Yuni: ‘Penyakit Ungu’ Perempuan

Kata ibu guru, Yuni punya ‘penyakit ungu’. Pakaian dalam, ikat rambut, tas ransel, motor, detergen, semua barang miliknya, jika ada opsi warna ungu, itulah yang akan ia pilih. Terkadang, Yuni mencuri barang teman-temannya. Ia diam-diam mengambil ikat rambut teman sekelasnya yang berwarna ungu, lalu mengincar case handphone temannya yang tergeletak di pojok lantai ruang kelas.

Yuni sebentar lagi lulus SMA. Ia tinggal di sebuah permukiman padat dan jauh dari pusat kota. Rumahnya mungil, sesak, dan irit sinar matahari. Yuni, dengan segala keterbatasannya sebagai perempuan dari keluarga ekonomi menengah-bawah, dituntut untuk memilih jalan hidupnya. Apakah ia akan lanjut kuliah? Atau bekerja? Atau menikah muda?

Ungu yang jadi obsesi Yuni jugalah warna yang menyimbolkan gerakan perempuan. Warna ini dipakai peringatan International Women’s Day dan menjadi salah satu simbol solidaritas publik untuk mendorong pemerintah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia. Ungu juga menyimbolkan ‘keadilan’ dan ‘harga diri’. Kombinasi antara ungu, hijau, dan putih jadi simbolisasi kesetaraan bagi perempuan.

Sebagaimana ungu jadi simbol kolektif, film Yuni arahan Kamila Andini tak hanya menyorot kisah protagonisnya seorang, tapi juga berbagai karakter perempuan di sekitarnya. Kita tak tahu pasti mengapa Yuni punya impuls untuk mencuri. Tak ada penjelasan maupun jawaban dalam filmnya. Yang kita bisa lihat: ‘penyakit’ Yuni terus-menerus diposisikan sebagai sesuatu yang perlu dikoreksi, tak beda dengan Yuni dan sejawat-sejawat perempuannya yang terus-menerus diukur berdasarkan ideal masyarakat sekitarnya.

Lingkungan Yuni memegang kepercayaan bahwa perempuan yang dilamar adalah perempuan yang beruntung, dan tugas perempuan ada di seputar hal-hal domestik. Ini disampaikan lewat gosip murid-murid sekolah tentang Yuni yang tak sengaja ia dengar di toilet sekolah, atau nasihat tetangga yang bilang kepadanya tidak baik untuk menolak lamaran. Masyarakat punya ekspektasi tentang bagaimana perempuan seharusnya bersikap. Yuni, sebagai bagian dari masyarakat tersebut, dituntut untuk mengikutinya.

Posisi tawar Yuni terbatas. Setelah lulus SMA, ia perlu melampaui sekian plafon supaya bisa lanjut sekolah. Ujian perguruan tinggi menuntut nilai cemerlang, sementara situasi keuangan keluarganya mengharuskan Yuni mencari beasiswa. Salah satu pilihan yang bisa ditempuh: jadi pekerja rumah tangga atau pekerja migran seperti tetangga-tetangganya. Pilihan yang lebih mudah: menerima satu dari tiga lagi-laki yang melamarnya dan menjanjikan nafkah.

Dalam perjalanan mengambil keputusan, Yuni dihadapkan pada realitas yang tidak berpihak pada perempuan seperti dirinya. Ia melihat perempuan-perempuan di sekelilingnya rentan putus sekolah hingga jadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Yuni seperti hanya menunggu waktu hingga ia ada di posisi serupa.

Yang Personal, Yang Politis

Sosok Yuni tidaklah unik dalam film Indonesia. Kisah-kisah peminggiran perempuan sudah cukup lumrah singgah di layar lebar, setidaknya dalam satu dekade terakhir, dan tantangan yang dihadapi selalu sama: storytelling. Bagaimana caranya kita menempatkan subjek dalam situasi hidupnya secara jernih? Dalam kasus Yuni: bagaimana caranya mengisahkan seorang remaja perempuan yang hidup di sebuah negara ketiga, di kelas ekonomi menengah ke bawah, diabaikan oleh negara, dan berisiko besar terjebak dalam kemiskinan struktural?

Dari kebanyakan film yang sudah-sudah, kesengsaraan subjek seringkali mendominasi. Saking dominannya, ia sampai menutup kemungkinan sudut pandang yang lebih luas terhadap situasi hidup subjek.

Ambil contoh Kartini (2017) yang disutradarai Hanung Bramantyo. Adegan pertama menunjukkan Kartini yang dipaksa tunduk dalam budaya yang menganggap rendah perempuan. Ia mesti berjalan jongkok ketika menghadap ayahnya. Adegan-adegan selanjutnya menjadi katalog berbagai bentuk diskriminasi yang dialami perempuan: dari pemisahan Kartini dari ibunya karena sang ibu bukan keturunan keraton, hingga proses pingitan. Penonton dapat gambaran tentang kesengsaraan Kartini, namun tidak diberi kesempatan mengenal kepribadiannya. Alih-alih sebagai entitas yang punya kepribadian, aspirasi, dan keresahan, subjek hadir sebatas cangkang kosong. Minim sekali kesempatan bagi penonton untuk memahami dan berempati dengannya.

Yuni memilih pendekatan lain. Kamila Andini berangkat dari sisi personal protagonisnya. Pada adegan pembuka film, kamera masuk ke kamar Yuni dan memperlihatkan aktivitasnya setelah bangun pagi. Sisi-sisi paling privat Yuni tak luput dari kamera, termasuk dirinya yang sedang memakai beha sampai celana dalam—semuanya ungu.

Sepanjang film, Yuni hadir sebagai pribadi dinamis. “Tes keperawanan itu apa, sih?” tanyanya polos kepada teman-temannya dalam bahasa Jawa Serang. Selang sekian adegan, ia berbagi momen dengan pria teman sekolahnya di sebuah bangunan kosong. Ada kebingungan, ada rasa ingin tahu, ada hasrat seksual yang coba ia pahami. Yuni, sebagaimana motivasi awalnya mengurai standar ideal di masyarakat, tidak membelenggu protagonisnya sebagai cetakan yang serba ajek, serba sudah jadi. Lintasan hidupnya penuh tanda tanya, sarat kontradiksi, dan Yuni tak melulu pasrah saat menelusurinya.

Film Indonesia punya rekam jejak panjang dengan sosok perempuan pasif. Film-film keluarga macam Keluarga Cemara (2018) atau Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini (2019) menubuhkan sosok perempuan yang lebih banyak diam, tersenyum, dan satu-satunya motivasi hidupnya yang terlihat adalah melayani keluarganya. Solusi untuk keluar dari kecenderungan ini juga tidak sesederhana mengangkat karakter yang serba kuat dan bisa, yang pada akhirnya sama-sama melestarikan gambaran karakter perempuan satu dimensi.

Kebingungan Yuni adalah kekuatan film Kamila Andini. Ia pintar di pelajaran fisika, tapi kesulitan memahami pelajaran bahasa Indonesia. Ia paling polos soal seks di antara teman-temannya, tapi juga punya hasrat seksual yang ia ingin jelajahi. Lewat lika-liku kehidupan protagonisnya, Yuni mengajukan sebuah pertanyaan: mengapa seorang remaja perempuan yang belum lulus SMA sudah dituntut untuk tahu segalanya, tahu apa yang ia ingin lakukan dengan masa depannya?

Pendekatan kepada Yuni secara personal ini tercermin secara visual. Kamera hampir tak pernah lepas menyorot wajah Yuni atau mengikuti Yuni berjalan, termasuk ketika adegannya sedang melibatkan karakter-karakter lain atau membicarakan isu yang tak hanya menyangkut hidup Yuni. Ketika pihak sekolah sedang mengumumkan wacana penerapan ‘tes keperawanan’ kepada siswa-siswa perempuannya, kamera menyorot ekspresi Yuni yang bingung, kemudian bergerak memperlihatkan dirinya yang tengah duduk di antara siswa-siswa lainnya. Sembari wajah Yuni jadi fokus kamera, bisik-bisik dan celetukan siswa lain mengisi latar suara.

Yuni memperlihatkan apa yang dialami seorang perempuan kerap merupakan bagian dari pengalaman kolektif, yang dipengaruhi kebijakan politik yang sifatnya struktural. Sebagai penonton, kita berulang kali diingatkan bahwa personal is political.

Pengalaman Kolektif Perempuan

Ada banyak film tentang remaja di Indonesia, biasanya mengambil topik percintaan, yang menempatkan karakternya dalam sebuah ruang vakum. Penonton tidak diberi tahu gambaran jelas asal-usul si karakter: ia dari kalangan kelas ekonomi mana? Kalau diperlihatkan berasal dari keluarga yang berkecukupan, ia dapat uang dari mana? Film-film tersebut sibuk menghidupkan si karakter dalam sebuah gelembung, di mana hidup dirinya tidak akan terdampak oleh kebijakan pemerintah, atau oleh lingkup terkecil seperti tetangga-tetangga ataupun keluarganya.

Yuni tidak begitu. Kamila Andini banyak mengikuti aktivitas Yuni di lingkungan tempat tinggalnya. Kita mengunjungi rumah kosong dekat pantai, tempat Yuni dan sahabat-sahabatnya nongkrong sepulang sekolah. Kita menelusuri gang dekat rumah, tempat nongkrong ibu-ibu setempat, yang selalu Yuni lewati setiap hendak keluar rumah. Sesekali, kita menyelinap masuk toilet sekolah yang jadi tempat para murid bertukar gosip. Tak jarang, Yuni yang jadi bahan pergunjingan.

Melalui beragam interaksi ini, Yuni memperlihatkan bagaimana masyarakat bekerja. Apa yang Yuni alami berkaitan erat dengan lingkungan tempat tinggalnya dan interaksinya dengan orang-orang sekitar. Dari sini kita mengetahui bahwa Yuni tak seorang diri. Dengan mengikuti Yuni, kita diperkenalkan dengan tokoh-tokoh perempuan lain—yang seumuran Yuni, yang lebih tua darinya, yang perilaku dan kepribadiannya sama sekali berbeda darinya. Masing-masing mewakili satu kepingan puzzle yang menggambarkan beragam tantangan dan situasi yang mesti dialami perempuan pada umumnya.

Perempuan ideal, bagi sekolah Yuni, adalah mereka yang lolos ‘tes keperawanan’. Perempuan ideal, bagi sekolah Yuni pula, adalah mereka yang tidak “mengumbar aurat” dengan bernyanyi. Sekolah, lewat kebijakan yang diturunkan pemerintah, ambil langkah pintas menghukum siapapun yang dianggap melanggar norma. Jika tidak lolos ‘tes keperawanan’, maka kamu tidak lulus.

Sekolah tidak memberi edukasi seks kepada murid-muridnya, tidak juga membuka ruang diskusi tentang apa yang disebut sebagai aurat. Maka, Yuni, mencari edukasi lewat jalur lain, lewat pihak-pihak dipinggirkan yang kerap dianggap ‘penyakit’ oleh masyarakat. Yuni memahami dampak pernikahan dini dari pekerja salon yang pernah jadi korban kekerasan dalam rumah tangga, dan teman seumurannya yang telah melahirkan dan kini tak lagi bersekolah. Yuni juga belajar mengekspresikan dirinya dari lingkungan di luar sekolah: penyanyi perempuan yang sedang bernyanyi di pinggir jalan tidak menganggap suara sebagai aurat. “Jangan biarkan orang bilang kamu nggak boleh bersuara,” katanya.

Standar sosial juga bisa menjadi sekat. Inilah yang Yuni pelajari ketika ia bertemu dengan seorang queer, atau dari seorang guru sekolahnya yang menyembunyikan identitas demi bisa berbaur dengan masyarakat. Inilah juga yang Yuni harus pilih: apakah ia akan patuh, atau memilih mengikuti kata hatinya, meski itu berarti akan dikucilkan?

Yuni pada akhirnya tidak mencoba mengarahkan bagaimana mestinya seorang remaja perempuan berperilaku. Kamila Andini mendorong protagonisnya untuk mengakui ketidaktahuan dan membiarkannya mengambil keputusan-keputusan yang mungkin dianggap ceroboh atau tidak sesuai dengan ekspektasi masyarakat. ‘Penyakit ungu’ itu mungkin menjangkit seluruh tokoh perempuan dalam film, dan Yuni hadir untuk memahami mereka tanpa menghakimi.

Yuni | 2021 | Durasi: 122 menit | Sutradara: Kamila Andini | Penulis: Kamila Andini, Prima Rusdi | Produksi: Fourcolours Films, Akanga Film Asia, Manny Films, Starvision | Negara: Indonesia, Singapura, Prancis, Australia | Pemeran: Arawinda Kirana, Kevin Ardilova, Dimas Aditya, Marissa Anita, Neneng Wulandari, Vania Aurell, Boah Sartika, Anne Yasmine, Asmara Abigail, Nazla Thoyib, Mian Tiara, Toto ST Radik, Rukman Rosadi, Muhammad Khan, Nova Eliza, Sekar Sari, Ayu Laksmi