Festival film di Indonesia seringkali dipandang sebagai wahana alternatif bagi film-film yang tidak dihadirkan di bioskop arus utama. Namun, terlepas dari persepsi serba “alternatif” tersebut, ia hadir dengan pelbagai program dan agenda yang disusun oleh para juru program—dengan kata lain, festival film sebagai sebuah pernyataan. Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) adalah salah satu festival film di Indonesia yang tiap tahunnya menghadirkan film-film dari negara-negara di Asia.
Ayu Diah Cempaka mewakili Cinema Poetica mengobrol panjang dengan Budi Irawanto, salah satu pendiri JAFF yang kini menjabat sebagai direktur festival. Asia seperti apakah yang diimajinasikan oleh JAFF?
Menurut Mas Budi—yang sudah punya pengalaman menjadi juri dan tamu di beberapa festival di Indonesia dan mancanegara, jika dikelompokkan, festival film yang ada di seluruh dunia bisa dikategorisasi berdasarkan apa?
Sederhananya, festival film di dunia ini ada yang lebih berorientasi pada apresiasi, salah satu cirinya adalah ia tidak memiliki bursa film yang umum menjadi tempat pertemuan atau negosiasi dari produser dan distributor. Satunya lagi adalah festival yang memiliki atau berorientasi lebih ke pasar, dalam arti ia menyediakan bursa film di mana ada ruang bagi pertemuan produser maupun distributor.
Ada juga festival film yang memiliki kaitan dengan gerakan sosial, yang umumnya mengangkat isu-isu Hak Asasi Manusia (HAM), nah itu tidak masuk ke dalam dua kategori tadi. Akhirnya, mungkin hanya beberapa festival besar yang sudah lama berdiri seperti Tokyo Film Festival, Berlinale, Cannes yang di dalamnya punya bursa film. Mereka juga tetap memberi ruang apresiasi untuk film-film yang dianggap eksperimental, yang punya nilai seni, tapi pada saat yang sama dia juga memberi ruang pertemuan bagi produser dan distributor. Dan biasanya mereka punya pemutaran khusus untuk bursa film, jadi yang hadir di pemutaran itu memang distributor, yang datang mau membeli. Film-film di festival itu yang secara khusus di katalog itu memang dibedakan ya, pengalamanku dulu di Tokyo, kemudian di Berlinale juga menunjukkan ada beberapa film yang komersil.
Festival yang lebih ke apresiasi memang lebih banyak memberikan penghargaan, dan beberapa festival seperti itu skalanya tidak terlalu besar. Festival-festival semacam ini biasanya lebih menjadi ruang alternatif untuk mengeksebisikan film yang sulit ditemukan dalam sirkuit film komersil, atau jenis film ini tidak akan diakomodasi untuk komersil. Lainnya, yakni festival yang lebih berorientasi pada isu sosial atau aktivisme, temanya bisa berupa HAM, bisa LGBT, seperti Q Film Festival.
Festival ini memang lebih berorientasi tentang bagaimana perluasan deseminasi isu-isu sosial politik tertentu melalui festival film, dan yang menjadi andalan dalam festival seperti ini biasanya adalah diskusi usai pemutaran atau post-screening discussion, karena di situ kemudian terjadi proses dialog antara pembuat film dengan penonton, dan juga perluasan dari isu yang diangkat. Nah, kalau yang apresiasi tadi lebih kepada memberi penghargaan, memberi tempat atau ruang eksibisi, dan ketemu dengan penonton yang mungkin bisa diasumsikan bahwa mereka itu adalah penonton yang bisa dikatakan sinefil, atau yang mereka punya ketertarikan untuk melihat film-film yang berbeda atau alternatif, mungkin Jogja NETPAC Asian Film Festival (JAFF) bisa masuk dalam kategori ini.
Apakah kemampuan sebuah festival untuk menyediakan bursa film bergantung pada kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah festival tersebut diadakan? Apakah kebutuhan pasar yang dipenuhi lebih kepada bursa film internasional atau mereka juga menjawab kebutuhan bursa film di negaranya sendiri?
Sebenarnya kalau kita lihat dari sisi namanya saja, festival-festival film itu memiliki kaitan dengan upaya untuk mempromosikan sebuah kota, misalnya Jeonju di Korea, Busan, bahkan Berlin, Cannes, Edinburgh semuanya berbasis kota dan umumnya ada gagasan untuk mempromosikan kota dalam konteks tertentu. Mereka bersinggungan dengan kebutuhan untuk mempromosikan turisme, karena turis berdatangan ke kota itu, menghabiskan waktu di sana, menginap, dan makan di restoran sekitar itu. Jadi, festival film sebenarnya juga menghidupkan ekonomi suatu kota. Itulah mengapa kemudian festival film memperoleh dukungan dari pemerintah setempat.
Bursa film, di satu sisi memang bisa jadi komoditas, pembeli maupun distributornya memiliki koneksi berskala lokal atau nasional, bisa juga internasional. Kalau yang besar seperti Berlin atau Tokyo itu jelas pembelinya tidak terbatas di situ. Di Berlin, umumnya pembelinya dari Eropa dan mungkin juga sebagian Amerika, dan di Tokyo juga sebagian besar pembelinya dari Jepang meskipun tidak menutup kemungkinan dari luar Jepang. Hal ini sangat membantu, terutama bagi pembuat film yang berasal dari negara di mana infrastruktur distribusi film belum mapan. Ketika dia bertemu dengan distributor atau pembeli yang punya jangkauan distribusi luas, dia akan sangat terbantu. Apichatpong Weerasethakul, kalau hanya mengandalkan Thailand, mungkin persebaran filmnya tidak akan luas. Sama dengan Opera Jawa (Garin Nugroho, 2007), paling tidak dia punya wilayah edar yang lebih luas. Di situ sebenarnya bursa film –dalam tingkatan tertentu– sebenarnya cukup membantu. Terutama bagi pembuat film yang berasal dari negara di mana infrastruktur distribusinya belum cukup mapan atau kurang tertata.
Kalau Mas Budi lihat, Seperti apa peran festival film di Indonesia sendiri dalam ekosistem perfilman di negara ini? Masih berkutat pada persoalan apa?
Kalau di Indonesia, umumnya kita baru melihat pada kategori apresiasi, atau kalau mau kita tambahkan: literasi film. Yakni membuka mata tentang “oh jadi ada film semacam ini”. Film itu tidak hanya yang ditonton di bioskop, di Hollywood, atau film arus utama yang sering kita tonton. Nah, untuk skala nasional saja tidak banyak, apalagi yang internasional. Dulu ada Jakarta International Film Festival (JiFFest), saya tidak tahu apakah tahun ini akan diselenggarakan, kemudian ada Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF), ada Scream Film Festival-Fantastic Film di Jakarta, ada Balinale di Bali, itupun juga dengan kurasi yang terbatas.
Untuk film nasional sendiri ada Festival Film Indonesia (FFI) yang sudah lama dan sempat vakum, lalu ada Apresiasi Film Indonesia (AFI) yang sudah empat tahun secara khusus lebih mengacu ke budaya sinema ketimbang memberi penghargaan kepada pembuat film dan mereka yang bekerja di dunia film. Nah, selebihnya adalah festival film yang kecil-kecil, yang juga diselenggarakan di kota-kota. Ada Malang Film Festival, ada Surabaya Film Festival, di Lampung juga ada, yang lebih banyak mewadahi karya-karya para pembuat film di wilayah itu. Ada pula Purbalingga yang menurut saya cukup konsisten diadakan, dan lebih mewadahi atau menjadi ajang eksibisi, tempat untuk mempertontonkan karya-karya lokal sekaligus mendekatkan karya tersebut ke masyarakat setempat.
Perkembangan ini sangat baik, karena berperan dalam mendorong kemunculan pembuat film lokal baru. Kemudian mereka tahu di mana film itu harus dipertontonkan. Kalau itu dilaksanakan secara konsisten, akan sangat membantu menghidupkan ekonomi lokal. Kelihatannya itu mulai dipikirkan oleh teman-teman di Purbalingga, dari berkeliling mengadakan pemutaran di beberapa desa, kemudian mengaitkannya dengan semacam wisata desa, dan ada paket-paket tertentu yang ditawarkan. Hal-hal ini kemudian mempengaruhi situasi perekonomian lokal atau rakyat. Walaupun ketika kita ke sana, masih belum ada ruang semacam bursa film, di mana produser maupun distributor melakukan transaksi.
Terlepas dari mempromosikan kota, festival film juga hadir dengan ideologi dan agenda tertentu. Ketika mendirikan JAFF, apa yang menjadi kegelisahan Mas Budi dan kawan-kawan sehingga berkeinginan untuk menghadirkan festival dengan konteks Asia?
Sebenarnya waktu itu idenya sederhana ya, kita melihat suatu fenomena yang bisa dikatakan ironis. Di mana masyarakat Asia tidak banyak tahu mengenai film-film yang dibuat oleh sutradara Asia di Asia sendiri. Itu yang menjadi dasar kita dalam membuat sebuah festival yang mendekatkan karya-karya sutradara Asia yang bicara tentang kultur masyarakat Asia ke penontonnya sendiri. Kemudian, kalau kita lihat, film merupakan bagian organik dari suatu masyarakat. Nah, ide awalnya sesederhana itu. Kita mau mendekatkan film-film Asia ke penonton Asia. Dengan demikian, ruang dialog kultural akan terbuka dengan sendirinya karena mereka kemudian menjadi tahu permasalahan seperti apa yang dihadapi secara kolektif oleh mayakarat Asia. Misalnya permasalahan tentang kekerasan, etnik, agama, perang.
Pada awal berdirinya JAFF, kami terinspirasi oleh situasi pasca gempa Jogja pada 2006. Waktu itu kami mengangkat tema cinema in the mid of crisis, sinema di tengah krisis. Kami ingin melihat situasi krisis di Asia. Kami sadar bahwa situasi krisis tidak pernah melumpuhkan hasrat pembuat film di Asia untuk terus berkarya. Sedangkan bagi kami, hal ini penting untuk memberi semacam dukungan moral, untuk segera melakukan recovery, pemulihan kembali dari situasi pasca bencana. Tapi di sisi lain, kita ingin menunjukkan bahwa di situasi apapun dorongan untuk membuat film itu mestinya tidak melemah.
Di tengah situasi perang, misalnya, film yang dibuat justru menunjukkan bagaimana ia mampu merekam situasi yang terjadi saat itu. Dan hal tersebut seringkali menimbulkan solidaritas. Ketika kita memutarkan film dari Kurdistan misalnya, Kurdish ini kan suku bangsa yang terusir dari Turki, di Irak, di Iran, suku tuna wisma karena tidak punya negara, stateless people. Ternyata mereka bisa jauh lebih bersuara lewat bahasa sinema ketimbang—katakanlah—perjuangan bersenjata atau aksi terorisme.
Kita juga pernah memutar film Slingshot Hip Hop yang dibuat Jacqueline Reem Salloum dari Palestina. Film itu tidak hanya bicara tentang dunia hip-hop di Gaza atau Palestina, tapi juga berbicara bahwa menyanyikan musik hiphop sekaligus membuat film tentang itu, adalah bentuk kreativitas yang lebih efektif ketimbang bentuk pernyataan secara radikal seperti bom bunuh diri. Kita selalu melihat kemungkinan bahwa ada keunikan di Asia, di mana film bukan hanya sekadar menjadi ruang eksplorasi artisitik dari pembuat filmnya, melainkan memiliki relasi yang erat dengan situasi sosial politik. Film sendiri juga bisa menjadi medium yang mampu menginspirasi proses rekonsiliasi atau seruan perdamaian, dan seterusnya.
Kita melihat Asia sebagai sebuah wilayah yang luas dengan pertumbuhan industri film yang tidak merata. Jepang dan Korea, misalnya, mereka sangat unggul dibandingkan negara lain. Apakah selama ini JAFF sudah bisa merangkul Asia? Asia seperti apa yang ada di benak JAFF, yang ingin disampaikan ke penonton JAFF?
Betul, itu persoalan selalu kita hadapi setiap tahunnya ketika melakukan kurasi. Kami selalu melihat bahwa pertama, Asia bukanlah sesuatu yang statis, dan kami juga tidak pernah mengasumsikan Asia sebagai sesuatu yang otentik, yang seakan terisolir. Justru kami melihat Asia sebagai suatu wilayah yang saling silang pengaruh. Artinya, ada proses saling mempengaruhi antar satu hal dengan hal yang lain, dan karenanya jelas akan terus mengalami perubahan. Itu tercermin dalam tema-tema JAFF, misalnya tema Altering Asia yang melihat Asia dari sudut pandang lain. Kemudian tema Multitude, tentang Asia yang menyimpan keragaman ekspresi. Ada juga Redreaming Asia, oleh karena konsep Asia itu sendiri tidak hanya dituliskan oleh penduduk Asia, namun orang-orang di luar Asia juga ikut mendefinisikan apa itu Asia.
Tentu saja di sini kita tidak bicara Asia dalam pengertian geografis yang fisik, melainkan Asia sebagai sebuah imajinasi, sebagai sebuah mimpi, sebagai sebuah gagasan, yang kemudian dilihat dan ditemukan beberapa kultur yang saling berhimpitan satu sama lain. Misalnya, sebagian besar negara-negara di Asia pernah mengalami masa kolonialisasi, mereka juga sekarang berada di arena yang mungkin tidak semuanya menjadi pemenang dalam kompetisi ekonomi global yang cenderung berbentuk ekonomi neoliberal. Selain itu, banyak negara di Asia yang masih bergulat dengan isu demokratisasi karena memiliki rekam jejak pemimpin-pemimpin otokratik dan otoriter.
Kami sangat sadar bahwa negara-negara di Asia, jangankan Asia, Asia Tenggara sendiri saja keragamannya sangat luar biasa. Mulai dari bahasanya, adat istiadat, agama dan banyak lagi. Mungkin Asia bisa diartikan sebagai antitesis dari apa yang selama ini kita sebut sebagai Barat, meskipun bukan berarti ia wilayah yang sama sekali bebas dari kontaminasi Barat. Ambil contoh Singapura, kurang Barat apa negara itu? Sangat modern, sangat kapitalistik. Tapi ketika kita masuk ke kultur politiknya, tampak tradisi demokrasi yang jelas berbeda dengan tradisi di Barat. Bagaimana Singapura membedakan relasi antara pemimpin dan rakyat juga sangat berlainan dengan tradisi Barat, atau bagaimana mereka masih mendorong anak-anak untuk selalu berbakti ke keluarga.
Fenomena-fenomena seperti ini yang sebenarnya kami hadapi setiap tahun. Kami tidak sedang mencari definisi yang benar atau tepat tentang Asia, tapi setiap tahunnya kami selalu mencoba mencari apa yang berkembang dan berubah dari Asia. Bisa jadi ada masa di mana muncul banyak bencana yang menimpa wilayah Asia, baik kemanusiaan, alam, perang dan konflik yang sulit terselesaikan. Ada masa ketika Asia bergulat dengan isu-isu politik demokratisasi dan seterusnya. JAFF tahun ini juga merupakan proses refleksi dari apa yang telah terjadi selama 10 tahun pelaksanaannya dengan NETPAC yang sudah mempromosikan sinema Asia selama 25 tahun. Karena itu kami mengangkat tema (Be)coming. Be sebagai being, yang ada saat ini, dan coming, sesuatu yang kira-kira akan terjadi di masa depan. Akan seperti apa nasib Asia, itu juga menjadi keprihatinan kita.
Kalau kita melihat dengan jujur, ada proses ketimpangan kekuatan secara ekonomi maupun politik yang terjadi di Asia. Kalau kita bicara “siapa sih yang menjadi, katakanlah, superpower-nya?”, ya India, Cina, dan Korea Selatan. Dulu Jepang mungkin masih termasuk aktor penting, tapi yang sekarang benar-benar kuat adalah Cina. Jadi di dalam Asia sendiri, kita juga berhadapan dengan keragaman dan ketimpangan dari aspek relasi kekuasaan. Juga kita akui bahwa Asia bukanlah sebuah entitas yang seakan-akan homogen, lantas kemudian bisa menentukan karakteristik yang sama. Sebab di dalamnya penuh dengan fiksi, tekanan, dan perbedaan-perbedaan. Harus diakui bahwa tidak mudah merangkum ini semua. Misalnya kalau kita ngomong Asia Tengah, wow, itu negaranya banyak banget, ada Kyrgyztan, ada Kazakshtan, yang bahkan kita belum tentu tahu. Setiap tahunnya kita selalu berpikir “Oh tahun ini ada Kazakshtan, tahun ini ada negara lain.” Kami pernah membuat penghargaan untuk film di Kyrgyztan karena usia sinema mereka sudah tujuh puluh tahunan.
Kami lebih mencoba melihat peta-peta yang ada di Asia dan sebisa mungkin masih menjadi sorotan utama JAFF, atau bagaimana kami bisa memperkenalkan negara-negara yang selama ini kurang banyak dikenal. Sri Lanka juga sebenarnya banyak yang tidak tahu, atau Kamboja. Kami senang ada banyak film dari Laos atau Myanmar. Kadang kami juga berharap ada film dari tempat-tempat yang belum diketahui. Ini bukan dorongan eksotis semata, namun lebih kepada pengakuan akan betapa besarnya Asia, betapa banyak sisi-sisi di Asia yang masih tertutup. Bahkan yang paling ironis, yang paling dekat dengan Indonesia, juga banyak yang tidak tahu. Misalnya Malaysia atau Brunei Darussalam, yang persis bertetanggaan dengan Indonesia, kita tidak pernah tahu film-film seperti apa yang ada di sana.
Melihat rumitnya Asia, seperti apa proses kurasi di JAFF selama ini agar keragaman Asia terwakili dengan tepat?
Pertama-tama kita membuka pendaftaran (call for entries) untuk semua film yang selanjutnya akan kita pilih. atau melalui proses semacam penjaringan. Kebetulan beberapa orang dari JAFF ini sering diundang ke beberapa festival, dan biasanya di festival itu kami bertemu pembuat film, lalu kami minta materi putar (screener) untuk ditonton. Kalau memang bagus, akan kami kontak pembuat film yang bersangkutan. Philip Cheah sudah menjadi konsultan di banyak festival sehingga dia punya kesempatan untuk melihat banyak film dari Asia, baik pendek maupun panjang, dokumenter maupun fiksi. Nah, biasanya Philip Cheah menawarkan beberapa film yang menarik, meski dia tidak mengatakan bahwa film tersebut harus diputar. Kemudian ada fase programasi, di mana saya juga terlibat. Selama proses kurasi, walaupun secara struktur ada yang namanya kurator, namun kami bekerja secara kolektif karena pilihan-pilihan yang ada selalu didiskusikan kembali dengan argumen masing-masing juru program. “Oh film ini menarik karena isu yang dibawa, karena dia menawarkan pendekatan yang baru dari segi sinematografi dan sinematik”, dan sebagainya.
Fase tersebut agak eklektik karena tidak ada parameter tertentu yang kami pakai. Tema lah yang nantinya akan membatasi karena ia merupakan pernyataan festival ini. “Ini lho isu yang penting di Asia”, dan hal ini tercermin di beberapa film yang dipilih. Proses kurasinya kira-kira begitu. Kami sudah punya beberapa program. Misalnya Asian Fetures, Light of Asia, bisa fiksi dan dokumenter, tapi juga kadangkala kami menyediakan ruang bagi dinamika baru dalam sinema Indonesia maupun Asia. Misalnya tahun lalu atau dua tahun lalu, ada program bernama New Faces of Indonesian Cinema, di mana memberi tempat bagi wajah-wajah baru sutradara muda yang mungkin kurang tepat untuk dimasukkan ke dalam Asian Features. Kadang, kami juga mengadakan program khusus seperti Music and Film, karena kami menemukan banyak film yang mengangkat musik atau film musikal di tahun terkait.
Di luar program reguler yang kami punya, juga di luar program kompetisi, kami juga tetap berusaha untuk memberi ruang bagi dinamika baru. Bisa dibilang, selain program yang bersifat reguler, tetap ada jenis program yang bersifat apresasi terhadap kecenderungan tertentu dalam film. Prosesnya dilakukan secara kolektif, tugas utama juru program selalu kami bagi dan kemudan didiskusikan lewat surel dan WhatsApp. Biasanya kami mendiskusikan film-film kompetisi.: Mengapa film ini masuk, mengapa tidak yang lain? Selain itu, kami juga punya beberapa referensi dari Mas Garin (Nugroho), Ifa (Isfansyah), Philip (Cheah), Ismail (Basbeth), Suluh (Pamuji), sampai teman-teman juru program lain.
Selama sepuluh tahun ini, kalau Mas Budi bisa menyimpulkan, film-film seperti apa yang masuk seleksi JAFF? Mengingat jenis film di Asia sangat beragam, bahkan ada pula yang meniru-niru gaya Hollywood. apakah mereka benar-benar harus merepresentasikan Asia?
Selama ini kami lebih berusaha untuk menemukan bakat-bakat baru. Di JAFF, ada film-film yang dibuat oleh sutradara yang sama, tapi kami juga melihat proses perubahan mereka. Misalnya Adolfo Alix, kemudian Yin Liang yang dua atau tiga kali filmnya diputar di JAFF, kami melihat ada perkembangan dari kedua sutradara tersebut. Kami akan sangat senang ketika menemukan seorang pembuat film lewat proses keberkaryaannya, terlebih jika kelak kemudian dia menjadi sutradara yang diperhitungkan. Impian hampir semua festival adalah menemukan bakat-bakat yang terpendam, hidden jewel, atau mutiara yang terpendam, yang orang tidak pernah perhatikan. Dalam konteks JAFF, barangkali karena pengalamannya, Philip Cheah mampu menangkap bakat-bakat tersebut. ”Wah ini filmnya seperti begini, tapi kamu tahu nggak kalau film-film seperti ini akan menjadi penting kemudian”.
Kami di JAFF ingin mencari hal seperti itu. Memang terkadang tidak banyak film populer di JAFF. Kami juga mendorong kebutuhan apresiasi yang belum banyak diketahui, misalnya film-film Jepang. Saya melihat ada pertumbuhan di sinema-sinema Asia. Ada yang menarik ketika memperhatikan fenomena regionalisme di sinema Filipina, misalnya, kami melihat banyak film dari Mindanao. Dan film-film Filipina yang diputar di JAFF tidak semuanya dibuat di Manila dengan mengunakan Bahasa Tagalog. Ada yang menggunakan bahasa lokal atau regional. Mungkin di telinga orang indonesia terdengar sama saja, meskipun sebenarnya tidak. Kami secara umum melihat pertumbuhan sinema-sinema yang muncul di suatu negara, yang pada akhirnya menjadi dinamika sinema di sana.
Selama sepuluh tahun kami berefleksi di luar isu teknis, sebab bagi kami hal tersebut bukan merupakan isu lagi. Banyak tema-tema atau isu-isu yang tidak terduga, mungkin dikarenakan masing-masing negara di Asia punya permasalahannya sendiri. Di samping itu, hal ini semakin membuka perspektif kami tentang Asia, tentang isu dan persoalannya. Kita jadi tahu lebih banyak selama 10 tahun ini. Dan sebagai festival film, JAFF bisa dibilang cukup dikenal di wilayah Asia.
Pengalaman saya beberapa waktu lalu ketika menjadi juri di DMZ Korean Film Festival, saya bertemu dengan Muhammad Reza, yang kalau tidak salah sempat menang di JAFF 2013. Dia bilang “Dulu saya pernah di festival kamu, makanya (sekarang) jadi begini.” Dia tidak menyangka sebuah film yang secara independen dibuat di Iran bisa ditonton di Indonesia, dan memangnya mau lewat mana lagi kalau bukan lewat festival? Tidak mungkin lewat jalur-jalur distribusi. Pernah juga di sebuah festival di India, saya bertemu dengan sutradara Kurdistan yang filmnya pernah diputar di JAFF dan menang. Peristiwa-peristiwa seperti itu membahagiakan. Saat bertemu dengan pembuat film yang mungkin kesulitan menemukan penontonnya di wilayah Asia, dan ternyata festival film mampu menjembatani permasalah tersebut.
Tahun ini kami menemukan banyak film yang sangat menarik dari berbagai tempat di Asia, dengan isu-isu yang sangat beragam dan variatif. Mulai dari isu lingkungan, gender, kota, itu pun masing-masing isu punya variasinya sendiri. Selama sepuluh tahun ini kami berangkat dari hal tersebut. Mungkin kedepannya hal ini menjadi tidak mudah, pertanyaan sekaligus tantangan yang sangat umum: apakah setelah sepuluh tahun festival ini masih bertahan? Itu tantangan terbesarnya. Teman-teman di JAFF harus bekerja keras memikirkan keberlanjutan festival ini. Yang bisa dilakukan antara lain adalah membuat program rekolektif dengan festival lain atau bekerja sama dengan festival lain. Misalnya, tahun ini kami berkolaborasi dengan Festival Film Perancis yang kebetulan selalu berbarengan penyelenggaraannya. Maka demikian, mengapa tidak sekalian dipikirkan metode programasinya bersama-sama, kemudian buat film Perancis yang bicara tentang Asia, kemudian buat seminar tentang pengalaman sutradara Asia yang pernah bekerja sama dengan pembuat film atau institusi dari Perancis, entah dapat dana atau apa. Itu yang bisa dilakukan sebagai strategi untuk bertahan. Singkatnya, selalu memikirikan kemungkinan-kemungkinan berkolaborasi.
Harus diakui, sebagai sebuah festival yang sudah berumur 10 tahun, tetap saja kami tidak memiliki organisasi yang layak. Kami lebih mirip panitia yang setiap saat harus kembali, karena kami ingin ada sesuatu yang bertahan. Tahun ini, kita sudah memikirkan aspek-aspek kelembagaan festival. Misalnya status legalnya akan seperti apa. Tapi kami tidak ingin hal tersebut justru malah membatasi ruang gerak festival, salah-salah malah tidak fleksibel, atau menjadi sangat birokratis. Ini tidak mudah. Dalam organisasi kebudayaan atau kesenian, kalau terlalu kaku, kami akan kehilangan fleksibilitas. Tapi kalau organisasinya sama sekali tidak tertata, juga akan menjadi pertanyaan untuk keberlangsungannya seperti apa.
Di JAFF, kita tahu ada beberapa juru program dari generasi yang berbeda. Mulai dari Garin Nugroho, Mas Budi sendiri, dan sekarang ada Ismail Basbeth dan Suluh Pamuji. Bagaimana cara juru program JAFF berkompromi dengan film-film pilihan yang pasti berbeda dan pasti dipengaruhi oleh referensi yang berbeda sesuai zamannya?
Kalau kamu lihat, film-filmnya juga mencerminkan variasi generasi. Tentu itu tidak bisa dihindari. Saya, Philip, dan Mas Garin itu seleranya selera tua, relatif preferensinya agak beda. Misalnya kemarin ada film Swarupa, Denis Sinaka, sutradaranya Darmasena Pattiraja. Mungkin filmnya tidak begitu cocok dengan generasi Ismail. Namun bagi saya film ini justru menarik, karena ini adaptasi Metamorfosis karya Franz Kafka dalam konteks Sri Lanka. Darmasena juga merupakan salah satu sutradara penting di Sri Lanka, satu generasi dengan Garin Nugroho.
Memang, beberapa susunan pengurus JAFF itu sendiri terdiri dari generasi muda. Bahkan beberapa di antaranya adalah mahasiswa saya, seperti Ajish Dibyo, Yosep Anggi Noen, yang akhirnya kerja bersama-sama di satu organisasi. Lalu ada pula generasi Mas Garin. Selisihnya kan jauh banget. Akhirnya kami duduk bareng dan diskusi bersama, tidak merasa karena lebih tua seleranya lantas jadi lebih dominan. Kami akomodatif saja. Misalnya saat Ismail menawarkan film seperti Mary is Happy atau Rocket Rain. Film-film itu bukan dari generasi saya. Tapi justru di situlah menariknya. Kami jadi saling belajar, generasi sekarang melihat apa preferensi generasi di atasnya, saya juga melihat yang sekarang lagi disukai oleh anak-anak muda. Perbedaan variasi film menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan. Tahun ini juga tampak warna-warna selera dari generasi yang berbeda.
Sejauh ini kita sudah membicarakan festival sebagai tempat eksibisi, terutama di Asia, di mana festival sangat membantu banyak pembuat film yang filmnya tidak dapat diputar di bioskop komersil maupun televisi. Apakah Mas Budi membaca kecenderungan bahwa ada filmmaker yang berusaha agar filmnya masuk ke festival dengan meniru selera festival tertentu? Bahwa dia sadar akan kebutuhan ruang putar untuk filmnya, dan satu-satunya yang mungkin adalah di festival. Apakah Mas Budi, khususnya di Asia, membaca fenomena ini?
Memang, seolah-olah ada terma film festival. Misalnya begini. “Filmnya Mas Garin itu kan film festival. Mungkin di bioskop komersil akan susah punya banyak penonton.” Saya kira susah kalau menebak motif pembuat film. Tapi memang ada pembuat film yang, kita merasa, hanya pada festival inilah film-filmnya bisa diputar.
Contoh pemenang tahun lalu, film dari Singapura berjudul Naked DJ, itu dilarang pemutarannya di Singapura. Ada juga film Malaysia yang susah diputar di sana karena alasan politik. Nah, di sinilah festival film berfungsi sebagai ruang pemutaran alternatif, di mana kami memberi ruang pada film yang hampir mustahil untuk diputar di negaranya sendiri. Posisi politis festival ada di sini. Sebab kami tidak hanya sekadar ruang pemutaran, tapi juga memiliki posisi tertentu untuk memberi ruang bagi film-film yang sulit menemukan ruangnya di negara sendiri. Jadi, memang ada keberpihakan pada film-film semacam itu.
Kami juga melihat di sisi yang lain, terutama pada sisi program Light of Asia. Film-film pendek seringkali memberi kesempatan untuk melihat perkembangan sineas-sineas muda. Ada banyak film yang dibuat karena tugas akhir kuliah. Apalagi dengan semakin banyaknya institusi pendidikan formal di bidang film, seperti UMN yang sekarang cukup agresif, atau sebelumnya ada Binus, kalau dulu hanya ada IKJ. Sineas-sineas muda ini kemudian mengirimkan filmnya ke festival-festival. Karena jika hanya diputar di kampus, yang melihat hanya dosen pembimbing dan penguji saja. Memang tidak semua bagus, tapi ada juga beberapa yang bagus, dan jika tidak dikirim ke festival mungkin hanya akan berhenti menjadi koleksi perpustakaan atau ditonton terbatas di kampus bersangkutan. Ada juga mereka yang sembari mengerjakan tugas lalu membuat film untuk festival, ada juga yang baru percaya diri untuk mengirimkan karyanya ke festival setelah beberapa judul.
Festival bisa dianggap sebagai ajang uji coba pembuat film, apakah karyanya diapresiasi, paling tidak oleh tim juru program festival. Variasinya juga banyak, ada karya-karya pemula yang sudah bagus sedar awal. Misalnya dulu Mouly Surya, Fiksi itu film panjang pertama dia, dan dia belum pernah buat film panjang. Kami beri penghargaan khusus saat itu. Kemudian film tersebut menjadi pemenang di FFI. Ada juga film yang diputar—bukan berarti film itu buruk—di program Open Air Cinema, di mana kami memutar beberapa film di desa. Film itu menjadi pemenang FFI, walaupun di JAFF tidak masuk kompetisi.
Mungkin yang perlu dicatat adalah “Apabila sebuah film tidak diterima di sebuah festival, bukan berarti film itu sepenuhnya buruk.” Karena toh masing-masing festival memiliki keberpihakan politik dan preferensinya sendiri. Mungkin di festival lain dia bisa diterima dan bahkan bisa jadi pemenang dalam kompetisi. Itu wajar, itu biasa. Sama halnya dengan menulis artikel untuk media atau jurnal yang preferensi tiap editornya berbeda-beda. itu bukan berarti buruk. Ada juga kejadian di mana kami tidak pernah tahu sebelumnya sutradara ini pernah membuat karya seperti apa. Mungkin karyanya tidak diterima di sejumlah festival lalu dikirim ke festival kami. Bisa jadi toh? Tapi juga seringkali ada karya yang sudah berkeliling di beberapa festival, kadang kami mencoba mencari karya semacam itu, bukan karena ikut-ikutan tren, tapi mencoba memahami mengapa karya ini banyak dibicarakan. Kami merasa karya seperti ini perlu ditonton juga oleh publik di Indonesia, supaya mereka punya akses terhadap karya terkait.
Hal lain yang juga menarik ialah bahwa JAFF menjadi proses pertumbuhan bagi pihak penyelenggaranya, yang notabene adalah pembuat film, kecuali saya dan Philip. Artinya, dalam keberkaryaan teman-teman kami, mereka sedikit banyak belajar dari film-film yang pernah diputar di JAFF. Kalau dulu kita lihat sejarah sinema dunia, fenomena nouvelle vague di Prancis, itu karena mereka awalnya suka pergi ke sinematek di Prancis. Mereka menonton film dan menulis kritik, baru kemudian mereka membuat film. Nah, di JAFF, karena sering mengorganisir festival, akhirnya mereka juga membuat film. Mereka membuat film dari proses menonton banyak film, juga karena kami sering mengundang sutaradara film dan mengadakan sesi diskusi terbuka. Si Makbul (Mubarak) sekarang membuat film ya? Ada beberapa yang menyayangkan, “Wah Makbul ini jadi kritikus saja.”
Tapi apa itu kurang bisa diterima kalau kritikus membuat film?
Ya, karena di Indonesia kritikus juga nggak banyak. Kalau kita kan tradisi kritiknya kurang, dan memang mereka yang memilih jadi jalur kritik itu mungkin sesuatu yang ya kalau di luar jadi jalur populer, tapi di sini kan nggak populer. “Siapa sih kritikus?” Hanya orang-orang tertentu yang paham, dan kalau di luar kritikus kelihatan berwibawa sekali, disegani, ditakuti, atau dibenci oleh pembuat film. Kalau di kita nggak terlalu, nggak sampai pada tahap otoritatif seperti itu
Kalau soal peniruan gaya visual untuk mendapat ruang putar di festival, itu agak susah dijawab. Karena meniru gaya film adalah sesuatu yang lumrah. Tapi setiap gaya tertentu punya alasan-alasan estetik dan fungsi tersendiri. Kita harus mengakui kalau sebuah karya tidak ada yang 100% asli, tapi juga beririsan dengan banyak pengaruh. Seperti teman-teman pengurus JAFF yang saat ini membuat film, mereka juga sedikit banyak dipengaruhi oleh film-film yang diputar di JAFF.
Pertanyaannya: Apakah itu berhasil? Itu persoalan lain. Tapi bahwa orang mau melihat, “Oh, sepertinya film ini meniru gaya Apicatphong.” Ada sebuah stereotip bahwa film independen selalu memakai shot-shot lambat. Kalau membuat film tanpa jelas maksud dan tujuannya untuk apa, ya tentu saja tidak akan berhasil. Kalau kamu baca katalog JAFF, Philip pernah menulis istilah independent mainstream. Ini menarik. Kalau kita pakai gaya ini, maka kita bisa mengklaim sebagai gaya yang independen, dengan shot yang panjang, berkelanjutan, ritmenya pelan, kemudian sedikit percakapan. Kalau hanya demi itu saja tanpa jelas gagasan atau idenya, tentu saja itu bukan karya yang berpeluang untuk diterima di festival.
Pada film dokumenter, selalu ada yang mengangkat kelompok-kelompok marjinal. Itu tidak salah karena tidak semuanya buruk. Tetapi yang memilih mengangkat isu tersebut dan tidak berhasil juga banyak. Misalnya isu kemiskinan, di mana isu tersebut hampir ada di semua negara Asia. Perbedaannya adalah bagaimana mereka menyikapi kemiskinan. Dulu pernah ada film dari Filipina yang menerapkan continuous shot, lalu memasukkan musik punk dalam merekam kondisi masyarakat di wilayah kumuh di areal gundukan sampah. Itu inovasi dalam membicarakan kemiskinan, dan di sisi lain juga ada elemen musik yang ternyata cocok untuk mengiringinya.
Seperti dalam film arus utama, di mana tema cinta nggak ada habis-habisnya diangkat. Bagaimana dengan cara yang sama di Asia, tema soal politik, kemiskinan, kesenjangan sosial diangkat dengan pendekatan yang berbeda. Itu yang membedakan antara sutradara satu dan sutradara lainnya, apakah karyanya membawa semacam perspektif baru dalam merespons itu.
Ada semacam anggapan bahwa film terbagi atas film komersil dan film festival. Mengingat tujuan awal sebuah festival adalah menemukan keragaman dalam karya-karya yang ada, apakah dengan adanya anggapan itu malah justru menimbulkan keseragaman?
Itu sudah ditulis oleh Philip di katalog JAFF. Bahwa yang membedakan sebenarnya sederhana saja seandainya film-film arus utama relatif memiliki kemiripan corak (form alike)—ada satu formula atau resep tertentu yang bisa diprediksi. Lantas kalau kemudian film-film yang disebut festival itu jadi form alike, ya nggak ada bedanya dong? Semuanya memiliki ritme pendek, dengan long shot atau continuous shot, dengan shot yang tidak putus. Ada beberapa orang yang terlihat pretensius menggunakan teknik tertentu, tapi hanya demi gaya itu sendiri. Gaya itu tidak dipakai untuk memperkuat cara dia menyampaikan gagasan dalam film. Itu sangat mungkin terjadi. Sangat bahaya dengan model seperti itu, karena tidak ada unsur kebaruan dengan cara tersebut.
Di arus utama sendiri bukannya tidak ada yang bagus. Saya tidak mengatakan seluruh film genre itu buruk. Buktinya ada banyak yang cukup inovatif. Saya pribadi suka Inception, Matrix, itu film komersil, tapi juga ada upaya-upaya untuk mecari sesuatu yang baru, ada inovasi-inovasinya.
Lalu bagaimana strategi kurasi JAFF untuk menjaga keberagaman film-film Asia, terkait dengan usaha menghindari keseragaman dalam film-film festival?
Kami berusaha untuk mencari film-film di tempat yang selama ini tidak banyak dikenal, unknown places, Myanmar, Laos, atau mungkin Afghanistan. Kami ingin setiap tahun ada film dari negara yang belum pernah diketahui. Setiap tahunnya kami akan mencari film-film semacam itu. Bisa dari teman-teman yang banyak diundang di festival-festival. Itu yang selalu kami lakukan untuk menjaga keragaman. Seperti yang kamu bilang sebelumnya, meskipun ini tidak bisa dianggap sebagai strategi, tapi karena pengurus JAFF sendiri berasal dari generasi yang beragam, dengan latar belakang yang beragam. Seleranya pun beragam.
Film yang kami putar tidak akan mewakili selera satu orang saja. Kami juga sangat peduli untuk mempromosikan beberapa pembuat film yang punya keberanian. Mungkin itu film pertama atau keduanya, mungkin belum sempurna, tapi ada potensi ke depan. Dan untuk menjembatani keragaman, kami tidak pernah menjadikan pilihan-pilihan film dari satu selera saja karena kami memang selalu mendiskusikan, membagi pilihan masing-masing. Dengan begitu, dengan sendirinya akan tercermin keberagaman untuk mengakomodasikan perbedaan-perbedaan yang ada.
Di festival besar biasanya mereka punya tim kurator, dan tiap kurator mengacu ke masing-masing program. Itu juga cara mereka untuk membuat pilihan menjadi bervariasi. Permasalahannya, JAFF kekurangan sumber daya manusia. Untuk mau spesifik dalam satu program memang sangat bagus. Terutama bagi kurator itu sendiri, ketika dari tahun ke tahun semakin ada akumulasi pengetahuan yang membuatnya lebih tajam dalam mengkurasi. Kalau dia mendalami Asia, dia akan sangat peka. Di JAFF, hal ini mungkin yang sudah diterapkan ke Suluh (Pamuji) yang lebih fokus ke film pendek, Ismail (Basbeth) lebih fokus ke film panjang, (Arief Akhmad) Yani lebih mengurusi sarasehan teman-teman independen. Kami selalu kasih ruang ke teman-teman komunitas film.