sendiri lah yang memilih untuk mengganti namanya. Memilih nama sendiri, terutama yang menyimpang dari ekspektasi gender yang dilekatkan saat lahir, adalah praktik yang umum di kalangan individu queer. Bagi banyak orang, ini bukan sekadar soal nama panggilan, tapi bentuk afirmasi identitas, cara merebut kembali otonomi atas tubuh dan ekspresi diri mereka. Nama menjadi ruang pertama di mana seseorang bisa menegosiasikan bagaimana ia ingin dilihat, dikenal, dan diakui di dunia.
Menariknya, persoalan nama karakter juga digunakan sebagai penanda visual dan tematik yang kuat. Film ini menempatkan dua tokoh utamanya dalam dikotomi maskulin-feminin yang dimulai sejak penyematan nama: “Rudi” yang bernuansa maskulin tradisional; berhadapan dengan “Gadis”, yang secara harfiah berarti perempuan muda atau perawan. Nama Gadis bukan hanya feminin, tetapi juga mengandung konotasi kepolosan dan keterbatasan pengalaman, sesuatu yang dalam cerita justru terus bergeser seiring kedekatannya dengan Rudi. Kontras ini bekerja sebagai cara film membingkai relasi mereka, bukan hanya secara emosional, tapi juga simbolik. Rudi hadir sebagai figur yang melampaui norma gender, sementara Gadis berada di sisi seberangnya, yang masih dibentuk dan digoyahkan oleh dinamika sosial yang lebih heteronormatif.
Kita juga melihat dinamika dominan-submisif yang familiar dalam representasi relasi sapphic: Rudi sebagai sosok pelindung, lebih tangguh, lebih ‘berpengalaman’ (“Gue lebih tahu banyak dibanding lo”), sementara Gadis sebagai tokoh pasif yang mencari arah. Dalam struktur naratif seperti ini, relasi mereka bergerak di ranah romantik, meski tidak pernah diartikulasikan secara eksplisit.
Pilihan Adinia Wirasti sebagai Rudi juga tak bisa dilepaskan dari perannya sebelumnya sebagai Karmen di Ada Apa dengan Cinta?, karakter tomboi yang kuat secara visual dan simbolik. Soedjarwo seakan sadar akan asosiasi itu, dan memanfaatkannya untuk memperkuat impresi visual Rudi sebagai figur butch.
Bahkan soundtrack-nya, lagu berjudul “Cinta” yang dinyanyikan Melly Goeslaw dan Krisdayanti, juga mengaksentuasi nuansa queer yang tersirat dalam film ini. Dalam video klipnya, Melly dan KD tampil dalam visual yang bertensi seksual, saling menatap, dan menyentuh dengan cara yang begitu intim namun tertahan. Video klip ini menciptakan paralel visual yang kuat dengan dinamika relasi antara Rudi dan Gadis dalam film.
Dua dekade lebih setelah perilisannya, Tentang Dia—yang per tulisan ini dibuat masih bisa diakses di Netflix Indonesia—ternyata masih memicu perdebatan, setidaknya yang terjadi di satu sudut kecil internet berupa unggahan TikTok. Apakah ini film lesbian? Atau hanya kisah persahabatan ambigu? Bagi saya, pertanyaan itu sudah bukan poin utamanya. Film ini mungkin tak pernah mengaku sebagai film queer. Tapi seperti banyak hal dalam hidup, tak semua yang penting harus diucapkan untuk bisa dirasakan.