Hari yang Dijanjikan: Kiat-kiat Mengucilkan Orang Miskin Kala Pandemi

Puji (Vino Bastian), seorang buruh pabrik, baru saja di-PHK. Bibirnya pucat, matanya sayu, dan anak istrinya lapar. Terlebih lagi: utangnya belum lunas.

Hari yang Dijanjikan (2021) menempatkan Puji sebagai wakil dari mereka yang kerentanan ekonominya makin telanjang akibat pandemi. Film memulai konfliknya lewat ancaman seorang rentenir pada dini hari. Titik awal yang kemudian menggariskan laku gerak Puji sepanjang Hari yang Dijanjikan, mewujud secara harfiah sebagai hari di mana ia harus melunasi utangnya sebelum tengah malam.

Alasan Puji meminjam uang cukup sederhana: anak semata wayangnya butuh smartphone agar bisa ikut sekolah daring—sebuah keharusan yang tak pernah memandang kelas sosial sejak pandemi mewabah. Keharusan ini jelas sepele bagi mereka yang berpunya. Namun bagi Puji (dan mungkin juga sekian Puji lain di luar sana), itu adalah urusan nyawa yang kian membuat mereka rawan jadi samsak tinju preman penagih utang.

Cerita Puji dihadirkan secara lurus dalam jangka waktu sehari penuh. Ia dimulai dengan selayang pesan singkat yang mengingatkan Puji untuk melunasi utangnya, dan ditutup dengan kutipan ayat Al-Qur’an yang menabahkan penonton akan datangnya “kelapangan sesudah kesempitan” (QS. 65:7). Lintasan kisah ini mengisyaratkan deduksi klise, bahwa kemiskinan—yang sedari awal film sajikan—tidak dialamatkan sebagai sarana protes sosial, melainkan hanya sebagai sarana uji moral. Sebongkah narasi warisan Orde Baru yang terlanjur mapan dalam pola tutur sinema kita ketika bicara soal mereka yang melarat.

Si Miskin yang Alim, Sebuah Stereotip

Kemiskinan adalah hal pertama yang paling telanjang dalam Hari yang Dijanjikan. Simbol-simbolnya ditampilkan secara repetitif: tumpukan utang, sisa tujuh ribu rupiah di dompet, tudung saji yang kosong, kuota internet yang habis, hingga sekian potongan dialog maupun raut wajah yang menyiratkan bahwa Puji sekeluarga lapar dan tak punya uang. Semuanya menempatkan Puji sebagai penghuni kelas ekonomi miskin, dan bukan yang lain.

Hal kedua yang paling terlihat adalah nilai-nilai keislaman sebagai dasar moralitas protagonis. Peran sosial, sifat, dan perilaku yang dilanggengkan oleh sekian film Islami Indonesia untuk mendefinisikan seorang lelaki muslim yang baik tampak dalam setiap perbuatan dan pengambilan keputusan Puji. Oleh film, pola ketokohan ini secara konsisten dimunculkan tanpa diperbolehkan untuk keluar dari norma-norma yang dinilai Islami.

Pertama-tama, panduan moral ini diperkenalkan lewat Puji yang ditampilkan baru saja selesai salat tahajud, lengkap dengan baju koko dan sarung yang tetap Puji kenakan selama ia tak keluar rumah. Istri dan anaknya pun ia ajak salat subuh berjamaah, menandakan kesalehan seorang suami sekaligus bapak yang bertanggung jawab atas keluarganya. Atau bahkan mungkin terlalu bertanggung jawab mengingat Hari yang Dijanjikan tidak menyisakan sedikit pun ruang bagi istri Puji untuk memikul upaya nyata demi keluar dari kemiskinan yang sama. Namun terlepas dari hal itu, singkatnya, film mengarahkan Puji untuk ‘hidup’ dengan lakon ketokohan ini secara konstan dan juga intens.

Satu waktu Puji menyempatkan diri salat di masjid di tengah kegamangannya mencari pendapatan. Di sana ia menemukan tas selempang berisi segepok uang yang tertinggal, yang kemudian ia kembalikan ke pemilik aslinya tanpa mengharapkan imbalan. Di waktu yang lain, Puji memberi nasi bungkus yang baru saja ia beli di warteg kepada sepasang ibu dan anak yang lapar dan menggelandang di jalan, tak peduli bahwa sedari pagi ia belum sarapan. Pada keadaan yang tak terduga, Puji mengambil langkah ekstrem untuk menyelamatkan orang yang terkapar di pinggir jalan—dan diduga terkena COVID19—meski orang-orang sekitarnya telah memperingatkan bahaya kepadanya. 

Puji juga menolak hal-hal yang berbau haram secara tegas. Misalnya, praktik culas mantan koleganya yang menawarkan Puji pekerjaan mendaur ulang masker bekas dan jasa pembuatan dokumen negatif tes COVID19. Sedangkan di rumah, saran istri Puji untuk mengambil pinjaman online ia tolak dengan alasan yang mantap bahwa “itu riba”.

Puji tak pernah marah atas nasibnya. Bahkan ketika seorang teman yang beberapa tahun silam mengutang sejumlah uang kepadanya pura-pura lupa, atau ketika handphone-nya dijambret di akhir cerita. Ia hanya nelangsa.

Iman Puji terlalu kuat untuk mengambil sesuatu yang bukan miliknya, merugikan kehidupan orang lain, atau bahkan untuk sekadar mengutuk nasib. Friksi moral yang hadir bertubi-tubi tak pernah mengizinkan Puji untuk keluar dari opsi yang dinilai tidak Islami. Ia kekal dalam sebuah stereotip yang, sesuai dengan namanya, terpuji.

Miskinnya Imajinasi Sinema Indonesia soal Kemiskinan

Saleh, tabah, dan tahan godaan. Ketokohan Puji adalah fotokopi pucat arketipe lelaki muslim ideal di media dan produk budaya populer kita. Dengan proyeksi yang terlalu khayali—dan nyaris tanpa proses—sehingga terasa berjarak bagi mereka yang benar-benar lapar dan melelang nyawanya di jalan. Selayaknya sekian cerita yang sudah-sudah soal si miskin, yang diniatkan jadi sirkus demi mendulang simpati kelas sosial atas.

Tuturan usang soal kemiskinan dalam sinema Indonesia sering mengulang premis dasar bahwa faktor pemiskinan hanya muncul sebab hal yang bersifat individual, entah karena masalah pribadi atau musibah dalam keluarga. Sehingga, kemampuan untuk membaca gejala kemiskinan secara lebih dalam memang akan sulit dilakukan pada cerita-cerita semacam itu. Namun, pada Hari yang Dijanjikan, pemiskinan hadir secara meluas dan melampaui batas-batas personal: pandemi COVID19. Gejala yang—setidaknya bagi warga miskin di berbagai kota besar Indonesia—sulit untuk menawarkan opsi selain mati terkena virus di jalan atau mati kelaparan di rumah. Hal sama yang juga membuat sekian orang—terlepas dari status ekonominya—kehilangan pekerjaan tetap, mencari pendapatan tambahan, dan/atau menganggur tanpa jaminan sosial yang semestinya didapatkan.

Buruknya penanganan pandemi yang begitu nyatanya telah, sedang, dan akan merenggut penghidupan banyak orang seolah tak menggoyahkan pola cerita yang kolot soal pemiskinan. Aneh, bahkan, ketika yang bicara tentangnya adalah para pekerja film yang tergolong rentan terimbas pandemi. Kepekaan untuk menarasikan si miskin yang berdaya—yang menuntut hak-haknya dan saling membantu sesamanya tanpa perlu belas kasih si kaya—seakan terkubur oleh sekian pengulangan naratif warisan Orde Baru. Seolah tidak ada kemungkinan lain untuk menggagas wacana soal kelas dan nilai-nilai keislaman yang progresif.

Orde Baru tidak menyisakan ruang bagi kemiskinan—sebagai tema besar cerita—untuk menjelajahi kemungkinan-kemungkinan soal perbedaan kelas. Sementara Islam sebagai seperangkat ajaran materialisme historis telah ‘didisiplinkan’ sedemikian rupa agar ia tunduk pada dominasi negara. Dua gejala menahun yang kemudian jadi jawaban paling masuk akal kenapa sinema kita sulit keluar dari tendensi untuk melihat si miskin sebagai objek pertanggungjawaban moral atau tontonan penguras air mata semata.

Pada masa Orde Baru, film-film bertema kemiskinan banyaknya disasar untuk pasar film paling bawah sebagai bentuk pendisiplinan kelas. Kapasitas Islam sebagai teologi pembebasan pun absen dan hanya bekerja sebagai perpanjangan soal ‘kewajiban moral’ demi mencerminkan kebajikan pribadi alih-alih perlawanan terhadap pemiskinan. Premis demikian hadir pada ketokohan seperti, misalnya, Si Pitung (dalam Si Pitung, Nawi Ismail, 1970), Bajing Ireng (dalam Jaka Sembung dan Bajing Ireng, Tjut Djalil, 1983), atau Raden Mas Said (dalam Sunan Kalijaga, Sofyan Sharna, 1983). Di luar itu, penggambaran figur muslim yang menentang aturan pun tetap ada, meski mereka hanya diizinkan untuk melawan kolonialis Belanda. Mereka muncul dalam beberapa film seperti, misalnya, Tjoet Nja’ Dhien (Eros Djarot, 1988) atau Para Perintis Kemerdekaan (Asrul Sani, 1977).

Selepas Orde Baru bubar, cara tutur serupa masihlah jamak. Suratan nasib si miskin sepenuhnya bergantung pada tanggung jawab sosial dan/atau moral orang-orang di sekitarnya—yang banyaknya berpunya—sebagai bentuk ikhtiar untuk menuntun mereka ke jalan yang ‘benar’. Mereka telanjang dalam film-film seperti: Kun Fayakuun (H. Guntur Novaris, 2008), Doa yang Mengancam (Hanung Bramantyo, 2008), atau Emak Ingin Naik Haji (Aditya Gumay, 2009). Bahkan, kehadiran figur muslim yang ‘melawan’ pun tetap terbatas pada pertentangan terhadap kolonialis, seperti: Sang Pencerah (Hanung Bramantyo, 2010), Sang Kiai (Rako Prijanto, 2013), atau Guru Bangsa: Tjokroaminoto (Garin Nugroho, 2015).

Ajeknya perpaduan naratif ini semakin memperkuat mitos-mitos soal kemiskinan dan keislaman—yang juga dipertahankan oleh Hari yang Dijanjikan. Akar masalah kemiskinan hanya tampil sebagai latar cerita, tanpa ada usaha untuk mempertanyakan atau menggugatnya sebagai hal yang mewabah. Sementara fungsi keislaman dibuat terbatas pada kemampuannya yang makin berjarak dengan praksis-praksis perubahan sosial. Pertanyaannya: adakah pilihan alternatif selain ini?

Membayangkan Kemiskinan (dan Pemiskinan) yang Lain

Pola naratif Hari yang Dijanjikan masih enggan keluar dari tradisi penceritaan yang telah mapan. Ia mengukuhkan dirinya pada pendiktean bahwa seakan tak ada tindakan yang lebih tepat selain bersabar (QS. 65:7). Luput bahwa pembatalan sepihak tunjangan karyawan terhadap Puji adalah kezaliman yang perlu dilawan (QS. 2:188), atau penelantaran negara terhadap warga miskin (telatnya bantuan sosial yang datang) merupakan hal yang diharamkan (QS. 74:43-44). Imajinasi nilai-nilai keislaman mentok pada tarafnya yang ‘aman’, tanpa berusaha untuk menyingkap kemungkaran yang selama ini dilakukan oleh otoritas yang bertanggung jawab.

Penokohan Puji sebagai spektakel atas si miskin dilakukan hanya demi mendikte moralitas yang ‘nyaman’ bagi penontonnya. Atau sederhananya, film meletakkan ‘objek’ syukur/iba/simpati di depan pintu rumah penontonnya agar mereka tak perlu repot ke luar rumah untuk mencarinya sendiri. Lebih lanjut agar mereka tak melihat seperti apa pemiskinan yang benar-benar terjadi. Dan agar mereka tidak sampai ke pertanyaan: siapa yang bisa kita gugat demi mencegah kemiskinan yang sama agar tidak makin menjadi-jadi.

Hari yang Dijanjikan mandek dalam urusan belas kasih dan memang tak diniatkan untuk lebih. Upaya untuk membongkar praktik dominan representasi semacam ini pun kemudian jadi penting sebab—pada akhirnya—film-film yang menyoal kemiskinan banyaknya hanya menyasar ke orang-orang yang lebih mapan secara ekonomi alih-alih mereka yang sejatinya sedang difilmkan. Hal ini perlu dilakukan demi menunjukkan absennya keberpihakan serta mengurai peluang bagi kelas menengah-bawah untuk menyampaikan aspirasi. Hal yang jelas sulit muncul karena mereka pun—selayaknya Puji—terlampau kepayahan untuk memikirkan dari mana uang untuk makan hari ini.

Hari yang Dijanjikan adalah film yang baik untuk melihat pola ajek kebobrokan sinema kita ketika bicara soal orang miskin. Atau untuk melihat bagaimana negara—sebagai institusi—hanya hadir dalam kehidupan warga miskin secara anekdotal (“disuruh pak Jokowi di rumah aja”) dan preskriptif (bansos dari pak RT). Keduanya hadir tak lebih dari tiga menit sepanjang 75 menit durasi film—yang dimaksudkan untuk mewakili satu hari penuh. Jika perlu dilakukan perhitungan dan perbandingan demi melihat sesingkat apa itu, maka negara hanya hadir kurang lebih selama satu seperlima hari dalam jangka waktu satu bulan. Pernyataan sinematik yang bahkan masih terlalu dermawan.

Hari yang Dijanjikan | 2021 | Sutradara: Fajar Bustomi | Penulis: Dani Rahman Fauzi | Produksi: KlikFilm Productions | Negara: Indonesia | Pemeran: Vino Bastian, Agla Artalidia, Graciella Abigail, Alfie Alfandy, Ence Bagus, Kemal Palevi, Asep Suaji, Teddy Snada, Madun