Never Say Never: Demam Bieber, Antara Citra dan Cerita

never-say-never_highlight

Suka tidak suka, Justin Bieber adalah sensasi. “Macaulay Culkin-nya industri musik!” Begitu kata L.A. Reid, seorang produser musik ternama. Di usia 17 tahun, Bieber menjadi idola tingkat dunia, dengan lebih dari 200 juta orang mengikuti akun twitternya setiap hari. Setiap konsernya, baik di Amerika Utara maupun di belahan dunia lainnya, rata-rata menarik 10.000 sampai 15.000 penonton. Bieber adalah suatu fenomena yang unik, mungkin yang pertama untuk industri musik, mengingat beberapa tahun sebelumnya Bieber bukanlah siapa-siapa. Pada tahun 2007, rekaman Bieber menyanyi hanyalah satu dari sekian banyak video di YouTube, sampai suatu hari seorang mantan promotor label rekaman musik menemukannya. Dalam hitungan bulan, namanya tercetak di catatan sejarah kontemporer, dan catatan harian jutaan perempuan di seluruh dunia. Jejak peristiwa itulah yang diangkat dalam Never Say Never.

Menurut situs Paramount Pictures, Never Say Never merupakan biografi resmi sekaligus media promosi Justin Bieber. Fakta yang sama juga diakui oleh tim manajemen si penyanyi di berbagai sumber. Sepanjang 105 menit durasi film, Never Say Never menceritakan kembali kehidupan Bieber, sebelum dan setelah dia menjadi bintang. Film dibuka oleh sebuah close up di layar komputer. Terlihat ada beberapa video Youtube, kebanyakan rekaman candid tentang kejadian-kejadian konyol, sampai akhirnya muncul rekaman Bieber menyanyikan With You, sebuah tembang yang sebelumnya dipopulerkan oleh Chris Brown. Dari situ, film membawa penonton ke sebuah rangkaian audiovisual, yang terdiri dari rekaman handycam milik keluarga Bieber, sejumlah wawancara, dan beberapa dokumentasi konser Bieber. Puncaknya adalah penampilan Bieber di Madison Square Garden, New York, yang konon tiketnya ludes terjual dalam waktu 25 menit saja.

Sebagai sebuah cerita, Never Say Never merupakan kronologi yang rapi tentang seorang underdog di jaman digital. Narasi film bolak-balik bercerita tentang Bieber sebelum dan sesudah ketenarannya. Sepanjang lintas waktu tersebut, ada satu hal yang konstan, yakni progresi Bieber dari bukan siapa-siapa sampai jadi seorang selebritis dunia. Pusat ceritanya ada di pertengahan film, yakni di wawancara Scooter Braun. Dia adalah manajer pribadi Justin Bieber, yang menemukan video Bieber di rimba YouTube, dan kemudian mengusahakannya masuk ke industri rekaman.

Sebelum wawancara Braun, narasi film didominasi oleh wawancara orang-orang di sekitar Bieber, dan rekaman handycam milik keluarga Bieber. Bagian tersebut menginformasikan penonton kalau Bieber dibesarkan oleh seorang ibu. Orang tuanya bercerai waktu Bieber masih berusia sepuluh bulan. Sejak umur tiga tahun, Bieber mulai menunjukkan talenta musiknya. Ia bisa dengan cepat menguasai teknik menggebuk drum, kemudian belajar memetik gitar, hingga akhirnya rutin menyanyi di depan sebuah toko di kota kelahirannya. Setelah wawancara Braun, narasi film lebih berfokus pada detik-detik menjelang konser Bieber di Madison Square Garden. Rangkaian adegan film didominasi oleh cuplikan para penggemar Bieber yang histeris, tur Bieber dari kota ke kota, hingga akhirnya persiapan dan pelaksanaan konser akbar Bieber di New York.

Pertanyaannya kemudian: seberapa banyak yang penonton bisa pelajari dari sebuah biografi tentang seorang selebriti muda? Tidak banyak. Never Say Never terlalu terkungkung dalam status Bieber sebagai bintang yang lahir dari media online. Topik tersebut yang terus menerus direproduksi sepanjang film. Wawancara dengan keluarga dan tim manajemen Bieber tidak jauh-jauh seputar kesibukan Bieber pasca terkenal via YouTube. Wawancara dengan teman-teman sebaya Bieber kurang lebih tentang jarangnya mereka bertemu setelah Bieber terkenal. Kesimpulan dari semua wawancara tersebut: mereka semua mengharapkan yang terbaik untuk Bieber. Dalam konteks ini, Never Say Never terlihat seperti group hug dalam wujud film. Selain dari itu adalah puluhan adegan para penggemar Bieber yang histeris, yang pada titik ini tak lagi signifikan. Tanpa harus menonton Never Say Never, kita sudah tahu kalau Bieber punya banyak penggemar di mana-mana.

Mengingat Never Say Never juga terikat dengan kepentingan promosi Bieber, sempitnya bahasan film tersebut dapat dipahami. Wajar apabila topik yang terus-menerus direproduksi adalah kesuksesan Bieber mewujudkan mimpinya menjadi penyanyi. Demi tujuan promosi, bagaimanapun juga pencitraan harus ditegakkan, dan cerita kesuksesan Bieber adalah cerita yang menjual. Namun pesan suatu cerita tak saja berasal dari apa yang ditampilkan, tapi juga apa yang tidak ditampilkan. Sempitnya bahasan Never Say Never menjadikan Justin Bieber terlihat sebagai figur yang steril. Baik steril dari realita bahwa dia tenar di usia muda dan banyak pertanyaan muncul dari situ, maupun steril dari realita bahwa ketenarannya via media online dikritik oleh beberapa pihak. Never Say Never tidak sekalipun melirik realita-realita tersebut. Padahal, realita-realita tersebut bisa jadi kesempatan bagi Never Say Never, terutama sebagai media promosi, untuk memperkuat kesan positif Justin Bieber. Pada titik ini, komposisi Never Say Never patut dipertanyakan.

Di luar film Never Say Never, Bieber kerap dikotakkan sebagai produk budaya instan. Ia adalah bintang yang besar via media online, yang ditunjukkan di film melalui sejumlah video Bieber di YouTube, dan beberapa adegan Bieber men-twit para fansnya. Atas apa yang ditampilkan, Never Say Never notabene mengkonfirmasi stereotip Bieber sebagai produk budaya instan. Sepanjang film, tidak ada ruang bahasan lain yang dibuka, kecuali status Bieber sebagai selebritis bentukan media online. Para penonton netral jadi tidak tahu apa yang begitu spesial dari Justin Bieber, kecuali ada seorang promotor musik yang menemukannya via YouTube. Dalam konteks film, di tengah gembar-gembor status selebritis Bieber, rekaman handycam tentang talenta musik Bieber waktu kecil jadi lemah posisinya, atau malah tidak signifikan sama sekali. Apa gunanya talenta kalau semuanya bisa diselesaikan dengan mekanisme publikasi yang massif dan bertubi-tubi?

Atas apa yang tidak ditampilkan, Never Say Never menghadirkan sejumlah pertanyaan yang tak teralamatkan. Hal ini bisa jadi isu tersendiri bagi sejumlah kalangan penonton, seperti  para guru yang muridnya Beliebers, atau orang tua yang anaknya menggemari Justin Bieber. Mereka jadi tidak tahu apakah Bieber mendapatkan pendidikan yang layak di sela-sela kesibukannya tur. Kecuali pergaulannya dengan para selebritis, tidak ada juga sorotan tentang perkembangan mental Bieber sebagai orang yang populer di usia muda. Selama ini, isu-isu tersebut yang selalu diwanti-wanti setiap ada selebritis muda naik daun, termasuk Justin Bieber sendiri. Masalahnya, Justin Bieber kini tak bisa lagi dilihat sebagai penyanyi pop saja, tapi juga suatu fenomena sosial. Never Say Never jelas akan menjadi acuan banyak orang, termasuk para guru dan orang tua tersebut. Sangat disayangkan film tersebut memilih untuk bermain aman, dan melewatkan kesempatan untuk menjawab sejumlah pertanyaan yang lebih esensial perihal Justin Bieber.

Sesungguhnya, sebagai sebuah film dengan niatan promosi, Never Say Never tidaklah buruk. Film tersebut sukses mengupas sejumlah fakta perihal demam Bieber, dengan cara yang rapi dan menghibur pula. Sayangnya, dalam konteks yang lebih luas, apa yang dicapai oleh Never Say Never adalah konfirmasi atas budaya instan generasi sekarang. Tidak lebih, tidak kurang.

Never Say Never | 2011 | Sutradara: Jon Chu | Negara: Amerika Serikat | Narasumber: Justin Bieber, Miley Cyrus, Sean Kingston, Ludacris, Jaden Smith, Usher