Palu Arit di Film India

Chakravyuh (2012), salah satu film India yang bercerita tentang kaum Maoist Naxalite.

“Kami tak akan kasih gabahnya, kami tak akan bayar bunganya. Hutang kemarin tak akan kami tebus hari ini. Pedang dan tongkatmu tak mempan lagi, kesombonganmu tak guna lagi. Pedang dan tongkatmu tak mempan lagi, kesombonganmu tak guna lagi. Kini palulah yang bekerja, palu dan sabit. Enyahlah, oi penjarah! Enyahlah, oi penjarah! “

(“Lootnewale”, OST Matru Ki Bijle Ka Mandola; musik: Vishal Bhardwaj; lirik: Gulzar)

1

Sutradara Aparna Sen terlihat tampak begitu iseng saat menyisipkan semboyan “Kaum Buruh Sedunia Bersatulah” dalam film romantis The Japanese Wife (2010). Vishal Bhardwaj terkesan jail ketika bermain-main dengan Maoisme dalam film komedi Matru Ki Bijle Ka Mandola (2013). Sementara itu, Halla Bol (2008), film thriller hukum karya Rajkumar Santoshi yang melibatkan aktor-aktor paling gemerlap di Bollywood, terlihat enteng saja mengimitasi kisah hidup dan semangat Safdar Hashmi, sutradara teater jalanan sekaligus aktivis Partai Komunis India.

Keisengan, kejailan, dan keentengan itu, juga beberapa gejala lain, mau tak mau menggoda saya untuk tahu lebih jauh seberapa jauhkah anasir-anasir kuminis mewarnai industri film India. Sebanyak apa noktah-noktah merah ideologi terlarang di Indonesia tersebut “mencemari” industri yang di negeri ini produk-produknya sangat digandrungi itu?

Saya ternyata tak butuh waktu lama untuk tahu jawabannya. Dalam satu pembacaan yang singkat, dari bahan-bahan yang bisa dijangkau, sangat mudah disimpulkan bahwa anasir-anasir komunisme bukan saja ada, bukan semata mewarnai, melainkan menjadi warna tersendiri—dan cukup mencolok—dari industri film India. Dan saya terkejut atas betapa mudahnya saya memperoleh kesimpulan.

2

Tumbuh bersama semangat dan ideologi-ideologi besar yang berebut peran dan pengaruh dalam perjuangan kemerdekaan India, industri film India (sebagaimana juga media seni lain macam sastra, teater, dan musik) tak pernah bisa jauh-jauh dari politik. Gambaran paling gampang adalah ketika Ashish Rajadhyaksha dan Paul Willemen, dalam buku mereka Encyclopaedia of Indian Cinema, membuat pembabakan sejarah industri film India sejajar dengan sejarah (politik) India sendiri. Di buku yang sama, Naxalite, sayap komunis paling keras di India dan sekarang dikelompokkan dalam organisasi teroris, masuk dalam entri ensiklopedi film tersebut. Masuknya Naxalite dalam lema ensiklopedi bukan semata karena organisasi ini pernah melahirkan insan-insan dalam industri film India yang berpengaruh, melainkan juga karena organisasi ini menjadi sumur ilham yang tak kunjung kering bagi film-film India—entah untuk menistakan atau membelanya.

Jika Naxalite masuk entri, Partai Komunis India (Communist Party of India atau CPI), induk darimana Naxalite lahir dan kemudian memisahkan diri, bertebaran di banyak bagian Encyclopaedia karena kaitannya dengan banyak nama dan banyak lembaga dalam sejarah industri film India. CPI ada pada keterangan di belakang nama-nama sutradara, produser, penulis skenario, penulis lirik lagu, hingga aktor. Sementara Asosiasi Teater Rakyat India (Indian People Theatre Association atau IPTA), salah satu sayap kebudayaan resmi CPI, adalah kawah candradimuka tempat dilahirkannya insan-insan perfilman India yang bukan cuma sangat penting, tetapi juga yang membawa perfilman India dikenal dunia—Satyajit Ray, pemenang Palm D’Oor Festival Film Cannes dan pemegang Piala Oscar dengan film-film neo-realisnya, adalah seorang anggota paling terkemuka IPTA sekaligus moyang bagi industri film India.

Menemukan “hal langka” (dan terlarang di hampir tiga perempat muka bumi) ini dengan begitu mudahnya membuat saya takjub sekaligus berbinar. Tentu bukan karena saya seorang penganjur Komunisme yang melankolis—saya tidak membaca Das Kapital sebagaimana saya juga tak membaca buku-buku teori ekonomi lainnya. Saya suka “penemuan” ini karena masih mendapati betapa ide dan ideologi yang beragam begitu dirayakan—dan dibebas-biarkan! Bukan di industri film di negara-negara bekas komunis—yang telah terbebaskan itu, bukan pula di Amerika Utara atau Eropa Barat, darimana demokrasi dan kebebasan didakwahkan bahkan dengan kekerasan, namun di industri film India. Di industri yang selama ini lebih dikenal karena taman, pohon, tiang, dan penari yang memutarinya.

Tapi, tentu saja ini juga menggentarkan. Bukannya menemukan noktah, saya malah menjumpai belantara yang berlarat-larat luasnya.

3

Tiga atau empat film yang pernah ditonton akan cukup untuk membuat tulisan kecil-kecilan semacam “Jogetan ala PKI di film India”, begitu mulanya saya mengira. Tapi, apa boleh buat, puluhan atau mungkin ratusan film justru menunggu jika saya tetap mau meneruskan niat saya. Ya, mungkin ditambah dengan beberapa biografi dan setumpuk tinggi buku sejarah revolusi India. Dan, tampaknya, jika saya cukup tangguh ini melewatinya, yang akan saya hasilkan bukanlah sebuah tulisan untuk blog sepanjang tiga halaman yang dibaca sambil lalu oleh orang di facebook, melainkan sebuah disertasi.

Saya mengkeret.

Untuk banyak alasan, jelas itu bukan hal yang ingin dan mampu saya lakukan. Saya sudah menonton—setelah bersusah payah mencari-carinya—beberapa film Satyajit Ray dan mencium bau keras realisme-sosialis-nya. Film-film yang indah dan mengesankan, tapi saya ragu apakah punya kesanggupan untuk menonton film Ray secara keseluruhan. Sementara Ray hanya salah satu, sebab masih menunggu berikutnya segudang film dari sutradara Utpal Dutt, seorang Marxist tulen yang katanya pengamal setia kredo-kredo teater-nya Brecht itu. Belum lagi Mrinal Sen, Ritwik Ghatak, Syam Benegal, dan masih banyak lagi sutradara-sutradara jebolan IPTA dan pernah terlibat Naxalite. (Ya, jumlah mereka banyak dan beberapa masih berkarya sampai tua, sebab—tak seperti kolega jauhnya, para anggota LEKRA—mereka tak harus menghadapi pembantaian). Belum lagi film-film sutradara-sutradara dari generasi yang lebih muda (macam nama-nama yang saya sebut di awal tulisan), yang merupakan murid-murid atau pemuja para komunis tua itu.

Youtube, modem, dan rental-rental internet di Jogja jelas membuat pencarian saya atas film-film dari nama-nama di atas menjadi tak semustahil sebelumnya. Tapi, semudah apapun, jelas ini akan jadi kerja di sisa hidup. Ah, tidak! Itu konyol. Saya mencintai film India, tapi saya tak mau tua semata untuk film India. Lagi pula, meski mencoba mencintai film film India dengan cara berbeda, saya tetap ingin menonton kecantikan Vidya Balan dan menunggu kembalinya Manisha Koirala menyusul Sridevi, Maduri Dixit, dan Juhi Chawla. Dan, ya, apa boleh buat, saya juga menyukai musik India dan video klipnya—hal yang biasanya tak ada pada film-film para sutradara Marxist itu.

Saya harus berhenti. Tulisan ini diurungkan saja sampai di sini.

Bhagat Singh, seorang komunis anarkis, adalah tokoh yang sering difilmkan Bollywood.
Bhagat Singh, seorang komunis anarkis, adalah tokoh yang sering difilmkan Bollywood.

4

Ah, tapi kenapa saya tak meneruskan tulisan ini untuk membuatnya paling tidak selesai sebagai tulisan?

Begini saja…

Dari hasil pembacaan dan penyelidikan kecil-kecilan, dapat dikatakan bahwa komunisme sangat mewarnai layar perfiman India. Meski demikian, harus ditegaskan, bahwa komunisme jelas bukan satu-satu warna dalam film India. Ia hanya salah satunya. Dan di situlah indahnya. Itu baru namanya perayaan atas keberagaman.

Ketika sutradara dan produser Mehboob mendirikan Mehboob Production dengan gambar Palu-Arit (meski tak terkait dengan CPI) pada 1952, sebuah partai berbasis etnis bernama Dravida Munnetra Kazhagam (DMK), yang berbasis di Tamil Nadu, menjadi partai politik pertama di India yang memanfaatkan film sebagai alat propoganda. Dengan DMK Film-nya, DMK menyebarkan ideologi mereka yang mencakup lima prinsip: No God (Tidak untuk Tuhan), No Religion (Tidak untuk Agama), No Ghandi (Tidak untuk Gandhi), No Congress (Tidak untuk Partai Kongres), dan No Brahmins (Tidak untuk kasta Brahmana). Meski mengalami masa emasnya saat para anggota IPTA dengan citarasa realisnya masuk dan mencipta karya-karya masterpiece-nya (sehingga membuat film India merajelela di festival-festival film internasional), pusat perfilman berbahasa Hindi di Mumbai (yang kemudian dikenal sebagai Bollywood) telah menunjukkan karakternya yang eskapis dan melankolis—dan materialistis. Semua jenis ide dan ideologi yang pusparagam itu berebut pengaruh. Berebut massa.

Yang eskapis dan melankolis (dan materialistis) kemudian meraja. (Itulah kenapa kita sekarang, jika bicara tentang film India, tak pernah bisa lepas dari pohon, tiang lampu, dan taman.) Tapi yang ideologis tak pernah benar-benar bisa disingkirkan. Sosok-sosok penting IPTA yang kemudian membidani munculnya Parallel Cinema, sebuah arus yang berbeda dengan jalur utama di perfilman India, mendapatkan tempat paling nyaman dalam film-film berbahasa Bengali yang berpusat di Kolkata. Chennai, kota yang menjadi pusat perfilman berbahasa Tamil, di Negara Bagian Tamil Nadu yang dulu dikuasai DMK, kini tak kalah glamornya dengan rivalnya yang berbahasa Hindi—mereka bikin film yang paling mahal dan membayar aktor paling tinggi se-India. Meski demikian, ideologi DMK yang ateistik dan anti-Hindi, tak pernah sepenuhnya pudar. Rajinikanth, aktor Tamil yang bayarannya lebih mahal dari Shah Rukh Khan itu, adalah seorang pendukung DMK yang gigih. Sementara sosok lainnya, Kamal Hasan, aktor, sutradara, penulis naskah, dan penyanyi hebat, yang pengaruhnya di perfilman Tamil lebih besar dibanding pengaruh Amitabh Bachchan di perfilman Hindi, tak pernah menutupi ketaksukaannya dengan agama, termasuk dalam film-filmnya.

Di Bollywood sendiri, di tengah ideologi paisa vashool (sebut saja: keruk keuntungan) dan buaian kisah-kisah masala (baca: menye-menye), kehadiran para sineas yang lebih punya sikap dan aktor-aktor yang lebih punya selera tak bisa dicegah. Mereka tak menolak sama sekali tari dan lagu dalam filmnya dan tak menafikan selera massa, tapi apa yang mereka suguhkan jelas berbeda dari yang biasa kita bayangkan tentang film India. Maka, jangan heran, selain melahirkan cerita tentang seorang lelaki cengeng yang terombang-ambing di antara dua cinta, dari Bollywood juga muncul film tentang seorang anarkis muda yang digambarkan membaca Lenin sebelum digantung imperialis Inggris. Ada sutradara Karan Johar yang menyukai keglamoran dan air mata, ada pula Anurag Kasyap yang cenderung gelap dan berdarah-darah.

Sukhwinder Singh, salah satu playback singer terkemuka di Bollywood saat ini, bernyanyi disco ala Dard-e Disco pada satu waktu, lalu di waktu lain menyanyikan mars proletar yang agitatif dalam lagu Lootnewale (seperti dikutip di awal tulisan ini). Shah Rukh Khan memainkan peran sebagai aktor Bollywood masa kini yang kerasukan aktor tahun 70-an guna mendapatkan cinta yang tak sampainya dalam Om Shanti Om, sementara dalam Hallo Bol Ajay Devgan berperan sebagai aktor Bollywood ternama yang memilih kembali bermain teater jalanan untuk menyuarakan keadilan—sebagaimana yang pernah dilakukan di dunia nyata oleh dramawan komunis Safdar Hashmi. Bollywood tanpa sungkan-sungkan menconteki film-film Hollywood, tapi mereka juga menghasilkan interpretasi-interpretasi baru dan cemerlang dari naskah-naskah Shakespeare.

Maka, di antara gebyar tarian dan deru tangisan, kita masih tetap mendengar kutipan-kutipan Ketua Mao, melihat bendera-bendara palu-arit, buku Lenin, potret Marx, dan menemukan realisme sosialis yang menolak habis.

5

Ya, jelas tak segagah seperti saat revolusi, tapi palu arit itu masih ditemukan terus berkibar. Kita masih menemukannya. Di India. Di film-film India.

Tulisan ini aslinya terbit di blog pribadi penulis pada 30 September 2013, dipublikasikan ulang oleh Cinema Poetica dengan sejumlah penyuntingan.