Seorang diktator menculik seorang sutradara dan memaksanya membuat film.
Kalimat di atas cocok menjadi premis yang Orwellian banget, meski prasyarat untuk menggunakan istilah ‘Orwellian’ adalah pertama-tama Anda harus memahami apa yang ditulis George Orwell dan saya ragu apakah ia sendiri memahami apa yang ia tulis. Anda bisa membaca kritik Isaac Asimov terhadap novel 1984 atau ocehan singkat saya tentang Orwell, tapi secara umum masyarakat kelas menengah terdidik di Indonesia tidak akan marah kalau hal-hal yang berkaitan dengan totalitarianisme, negara dengan sistem satu partai, pengawasan massal, dan tema-tema distopia dalam fiksi disebut Orwellian. Imajinasi Orwell tentang Soviet juga mendistorsi kabar-kabar dari negara yang tidak ikut demokrasi ala Amerika Serikat, dan runtuhnya tembok Berlin seperti menambahkan mecin pada kabar-kabar itu: model dunia selain yang ditawarkan Amerika Serikat adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.
Saya akan membicarakan film Pulgasari (1985). Tapi, sebelum itu saya ingin membicarakan negeri yang memproduksinya, yang menjadi salah satu alasan mengapa Pulgasari menjelma primadona di internet: Korea Utara.
Mitos yang Terstruktur, Sistematis, dan Masif
Berita-berita tentang Korea Utara—atau, nama resminya, Democratic People’s Republic of Korea (DPRK)—di media arus utama Barat seperti ditulis oleh seseorang dengan obsesi terpendam. Secara umum, ketertarikan Amerika Serikat terhadap kata ‘otoriter’ dan ‘ketertutupan’ menyiratkan semacam fetish seksual, tetapi saya tidak ingin kink-shaming dalam tulisan ini. Obsesi dan pandangan merendahkan itu ditularkan kepada negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Ketika media arus utama di Indonesia mengeluarkan berita soal Kim Yo Jong, adik Kim Jong-un, mereka menggunakan judul-judul aneh (kalau tak mau disebut menggelikan), mulai dari merendahkan, seperti ‘Si Cantik Ini…’ hingga kombinasi merendahkan dan menyeramkan, seperti ‘Si Cantik yang Dingin dan Kejam Ini…’ Isi beritanya seperti kisah-kisah dari abad pertengahan yang sumbernya diambil dari kata si fulan yang didapat dari si fulana yang didapat dari si falun. Berita-berita tersebut jadi contoh kombinasi maut antara gosip, ignorant, dan imajinasi “dinasti” ketimuran yang eksotis bagi orang-orang kulit putih. Kalau bukan rasis, saya tidak tahu apa namanya. Kecurigaan saya tentang berita-berita itulah yang kemudian membuat saya ingin belajar lebih banyak mengenai negara-negara yang menjadi target bully, seperti negara-negara di Amerika Latin dan DPRK.
Ada semacam penyakit kolektif yang tersirat dalam berita-berita media arus utama Indonesia tentang DPRK, misalnya: “25 Aturan Aneh di Korut, Termasuk Larangan Melipat Koran dan Dilarang Senyum”, “Ini 4 Hukuman Paling Kejam Pemimpin Korea Utara kepada Rakyatnya”, “Masyarakat Korea Utara Dipaksa Percaya 7 Fakta Gila Ini”, dan seterusnya. Kita diajak percaya bahwa Korea Utara bukan negeri yang layak dihuni manusia karena dipimpin oleh orang-orang yang tingkat kekejamannya berada di luar nalar manusia.
Tak heran, antipati terhadap DPRK juga populer. “Masih untung lu tinggal di sini, coba kalau lu tinggal di Korut!” Frasa itu menyelinap di dalam isi kepala, dan menemukan momentum untuk diimani. Keraguan dan nalar kritis dicampakkan; kebanyakan dari kita menerima segala citra media tentang DPRK sebagai kebenaran absolut—minimal sebagai lelucon untuk menyangkal kenyataan bahwa hidup Anda sulit dan negara yang Anda huni saat ini impoten dalam urusan-urusan sosial dan ekonomi.
Di kolom video dokumenter Life in North Korea produksi Deutsche Welle, seseorang menuliskan komentar yang berbunyi begini: “I hope I’m alive when the north korean regime falls, I want to see all these people experience the real world”. Komentar itu ditulis oleh seorang lelaki kulit putih asal Amerika Serikat yang gemar mendokumentasikan kehidupannya sehari-hari. Tentu komentarnya mendapat like paling banyak. Saya tidak tahu apakah “real world” yang dia maksud adalah dunia milik polisi yang bisa secara brutal menggebuki orang lewat? Atau dunia yang mayoritas penduduknya tak sanggup beli rumah? Atau dunia menyulitkan penghuninya bisa sekolah tinggi tanpa harus bangkrut? Saya tidak tahu. Namun, satu komentar itu cukup menggambarkan arogansi ugal-ugalan.
Tentu DPRK layak dikritisi seperti halnya negara manapun di dunia ini. Namun, hanya karena seseorang menutup diri dan menolak ajakanmu untuk berteman—karena menganggap kamu enggak keren, misalnya—bukan berarti ia layak jadi sansak sepanjang tiga dekade. Buku Tyranny of the Weak: North Korea and the World, 1950–1992 (Cornell University Press, 2013) karya Charles K Armstrong, sejarawan Amerika dan profesor Korean Studies di Columbia University, masih menjadi referensi untuk membicarakan yang enggak-enggak soal Korea Utara. Bahkan ketika sang profesor terbukti melakukan plagiarisme, karyanya tetap menjadi sumber rujukan di Wikipedia.
Akui saja kita tidak tahu apa-apa tentang kehidupan warga DPRK dan bagaimana pemerintahannya bekerja. Berbicara lebih banyak soal mereka hanya akan membuat kita secara terang-terangan menyokong narasi anti-Asia dari Barat—dan bahkan dalam beberapa kasus merujuk pada xenofobia karena bagi kebanyakan dari mereka, semua orang Asia terlihat sama. Narasi ini jelas kocak karena kita sendiri warga asia. Yang dilupakan: dengan atau tanpa lelucon, mereka adalah satu dari sedikit bangsa yang berhasil bertahan—dengan konsistensi mengagumkan—tanpa harus ambil bagian dalam rezim ekonomi-politik Washington yang mendominasi dunia.
Di internet, menjadi sangat terang kemudian: imaji tentang DPRK yang dibentuk oleh media-media Barat sukses mengalihkan percakapan tentang film Pulgasari dari kandungan ceritanya. Orang lebih fokus ke kisah penculikan sutradara dan membuat lelucon tentang itu.
The joke is on me karena sebetulnya tujuh paragraf yang saya tulis di atas dapat dirangkum dalam satu meme di bawah ini:
Cerita-dalam-cerita Pulgasari
“Seorang diktator menculik seorang sutradara dan memaksanya membuat film” adalah premis yang memiliki daya pikat, terutama jika ia datang dari negara yang sepanjang riwayatnya sulit ditembus seperti Korea Utara. Premis itu cocok untuk film tentang film, apalagi jika diketahui kemudian sang sutradara diculik untuk dipaksa membuat film monster. Premis itulah yang melambungkan nama Pulgasari.
Alkisah Kim Jong-il menculik Shin Sang-ok, sutradara asal Korea Selatan, dan memaksanya membuat film monster yang seperti Godzilla. Plot ini tentu jadi santapan lezat. Ia menjadi buku, menjadi film dokumenter, menjadi berita di media-media arus utama dari BBC hingga Kompas, dari Vanity Fair hingga jalan lain ke Vivadotcodotid. Kanal-kanal pegiat budaya populer dan peninjau film di YouTube juga tak mau ketinggalan gerbong. Kamu bisa dengan mudah menemukan selipan-selipan ‘fakta wow’ ini di blog-blog pecinta film. Plot yang mengingatkan kita pada campuran antara pecinta film dalam Be Kind Rewind dengan alien yang gemar menculik di Close Encounters of the Third Kind.
Namun, dari sekian banyak berita media arus utama mengenai kisah penculikan itu, sedikit sekali yang merujuk pada kenyataan bahwa karier Shin Sang-ok terancam oleh kediktatoran Park Chung-hee di Korea Selatan. Dalam salah satu bukunya tentang sejarah dan politik di Semenanjung Korea, Michael Breen, penulis dan konsultan asal Inggris yang sempat menetap di Korea Selatan, mengungkapkan:
Shin Sang-ok berselisih dengan diktator Park Chung-hee di Selatan. Pemerintah Korea Selatan menganggapnya pembangkang karena mengeluh tentang penyensoran dan penyuapan, lalu menutup perusahaan filmnya.
“Kim Jong-Il, North Korea’s Dear Leader: Who He is, What He Wants, What to Do About Him (Revised & Updated Edition)”, 2012, halaman 72.
Cerita berkembang setelah itu. Shin Sang-ok muncul di DPRK dan kemudian disusul oleh Chon Eun-hee, sang istri (meskipun narasi mereka kadang terbalik). Selama di DPRK, Shin mendapat dukungan penuh dari Kim Jong-il untuk mengarahkan dan memproduksi film di sana. Dia memenangkan penghargaan di festival film asing dan berkontribusi signifikan dalam meningkatkan status global sinema DPRK. Menurut pengakuan Shin dan Choi, terdapat 15.000-an film di perpustakaan film di DPRK, kebanyakan film-film produksi Blok Timur dan beberapa film Hollywood. Shin dan Choi diminta menonton dan menulis kritik empat film per hari. Selama dua tahun di DPRK, Shin memproduksi 17 film cerita panjang. Tiga diantaranya adalah Love, Love, My Love (Sarang sarang nae sarang, 1984), Runaway (Talchulgi, 1984), dan Pulgasari (1985).
Setelah menyelesaikan Pulgasari, pada 1986, Shin dan Choi pergi ke Wina untuk menghadiri sebuah festival film internasional. Menurut pengakuan Shin dan Choi, Kim memintanya untuk menemui seseorang di Austria untuk membuat film biografi Genghis Khan. Alih-alih, Shin dan Choi membelot ke kedutaan AS. Dari sinilah seluruh cerita penculikan berasal. Tampaknya Shin dan Choi sadar bahwa cerita itu terlalu spektakuler sehingga Shin mengaku dia takut untuk kembali ke Korea Selatan, karena dia tahu pemerintahan mereka tidak akan mempercayai cerita penculikan ini. Plot penculikan seperti ini hanya bisa dibeli oleh orang Amerika, tentu saja.
Kantor Berita Pusat DPRK merespons kepergian Shin dan Choi ke kedutaan Amerika Serikat dengan menambahkan bahwa keduanya melarikan diri dengan USD 3 juta untuk produksi film Genghis Khan.
Melalui hal-hal di atas, kita hanya perlu melakukan sedikit pekerjaan detektif. Sialnya, sangat sedikit orang yang mau berusaha keras untuk mengambil sikap kritis. Larut dalam fantasi rasis Amerika tentang orang Asia rupanya lebih menarik bagi sebagian orang. Salah satu yang skeptis dengan kisah penculikan yang bombastis itu adalah Yi Hyo-in, kritikus dan penulis monograf tentang sutradara-sutradara Korea Selatan. Ia menawarkan perspektif lain: keputusasaan terhadap aturan sensor dan standar rendah dalam industri Korea Selatan di bawah Park Chung-hee membuat Shin mempertimbangkan pilihan lain di luar Korea Selatan.
Tentu saja Shin menyanggah pernyataan Yi Hyo-in dan plot tentang penculikan tetap diyakini sebagai satu-satunya kebenaran. Warga internet berpikiran terbuka ikut ramai-ramai merayakan kebencian dan Amerika terhadap DPRK, menjadikan mereka lelucon atau mengasihani negara mereka yang dianggap terbelakang. Orang Indonesia, yang jelas-jelas tahu bahwa kondisi negara mereka mungkin lebih buruk, juga ikut merayakan caci maki itu.
DPRK dalam Pulgasari, Monster dalam Folklore
Bagi sebagian, menonton horor tentang monster, kehancuran kota yang mapan, dan upaya manusia di dalamnya untuk tetap hidup memunculkan efek katarsis. Sebagian orang menonton film monster untuk melihat monster beraksi, yang lainnya menilai film monster adalah genre film bodoh yang semestinya berhenti ditonton saat kamu memasuki usia 17 tahun. Seperti perasaan yang ditawarkan media di dalam bingkai horor jenis lain, ada kenyamanan tertentu saat kita sebagai penonton mengalami kematian demi kematian, kehancuran demi kehancuran, ketakutan demi ketakutan, duka demi duka setelah menikmati karya-karya horor. Efek terbaik, setidaknya bagi saya sendiri, setelah menikmati karya seni dalam genre ini adalah perasaan lega dan, sedikit banyak, keberanian untuk tetap hidup. Hal ini berlaku juga dalam film-film tentang monster.
King Kong (1933) menjadi peletak batu pertama film monster di budaya populer, tapi Godzilla yang membuka kemungkinan interpretasi lain di luar film monster. Ketika sosok King Kong dalam film-film lanjutannya banyak ditempeli perilaku serupa manusia (kamu bahkan bisa membayangkan King Kong sebagai George Clooney raksasa), film Godzilla (1954) arahan Ishir? Honda memilih fokus memisahkan mitologi hewan raksasa dengan manusia-manusia yang merespons keberadaannya. Spesies monster prasejarah bernapas api meneror Jepang setelah bom atom membangunkannya dari tidur panjang. Apa yang akan saya tulis tentang film Godzilla pertama mungkin sudah ditulis jutaan kali, dan itu wajar sebab eksekusi teknisnya begitu segar dan ceritanya menguras hampir seluruh emosi. Godzilla menjadi karakter yang bisa bangkit dan bangkit lagi, moral dan kepribadiannya merentang dari lawful good hingga chaotic evil, dan tentu saja menjadi sumber pemasukan yang besar bagi pemilik properti intelektualnya.
Esai-esai interpretatif atas Godzilla (1954) sudah banyak dan bisa mudah ditemui di mesin pencari. Kamu bisa menemukan berbagai tulisan yang memaknai Godzilla sebagai hiburan semata (“It’s not that deep, bro!”), atau yang menempatkan Godzilla sebagai respons untuk mengobati luka perang dan jatuhnya bom nuklir, hingga esai yang membahas kejiwaan Godzilla. Namun, apa yang ditulis Steve Ryfle di dalam esai berjudul “Godzilla’s Conscience: The Monstrous Humanism of Ishiro Honda” (2019) lebih bisa menjawab mengapa kaij? eiga (film-film monster) produksi Ishir? Honda begitu berpengaruh terhadap film-film sejenis setelahnya.
Honda berupaya menemukan cara dramatis paling efektif untuk mengekspresikan tema film yang mengandung kesadaran sosial. Ini juga menjawab mengapa setelah Jepang gabung Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1956 dan fokus membenahi sektor ekonomi, terjadi pergeseran suasana dari Godzilla pada 1954 yang sangat depresif, yang diproduksi sembilan tahun pasca-pembumihangusan Hiroshima dan Nagasaki, hingga Mothra vs. Godzilla sepuluh tahun kemudian yang sangat optimis mengajak bangsa-bangsa untuk bersatu memecahkan masalah bumi. Dua dekade kemudian, pergeseran kembali terjadi dalam The Return of Godzilla (1984), reboot film Godzilla pertama. Alih-alih tentang Godzilla, cerita didominasi ketegangan geopolitik Perang Dingin antara Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Soviet. Miskin pilihan diplomatik, Jepang kala itu rentan ditekan menjadi tempat potensial untuk meluncurkan serangan Amerika ke Uni Soviet. Amerika Serikat dengan cepat mendorong Jepang untuk mengadopsi ‘militerisme’ baru demi membendung komunisme di Tiongkok dan Uni Soviet (The Clash: U.S.-Japanese Relations Throughout History, Walter LaFeber, 1997). The Return of Godzilla juga menandai peralihan era Godzilla dari Showa ke Heisei. Di sinilah Tokyo mulai digambarkan sebagai kota yang berdenyut dan Jepang sebagai negara kuat.
Tampaknya “cara dramatis paling efektif untuk mengekspresikan tema film yang mengandung kesadaran sosial” yang diupayakan pembuat film Godzilla bisa kita temukan juga dalam Pulgasari (1985). Bedanya, kesadaran sosial yang dibangun dalam film arahan Shin Sang-ok itu adalah konflik kelas penguasa dan kaum tani yang dikemas melalui gubahan lepas dari cerita rakyat Korea dan Tiongkok, Bulgasari.
Kata sahibul hikayat, pernah ada makhluk bertubuh beruang, berhidung gajah, dengan mata badak dan berambut jarum, ia memiliki ekor sapi, dan empat kaki harimau. Ia hidup di era Dinasti Goryeo (918-1392). Bulgasari memakan benda-benda yang terbuat dari besi dan memiliki ciri kepahlawanan. Ia muncul untuk menetralisir keadaan yang kacau balau. Selama masa pertumbuhan, ia menunjukan dengan jelas sifat serakah manusia: tidak bisa berhenti makan.
Film Pulgasari menceritakan pemberontakan petani di Korea zaman feodal. Tentara pemerintah merampas semua benda berbahan besi dari petani—cangkul, sabit, sampai penggorengan mereka. Benda-benda ini dilebur menjadi pedang yang akan digunakan untuk membasmi gerilyawan yang bersembunyi di gunung. Para petani tidak dapat hidup tanpa alat produksi mereka. Seorang pandai besi yang sudah sepuh menolak perintah pemerintah untuk melebur barang-barang sitaan menjadi pedang. Seumur hidupnya, petani itu menciptakan peralatan untuk kehidupan petani. Mustahil baginya mengkhianati petani. Ia mengembalikan semua alat-alat sitaan tentara kepada petani secara sembunyi-sembunyi, besoknya ia mengaku kalau alat-alat itu lenyap. “Pasti dimakan Pulgasari!” katanya.
Tentu panglima perang tidak menerima omong kosong seperti itu. Akibatnya, ia dipukul, dituduh membelot, dan dipenjara.
Tentara menahan si pandai besi dan murid-muridnya di sebuah gubuk kayu di atas bukit. Selama masa penahanan, ia menolak makan sampai alat-alat kerjanya dikembalikan. Aksi ini sampai ke telinga Ami, putrinya di rumah. Ami mengunjungi ayahnya dengan membawa serantang nasi. Setelah memohon-mohon agar diperbolehkan mengantar makanan kepada sang ayah, Ami diusir penjaga tahanan. Saat melewati belakang bukit, ia melihat ruang tahanan ayah. Ia berinisiatif melempar-lempar nasi yang ia bawa ke jendela ruang tahanan.
Ayah Ami kaget. Ia cepat-cepat memunguti nasi yang berserakan di lantai tanah, membuat gumpalan dengan tangan. Namun, ada sesuatu yang mencegahnya. Alih-alih makan, sang bapak malah membentuk nasi itu menjadi action figure berbentuk seperti naga, dengan dua kaki, dua tangan, dan tanduk. Ia tahu ia sekarat.
“Aku menghabiskan seumur hidupku untuk membuat peralatan bagi petani,” katanya kepada action figure yang dia buat. “Aku merasa bahagia bekerja dan bisa berguna bagi mereka. […] Tak ada satu pun hari yang kuhabiskan tanpa membuat sesuatu. Sebelum aku meninggalkan dunia ini, setidaknya jadikan ia (action figure di tangannya) karya terakhirku. Karena aku menciptakanmu dengan kesungguhan hatiku yang terakhir, tolong selamatkanlah kemanusiaan di tempatku.”
Si pandai besi pun menghembuskan napas terakhirnya.
Begitulah Pulgasari lahir. Benda pertama yang ia makan adalah jarum milik Ami. Ia tampak lucu dan menggemaskan sehingga Ami memutuskan untuk merawat warisan kakeknya itu. Suatu malam Pulgasari hilang. Ia kelaparan. Ia mengamuk di gudang senjata kerajaan dan memakan semua alat-alat perang. Ia tidak bisa berhenti. Ia masih lapar.
Di bagian lain, murid-murid pandai besi sedang latihan pedang di gunung bersama para gerilyawan. Perang antara petani dan tentara feodal tak bisa dihindari. Sepanjang film, kemunculan Pulgasari terbilang jarang. Petani-petani berperang tanpa kenal lelah hingga pada separuh film, tentara kerajaan mengubah strategi. Mereka memotong jalur makanan. Petani-petani yang mengungsi ke gunung mulai kelaparan. Lalu mereka mendengar seseorang berteriak, “Pulgasari!”
Kamu tidak akan menemukan monster ngamuk di tengah kota. Sebagai gantinya, kamu akan menemukan monster berperang bersama petani menghantam setiap inci pertahanan tentara kerajaan hingga berhasil menggempur ibukota kerajaan. Pemandangan yang tak biasa dalam pakem film monster modern ini membuat Pulgasari, yang pada mulanya terasa konyol dan membosankan, berubah menjadi sangat intens di bagian paruh kedua film. Pembagian porsi cerita yang tidak fokus pada satu individu jagoan membuat suasana kolektif, seperti kerumunan massa petani saat berhadap-hadapan dengan tentara yang menggunakan roket (betul, Tiongkok dan Korea sudah menggunakan roket tradisional dalam perang tujuh abad lalu), jadi lebih merinding. Kekalahan Pulgasari oleh dukun-dukun mengarahkan cerita ke suasana kelam dan putus asa.
“Jangan bersedih. Usap air matamu dan dengarkan permintaanku. Taruh kepalaku di puncak gerbang selatan menghadap istana. Aku ingin melihat penderitaan orang-orang di istana saat raja tumbang,” kata salah satu murid pandai besi sebelum ia dipenggal tentara kerajaan keesokan harinya.
Titik balik ditandai dengan kebangkitan Pulgasari dan bersamanya kemarahan petani sudah mencapai ubun-ubun. Revolusi tak terhindarkan. Raja tumbang. Tetapi, cerita masih terus lanjut. Dikisahkan setelah desa masuk masa tenang dan petani dapat bekerja jauh lebih baik dari sebelumnya, Pulgasari masih merasa lapar. Ia mulai memakan peralatan petani secara tak terkendali, sementara petani tak bisa membiarkan Pulgasari, makhluk yang berperang bersama mereka, kelaparan. Ami mengambil inisiatif yang membuat Pulgasari tak perlu makan lagi untuk selamanya.
Yang Utama Bukan Manusia
Dalam sekali tonton, kentara Pulgasari merupakan metafora untuk kapitalisme. Ia pada awalnya terlihat sebagai kekuatan progresif yang bekerja untuk para petani, namun pada akhir film, ia tak bisa menghentikan sifat tamaknya dan menjadi ancaman bagi mereka.
Pada perspektif lain, Pulgasari tidak seperti monster pada umumnya. Ia adalah ‘kamerad’ yang bekerja sama untuk meruntuhkan rezim jahat. Selain itu, kita juga bisa melihat karakteristik film-film DPRK lain yang menceritakan pemberontakan era feodal dan semua pemberontakan itu berujung pada kegagalan karena gerakan pemberontakan itu tidak memiliki visi yang jelas. Diliihat dari sudut pandang ini, bagian akhir ketika Pulgasari yang lenyap bersama Ami ke dunia jiwa jadi lebih masuk akal. Pulgasari tidak pernah mati. Ia hidup bersama keinginan manusia untuk terus memperbaiki kondisi kehidupan mereka.
Di wilayah produksi, Shin bekerja sama dengan setidaknya lima belas teknisi dan ahli special effects dari Toho Studio, Jepang, tim yang sama dengan produksi film Godzilla. Termasuk Teruyushi Nakano, orang yang terlibat dalam special effects di balik pembuatan beberapa film Godzilla dan Kenpachiro Satsuma, sosok manusia di balik kostum Godzilla. Tampaknya Shin benar-benar ingin menyamai kualitas Godzilla.
Memang terdapat perbedaan signifikan antara Pulgasari dan Godzilla dari sisi desain dan konsep. Godzilla adalah makhluk prasejarah dengan bentuk dan struktur mirip reptil, sementara Pulgasari adalah ruh yang dapat menjelma dalam bentuk fisik. Godzilla tidak memiliki kaitan langsung dengan eksistensi manusia. Gerak-geriknya lebih banyak didorong naluri, sementara Pulgasari lahir dari harapan kolektif untuk menyelamatkan manusia dan pendekatan fantasi yang kental.
Meski begitu baik Godzilla pertama dan Pulgasari memiliki kesamaan, yaitu elemen paling penting dari genre film monster: mitologi. Semenjak pendekatan cerita dalam MonsterVerse (semesta monster produksi Legendary Entertainment) mengedepankan dinamika kehidupan antarindividu dan mengerucutkan kisah monster menjadi pencapaian individualistis, film-film Godzilla produksi Legendary sering dikritik karena kurangnya porsi manusia dalam film. Nyatanya, film monster bergerak justru dari mitologi yang menyelubunginya. Peran manusia dalam cerita adalah sebagai pengantar mitologi itu, mengkomunikasikan mitologi, pseudosains, suasana politik, dan worldbuilding yang njelimet kepada pemirsa dalam bahasa manusia—karena sebagian besar penontonnya bangsa manusia.
Itulah mengapa dalam Godzilla pertama atau Shin Godzilla, kita mungkin bisa dengan mudah melupakan karakter manusia yang muncul di dalamnya. Mereka bukan pusat cerita. Mereka cukup ada di sana, mengkomunikasikan elemen-elemen cerita dengan efektif, lalu pergi. Elemen fantasi bisa muncul begitu saja tanpa malu-malu (seperti dalam cerita Pulgasari, Daimajin, Gamera, dan sebagainya) yang membuat ceritanya tampak konyol, tetapi itulah yang membedakan tradisi cerita monster ini dengan MonsterVerse. Kita sebetulnya bisa melihat perubahan pendekatan ini terjadi dalam Godzilla era Showa seperti Terror of Mechagodzilla (1975), meski begitu sebagian besar cerita monster adalah cerita yang tak masuk akal, atau didesain untuk ditertawai, atau ya, sekadar dilihat adu jotosnya.
Dengan memahami bahwa mitologi adalah yang menjadi mesin utama cerita-cerita monster, dan bukan seberapa besar porsi manusianya, kita dapat memahami mengapa cerita-cerita tentang monster paling konyol sekalipun dapat melintasi sekat-sekat budaya dan generasi. Tidak peduli kamu berasal dari lubang semut, mitologi tentang monster yang ada di wilayahmu dan perasaan-perasaan yang hinggap saat membayangkannya, juga akan melekat kepada saya.
Dalam lingkup lebih luas, film-film monster hari ini bisa kita lihat sebagai sentuhan modern dari cerita rakyat. Dari era cerita lisan, kita bisa menemukan cerita tentang raksasa yang memporak-porandakan bumi nyaris di semua peradaban manusia, dari Cormoran, Titan, Kumbakarna, hingga Buto Ijo. Pulgasari dan Godzilla, terutama Godzilla era Showa, tak terkecuali.
Film-film monster menjadi semacam sarana eskapis yang berusaha menepuk pundak kita dengan ketakutan purba, yang seringnya di luar akal sehat, tetapi menawarkan kesenangan dan ketenangan dalam wujud lain. Kadang ia juga bisa menimbulkan pertanyaan-pertanyaan serius yang segera bisa kita tangkal dengan berpikir, “Lah, apaan goblok banget gua. Ini kan cuma film bocah!” Mereka hidup dalam kontradiksi seperti itu. Ketika membuat mereka semakin mirip manusia, mengedepankan pandangan-pandangan manusiawi dan masuk akal, atau menonjolkan konflik-konflik yang sangat manusia seperti masalah keluarga atau kisah cinta yang pilu kadang justru menegaskan keegoisan manusia yang berpikir bahwa dunia ini hanya milik manusia; bahwa planet bumi tidak memiliki ruang lain bagi makhluk yang lain.