Gotot Prakosa: Kritikus Itu Bukan Sekedar Reporter

gotot-prakosa_hlgh

Gotot Prakosa adalah praktisi senior film Indonesia. Dari tangannya lahir film yang disebut-sebut sebagai ‘film Indonesia terbaik sepanjang zaman’, judulnya Tjoet Nja Dhien, bikinan tahun 1986. Ia sudah bekerja dengan banyak sekali sosok kunci perfilman nasional, seperti Teguh Karya, Eros Djarot, dan Slamet Rahardjo. Saat ini ia aktif sebagai seniman, ketua ANIMA (Asosiasi Film Animasi Indonesia), board member ASIFA (Asosiasi Film Animasi Internasional) untuk wilayah Asia Tenggara, serta pengajar di Institut Kesenian Jakarta.

Gotot Prakosa bermurah hati meladeni saya untuk mengobrol sebentar di sela-sela acara peringatan 100 tahun Akira Kurosawa di Taman Budaya Yogyakarta. Saat obrolan ini berlangsung, Rashomon versi dubbing tengah diputar di ruang pemutaran, tentu saja dengan penonton kurang dari sepuluh orang, sisanya duduk manis di sebelah meja prasmanan.

Sekarang ini ramai beredar anggapan kalau semua orang itu pada dasarnya kritikus. Mereka bisa bicara tentang film apa saja yang mereka tonton lewat banyak sekali media. Anda setuju?

Tidak apa-apa. Pada dasarnya media itu kan unsur yang demokratis meskipun ia tidak bisa bertindak sendiri, butuh manusia untuk memberdayakan kapabilitasnya. Nah, kalau manusia menggunakan media untuk menjadi kritikus, bagi saya boleh-boleh saja. Karena sebenarnya, orang Indonesia itu tidak punya tradisi menjadi kritikus. Makanya, dipakainya media untuk mengkritik film itu akan positif dalam artian orang akan selalu menuntut lebih baik dari apa yang mereka tonton. Orang Indonesia itu kan tumbuh dengan sinetron, dulu sebelum ada sinetron, ada telenovela yang meskipun impor, tapi tetap tayang dalam bahasa Indonesia (dubbing), sampai-sampai banyak orang menganggap kalau si Talia, bintang televisi Venezuela itu, orang asli Indonesia. Tradisi kritis itu penting, meskipun hanya dengan menulis sendiri. Dulu saya memulai dengan cara seperti itu, meskipun dulu belum ada media, website, blog, dan sebagainya. Saya menulis lalu saya simpan, suatu haru saya kumpulkan dan jadi sebuah buku. Waktu itu status saya bukan ilmuwan, tapi tak apa, semua orang punya hak untuk itu.

Seberapa penting bagi kritikus untuk belajar film secara formal?

Unsur formal dalam mempelajari film itu penting. Sebab tanpa belajar film, anda hanya akan jadi reporter, orang yang melaporkan apa yang ia lihat saja. Saya tidak mengatakan kalau reporter itu tidak penting, reporter itu dibutuhkan. Tapi untuk menjadi seorang kritikus, anda tidak hanya sekedar melaporkan, tapi juga memberi nilai. Untuk memberi nilai, anda harus punya bahan. Untuk punya bahan, anda harus belajar. Unsur formal dalam belajar film itu ya meliputi struktur penulisan dan dasar-dasar penilaian terhadap film itu sendiri. Kalau dulu, orang biasanya mengambil angle sastra, karena pada dasarnya tradisi kritik itu berasal dari seni sastra.

Sejauh mana sebaiknya seorang kritikus mengenal kesenian yang lain, atau paradigma sosial tertentu sebagai bekal untuk menilai film?

Itu tergantung pada dasar orang itu. Ada yang orang mendekati film dengan bekal pengetahuan sosial, misalnya (Siegfried) Kracauer dan (André) Bazin. Mereka memahami masalah sosial, lalu melihat film dan mempertanyakan, apakah masalah sosial yang ada tercermin dalam film tersebut? Bisa juga dari sudut pandang lain, misalnya dari hubungan dengan kesenian yang lain, atau bahkan silat!

Silat?

Iya, misalnya seorang ahli silat mengkritisi film silat, jurusnya salah atau gerakannya kurang. Itu kan juga bisa jadi unsur kritik tersendiri, ahli silat merangkap kritikus film (tertawa). Proses kritik kan bisa terjadi karena seseorang punya bahan.

Etiskah seorang kritikus yang setiap hari pindah-pindah angle? Misalnya hari ini menilai film secara ideologis, besok secara fotografis, besoknya lagi secara silat, dan seterusnya?

Menurut saya itu tidak ada larangannya.

Secara akademis?

Oh, bukan. Maksud saya tidak ada larangannya selama itu kritik yang dilancarkan secara populis. Tapi kalau secara kajian akan lain lagi ceritanya. Kalau misalnya seorang David Bordwell pindah-pindah angle, ya dimarahin dia sama penggemarnya. Jangankan David Bordwell, orang seperti saya saja kalau menulis film seenaknya, pasti banyak yang akan marah. Orang mengenal saya lewat tulisan-tulisan film dan kaitannya dengan seni rupa, kalau tiba-tiba saya beralih menulis film hiburan saja, orang pasti bertanya-tanya. Sama dengan kalau saya bikin film, orang sudah memahami saya sebagai pembuat film yang nyentrik, rela menghabiskan waktu delapan belas sampai dua puluh tahun untuk bikin satu film. Kalau tiba-tiba saya terjun ke dunia sinetron, seluruh dunia akan mencaci “Ngapain lu?”’.

Kalau di Institut Kesenian Jakarta, jurusan Kajian Film mengarahkan alumninya kemana? Apakah kritikus? Aktivis festival? Perusahaan film?

Kajian Film di IKJ berkonsentrasi pada studi manajemen film, apa yang harus dilakukan ketika sebuah film sudah jadi. Di-festival-kan, diparkir di sinematek, dibuatkan buku, yang jadi kritikus juga ada. Kalau mau jadi kritikus, mahasiswa harus menulis delapan artikel film yang terpublikasikan ke khalayak lewat media-media yang sudah kami beri standar sendiri.

Untuk kritik film di Indonesia, menurut anda apakah sudah bagus, atau belum bagus, atau tidak ada bagus-bagusnya sama sekali?

Jujur, saya belum menemukan kritikus Indonesia yang levelnya outstanding, meskipun ada beberapa yang sangat baik yang biasanya berasal dari generasi sebelumnya, seperti Pak JB (Kristanto) dan Pak Dan (Suwaryono). Kalau seni rupa punya Pak Saneto Yuliman. Film punya Pak Dan Suwaryono, mereka itu ada di kelas yang sama.

Kalau generasi sekarang? Setidaknya kalau kita menjadikan keberimbangan kritik dengan industri sebagai parameter?

Bagi saya belum ada yang begitu mendalam. Disisi lain, saya menilai Eric (Sasono) sudah cukup sebagai kritikus, dia popular dikalangan anak-anak muda. Kalau pak JB (Kristanto), intensitasnya sangat luar biasa. Tak ada yang mengalahkan Pak JB dalam hal intensitas, dia mengumpulkan data yang lengkap sekali dari dulu sampai sekarang. Katalog Film Indonesia yang ia susun seringkali menjadi acuan, karena itu satu-satunya.

Di era klasik, apakah Indonesia pernah punya kritikus film yang keren banget?

Saya akan menjawab ‘Armijn Pane’ untuk pertanyaan itu, dia biasa menulis tentang film-film Usmar (Ismail) dan angkatan yang segenerasi, biasanya terbit di majalah-majalah kebudayaan. Tulisannya baik sekali. Untuk seni secara umum, ada Pak Sudjojono yang corak tulisannya sangat politis. Sudjojono mengkritik keras karya-karya sineas seperti Usmar, Djajakusuma dan Sjuman Djaya, sebab ia menilai sineas-sineas ini antek komunis karena belajar film di VGIK (sekolah film legendaris di Uni Soviet -red). Padahal sebenarnya tidak juga, saya mengenal Sjuman sebagai orang yang sangat borju, kawin cerai kawin cerai begitu kok. Tidak penting PKI atau bukan, dia seorang humanis. Tapi ada juga filmmaker yang bereaksi keras terhadap kritik. Saya, Eros (Djarot), dan Slamet (Rahardjo) pernah harus menengahi sebuah masalah karena seorang kritikus dan pembuat film mau bunuh-bunuhan saking tingginya tensi. Bagi saya, kalau tidak suka dengan sebuah kritik, silakan dilawan dengan tulisan yang lain.

Kritik film kita itu sifatnya lebih banyak yang bagaimana? Yang ilmiah atau yang reportase?

Lebih banyak yang reportase. Dari tahun tujuh puluhan sampai sekarang, warna kritik kita lebih ke reportase. Orang yang menulis reportase film biasanya sudah berani melabeli diri sebagai kritikus. Di Kompas sendiri (maaf sebut merek -red), belum pernah ada kritikus yang bagus. Mereka hanya sekedar menulis reportase.

Anda orang kesekian yang berkata begitu

Ayo coba sebutkan siapa kalau ada?

Hmm, siapa ya?

Dulu saya pernah marah sekali karena ada tulisan tentang film, An American in Paris kalau tidak salah. Dituliskan bahwa film itu dimulai dengan bunyi gong, lalu kemudian ditafsirkan kesana kemari. Padahal itu kan cuma backsound yang mengiringi logo perusahaan pas film mau mulai. Saya marahnya minta ampun waktu itu, artinya kan, siapapun yang menulis tulisan itu, dia tidak mengerti apa yang dia tulis. Itu kan karena orang itu spirit-nya reportase. Apa yang dia lihat, dia tulis. Jangan-jangan karena ada garis guratan disepanjang film, dia tafsirkan juga guratan itu, padahal itu kan karena umurnya memang sudah tua (tertawa). Jadinya nggak banget aja, begitu. Harusnya pengetahuan kritikus film dan pembuat film itu sama levelnya, sehingga tidak jomplang.

Kritikus film juga harus mengerti proses produksi?

Sebaiknya ia paham. Disitulah pentingnya sekolah-sekolah film di Indonesia, agar supaya kita bisa punya pembuat film yang mengerti kritik film. Karena kalau tidak, kritik dan produksi akan berjalan sendiri-sendiri, tidak saling menggubris. Film Indonesia tidak maju-maju.

Di Indonesia, kita sudah mulai mengendus adanya tendensi menonton kritis, anda setuju? Bagaimana sebaiknya kita menyikapinya?

Ya dan itu sangat baik. Khususnya di Jogja sendiri, pusat dan event kebudayaan begitu banyak, setiap tahun ada festival film berskala internasional. Di Jakarta juga begitu. Nah, ada yang menarik, dulu teman saya Wolfgang Becker (sutradara fim Jerman) datang memutarkan filmnya di Taman Ismail Marzuki, judulnya Goodbye, Lenin! Applaus-nya banyak. Setelah pemutaran, dia keluar jalan-jalan di sekitar TIM, masuk ke warung, tiba-tiba dia menemukan bajakan Goodbye, Lenin! dijual disitu, jadilah dia marah besar. Itu kan tidak etis. Sekitar dua atau tiga tahun lalu, almarhumah Yasmin Ahmad (sutradara film Malaysia) datang ke Jogja, dia plesiran ke jalan Mataram, ketemu bajakan filmnya sendiri. Sontak dia menangis, saya sampai kerepotan menghiburnya. Nah itu kan memalukan buat kita. Tantangan dari menonton film secara kritis di Indonesia lagi-lagi adalah maraknya bajakan, perihal etika. Seorang teman pernah bilang “Motto kota Jogja itu, fotokopian lebih afdhol daripada buku asli”. Ini kan semakin menasbihkan bahwa Jogja secara khusus, Indonesia secara umum, adalah pusat bajakan.

Tapi kan kita punya kepelikan juga, bagaimana memenuhi rasa ingin tahu yang begitu besar sementara sumber daya begitu kecil.

Nah itu dia. Saya rasa kita perlu belajar dari Jepang di era Restorasi Meiji. Waktu itu, orang Jepang membajak apa saja yang bisa mereka temukan dalam rangka mempelajari. Tapi mereka punya batasan waktu. Begitu mereka menguasai apa yang ingin mereka kuasai, semua keran pembajakan harus ditutup sebab telah tiba waktunya memakai yang asli. Nah, bolehlah kita menganalogikan Indonesia dengan Restorasi Meiji, kita tengah belajar banyak sekali hal. Cuma masalahnya saya tidak tahun sampai kapan. Tapi sebaiknya, ketika nanti kita menguasainya, bajakan itu ditiadakan.