Sesosok perempuan berjalan terhuyung ke bibir pantai. Siti namanya. Diayunkan kaki yang tak beralas mendekat ke sumber penghidupan sekaligus petaka dalam hidupnya: lautan. Dulu suaminya yakin bahwa laut adalah sumber kehidupan, masih terekam jelas tawanya yang penuh kebanggaan ketika pulang menenteng serenteng ikan segar. Kini, pencari nafkah itu cuma bisa tergolek di atas kasur tipis nan reyot, menyisakan utang dan tak mau berucap barang sekata karena tak sudi sang istri menyambung hidup lewat remang-remang ruang karaoke.
Siti karya Eddie Cahyono memaparkan kehidupan seorang ibu, istri, sekaligus pencari nafkah dengan rangkaian long take. Dalam kisaran waktu sekali 24 jam, kisah seorang Siti senantiasa bergulir menanjak. Pembuat film menempatkan Siti dalam bingkai gambar yang terhitung sempit—rasio 4:3 bukan rasio 16:9 alias widescreen yang lumrah dipakai film-film sekarang. Selama 95 menit durasi film, kamera seperti obsesif dengan wajah dan gerak-gerik Siti. Tak sedetikpun kamera lepas dari protagonis kita—jarang sekali kamera menoleh ke samping, curi-curi pandang akan pesisir Parangkusumo atau apapun yang ada di sekitar Siti. Seakan protagonis kita tak punya waktu untuk duduk leha-leha, seakan protagonis kita juga tak punya jalan keluar. Satu-satunya pelarian Siti atas riuh problem hidupnya adalah dengan berkilah masuk ke kamar kecil, menghempas pintu seraya berseru, “Arep nguyuh!” (Mau pipis!)
Secara cergas Eddie Cahyono menjabarkan betapa sedikitnya ruang yang tersedia bagi perempuan Jawa (atau mungkin perempuan pada umumnya) dalam mengekspresikan dirinya. Perempuan juga manusia, punya keinginan dan hasrat sendiri, tapi di bawah cengkraman budaya yang memvonisnya untuk menempatkan diri sebagai entitas yang tak lebih tinggi dari lelaki, perempuan hanya terjemahkan sebagai peran-peran yang harus dilakonkan. Nyatanya, hanya dalam ruang seprivat kamar mandi, Siti bisa rehat sejenak dari tuntutan-tuntutan masyarakat atas dirinya—bahkan sempat berasyik-masyuk dengan lelaki yang bukan suaminya. Di luar itu, ia harus ikut arus mengikuti peran-peran yang dibebankan padanya: sebagai ibu atas anak satu-satunya, istri atas suaminya tak lagi produktif, dan perempuan pekerja yang diharap bisa menghidupi keluarganya.
Dalam budaya Jawa sendiri tersedia beragam istilah buat perempuan, salah satunya ialah konco wingking—teman belakang, apabila diartikan secara harfiah. Perempuan, apalagi kalau sudah menjadi istri, ia dimaknai sebagai teman untuk mengurusi perihal domestik dalam rumah tangga pun tak afdal jadi perempuan kalau tak bisa penuhi tiga kebisaan macak (berdandan), masak (memasak), dan manak (menghasilkan keturunan). Saking rapatnya, kungkungan ini hampir tak menyisakan celah buat mereka untuk mengeluh. Maka bagi Siti, mengutuki suami adalah barang mewah yang jaraknya tak bisa teraih jangkauan. Bahkan ia harus dapat kursus singkat dari temannya untuk sekadar mengumpat demi meluapkan kesal.
Di balik ketangguhannya memegang kuasa atas tanggung jawab ekonomi dan urusan rumah tangga, Siti sangat mendambakan pengakuan dari suaminya. Tak pernah luput disuapi, dimandikan, diceritakannya keseharian berikut tingkah polah anak semata wayang pada suami yang bahkan menatapnya saja tidak. Ia marah, tapi tak sampai hati minggat ke luar rumah.
Di bagian lain hidup Siti ada Gatot, seorang polisi yang bisa mempersembahkan rumah tangga sempurna. Hubungan mereka awalnya hanya sebatas tatap mata di tempat karaoke, namun kian hari desakan Gatot untuk menikahinya semakin serius. Meski demikian, dilema Siti tidak begitu besar. Ia hanya melihat Gatot sebagai usaha untuk memenuhi kewajibannya dalam rumah tangga bersama sang suami. Tak benar-benar ingin dinikahinya polisi flamboyan itu, dia cuma ingin kehormatan suaminya sebagai pencari nafkah kembali di mata sang pemberi utang. Yang paling penting, suaminya juga kembali hormat padanya.
Perlakuan warna hitam-putih pada Siti menambah kesan tragis. Kisah hidup Siti bukanlah hal yang berwarna, maka balutan monokromatik adalah iringan yang paling pas bagi hidup Siti yang iba. Hitam-putih juga menguatkan betapa biasanya peristiwa-peristiwa hidup Siti—tidak ada yang mengejutkan, tidak ada warna baru, lumrah terjadi di mana-mana. Tempat tinggal Siti boleh jadi berada dekat salah satu tempat wisata paling populer di Jogja, tapi ia di sana bukan untuk plesir tapi untuk bertahan hidup. Tak ada pemandangan yang lebih biasa di dunia ini dibanding potret orang-orang yang berusaha untuk bertahan hidup.
Ditayangkan dengan rasio 4:3, penonton dapat menikmati laju hidup Siti dari jarak dekat, mengikuti jalan yang Siti tempuh dan turut hanyut dengan pahit kecewanya. Masalah bertubi dalam hidup Siti pun terasa semakin menyesakkan dengan bingkai rasio ini, fokus penonton akan tertuju penuh pada dera deritanya bukan pada panorama pesisir dan lautan yang kelewat indah dibanding nasib si karakter utama. Betapa tidak ikut meradang ketika menyaksikan uang pelunasan utang sudah genap lima juta tapi suami Siti tetap bersikeras tak mau kalah dari egonya. Kalimat pertama yang Siti dengar dari mulut suaminya justru mempersilakan ia pergi.
Bagi Siti, hidup bukan sekadar mampir minum. Ada bermacam tuntutan yang harus dia penuhi, ketika menggantikan figur sang suami saja dirasa belum cukup berat. Sadar jika menjual peyek jingking tak akan cukup menambal butuh keluarga, tak habis tenaga ia terjaga malam harinya melenggang di bawah lampu sorot karaoke yang bekerlipan. Tetapi sebagai perempuan, Siti juga digempur oleh pakem-pakem sosial yang membuatnya diasingkan oleh suaminya sendiri. Ditegaskan pula oleh mertuanya bahwa pekerjaan malam Siti dinilai kurang pantas dan tidak semestinya dijalani oleh seorang perempuan bersuami. Tapi apa boleh buat, pilihan tak banyak tersedia untuk perempuan pekerja kelas bawah sepertinya. Lagi-lagi, ia terkungkung oleh hal-hal di luar kuasanya.
Perempuan pekerja seperti Siti adalah sosok yang tak habis disiksa macam dilema. Eddie Cahyono dengan asyiknya menempatkan filmnya di antara dilema-dilema itu. Di satu sisi, Siti diidealkan sebagai sosok penurut, tidak membantah dan tidak boleh bersikap melebih-lebihi laki-laki—kepalanya mau tak mau harus diposisikan lebih rendah sebagai tanda penghormatan. Di sisi lain, ada disfungsi sosial yang perlu disiasati, ada peran yang perlu dimainkan selain menangani urusan belakang dalam rumah tangga. Ide bahwa pekerja perempuan terlahir inferior sudah luas berkembang di negara berkembang maupun industri. Prasangka ini kemudian berkembang menjadi asumsi bahwa ada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang bisa-dan-tidak-bisa dilakukan oleh perempuan.
Di negara-negara dengan tradisi yang sifatnya mengasingkan perempuan, upaya populer bagi pekerja perempuan adalah menghapuskan kesetaraan mekanis, bukannya menyediakan ruang kompetisi yang setara dengan laki-laki. Contohnya adalah usaha untuk menciptakan lapangan-lapangan pekerjaan khusus untuk perempuan yang tentu saja terpisah dari kompetitor laki-laki. Sehingga dengan begitu, kemungkinan terburuknya adalah ada posisi-posisi khusus yang haram dimasuki perempuan, lantas perempuan tidak mendapat pelatihan yang cukup, lantas perempuan terasing dari kompetisi kerja, lantas perempuan memanfaatkan fitur seksualnya sebagai satu-satunya yang tersisa sebagai kapital. Begitu lingkaran sebab-akibat itu terus berlanjut, begitu pula posisi perempuan secara terus-menerus berada di posisi subordinat.
Eddie Cahyono nampaknya cukup sadar akan konteks sosial yang membebani figur perempuan seperti Siti, sehingga sang sutradara tidak benar-benar memberi jalan keluar bagi perjalanan protagonisnya—yang ada hanyalah jalan terus-menerus sampai takdir menggariskan ujung jalan bagi Siti. Kebuntuan nasib perempuan inilah yang justru membuat kisah seperti Siti panjang umur menjadi perbincangan. Bagaimana perempuan seringkali dianaktirikan dari ranah kerja di tengah dunia yang tak henti-hentinya menuntut setiap individu untuk berlari mengejar roda ekonomi yang berputar terlampau cepat.
Siti | 2014 | Durasi: 95 menit | Sutradara: Eddie Cahyono | Produksi: Fourcolour Films | Negara: Indonesia | Pemain: Sekar Sari, Bintang Timur Widodo, Titi Dibyo, Ibnu Widodo, Haydar Saliz, Delia Nuswantoro, Dhelsy Bettido, Cathur Stanis
Tulisan ini merupakan hasil dari lokakarya Mari Menulis! edisi #KolektifJakarta 2015, program pemutaran yang diselenggarakan Kolektif dan babibutafilm pada 4-26 April di Kineforum DKJ.