Setan Kredit: Menapaki Ironi Tangga Kelas Sosial

setan-kredit-1982_hlgh

Ciri khas dari komedi Warkop DKI adalah perjalanan misi yang banyak terhadang masalah, komedi slapstick dengan simbol-simbol tertentu, dan sosok wanita yang menjadi pemicu aksi konyol sekaligus heroik para tokoh utamanya. Sepanjang tiga puluh tahun, formula itu terus-menerus digunakan, dan nampaknya dijadikan medium untuk menyampaikan pelbagai isu-isu berbagai kelas dengan cara tersirat yang nyaman dinikmati. Setan Kredit (1981) tak terkecuali.

Setan Kredit dibuka dengan wacana ‘kredit’ yang populer kala itu. Segala aktivitas konsumsi bisa dikredit, tentunya oleh orang-orang gedongan. Terbersit dalam salah satu dialog yang menyatakan kalau kredit itu langka, belum bisa dinikmati semua orang. Dalam film tergambar Indro tinggal di rumah mewah, dan dua sahabatnya Dono dan Kasino yang sedang menginap di rumahnya. Reaksi-reaksi Dono dan Kasino terhadap kemegahan rumah Indro mengindikasikan keduanya duduk sebagai kalangan menengah-ke-bawah.

Mereka bukan sekadar kagum, tapi juga mencela celah dari golongan kelas atas yang mereka hadapi. Celah tersebut justru muncul dari segala kelengkapan fasilitas yang mereka temui. Misalnya, saat Kasino ke rumah Indro dan terkesima betapa besarnya rumah tersebut. Muncul komentar “Rumah kok ruang tamu semua?” Rumah dengan banyak rumah merupakan sesuatu yang asing bagi Kasino. Mencelanya tak saja menjadi cara untuk memahami, tapi juga bentuk kekaguman. Celaan tersebut menjadi sebuah refleksi juga bagaimana kalangan menengah ke bawah ini punya keterbatasan ruang gerak untuk menikmati fasilitas yang tak terjangkau bagi mereka.

Naik Kelas

Bukan berarti protagonis kita diam saja dan tidak berusaha menaiki tangga kelas sosial untuk memenuhi keinginannya. Masalah kredit ini menjadi isu utama yang ingin ditampilkan secara berkala di hampir semua momen. Dalam rumah gedongan yang mewah, ibu Indro terlihat bersenang-senang dengan sistim kredit. Sementara masyarakat kelas bawah, terlihat dari kunjungan trio Warkop ke sebuah pasar, berjubel melakukan transaksi jual-beli ayam untuk kebutuhan pangan sehari-hari dengan sistim kredit. Ada perbedaan yang signifikan dalam penggunaan fasilitas kredit di antara kedua kelas. Kemapanan finansial dianggap begitu penting untuk masuk ke dalam sebuah kelompok sosial yang lebih berada, satu problematika yang Dono dan kawan-kawan coba hadapi dan dobrak.

Ada satu kejadian ajaib dan tak masuk akal yang menjadi satir tentang usaha Dono untuk memasuki kelas atas. Saat Dono berpapasan dengan Lia (Minati Atmanegara) di jalan, Dono mencoba membantu Lia menemukan payungnya yang tertinggal dalam bus. Setelah payung didapatkan, Dono tak sengaja terbawa angin dan terbang berputar-putar dengan payung Lia di atas langit Jakarta. Ia melihat keseluruhan kota Jakarta bahkan lebih tinggi dari Monas, bahkan kesempatan jahil mengintip perempuan yang mandi. Setelah berkeliling di udara, Dono mendarat –anehnya– tepat di kolam renang rumah Lia. Saat itu, ia langsung dipukuli karena dianggap melewati batas teritori rumah orang oleh ayah Lia, tetapi posisinya terselamatkan karena membawa payung Lia yang hilang.

Hal serupa tak terulangi di adegan selanjutnya, ketika Dono mencoba mengambil jalan pintas naik ke kamar Lia dengan sebuah tangga. Dono justru menerima dicerca dan diusir ayah Lia. Usaha-usaha ajaib Dono di adegan sebelumnya terlihat kontras dengan realitas yang ada. Batas nyata si miskin dan si kaya memang tak bisa ditembus.

Makin ditegaskan saat adegan di hutan menjelang akhir film, di tengah perjalanan ketiganya bertemu dengan dukun yang dipercaya bisa memberikan kemudahan urusan kredit ini. Sang dukun pun berujar ibu Indro yang notabene kalangan kelas atas pun meminta dimudahkan kredit oleh dukun tersebut. Munculnya dukun ini seperti bentuk legitimasi kebiasaan klenik masyarakat Indonesia yang mempercayai hal-hal mistis, tak peduli dari kelas mana mereka berasal. Muncul pertanyaan, apakah cara-cara jujur dan tanpa bantuan klenik tak lagi menjadi pilihan?

Menertawai Diri Sendiri

Komedi Warkop sukses menghadirkan tertawaan bagi penonton yang seolah menonton dirinya sendiri dan juga tokoh dalam film yang sebenarnya menertawakan dirinya sendiri. Penonton mungkin merasakan kesatiran dalam komedi yang ironi, bagaimana usaha-usaha yang pernah mereka lakukan untuk menapaki kelas sosial yang lebih ditampilkan di depan mata. Saat itu, lewat tontonan penonton lebih bisa menertawakan tokohnya daripada menertawakan diri sendiri. Kala itu, Jakarta yang saat itu digambarkan begitu lengang memberikan kesempatan bagi siapa saja yang berlomba-lomba menjadi bagian penting lewat status sosial dan juga properti yang dimiliki. Jalanan dan petak tanah seperti ajang eksibisi yang menampilkan status sosial pemiliknya. Tak jarang mereka yang jauh dari peta sosial kelas atas harus berdarah-darah untuk bisa sampai dalam posisi atas tersebut, meskipun kadang hasinya tak sebanding usahanya. Hal inilah yang dikritisi dan memposisikan masyarakat sebagai obyek penderita.

Melihat realita masa kini, rasanya situasinya terasa tidak terlalu berbeda dengan kondisi sosial masyarakat yang digambarkan Setan Kredit. Upaya ‘naik kelas’ masih kerap dilakukan bahkan dengan cara yang lebih massive bahkan melupakan norma-norma sosial yang konon menjadi batasan. Masalah kredit kini bukan lagi soal cara untuk bertahan hidup saja, tetapi menapaki kelompok sosial tertentu dan melegitimasi posisinya di mata kelompok tersebut. Bukan lagi soal liburan atau bahan pangan yang penting dikredit, kosmetik atau perkakas elektronik menjadi ukuran wajib demi sebuah status sosial baru. Tidak heran, konteks menertawakan diri sendiri masih sangat relevan dilakukan di masa modern meskipun dengan cara yang paling primitif.

Mungkin sulit mencari bandingan kekuatan komedi yang relevan hingga saat ini, apalagi yang ditampilkan dalam film Indonesia. Melihat kembali sentilan sosial yang dibangun dalam Setan Kredit, pola sindiran-sindiran tersebut ternyata masih bisa menyentuh berbagai kalangan sampai masa kini. Ketika komedi-komedi Warkop berusaha menyentil semua lapisan masyarakat, pola komedi masa kini justru diminimalisir untuk kalangan tertentu dalam kelas yang tertentu pula. Tidak heran, menikmati komedi Warkop seolah kita dilupakan dengan segala label yang membatasi segala kenikmatan beropini atau bermain-main dengan segala yang mungkin. Dalam dunia Warkop saat itu, komedi serta sindiran bisa menjadi konsumsi kalangan mana saja, yang mungkin juga sudah bergerak ke masa lebih baru.

Setan Kredit | 1982 | Durasi: 90 menit | Sutradara: Iksan Lahardi | Produksi: PT Nugraha Mas Film | Negara: Indonesia | Pemain: Dono, Kasino, Indro, Minati Atmanegara, Lisa Dona, Dian Ariestya

Artikel ini ditulis dalam rangka acara Bulan Film Nasional 2012 (15-31 Maret) yang diselenggarakan oleh Kineforum.