Menurut katalognya, One Shot Project adalah sebuah proyek omnibus yang digagas untuk memberikan penghargaan terhadap seniman-seniman besar yang meninggal dunia paska reformasi tahun 1998. Bagi yang ingin terlibat dalam proyek ini, ada beberapa syarat produksi yang harus dipatuhi: film hanya terdiri dari satu shot utuh (one take, one shot), tanpa pengulangan waktu (flashback, non linear), tanpa teknik zoom dan tracking dalam kamera, tanpa teknik cutting dalam editing, serta teknik apapun dalam film yang tidak dapat dilakukan dalam kehidupan sebenarnya. Singkatnya, pembuat film diharuskan bercerita tanpa bantuan manipulasi sinematik.
Premis One Shot mengindikasikan permainan audio-visual. Dengan mayoritas opsi dalam medium film dinegasikan, pembuat film harus pintar-pintar memanfaatkan kontinuitas audio-visual untuk menyampaikan pesannya. Pada edisi One Shot yang pertama, ada empat orang yang mengambil tantangan membuat film dengan segala batasan tersebut. Mereka adalah Agni Tirta, Surya Adhi Wibowo, Gelar Agrayano Soemantri, dan Dewi Kusumawati. Berikut ini adalah resensi karya mereka satu per satu, yang pada tanggal 16 Oktober 2010 dirilis secara serentak di tiga kota: Yogyakarta, Jakarta, dan Cilacap.
Karya Suzanna di Warung Kopi (Agni Tirta/Yogyakarta)
Film pendek yang satu ini pasti akan terasa dekat dengan orang Yogyakarta. Pasalnya, terlepas dari judulnya, ceritanya bertempat di rental film. Selain warnet, rental film adalah sumber pertukaran wacana film paling umum di Yogyakarta. Sejak awal film, penonton langsung disuguhkan pemandangan lumrah di rental-rental Yogya: anak muda, mungkin mahasiswa, berniat menghabiskan malam dengan menonton film, tapi bingun nonton apa. Lalu, terjadilah dialog acak antara penjaga rental dan anak-anak muda tersebut.
Secara sosiologis, film ini sukses merekam realita yang ada. Pengambilan gambar yang secara acak menyorot kesana kemari kurang lebih merepresentasikan sudut pandang anak muda di dalam rental film: antara penasaran dan bingung dengan segala pilihan film yang ada. Sayangnya, film ini dialognya terlalu acak untuk menjadi tribut yang efektif. Banyak nama yang disebutkan, mulai dari Teguh Karya, Warkop hingga Suzanna. Masalahnya, tidak satu pun nama dijelaskan secara mendalam, baik secara verbal maupun visual. Namun, setelah kami pikir-pikir lagi, memang ada pengunjung yang mau mendengar penjaga rental ceramah soal filmografi Teguh Karya?
Kali Lonthe (Surya Adhi Wibowo/Yogyakarta)
Seperti film yang pertama, Kali Lonthe juga mengandalkan dialog acak sebagai modus naratifnya. Bedanya, kamera dalam film ini jauh lebih diam. Fokusnya juga cuma pada satu orang: seorang sopir, yang berceloteh panjang tentang pengalamannya bersama para seniman. Obrolan yang mungkin awalnya basa-basi antara sopir dan penumpang, perlahan-lahan berkembang jadi nostalgia tentang mereka yang telah tiada.
Seperti film pertama juga, Kali Lonthe sukses merekam realita yang ada. Obrolan supir-penumpang sejatinya seperti yang terekam dalam film ini: awalnya mekanistis, penuh basa-basi, tapi makin ke belakang, makin lepas obrolannya, walau tetap tanpa arah yang pasti. Tingkah si sopir yang paling mengundang tawa adalah saat dia menjelaskan seorang tokoh dengan berbagai macam bunyi-bunyian: glinyat-glinyut, plintat-plintut, dan sejenisnya.
Sayangnya, lagi-lagi sama seperti film pertama, dialog dalam film ini terlalu acak untuk menjadi sebuah tribut. Banyak nama yang disebutkan, namun tidak ada yang diutamakan. Konsekuensinya: penonton akan jauh lebih tertarik dengan pengalaman hidup si sopir, karena dia satu-satunya tokoh yang penonton lihat sejak awal sampai akhir. Sementara seniman-seniman yang disebutkan harus penonton imajinasikan, itu juga kalau penonton familiar. Salah-salah film ini dianggap sebagai tribut untuk si sopir, ketimbang seniman-seniman yang dimaksud.
Pamflet Elektronik (Gelar Agrayano Soemantri/Jakarta)
Bila Yogyakarta adalah lumbung wacana, maka Jakarta adalah sarang media. Pamflet Elektronik menabrakkan dua media ditengah diagram One Shot yang menjadi kriteria. Penampakan visual berbeda jalan dengan dengingan audio. Gambar statis yang kabur menampakkan wajah seorang seniman, kayaknya sih itu WS Rendra, sementara audionya memperdengarkan laporan berita kematian Gesang di Solo. Menarik sebab audio dan visual membawa informasinya sendiri-sendiri.
Sampai sekarang kami masih sulit menebak kenapa mereka harus menjadi satu frame, sekaligus terpisah penuh? Pamflet Elektronik memperkenalkan wacana penumpukan informasi dengan mempertemukan dua kabar tanpa mempertemukan dua medium. Rendra dan Gesang bertemu di layar, tetapi audio dan visual melengos sendiri seperti orang belum kenal satu sama lain. Kalau layar dimatikan, kami hanya akan menerima informasi tentang Gesang. Tetapi bila mute kami aktifkan, maka kami hanya akan bisa memelototi Rendra. Pamflet Elektronik justru menonaktifkan interaksi antara audio dan visual, sementara kriteria One Shot kami rasa tidak persis berada disitu.
Tetapi apakah hal ini tabu? Sama sekali tidak. Sineas kondang Peter Greenaway pernah menerapkan ketidak-seiringan audio- visual dalam The Falls (1982) selama tiga jam penuh dan hasilnya sangat memuaskan. Memuaskan atau tidak, lagi-lagi kembali pada Anda sang penonton.
Ketika Dia Pergi (Dewi Kusumawati/Cilacap)
“Video-esai yang mengharukan” begitu pikir kami pada awalnya. Tulisan yang terserak di dinding menunggu dihampiri oleh kamera, lalu muncrat di wajah penonton, setiap paragraf adalah kronologi akhir hayat seniman Jaka Cahyana: seorang seniman yang telah menulis lagu untuk Cilacap.
Limitasi shot diakali dengan memberdayakan mise-en-scene. Kamera berkeliling rumah menyapa tulisan diam yang bercerita. Dua menit berikutnya, penonton akan terdiam memperhatikan, karena menonton film sama dengan membaca koran. Dinding dalam film Dewi Kusumawati adalah pemberdayaan visual yang memenuhi syarat.
Visualisasi esai itu ditimpali dengan karya Jaka Cahyana yang terlantun memuja-muji Cilacap tanah leluhurnya. Ketika Dia Pergi mempersembahkan tribut fisik lewat suara dan tribut mental (sebut saja preservasi kenangan tentang Jaka Cahyana) lewat tulisan-tulisan esainya. Seorang penonton bergumam “kalau yang gitu doang sih, saya juga bisa bikin.” Pendapat itu bukanlah duduk masalahnya, yang terpuji dari Ketika Dia Pergi bukanlah semata perjuangan teknisnya, tetapi kerapihan konsepnya.
Balik lagi ke One Shot Project
Kami rasa One Shot Project dan tribut seniman adalah dua hal yang terpisah. One Shot adalah proyek eksperimentasi estetika yang patut dipuji. Ia berusaha mengembalikan sinema kepada fragmennya yang terkecil: shot. Tak ada waktu untuk meributkan jenis (fiksi atau dokumenter), tak ada lubang dimana aktor bisa tampil pretensius (karena cutting diharamkan), dan yang paling membahagiakan: membicarakan One Shot berarti membicarakan sinema dari realitasnya yang paling sederhana. Anda tidak akan bisa membahas montase, atau coloring, atau CGI, tanpa membicarakan shot. Pada titik itulah, orang banyak melompat terlalu jauh: sibuk memikirkan “hal-hal kekinian” tetapi mengabaikan shot. One Shot membuka wacana sinema yang paling mendasar, dan oleh karenanya proyek ini menjadi sangat penting.
Sementara, kami rasa tribut seniman hanya tema saja. Bila ia diganti dengan tema lain, tak mengapa. Bila tak ada pun, tak apa-apa. Tribut seniman adalah konsekuensi moral dan penghormatan spiritual terhadap mereka yang telah berjasa pada kita. Mumpung ada eksperimen estetika, kenapa tidak sekalian eksperimen konseptual? Mungkin begitu modus proyeknya. Mungkin.
(Informasi tentang One Shot Project bisa diakses di http://www.oneshotproject.in)