Sepuluh Film Pilihan Tahun 2013

2013 movie

Daftar ini bukanlah daftar film terbaik tahun 2013, bukan pula sebuah pembacaan menyeluruh atas film-film yang dibuat pada tahun tersebut. Daftar ini lebih mencerminkan adanya standar tertentu yang dipakai seseorang dalam memilih film-film yang berpengaruh baginya. Saya membuat daftar ini bukan sebab saya seorang ahli dalam bidang film, bukan pula sebab saya tidak puas terhadap beberapa daftar yang dibuat oleh orang-orang lain. Bagi saya, daftar ini adalah semacam cermin tempat saya mengaca dan mendapatkan dua hal yang dipantulkan dari cermin tersebut.

Pertama, speaking position seseorang sangat mempengaruhi bagaimana ia membaca film, sehingga pembacaan semacam ini bukanlah saja tentang bagaimana kita mendefinisikan film-film, tapi tentang bagaimana film-film mendefinisikan kita. Sebagai halnya saya membuat daftar ini, begitu pulalah daftar ini membuat saya. Kedua, membuat daftar berarti menyusun rangkuman dari semacam kegiatan mengakses karya. Kegiatan mengakses selalu berkelindan dengan posisi geografis seorang penonton sehingga apa yang ia tulis, alih-alih mengenai film yang ia tonton, justru sebenarnya lebih mengenai dirinya sendiri dan posisi geokulturalnya. Tensi yang lahir dari jarak antara film dan posisi geokultural penontonnya yang melahirkan daftar-daftar semacam ini.

The Great Beauty (Paolo Sorrentino, Italia)

cinema-la-grande-bellezza-08

Sebagaimana Federico Fellini mencampur mimpi dan kenyataan, penyesalan dan harapan, The Great Beauty adalah lagu dalam notasi yang sama namun ditujukan pada era Italia yang berbeda: inilah era Berlusconi, era skandal pada pucuk-pucuk komando negara yang mengisi pikiran tokoh utama, seorang pewarta. Tensi film dibangun dari kontras antara suramnya isi kepalanya dan hangatnya musim panas Roma. Tak tahu mesti sedih, tak tahu mesti senang, terperangkap di antara keduanya punya keindahannya sendiri-sendiri.

Gravity (Alfonso Cuarón, Amerika Serikat)

gravity

Film avant-garde pertama yang berstatus blockbuster, film blockbuster pertama yang berstatus avant-garde. Saya masih ingat hujatan pedas sinematografer Chris Doyle ketika film Life of Pi menerima penghargaan sinematografi terbaik di perayaan Oscar: sinematografi Life of Pi adalah kerja komputer, bukan kerja kamera, mereka tak layak mendapat penghargaan dalam bidang sinematografi. Gravity mengaburkan batas yang Chris Doyle bangun. Inilah film yang sangat visioner dalam pemakaian teknologinya, tiga belas menit pertamanya adalah satu take panjang dimana pada salah satu detik, kamera seakan masuk menembus helm kaca sang astronot. Tapi di satu sisi, juga sangat berpatok pada selera avant-garde film-film lama yang bertumpu pada gerakan ketimbang perpindahan cerita lewat suntingan. Tapi bila dipikir lagi, ruang angkasa yang menjadi latar film memang tak beroksigen sehingga gerakan dan cerita menjadi satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Saya belum bisa berhenti berpikir mengenai film ini.

In Bloom (Nana Ekvtimishvili & Simon Groß, Georgia/Jerman)

Grzeli_nateli_dgeebi_InBloom

Sinematografer veteran Rumania Oleg Mutu memberi aura ajaib pada film ini. Kehalusan bidikan panjangnya larut di wajah dua orang tokoh utama, kakak beradik perempuan di Georgia masa perang awal dekade sembilanpuluhan. Perang adalah hal besar, tapi pengalaman minim dua orang remaja dibuat tak mampu menampung semuanya. Alih-alih, mereka sudah risih oleh masalahnya sendiri: anak-anak lelaki di sekolah, kakak tertua yang merokok, dan tradisi-tradisi yang tak mereka senangi. Perang tak melulu tentang nasionalisme, mengenali musuh, senjata, perang juga mengenai cara melihat, dan pada melihat: mata semacam apa yang kita pakai.

Thou Gilds’t the Even (Onur Ünlü, Turki)

thougildst_03

Sebuah desa di Anatolia dihuni oleh orang-orang berkekuatan luar biasa. Tokoh utama kita bisa menembus dinding, gadis yang ditaksirnya bisa melempar barang tanpa harus menyentuh barang tersebut, gadis loper buku bisa menghentikan waktu, dan guru sekolah dasar berwujud manusia tak kasat mata. Film ini tak ada hubungannya dengan realita, tak ada hubungannya dengan tekan-menakan alam manusia biasa dan manusia super. Ia mengandaikan sebuah dunia dimana afeksi diproduksi oleh semesta yang sama sekali berbeda. Formasi mendahului afeksi. Dalam fantasinya, film ini sebenarnya sangat materialistik.

Manakamana (Pacho Velez & Stephanie Spray, Nepal/Amerika Serikat)

manakamana-documentary

Dibuat dalam kereta gantung yang menghubungkan orang-orang dengan Kuil Manakamana di dataran tinggi Nepal, sutradara Pacho Velez dan Stephanie Spray menggantungkan durasi tiap shot dengan panjang rol film pada kamera 16mm yang mereka gunakan. Teknik durasi yang menyerupai taktik pembuatan film legendaris Rope (Alfred Hitchcock, 1948) ini seketika membawa kita pada nostalgia manis yang tak dapat lagi kita temukan pada zaman digital: mempertimbangkan rol film dan menyulapnya menjadi strategi penuturan artistik. Manakamana memotret keseharian para pengguna kereta gantung: orang tua yang perlahan menjadi relijius seiring umur mereka, anak-anak muda bervisi metal, hingga kambing persembahan. Lewat teknik-teknik sederhana, Manakamana memotret etnografi penduduk dataran tinggi Nepal. Bahwa seratus-persen-tradisional adalah kata kunci yang mustahil untuk tahun 2013. Bahwa kategori tradisional lahir sebab adanya batas yang dibuat di antaranya dan modernisme. Bahwa yang tradisional tak pernah berdiri sendiri, ia selalu dipengaruhi oleh yang modern dan demikian pula sebaliknya.

Real (Kurosawa Kiyoshi, Jepang)

Real1

Pada hari rilisnya, kritikus barat ramai-ramai mendaulat film ini sebagai versi Jepang dari karya Chris Nolan, Inception. Tapi buat saya, tak ada yang mirip antara film ini dengan Inception kecuali beberapa lapis alam bahwa sadar yang kuasa dimasuki oleh sebab bantuan teknologi. Real tak memberitahukan kita mana yang nyata dan mana yang tidak, tak sebagaimana Inception menekankan “mimpi pada rumah – dan istri” sebagai hasrat nyata tokoh utama yang diperankan Leonardo di Caprio. Setelah Tokyo Sonata yang dengan pahit memotret bentrokan neoliberalisme dan kondisi keluarga kiwari, kini Kurosawa Kiyoshi kembali pada ciri khas tempo off-beat nya – kekhasan yang membawa film semacam Cure dan Pulse menjadi film yang akan selalu dicatat orang. Dalam kelambatan temponya, film ini bicara tentang banyak sekali hal. Mulai dari realitas virtual yang digandrungi masyarakat Jepang (masih ingat Aimi Eguchi dari grup AKB48?) hingga penampakan spesies dinosaurus yang tampak jelas ingin mengkritisi kebijakan nuklir rezim konservatif Shinzo Abe pasca celakanya reaktor Fukushima. Film ini penuh metafor yang dibungkus oleh kesepian, sebagaimana karakternya yang adalah individu-individu yang terberai di lantai-lantai atas gedung pencakar langit Tokyo.

The Strange Little Cat (Ramon Zürcher, Jerman)

strangelittlecat_04

Yang luar biasa dari film ini adalah kedetilannya. Seluruh cerita film berlangsung dalam rumah. Seluruh anggota keluarga tengah mempersiapkan makan malam bersama dan tengah menunggu beberapa sanak famili datang berkunjung. Orkestrasi pergerakan karakter dan jarak kamera dengan objeknya diperhitungkan sampai pada tingkat matematis. Film pertama dari sutradara Ramon Zürcher ini melemparkan kita kembali pada lucunya hal-hal kecil yang sudah tak terbiasa kita perhatikan sebab sudah dianggap sebagai yang terberi.

Mouton (Giles Deroo & Marianne Pistone, Perancis)

Mouton

Bagaimana seandainya film-film macam Tropical Malady dan Syndromes and a Century dibagi dalam tiga bagian? Mungkin jadinya akan seperti Mouton. Sutradara Giles Deroo dan Marienne Pistone membagi filmnya menjadi tiga potongan yang berbeda (bukan omnibus, bukan pula struktur tiga babak). Yang menarik adalah penggunaan babak ke tiga sebagai momen nostalgia untuk mengenang babak pertama dan pada saat yang bersamaan menggunakan babak kedua sebagai semacam intrusi bagian yang seharusnya tidak menjadi satu kesatuan dengan film. Babak pertama menceritakan tentang Mouton, anak muda yang  pada suatu malam terpotong tangannya. Di babak kedua, anehnya, Mouton dianggap tak pernah ada dalam film. Kehidupan terus berlanjut sementara latar cerita masih berlangsung di kampung yang sama. Cara ini dengan hangat membawa penonton pada kerinduan pada Mouton sehingga ketika babak ketiga  dimulai, ada rasa kangen yang terobati – seperti bertemu kawan lama: cara penuturan yang belum pernah saya dapati dalam film manapun sebelumnya.

Upstream Color (Shane Carruth, Amerika Serikat)

upstream color

Bagaimana seandainya dunia modern adalah hutan dan kita semua adalah Walden karya Thoreau? Setelah Primer yang dibuat menyerupai buku fisika yang membahas penemuan-penemuan yang belum selesai, Shane Carruth membungkus Upstream Color menyerupai buku biologi dan filsafat pada saat yang bersamaan, semacam membaca On the Origin of Species dengan mata kiri sementara mata kanan membaca A Thousand Plateaus. Hirarki antara manusia, hewan, tumbuhan, bahan, dan mesin dihapus dengan tetap mempertahankan klasifikasi antara masing-masing mereka. Rasanya seperti melupakan pertanyaan mana yang lebih besar antara genus, ordo, spesies tapi tetap yakin bahwa mereka semua adalah berbeda, dan yang menjadi faktor penentu interaksi antar-mereka adalah sebatas perubahan intensitas semata.

Ida (Pawel Pawlikowski, Polandia)

ida_04

Beberapa hari sebelum diresmikan menjadi biarawati gereja, Ida menemukan fakta bahwa ia adalah seorang Yahudi. Di Polandia, Yahudi lebih merupakan atribut politik ketimbang atribut agama. Ini yang berusaha dipotret oleh Ida. Menyadari bahwa dirinya Yahudi, Ida minta izin keluar sejenak dari gereja untuk mencari kenangan keluarganya yang bermuasal dari Perang Dunia 2. Harapan Ida pada Polandia yang merupakan lokasi pembantaian kaum Yahudi di era Hitler bertentangan dengan kondisi kekinian di luar gereja, Polandia telah banyak berubah, dan perubahan itu semakin menjauhkan Ida dari jati dirinya. Ida dibuat dengan sinematografi gaya Antonioni. Presisi gambar dijunjung tinggi dalam hiasan bingkai warna hitam putih. Pawel Pawlikowski menunjukkan bahwa selain sebagai kritikus yang mumpuni, ia pun memiliki ketelitian dalam mengolah gambar.