Before, Now & Then (Nana): Bertahan Karena Mimpi, Bermimpi Karena Tahan

Kamila Andini kerap menciptakan visual surreal dari emosi yang riil. Dalam Sekala Niskala, duka menjelma tarian-tarian yang merespons ruang; dalam The Mirror Never Lies, rasa kehilangan menjelma pohon penuh cermin yang serupa instalasi seni. Kali ini, dalam Before, Now, & Then (Nana), visual surreal hadir pada tempat sejatinya: mimpi.

Dinamika showing dan telling dalam Nana terasa unik dan padu dengan fokus film terhadap protagonisnya. Di awal film, alasan pelarian Nana (Happy Salma) dan Ningsih (Rieke Dyah Pitaloka) hanya disebutkan, tanpa ditunjukkan dengan aksi yang berarti. Informasi soal sosok yang mengejar mereka—bukan Belanda ataupun Jepang, melainkan “gerombolan”—juga hanya hadir secara lisan. Baru ketika informasi itu dicerna, Nana membayangkan gerombolan tersebut memenggal ayahnya.

Sepanjang film, hal semacam ini terjadi beberapa kali. Mimpi dan bayangan Nana digambarkan nyata, sementara keresahan yang menyebabkannya dihadirkan secara lisan. Dengan penceritaan seperti itu, tentunya tidak ada penggambaran utuh soal situasi pasca-kemerdekaan ataupun ketegangan selama 1960-an. Yang ada, dan ditunjukkan secara visual, hanyalah dampak itu semua terhadap Nana.

Gerombolan pasca-kemerdekaan menyebabkan Nana kehilangan ayah, anak, dan Icang suaminya (Ibnu Jamil). Nana kemudian melanjutkan hidupnya bersama Darga (Arswendy Beningswara), seorang lurah kaya yang terpandang. Sekilas, orang mungkin berpikiran bahwa Nana sudah bisa hidup tanpa beban. Namun, hidup tidaklah sesederhana itu. Di rumah barunya, Nana harus lebih pandai memendam emosi dan menyimpan rahasia. Semua ini terus menumpuk, sampai akhirnya tumpah ketika Ino (Laura Basuki) muncul.

Mimpi

Perselingkuhan Darga hinggap di kepala Nana lewat penggalan-penggalan informasi terpisah. Mulai dari selendang yang tertinggal, cerita polos Dais (Chempa Puteri), hingga surat yang diantarkan ke rumah. Tidak ada penggambaran gamblang soal apa yang Darga lakukan dengan Ino. Lagi-lagi, Kamila Andini hanya menunjukkan apa yang Nana tahu dan pendam. Perempuan, menurut Nana, harus pandai menyimpan rahasia—yang disimbolkan dengan sanggul di kepala.

Sanggul, sayangnya, tidak bisa menghentikan kinerja alam bawah sadar. Sebelumnya, Nana kerap memimpikan Icang, suami pertamanya; kini, mimpinya menghadirkan karakter baru, yakni Ino. Pada mulanya, Ino tidak terlalu tergambar jelas, sehingga diwakili oleh sapi yang ia jual. Baru ketika Nana mulai bercengkrama lebih lama dengan Ino, wajah Ino tergambar lebih jelas, tergeletak di atas dada Darga.

Mimpi menjadi jalan memutar yang digunakan Kamila Andini untuk menunjukkan hasrat dan keresahan protagonisnya. Pilihan ini mungkin tidak baru, tapi jelas jauh dari klise. Adegan-adegan mimpi dalam Nana tidak sekadar dijadikan ajang untuk menggocek penonton. Dalam Nana, mimpi bukan tipuan, melainkan lapisan mental sang protagonis yang nyata. Rentetan mimpi buruk menjadi bukti dari tekanan terhadap perempuan yang dihantui rasa bersalah dan dipaksa untuk memendam.

Persoalan memendam ini tak hanya terlihat di mimpi, tapi juga di perilaku sehari-hari Nana. Ini bisa kita pahami salah satunya lewat perspektif front stage dan back stage. Di front stage, Nana harus tampil sempurna, baik sebagai ibu maupun istri, karena nilai yang terinternalisasi dan ekspektasi orang di sekitarnya menuntutnya demikian. Untuk memastikan penampilan yang sempurna di front stage, Nana mempersiapkan diri di back stage lewat berbagai cara, mulai dari melakukan pep talk depan cermin, merias diri, mengikat anak-anaknya, hingga merokok barang sebentar untuk menenangkan diri.

Ino kemudian muncul di backstage Nana. Ini terjadi bukan hanya satu atau dua kali. Di rumah, di meja rias, hingga di sungai, keduanya bertemu sebagai perempuan—bukan sekadar sebagai istri sah dan selingkuhan. Pada beberapa kesempatan, keduanya bahkan saling berbagi front stage. Salah satunya ketika Nana dinyinyiri mengenai keharusannya membuat suami betah di rumah. Ino membela. Nana dikuatkan. Berkat kehadiran Ino itu, Nana memperoleh sudut pandang baru. Dunia memang panggung sandiwara, tapi ia bisa memilih di panggung mana ia berada.

Anak

Perpindahan Nana ke panggung berikutnya dimulai saat ia mulai bertemu lagi dengan Icang. Mimpi-mimpi buruk tak lagi hadir. Hasrat masih diredam, tapi tak lagi dipendam. Pada bagian ini, meski sangat terasa Wong Kar-wai-esque, beberapa sekuens dengan gerak kamera dan tensi tipis-tipis—yang diiringi oleh scoring berulang—cukup berhasil menerjemahkan emosi yang tertahan. Nana ingin bersama Icang, sebagaimana Mrs. Chan ingin bersama Mr. Chow dalam In the Mood for Love (2000). Namun, Nana tidak bisa melakukan itu selama ia masih bersama Darga suaminya.

“Kita tidak akan (berselingkuh) seperti mereka,” ucap Mrs. Chan dalam In the Mood for Love. Itu adalah kunci tertahannya emosi—yang tertuang dalam gestur dan ekspresi wajah. Dalam Nana, hal serupa juga terjadi, tapi ini meluntur seiring eksposisi percakapan dengan Darga (“Kalau ada laki-laki lain silakan menikah lagi”) dan Ino (“Yang Nana lakukan tidak ada bedanya dengan yang Mas Lurah lakukan”). Kedua momen tersebut mempersingkat momen perselingkuhan menjadi hanya bagian kecil film. Setelahnya, film kembali ke persoalan besar yang terus berulang: perpisahan Nana dengan anak-anaknya.

Sepanjang film, Nana sudah berkali-kali dipisahkan dari anak-anaknya. Di awal, penonton bisa melihat bayi yang digendong Nana saat kabur tidak lagi tumbuh bersamanya. Saat Nana membicarakan foto keluarga dengan Ino, disebutkan juga Nana dipisahkan dari beberapa anaknya supaya tidak keguguran. Dampak semua itu kepada Nana pun sempat hadir dalam mimpi—Nana mencari dan memanggil anak-anaknya yang entah ke mana. Jika Nana memutuskan pergi dengan Icang, tentunya ada harga besar yang harus dibayar, yakni bertambah panjangnya daftar perpisahannya dengan anak.

Perspektif anak menjadi sesuatu yang penting, karena salah satu dampak terbesar perceraian ada pada anak. Cerita film ini sendiri pun diadaptasi dari salah satu bab dalam buku Jais Darga Namaku karya Ahda Imran, yang membahas sosok Raden Nana Sunani dari perspektif sang anak, Jais Darga. Dalam film, posisi anak juga mendapat perhatian khusus lewat kehadiran karakter Dais kecil dan Dais dewasa (Arawinda Kirana). Bila boleh disimpulkan, Dais kecil adalah Dais yang mengalami, sementara Dais dewasa adalah Dais yang mempertanyakan.

Dais kecil bisa dibilang tidak memahami apa yang sedang terjadi pada kedua orang tuanya. Ia diminta memilih ingin ikut siapa, tapi mengapa pilihan semacam itu muncul masihlah suatu konsep yang sulit dimengerti. Ketidakmengertian itu kemudian dilanjutkan oleh Dais dewasa yang secara surreal mengada pada lintasan waktu yang sama. “Mami kenapa pergi?” tanya Dais dewasa. Tak ada jawaban terdengar. Yang ada hanya bisikan.

Sepanjang film setidaknya ada tiga momen bisik-bisik antara perempuan. Tidak ada informasi pasti soal isi bisik-bisik tersebut. Namun, film boleh jadi telah menjawab itu semua lewat penggambaran-penggambaran yang ada. Rentetan mimpi buruk, keterpurukan, dan rasa bersalah yang dimiliki Nana adalah alasan yang cukup untuk menjawab “Mami kenapa pergi?”. Andai Dais memahami itu semua, ia bisa jadi akan mendukung keputusan Nana. Pada masa yang akan datang, ia bahkan mungkin akan mengubah pertanyaan tersebut menjadi: “Mami kenapa kuat sekali bertahan?”

Before, Now & Then (Nana) | 2022 | Durasi: 103 menit | Sutradara: Kamila Andini | Penulis: Kamila Andini, Ahda Imran | Produksi: Fourcolours Films, Titimangsa Foundation | Negara: Indonesia | Pemeran: Happy Salma, Laura Basuki, Arswendy Bening Swara, Ibnu Jamil, Arawinda Kirana, Rieke Dyah Pitaloka, Chempa Puteri