Postcards from the Zoo: Kebun Binatang dan Eksistensi Kita Sehari-hari

postcards-from-the-zoo_hlgh

1

Ex-situ conservation. Protecting an endangered species by removing it from natural habitat.” Begitu tulisan di awal film Postcards from the Zoo (Kebun Binatang) karya Edwin. Masih ada empat istilah zoologi lainnya yang akan penonton hadapi sepanjang film. Melalui istilah-istilah tersebut, Edwin sejatinya mengajak penonton untuk menarik paralel antara dunia fauna dengan manusia. Penghubung penonton antara kedua dunia adalah Lana (Ladya Cheryl), seorang gadis yang sejak kecil ditinggal orang tuanya di kebun binatang Ragunan.

Postcards menandai perkembangan tematik tersendiri bagi Edwin. Sebelumnya, dalam Babi Buta yang Ingin Terbang dan film-film pendeknya, Edwin merenungkan eksistensi manusia melalui perspektif keluarga. Tidak ada keluarga yang berfungsi normal dalam film-film Edwin. Ikatan darah ternyata bukanlah obat penawar bagi segala potensi subversif yang ada dalam diri manusia. Manusia selalu bisa berlaku tak wajar, bahkan terhadap anggota keluarganya sendiri. Konsekuensinya, dalam film-film Edwin, manusia yang dihasilkan keluarga adalah manusia yang tak utuh, manusia yang selalu mencari serpihan identitasnya.

Dalam Postcards, ide tentang keluarga konvensional dinihilkan. Sebagai gantinya, Edwin memunculkan seorang individu yang catatan identitasnya masih kosong. Lana hadir dalam cerita begitu saja, tanpa ada sejarah keluarga maupun informasi pribadi. Di awal film, kita melihat Lana kecil berkeliaran sendirian di suatu pagi buta di kebun binatang Ragunan. Tak nampak wujud orang tua yang meninggalkannya. Tak terjelaskan juga kenapa ia bisa berada di sana. Ia ada, dan fakta tentang keberadaannya bukan untuk dipertanyakan.

Satu hal yang patut dipertanyakan: individu macam apa yang akan terbentuk ketika ia terbebas dari lingkungan keluarga? Secara teoritis, salah satu fungsi keluarga adalah penyediaan konteks. Keluarga menjadi modal awal setiap manusia dalam menentukan tempatnya di dunia, baik dari kelas sosial, ras, maupun marga. Hipotesanya: manusia yang berasal dari skenario tanpa keluarga adalah manusia yang menciptakan konteksnya sendiri. Tempatnya di dunia tidak didefinisikan oleh orang-orang yang mendahuluinya di masa lampau, tapi oleh tindakannya sendiri dan interaksinya dengan dunia sekitar di masa mendatang.

2

Ragunan adalah rumah Lana. Sepanjang tumbuh kembangnya, Lana menjadi saksi mata kedatangan dan kepergian orang-orang di kebun binatang. Ada pawang binatang. Ada kawanan pengunjung kebun binatang. Ada juga sekelompok tuna wisma yang bersemayam di pojok-pojok kebun binatang. Mereka yang menjadi substitusi keluarga Lana sampai ia dewasa nanti.

Sebutlah semesta kebun binatang ini sebagai family of others, sebuah keluarga tak resmi yang terdiri dari para liyan yang sama-sama salah tempat. Kata “salah tempat” menjadi kunci dalam Postcards. Pasalnya, para fauna di Ragunan dan kebun binatang mana pun di seluruh dunia juga salah tempat. Kebun binatang jelas bukan habitat asli mereka. Mereka dipaksakan berada di sana. Setiap harinya mereka harus berhadapan dengan warga kota pencari hiburan, ketimbang flora dan fauna di habitat asli mereka.

Eksistensi kita sehari-hari juga tidak lebih baik. Manusia juga terkotak-kotak dalam batas artifisial. Postcards mencerminkan hal ini melalui cita-cita Lana. Ia ingin menyentuh perut jerapah, sebuah niat yang terhalang oleh papan peringatan “Dilarang menyentuh hewan”. Niatan tersebut semakin tertunda ketika Lana bertemu seorang pesulap berkostum koboi (Nicholas Saputra) di pertengahan film. Perkenalan mereka bermula dengan sejumlah trik sulap dan berakhir dengan sentuhan di pipi Lana. Inilah pertama kalinya Lana merasakan kontak dengan manusia lain. Tertegun dengan sensasi baru ini, Lana meninggalkan kebun binatang bersama si pesulap.

3

Tokoh pesulap ini menarik untuk dua alasan. Pertama, ia bertanggung jawab atas sejumlah momen berkesan dalam Postcards, momen-momen yang menjadi tribut atas kekuatan magis sinema. Salah satunya ketika ia mengubah teh menjadi air putih di sebuah warung makan. Kedua, pesulap ini merupakan ketidakmungkinan ruang-dan-waktu. Kostum koboinya lebih pantas berada dalam film-film western Hollywood tahun 40an, ketimbang di kebun binatang di salah satu kota teramai di Asia Tenggara. Logika ruang-dan-waktu pun tidak berlaku padanya. Ia bisa muncul dan hilang sesuka hati.

Dengan begini, apakah Edwin beranggapan bahwa kontak yang tulus antarmakhluk adalah sebuah ketidakmungkinan? Bisa jadi. Pasalnya, sepanjang Postcards, relasi antarmakhluk terbatas pada tiga kemungkinan: artifisial, eksploitatif, dan berbasis kepentingan ekonomi. Semua fauna di Ragunan mengalami hal tersebut. Melalui beberapa shot statis dari dalam kandang, yang rata-rata berlangsung hingga satu menit, Edwin menempatkan penonton sebagai para fauna penghuni kebun binatang: terkungkung secara paksa dan ditonton oleh makhluk asing.

Petualangan Lana adalah perwujudan dari alienasi serupa. Bersama si pesulap, ia menjadi tontonan banyak orang, berjualan obat (yang katanya) mujarab dan menampilkan trik-trik sulap demi penghidupan sehari-hari. Puncaknya adalah ketika mereka diminta untuk memegang slot reguler di sebuah panti pijat kelas atas bernama Planet Spa. Ketika Lana berkarier sendirian tanpa si pesulap, ia tak kunjung menemukan interaksi yang bebas dari kepentingan. Ia menjadi salah satu staf di Planet Spa. Deskripsi pekerjaannya: menyuplai para lelaki urban dengan sentuhan dan percakapan berbayar.

4

Ketika Wong Kar-wai merilis My Blueberry Nights tahun 2007, seorang jurnalis New York Sun menuliskan ini, “Dia menjadikan New York sebuah fetish, dan mengembangkan plot berdasarkan kepentingan estetis ketimbang logika dan kesinambungan cerita. Kota ini jadi terasa asing di tangan maestro Taiwan itu.” Pernyataan serupa bisa diterapkan pada Postcards. Walau narasinya bermuara di Ragunan, Postcards sama sekali tidak bicara dalam kode-kode kebudayaan lokal. Sesungguhnya, kebun binatang Ragunan di Postcards tak ubahnya seperti kota New York di My Blueberry Nights. Keduanya tidak diperlakukan sebagai lokasi geografis, tapi sebagai semesta sentimentil bagi pembuat film untuk mencangkokkan idenya.

Ini dilematis. Di satu sisi, eksplorasi Edwin di Postcards baru mengena di level intelektual, belum di level emosional. Seabstrak-abstraknya perasaan, perwujudannya tetaplah bergantung pada faktor-faktor sosiologis. Penderitaan di negara dunia ketiga tentunya berbeda dengan di negara dunia pertama, tidak bisa dipukul rata begitu saja. Atas dasar ini, Babi Buta yang Ingin Terbang memperoleh muatan emosionalnya. Topik diskriminasi ras Tionghoa yang sangat mengakar di sejarah negeri ini menambah lapisan emosional tersendiri, entah itu ironis atau sinis, bagi setiap kejadian dalam cerita, seabsurd apapun itu. Postcards sayangnya tidak punya modal yang sama. Pergulatan batin Lana, yang sebenarnya sudah dijelajahi secara ekstensif, terasa mengawang-awang akibat ketiadaan konteks sosial.

Di sisi lain, pendekatan romantik Postcards menjadi etalase yang sempurna untuk talenta audiovisual Edwin dan kawan-kawan. Sebagai sebuah karya, Postcards bolehlah terasa tidak utuh dan berjarak, namun para pembuatnya benar-benar tahu caranya mengapresiasi momen-momen kecil, yang mungkin terlewatkan oleh mata namun tidak oleh kamera. Mulai dari close-up kulit gajah yang perlahan-lahan berubah warna ketika tertetes gerimis, kepala kuda nil yang timbul tenggelam di kolamnya, hingga adegan Lana bermain enggrang di kebun binatang. Tidak terlupakan juga komposisi musik Dave Lumenta: sederhana, cenderung repetitif, namun sejalan dengan dinamika kebun binatang yang siklikal. Rasa-rasanya Ragunan belum pernah terasa semagis ini.

Postcards from the Zoo (Kebun Binatang) | 2012 | Sutradara: Edwin | Produksi: babibutafilm, Pallas Film | Negara: Indonesia | Pemeran: Ladya Cheryl, Nicholas Saputra, Adjie Nur Ahmad, Klarysa Aurelia Raditya, Dave Lumenta, Abizars, Iwan Gunawan, Nitta Nazyra C. Noer

Artikel ini pertama kali terbit di filmindonesia.or.id