“Kita tidak berlomba-lomba untuk mencari keuntungan dari ekshibisi, bayaran besar atau diperlakukan bagai bintang, karena masalahnya memang bukan di situ. Ini adalah berkah sekaligus kutukan. Sebagai seniman, nasib kita tidak ditentukan oleh selera publik, melainkan oleh pendapat kawan-kawan kita sesama seniman, juru program festival, dan para juri dari forum-forum kesenian…” (Atom Egoyan)
Dalam dunia film, festival film telah menjelma menjadi sebuah fenomena tersendiri. Ia adalah perayaan janggal yang mempertemukan glamor dan budaya tandingan, pemasaran dan anti-kapitalisme; sepekan dua yang mendudukkan bersama pemerintah, juru jual kota (city marketers), penggemar Hollywood, dan simpatisan avant-garde.
Dewasa ini, naif bila kita menganggap festival film adalah pernyataan kolektif yang anti-Hollywood dan anti arus utama. Betapa tidak, festival film telah menjelma menjadi bursa penting bagi perputaran uang dalam industri film global. Sebut saja European Film Market besutan Berlinale, Asian Film Market bentukan Festival Film Busan, Hong Kong Asian Film Financing Forum asuhan Festival Film Hongkong dan lain sebagainya.
Literatur yang dibagikan rubrik Wacana kali ini bicara mengenai kompleksitas posisi festival film, baik dari aspek selera estetika, komitmen politis, merk dagang, dan interaksinya dengan dunia di luar festival film maupun di luar industri film itu sendiri.
Marijke Valck punya amatan yang menarik. Ia mengumpamakan perkembangan film-film dan sutradara-sutradara yang sering beredar/dibesarkan oleh festival dengan tokoh Carol dalam film Safe (Todd Haynes, 1995). Sosok Carol diperkenalkan sebagai tokoh yang merasakan gejala sebuah penyakit yang tidak pernah diungkap dalam film (interpretasi paling mungkin: penyakit alergi dunia luar, modernity as disease). Carol tidak suka terhadap banyak hal yang terjadi di dunia, dan ketidaksukaan itu membuat ia sakit. Berikutnya, Carol semakin jauh beringsut masuk ke dunianya sendiri. Ia tinggal di dalam sebuah kabin steril dan hanya bermodalkan tabung oksigen. Hal itu justru membuatnya nyaman oleh sebab ia terpisah dari dunia di sekelilingnya.
Posisi Carol tepat seperti posisi festival film, menurut Valck. Festival film muncul didasari oleh ketidakpuasan mereka pada film-film yang beredar di pasar. Festival film memunculkan sutradara-sutradara, memutar film-film yang mereka idealkan sebagai bentuk pernyataan yang mengimbangi pernyataan pasar. Pada perkembangannya, festival film yang seyogyanya untuk penonton dan membangun penonton perlahan-lahan terputus, menjauh dari realitas kepenontonan publik dan membentuk sebuah dunia yang seolah mereka terka-terka sendiri.
Ada dua hal yang ditandai oleh Valjk. Pertama, Valjk mengungkapkan hal paradoksal: di satu sisi, festival film mendapat simpati publik atas usahanya “bertahan hidup”. Namun di sisi lain, festival film amat berpotensi menjadi entitas yang asyik masyuk sendiri, serta mengalami keterputusan dari masyarakat luas.
Berikutnya, Valjk mengajak kita untuk memikirkan kembali benarkah festival film menyediakan lingkungan yang aman dari rapuhnya budaya perfilman, dari kontaminasi kepentingan bernuansa kapitalistik, serta menjadi ruang yang aman bagi apresiasai kultural dan artistik?
Untuk mengamati masalah ini, Valjk mengajak kita untuk tidak merumuskan festival film sebagai lawan main industri. Cannes misalnya, bukanlah penentang Hollywood. Cannes tidak pernah menentang trend sinema dan kebijakan politik Amerika Serikat karena itu akan memutus hubungan Cannes dengan aktivitas bisnis. Sepengamatan kami, Berlinale juga memiliki ciri serupa. Misalnya, di European Film Market 2015, sudah muncul satu program yang berfokus pada pengembangan serial televisi mainstream. Artinya, festival film bukanlah lawan bagi televisi dan tontonan-tontonan populer semacamnya.
Perkembangan interaksi antara festival film dan aktivitas bisnis inilah yang kemudian mengaburkan batas antara dunia avant-garde dan industri film arus utama. Pengaburan ini ditunjang oleh film-film yang mendapatkan penghargaan tertinggi di festival film ternama sekaligus juga meraup penghasilan tinggi di pasar. Salah satu film yang ikonik dalam kasus ini adalah Sex, Lies & Videotapes (Steven Soderbergh, 1989) yang meraih Palem Emas di Cannes sekaligus juga mendapatkan banyak penonton ketika dirilis di bioskop. Artinya, ada kemungkinan bahwa festival film bukanlah penyeimbang dan “pencerah selera” bagi para sinefil, melainkan sebenarnya hanya satu dari sekian banyak pemain dalam industri film dunia. Sinyal ini dikuatkan oleh bermunculannya program-program pendanaan dari festival film yang diperuntukkan bagi para pembuat film. Misalnya ada World Cinema Fund di Berlin, Hubert Bals Fund di Rotterdam, Asian Cinema Fund di Busan, Fonds Sud di Perancis dan lain sebagainya.
Valjk mengajak kita memikirkan fenomena ini: apa yang ditawarkan festival film lewat dana-dana hibah semacam ini? Pemanjangan umur? ‘Beasiswa’ perkembangan? Promosi? Jika iya, untuk demografi penonton yang seperti apa? Atau justru sekedar keistimewaan dalam semacam ghetto kebudayaan ?
Metode yang Valjk gunakan dalam merumuskan berbagai pertanyaannya adalah metode pelaku dan jejaring (actor and network theory) yang dalam dunia akademisi dipopulerkan oleh intelektual Perancis Bruno Latour. Kelebihannya: metode ini bisa mengajak kita melihat Eropa dan Amerika sebagai sebuah kelindan kompleks antara pelaku (actor) dan jejaring (network, sistem) tanpa harus meributkan mana yang lebih penting. Kekurangannya: metodologi ini tidak sempat membongkar relasi kuasa antara kutub Barat dimana sebagai besar festival film berpengaruh diadakan dan kutub Timur. Hal ini diakui sendiri oleh Valjk. Oleh karena itu, menjadi tugas kita sebagai pembaca untuk mencari tahu lebih jauh, berhubung juga kita tinggal di Indonesia, bagian kutub Timur yang sering dijadikan objek representasi dalam nama agenda estetika festival film itu sendiri.
Kerap sekali kita dengar film-film Indonesia dipilih untuk diputar di berbagai festival dunia. 2015 adalah salah satu tahun spesial bila kita menggunakan ukuran ini. Tiga festival besar dunia (Berlin, Cannes, Venice) tahun 2015 masing-masing memilih film-film Indonesia dalam seleksinya. Penasaran, apa yang ingin direpresentasikan oleh masing-masing festival ini dengan mengundang film-film Indonesia? Valjk bahkan lebih hati-hati lagi. Ia masih ragu untuk memakai istilah representasi. “Jangan-jangan bukan representasi. Jangan-jangan cuma represi,” begitu ia bernada curiga.
Kajian tentang relasi film-film Indonesia dan selera festival film luar negeri memang belumlah memadai. Hanya saja, keingintahuan serupa sudah berlangsung di beberapa negara Asia. Zainab Taymuree menggunakan dua film Iran sebagai perbandingan dalam analisisnya mengenai pengeksotisan-diri (self-exoticization) yang dilakukan oleh pembuat-pembuat film Iran dalam rangka mencuri perhatian dan mereguk popularitas di kancah perfilman dunia.
Analisa Taymuree beroperasi di seputar orientalisme, konsep “penemuan”, dan fetisisme mata Eropa dalam rangka melihat hal-hal yang berbau timur. Dalam film Women Without Men (Shirin Neshat, 2009), perempuan timur ditempatkan sebagai ikon ketimbang sebagai sebuah entitas diegetik yang mengemudikan cerita. Dalam membingkai perempuan timur dalam film, Neshat menggunakan tubuh perempuan Iran sebagai semacam objek fetish yang sarat aroma penemuan (discovery) yang diperuntukkan bagi penonton-penonton bermata Eropa yang lebih bertendensi untuk melihat perempuan-perempuan muslim dalam hubungannya dengan seksualitas ketimbang melihat mereka sebagai yang tersembunyi di balik chador & burka.
Apakah akan selalu demikian? Taymuree mengatakan tidak juga. Ada juga beberapa sutradara yang berhasil menggunakan bahasa-bahasa sinema Universal untuk kepentingan penceritaan yang tidak eksotis. Misalnya saja, A Separation (Asghar Farhadi, 2011) yang berhasil menggunakan Bahasa Hollywood, memelintirnya, meletakkan karakternya dalam diegesis dengan sempurna dan walhasil berhasil menghindari penggambaran dunia timur sebagai sebuah alam yang eksotis. Tentu saja pendapat ini masih bisa diperbincangkan, khususnya setelah rilisnya film Farhadi yang berlatar Perancis, The Past (2013) yang sedikit banyak menyinggung posisi manusia timur dalam bingkai pandang Barat.
Menggunakan model perbandingan semacam ini, lantas bagaimana dengan Indonesia? Apakah film-film Indonesia yang diputar dan diidolakan oleh juru program festival film di Eropa masuk ke dalam kategori eksotisasi-diri atau justru sebaliknya? Apakah mereka medium representasi atau justru represi? Lewat Taymuree, mari pikirkan kembali film-film peserta festival luar negeri yang baru saja kita akses di pemutaran-pemutaran terdekat: Another Trip to the Moon? Lembusura? Onomastika? The Fox Exploits the Tiger’s Might? Sendiri Diana Sendiri? Kisah Cinta yang Asu? Atau bisa juga kita balik ke belakang: bagaimana dengan Opera Jawa? Lovely Man? A Lady Caddy Who Have Never Saw a Hole in One? Pintu Terlarang? Dan sebagainya.
Philip Cheah, dalam pengantar programnya untuk Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2014, mengisyaratkan bahwa telah terdapat semacam klise-klise baru dalam sinema independen dunia, yang diakibatkan oleh sistem penanaman dan penghibahan yang dilakukan—salah satunya oleh pihak-pihak yang terkait dengan festival film. Philip mencontohkan “ritme dalam gerak lamban, syut panjang yang bermakna serta momen absurd namun puitik” menjadi semacam kiasan yang mudah sekali ditemui.
Hantu dalam tulisan Philip bersemayam tepat di sini: terdapat dilema bahwa di saat festival film ramai-ramai berjargon bahwa mereka merawat keragaman dalam sinema independen dunia, mereka juga di saat yang sama tengah menghapus keberagaman itu dengan cara “bertani” lewat politik selera lembaga hibah, seleksi kompetisi, lampu sorot bagi sineas-sineas tertentu, dan tentu saja lewat kelindan kompleks representasi/represi atas sinema dan sineas dari dunia non-barat.
Selamat membaca!