Toilet Blues: Ziarah Panjang Menggugat Iman

toilet-blues-film_hlgh

Mungkin saya cukup beruntung (atau justru sial) karena berkesempatan menghadiri penayangan perdana Toilet Blues dan mendengar cuap-cuap para pembuat film perihal latar belakang pembuatannya. Seingat saya, begitu sutradara Dirmawan Hatta maju dan menyampaikan pengantar, ia mengaku ingin bikin film bertema religi yang berbeda dari yang lain, yang lepas dari siraman moral dan petuah bijak, yang membumi dan sederhana. Maka dari itulah saya merasa beruntung lantaran bisa mencicipi Toilet Blues di layar perdana, dan di saat bersamaan malah merasa sial karena terlanjur disuapi ekspektasi, apalagi setelah saya mendapati banyak dialog yang justru gemuk akan pesan-pesan moral nan bijak.

Hal lain, sang sutradara juga berujar kalau Toilet Blues terinspirasi dari puisi mendiang WS Rendra yang berjudul Nyanyian Angsa. Ada semacam koneksi kimiawi yang dirasakan Dirmawan antara puisi tersebut dengan kisah Maria Magdalena, yang pada akhirnya berperan membidani kelahiran film ini. Puisi itu sendiri mengisahkan pertaruhan nasib seorang pelacur tua yang sudah tidak lagi produktif, lantas dibuang dari rumah bordil dan ditolak di mana-mana: di rumah sakit, di keluarganya, bahkan di gereja. Dalam keterasingan, ia kemudian berbaring di tepi telaga dan dihampiri seorang pemuda yang secara kebetulan berbesar hati mau menerima, bahkan bercinta dengan si pelacur! Belakangan diketahui bahwa pemuda asing ini memiliki bekas luka di telapak tangan dan sekitar perutnya, yang mana merupakan sebuah metafor akan sosok Yesus Kristus.

Dalam semesta Toilet Blues, dua protagonis utama tampil kontras satu sama lain. Pria Anggalih (Tim Matindas) yang hemat bicara, berkeinginan menjalani hidup selibat dengan masuk seminari katolik; dan perempuan Anjani (Sherly Anggraini) yang dianugerahi stigma “liar” dengan watak pemberontak. Keduanya diceritakan sempat menjalin asmara, sampai kemudian Anggalih mohon “pamit” untuk hijrah ke asrama (baca: seminari).

Persandingan yang kontras ini sebetulnya cukup menarik. Anggalih yang notabene seorang pelajar seminari ternyata harus mengakui dirinya tidak bisa berbuat banyak ketika menghadapi dunia nyata. Ia boleh saja menggebu mantap dan lantang ketika membicarakan keimanan, eksistensi surga neraka, tujuannya masuk seminari, angannya menjadi frater lalu pastor, misinya sebagai martir melayani umat, namun di saat bersamaan tergagap nyaris bisu ketika bersinggungan langsung dengan problema-problema riil pada individu-individu di sekitarnya. Jurus pamungkasnya tidak lebih dari sepotong kalimat bernada ragu “Ada yang bisa saya bantu?” yang sesungguhnya akan lebih tepat dilontarkan terhadap dirinya sendiri.

Jangankan melayani umat, menghadapi Anjani saja ia kewalahan. Petualangan Anggalih serupa proses tarik ulur antara hasrat penebusan spiritual untuk menjadi abdi kristus dengan hasrat biologis untuk mencintai seorang Anjani. Singkat cerita, Anggalih adalah wujud penyangkalan ganda. Ia menyangkal bahwa dirinya penuh dengan penyangkalan itu sendiri. Cerminan bahwa “niat baik” bukanlah sebentuk “kebaikan” selama masih didahului kata “niat” di depannya.

Berseberangan dengan itu, Anjani yang tampil impulsif-agresif malah lebih mampu jujur ketimbang Anggalih. Ia tidak pernah (dan perlu) larut dibuai retorika keimanan ala katolik. Untungnya lagi dia terlihat “hidup” dan banyak bicara, tidak melulu senyap seperti Anggalih, sehingga kita dapat lebih mudah mengartikulasikan gejolak emosinya dari adegan ke adegan. Jika iman adalah kepercayaan dan kemantapan hati, maka “Kalau di gereja, gue nggak bisa jujur. Kalau sama lo (Anggalih), gue bisa.” lalu “Kenapa sih bukan gue satu-satunya (umat) yang lo tolong?” kemudian “lo (Anggalih) tuh sebenernya sayang sama gue.” dan kalimatnya “Bawa gue kabur, Lih! Hamilin gue!” barangkali sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa Anjani lebih memiliki beriman dibanding Anggalih.

Dialog-dialog Anjani turut meruncing dari godaan, pernyataan, hingga instruksi verbal. Meski begitu, Anjani toh berakhir legowo. Setiap kali kata-katanya dirasa mencapai ketajaman maksimal, Anjani kembali menumpulkannya lewat pertanyaan “Sekarang kita mau ke mana, Lih?” Dan rasa-rasanya tidak perlu menjadi katolik untuk menilai bahwa persandingan mereka memang menarik (jika bukan unik). Sebab ketika bicara agama, apalah yang lebih jenaka ketimbang bobot keimanan seorang wali umat yang justru lebih keropos ketimbang umatnya sendiri?

Kembali ke awal paragraf, saya menuding lakon penjaga rel kereta api sebagai biang keladi gemuknya pesan-pesan moral dalam film. Ibarat dalang, pria paruh baya yang kerap berbicara dalam bahasa Jawa ini seringkali memberikan “pencerahan” bagi dua protagonis utama. Dan sebagaimana dalang yang berusaha menjaga wayangnya agar tidak cidera dan keliru dalam bertindak, kalimat-kalimat yang keluar dari mulut tokoh ini sarat akan petuah bijak.

Namun lagi-lagi, saya menemukan hal menarik, mengingat Toilet Blues begitu kental akan atmosfer katolik, penjaga rel kereta api ini adalah satu-satunya tokoh yang dalam dialognya memuat kalimat-kalimat doa, terlebih kalimat-kalimat syahadat kaum muslim. Dan omong-omong soal doa, film ini bahkan tidak menyuarakan sepatah kalimatpun doa kaum kristiani. Selain doa yang diucapkan si penjaga rel kereta api, kalimat doa yang hadir ialah sayup-sayup kumandang syiar dari pengeras suara masjid.

Figur Bapak dalam Spiritualitas

Satu-satunya persamaan antara Anjani dan Galih ialah figur bapak masing-masing. Kendati tidak muncul di layar, kedua figur bapak ini ternyata membawa pengaruh yang cukup mirip bagi Anggalih maupun Anjani. Bapak Anggalih adalah alasannya masuk seminari. Sedangkan Bapak Anjani adalah alasannya untuk memberontak dan minggat dari rumah. Bila “gue pingin buat bapak gue bangga” meluncur dari mulut Anggalih, maka “lo harus tahu rasanya punya bokap yang maha kuasa” yang diucapkan Anjani. Dan meski memiliki cara yang bertolak belakang dalam memandang serta menilai bapak masing-masing, figur bapak misterius ini seolah memiliki andil besar, bahkan kuasa prerogatif dalam menentukan arah hidup kedua tokoh.

Maka kemudian, saya merasa tidak bisa menghindar dari dugaan bahwa jangan-jangan bapak yang dimaksud ialah “bapak” (baca: tuhan). Lantaran dugaan ini diperkuat pula dengan fragmen-fragmen semiotik: Anggalih yang menganggap seminari sebagai rute penebusan dosa sang bapak; dan Ruben (Tio Pakusadewo) yang diutus bapak Anjani untuk mencari dan menjaga anak perempuan satu-satunya itu. Dengan begitu, apakah figur “bapak” transenden ini menjadi dugaan yang terlampau spekulatif?

Saya rasa tidak. Terlebih, figur “bapak” menjadi titik balik bagi keduanya. Anggalih terlihat teguh setiap kali mengingat bapaknya-lah alasan ia masuk seminari. Sedangkan Anjani, betapa pun ia diperlihatkan sebagai pemberontak, pada akhirnya takluk juga oleh utusan sang bapak.

Di samping itu, tidak seperti road movie kebanyakan, “perjalanan” Toilet Blues tidak ditandai oleh perpindahan latar ruang dan waktu secara fisik. Memang benar Anggalih dan Anjani melakukan perjalanan secara harfiah, dari satu titik ke titik lokasi berikut, naik kereta, menumpang truk barang, menyusuri rel, menerabas hutan, nyemplung ke danau, berhenti untuk makan, lanjut bergerak, dan seterusnya. Namun agaknya, mengikuti jejak Toilet Blues dengan hanya mencermati hal-hal tadi dikhawatirkan akan berujung pada jalan buntu (jika bukan nyasar).

Pasalnya, dimensi ruang dan waktu seperti diacak-acak. Tidak ada patron yang dengan mutlak mendeskripsikan apakah plot film berjalan linier, atau kilas balik, atau justru kilas depan, pun apakah sebuah adegan benar-benar terjadi, atau hanya berlangsung di benak para tokoh. Sebaliknya, Toilet Blues mengajak penonton untuk menelusuri jejak “perjalanan keimanan” kedua lakon utama, sebab boleh jadi itulah satu-satunya variabel yang dapat dilacak. Akan lebih mudah memahami Toilet Blues dengan melihat dinamika dan gejolak batin para tokoh ketimbang tebak-tebak transisi latar ruang dan waktu yang melingkupi mereka. Dengan demikian, ruang dan waktu bukan menjadi sesuatu yang penting. Sebab apa yang menjadi fokus sorotan adalah ziarah spiritual yang dialami para tokohnya.

Sisa-sisa Perjamuan Toilet

Menjelang penghujung film, yakni pada adegan di sekitar bilik-bilik toilet umum, penonton seolah dibuat sedang menyaksikan mukjizat. Terlepas dari kesan nostalgik-romantis melalui reka ulang perjamuan terakhir ala kristus bersama muridnya, kita diperlihatkan sebuah adegan ganjil, yang sekaligus juga menggenapi “perjalanan” spiritual para pemain. Dalam adegan tersebut, tampak seluruh pemain (kecuali Ruben) duduk bersila dalam posisi melingkar, makan dan minum dengan nikmat dari satu wadah yang sama. Masing-masing dari mereka seolah telah mencapai titik keseimbangan, menggapai zona “zen”, seolah tidak pernah ada perseteruan yang berlangsung, baik perseteruan dalam skala pribadi maupun antar individu. Dan seperti yang sempat saya singgung di bagian awal tulisan, kendati perjamuan makan ini lekat dengan ritus agama katolik, si penjaga rel kereta-lah yang memimpin doa pembuka, tentunya masih dengan tata cara berdoa umat muslim.

Walaupun demikian, meski Toilet Blues kental akan perisa dan pernak-pernik katolik, tidak serta-merta film ini menjadi sederhana untuk dicerna. Secara kontekstual, film ini bahkan masih tergolong rawan bagi kalangan penonton beragama katolik. Memang ada beberapa adegan yang dapat langsung dikaitkan secara literal dan diketahui sumbernya: tampar pipi kiri berikan pipi kanan, ritual pembasuhan kaki, perjamuan terakhir, alegori hukum rajam bagi pelacur; seluruhnya berasal dari bacaan-bacaan yang akrab ditemui di alkitab.

Saya menyebutnya “akrab” lantaran kisah-kisah ini memiliki frekuensi kemunculan yang cukup sering dalam bacaan-bacaan liturgi pada sebagian besar perayaan ibadat, belum lagi kisah pembasuhan kaki dan perjamuan terakhir yang terus menerus dibacakan pada perayaan-perayaan khusus. Namun bagaimana halnya dengan adegan-adegan lain? Ada dua kemungkinan: antara pembuat film terlalu tinggi meletakkan standar tafsir penonton beragama katolik; atau pembuat film luput menyertakan detail-detail yang justru esensial guna melengkapi keutuhan konteks cerita.

Sebab tanpa konteks dan referensi yang memadai, saya khawatir Toilet Blues akan berakhir di tempat yang sama dengan judulnya: toilet. Untuk selanjutnya tersiram, terbilas, lalu terlupakan tanpa meninggalkan kesan apa-apa.

Toilet Blues | 2013 | Durasi: 87 menit | Sutradara: Dirmawan Hatta | Produksi: Sunshine Pictures, MAV Production | Negara: Indonesia | Pemeran: Tim Matindas, Sherly Anggraini, Tio Pakusadewo