Dalam buku A Lover’s Discourse, Roland Barthes menulis bahwa cinta adalah sebuah diskursus horizontal dalam ranah personal. Maksudnya, cinta merupakan fenomena sentimental, yang terwujud melalui ucapan, perasaan, pemikiran dan tingkah laku seorang individu sepanjang sejarah hidupnya. Cinta dijalani dan ditanggung secara personal, bahkan ketika terlibat dalam suatu hubungan dengan individu lain. Cinta dapat bersinggungan, namun tidak dapat menyebrang ke orang lain. Berdasarkan perspektif Barthes tersebut, status hubungan, mulai dari status di Facebook hingga akte nikah, hanyalah simbol dari kesepakatan antar dua individu. Status hanya menandai dan sampai kapasitas tertentu mengesahkan suatu periode dalam hubungan. Cinta sendiri terus bergejolak dalam hati dan kepala individu, yang mayoritas gejolaknya kerap tidak diketahui pasangan si individu.
Blue Valentine merupakan gambaran yang sempurna dari pemikiran Barthes di atas. Tidak, film karya Derek Cianfrance tersebut bukanlah adaptasi layar lebar dari A Lover’s Discourse. Tidak juga ia bercerita tentang pemikiran Barthes soal cinta, namun ia memiliki narasi yang sejalan dengan pemikiran Barthes di atas, yakni cinta sebagai sebuah diskursus personal. Blue Valentine bercerita tentang tumbuh matinya perasaan sepasang suami istri. Suaminya adalah Dean: seorang tukang cat, yang mulutnya tidak pernah absen dari rokok dan alkohol. Pasangannya adalah Cindy: seorang suster, yang punya aspirasi jadi seorang dokter. Keduanya dianugrahi seorang putri bernama Frankie, yang sepanjang film menjadi area netral dari konflik sentimental kedua orang tuanya. Dia tidak punya pengaruh dan tidak menjadi pertimbangan dalam konflik orang tuanya. Dia hanya mencari teman yang sesuai dengan dirinya. Kebetulan, figur teman yang dicari Frankie ada dalam diri Dean, yang masih merasa muda, walau fisik dan realita di sekitarnya menyiratkan sebaliknya.
Adegan pembuka Blue Valentine menjadi petunjuk tentang apa yang penonton akan hadapi sepanjang film. Terdengar suara Frankie berteriak memanggil-manggil, sementara kamera menyorot objek dan lingkungan di sekitarnya. Segala kemungkinan bisa saja terjadi. Kemudian, Frankie masuk rumah dan membangunkan bapaknya. Barulah, penonton tahu bahwa Frankie sedang mencari anjingnya yang mendadak hilang. Keduanya pun keluar rumah mencari anjing tersebut. Usaha mereka sia-sia. Beberapa adegan kemudian, barulah anjing tersebut ditemukan mati di pinggir jalan, tanpa alasan yang diketahui penonton. Cindy yang menemukan. Dia memberi tahu suaminya, dan hanya bisa mengutuk dirinya sendiri karena sering lupa mengunci gerbang rumah. Dean sendiri tidak memberi tahu Frankie soal kematian anjingnya. Sampai akhir film, Frankie hanya tahu kalau anjingnya “pergi ke Hollywood, main film, dan tidak kembali ke rumah lagi.”
Pencarian anjing yang membuka film menjadi metafor dari pencarian lainnya yang lebih signifikan, yakni pencarian alasan kenapa Dean dan Cindy mendadak bisa mati rasa. Pencarian yang satu ini terjadi dalam ruang dan waktu yang lebih luas. Ruangnya adalah setiap tempat yang jadi saksi mata dari perkembangan kedua protagonis, baik sendiri-sendiri maupun bersama. Waktunya adalah sejarah hidup keduanya, yang dinarasikan bolak-balik antara masa lalu dan waktu sekarang.
Penceritaan semacam itu jelas diterapkan Cianfrance agar penonton membandingkan keadaan sekarang dengan masa lalu, dimana kedua protagonis mengalami emosi yang berbeda di masing-masing periode waktu. Namun, menarik untuk mencatat apa yang Cianfrance tidak tampilkan. Dia tidak menampilkan periferi standar macam teks “lima tahun sebelumnya” untuk menunjukkan kejadian-kejadian masa lampau. Adegan putus sambung begitu saja. Dalam satu adegan, penonton melihat Dean dan Cindy menyanyi dan menari di depan sebuah toko. Adegan berikutnya, penonton mengamati Dean dan Cindy adu mulut di sebuah kamar motel. Satu-satunya petunjuk adalah fitur fisik kedua protagonis.
Cianfrance juga tidak memberi banyak informasi kepada penonton perihal kejadian dan orang di sekitar kedua protagonis. Kamera secara obsesif menyorot wajah dan gestur masing-masing protagonis dan mengaburkan sekitarnya. Hanya beberapa kali kamera menempatkan keduanya secara utuh dalam satu bingkai. Saat hal tersebut terjadi, kamera mundur dan menyorot keduanya dari jarak yang netral. Gaya visual tersebut menempatkan kedua protagonis dalam bingkainya masing-masing, dan mengajak penonton untuk melihat hubungan mereka dari perspektif masing-masing protagonis.
Di satu sisi, perspektif sempit yang Blue Valentine usung berpotensi mengaburkan alasan kenapa Dean dan Cindy mati rasa. Narasi film hanya menyajikan awal dan akhir hubungan mereka, tanpa banyak menginformasikan penonton tentang apa yang terjadi di antaranya. Tidak ada asosiasi yang dapat penonton buat antara konflik personal kedua protagonis dengan lanskap sosial di sekitar mereka. Realita kedua protagonis sebagai kelas pekerja diceritakan sambil lalu, mengingat kamera lebih terobsesi dengan mimik dan gestur muka. Penonton pun hanya dapat mengasosiasikan kekecewaan sekarang dengan kebahagian protagonis di masa lalu. Singkatnya, penonton hanya dapat mengidentifikasi masalah dari sejarah perasaan masing-masing protagonis.
Di sisi lain, sempitnya perspektif narasi film menjadikan Blue Valentine sangat terbuka bagi penontonnya. Sampai kapasitas tertentu, film tersebut bisa jadi terapi tersendiri bagi penontonnya. Kekosongan badan narasi film memungkinkan penonton untuk mengisi dengan imajinasinya sendiri, bahkan pengalaman pribadi. Dean dan Cindy pun menjadi penubuhan sinematik dari kegagalan hubungan yang mungkin pernah dialami penontonnya. Muatan emosi Blue Valentine berarti tidak terletak pada ceritanya, tapi pada relasinya dengan penonton. Pada pembacaan ini, Cianfrance patut bersyukur memperoleh pelakon laki-laki dan perempuan yang mumpuni. Dalam diri Ryan Gosling dan Michelle Williams, Cianfrance punya dua orang yang secara meyakinkan memerankan sepasang suami istri di bawah tekanan batin. Gosling berevolusi dari pemuda yang secara konyol bernyanyi dan main ukulele waktu muda, menjadi laki-laki yang merasa cukup menjadi suami seseorang dan kesulitan mempertahankannya. Sementara Williams berubah dari pemudi bahagia pasca bertemu dengan seorang pemuda berprinsip, menjadi perempuan pekerja yang bosan dengan kehidupan suaminya yang mentok di situ-situ saja.
Resep visual yang Cianfrance rumuskan jelas mendukung talenta pelakonnya dan, lebih pentingnya, mendukung narasi film secara keseluruhan. Seperti pemikiran Barthes di awal tulisan ini, cinta dalam Blue Valentine adalah sebuah diskursus horizontal dalam ranah personal. Perasaan Dean dan Cindy mulai dari tempat yang tinggi di awal hubungan mereka, lalu turun hingga titik jenuh di akhir hubungan mereka. Keduanya tidak saling tahu kenapa mereka bisa mati rasa pada satu sama lain. Mereka sama-sama mencari ke masa lalu mereka, tapi juga tetap tidak tahu kenapa. Kehancuran pernikahan mereka menjadi gambaran dari kegagalan persinggungan perasaan keduanya. Masing-masing dari mereka akhirnya pergi, sambil mencoba mengingat kembali arti dari setiap pernyataan cinta yang pernah mereka ucapkan. Penonton pun pulang dengan renungan bahwa pernyataan “aku mencintaimu sebesar aku pertama kali mencintaimu” dan “aku mencintaimu sama seperti aku pertama kali mencintaimu” itu berbeda.
Blue Valentine | 2010 | Sutradara: Derek Cianfrance | Negara: Amerika Serikat | Pemain: Ryan Gosling, Michelle Williams, Faith Wladyka, John Doman, Mike Vogel