Film Soekarno dan Ketergesaan Hanung Bramantyo

soekarno-ketergesaan-hanung_hlgh

“Tidak seorang pun dalam peradaban modern ini yang menimbulkan demikian banyak perasaan pro-kontra seperti Sukarno. Aku dikutuk seperti bandit dan dipuja bagai dewa.” –Dikutip dari buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia

Sukarno: tokoh pemberontak radikal Hindia Belanda, pejuang kemerdekaan yang heroik, pemikir, seniman, penulis besar. Melebihi itu semua, Bung Karno merupakan tokoh dunia yang mengajak negeri-negeri jajahan di seluruh dunia untuk menjemput dan merebut kemerdekaannya. Bagi Bung Karno, Revolusi Agustus 1945 di Indonesia haruslah menjadi inspirasi bagi gerakan kemerdekaan negeri jajahan lainnya di seluruh dunia. Ambisi universalitas Revolusi Agustus di indonesia melebihi obsesi Revolusi Bolshevik di Uni Soviet (kini Rusia). Para sarjana menyebut langkah politik Bung Karno yang ambisius ini dengan nama Politik Mercusuar.[1]

Sayangnya, Hanung Bramantyo gagal menggambarkan sosok Bung Karno dalam film Soekarno: Indonesia Merdeka (2013).[2] Film produksi Multivision Plus, Mahaka Pictures, dan Dapur Film ini rasanya begitu menyederhanakan peran Bung Karno sebagai salah seorang tokoh pendiri bangsa Indonesia, baik dalam pemilihan alur cerita maupun montase gambar sepanjang film. Kita semua tahu, Revolusi Agustus bukan hanya peran Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir belaka. Ada tokoh lain yang tak kalah penting dalam detik-detik menuju Proklamasi kemerdekaan, yakni Tan Malaka. Ia yang memobilisasi massa dalam rapat raksasa di lapangan IKADA (kini, lapangan Monas).

Lebih dari itu, ada lima kekurangan mendasar dalam Soekarno garapan Hanung Bramantyo ini. Pertama, fase Sukarno Kecil. Dalam film, Sukarno kecil digambarkan sebagai anak Priyayi Jawa bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo (diperankan dengan baik oleh Sudjiwo Tedjo). Sekilas tak ada yang salah dalam hal ini. Namun, apabila diamati lebih lagi, penggambaran ibu kandung Sukarno, bernama Ida Ayu Nyoman Rai, yang terkesan “orang Jawa” adalah keliru. Pada 1962, di hadapan Muktamar Muhammadiyah di Jakarta, Bung Karno mengatakan, “Ibu, meskipun beragama Islam asal daripada agama lain, adalah orang Bali. Bapak, meskipun beragama Islam, beliau adalah beragama, jikalau boleh dinamakan agama, theosofi.”[3]

Kemudian, kesalahan pembuat film menggambarkan Sukarno Kecil berlanjut ketika Sukarno sedang berpacaran dengan Mien Hessels, seorang gadis Belanda yang juga teman sekolah Sukarno. Ketika Sukarno Kecil berduaan dengan Mien di pinggir sungai, tiba-tiba ayahnya melempar sandal ke arah Sukarno serta memarahinya seraya menyuruhnya mengembalikan sepeda ayahnya. Adegan ini menjadi janggal karena Mien Hessels dikenal oleh Sukarno justru ketika ia bersekolah di Surabaya pada tahun 1916. Sedangkan ayahnya, waktu itu, tinggal dan bertugas di Mojokerto.[4] Artinya, saat itu Sukarno kecil sudah indekost di rumah HOS Tjokroaminoto.

Aspek lain dalam cerita Sukarno Kecil yang perlu dikritisi adalah mengenai rumah kost Hadji Omar Said Tjokroaminoto di Surabaya. Dalam film, rumah Tjokro digambarkan sebagai rumah tempat pergulatan ide-ide besar dan kawah pembelajaran bagi semua anak muda yang berdiam di sana, seperti Musso, Kartosoewirjo, dan Semaun. Nama terakhir adalah tokoh yang memperkenalkan Sukarno pada ide-ide Marxisme. Sekilas memang tak ada yang salah di sini pada rangkaian adegan ini. Tapi sesungguhnya absen seorang tokoh penting: Oetari, anak dari HOS Tjokroaminoto, yang menjadi pasangan Sukarno ketika beliau menikah untuk pertama kalinya pada 1921. Padahal menikah, apalagi untuk kali pertama, adalah salah satu keputusan besar dalam hidup. Kebingungan, pergulatan, dan pertimbangan memutuskan menikah dengan Oetari adalah sesuatu yang juga penting untuk mengetahui kematangan dan kedewasaan sikap Bung Karno, yang notabene sedang mengalami transisi dari fase anak-anak menuju dewasa.

Kedua, fase Sukarno Dewasa. Dalam film, ketika Bung Karno di Bandung, ia digambarkan sebagai eksil dan juga suami dari Inggit Garnasih (diperankan Maudy Koesnaidi). Sang istri selalu merawat dan menemani Bung Karno. Memang, bagian ini penting bagi perjalanan hidup Bung Karno, termasuk adegan ketika Bung Karno membacakan pledoinya yang terkenal dengan nama Indonesia Menggugat. Tapi ada yang luput di sini, yakni perkembangan, pergulatan, dan pergolakan pemikiran Bung Karno. Nyatanya, sikap dan ideologi beliau tidak serta-merta muncul begitu saja—begitu banyak peristiwa dan pertemuan yang pada akhirnya membentuk Bung Karno jadi tokoh yang kita kenal sekarang.

Apabila kita runut dari awal 1920 hingga Agustus 1930, hingga pembacaan pledoi Indonesia Menggugat, ada tiga kejadian penting yang sepantasnya masuk dalam narasi film. Pada 1921, Bung Karno diterima di Technische Hooge School (kini Institut Teknologi Bandung). Pada masa-masa itu beliau berkenalan dengan Ernest Francois Douwes Dekker atau Dr. Setiabudi, yang memperkenalkannya dengan ide-ide nasionalisme sekuler.[5] Lalu, pada 1926, terbit artikel Bung Karno yang cukup berpengaruh: Nasionalisme, Islam, dan Marxisme.[6] Gagasan itu menjadi obsesi Bung Karno hampir sepanjang hayatnya, bahkan setelah Indonesia merdeka sekalipun. Berikutnya, pada 28 Oktober 1928, terjadi peristiwa Sumpah Pemuda, yang juga menjadi momen pertama kalinya lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan. Peristiwa ini terhitung krusial dalam membuka jalan menuju proklamasi kemerdekaan. Revolusi Agustus yang lantang dipekikkan Bung Karno takkan bisa terjadi tanpa adanya Sumpah Pemuda.

Ketiga, penggunaan bahasa. Dalam membuat film, terutama film berlandaskan sejarah, unsur make-believe atau reka-percaya harus dibangun dengan cermat. Penggunaan bahasa tak terkecuali. Dalam Soekarno, ada adegan ketika Sukarno (diperankan Ario Bayu) membicarakan kegundahannya akan orang-orang yang mengkritik manuvernya berkolaborasi dengan Jepang, terutama terkait perkara Romusha. Dalam dialog itu, Bung Karno menggunakan kata ‘nyinyir’ untuk menjelaskan sikap para pengkritiknya. Di adegan lain, ada juga penggunaan kata ‘keukeuh’. Apabila kita bandingkan dengan film sejarah lain, semisal Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C Noer pada 1984, penggunaan bahasa dalam film itu lebih mencerminkan miliu atau era 60an, semacam “baiklah, kalau begitu” bukan “ya udah deh” atau “ya sudahlah” (terlepas dari kita setuju atau tidak dengan isi filmnya). Dalam film Soekarno, Hanung sebenarnya sudah mencoba menyesuaikan penggunaan bahasa yang sesuai dengan era 40an pada penyebutan akhiran ‘kan’ jadi ‘ken’, dari ‘laksanakan’ jadi ‘laksanaken’. Upaya Hanung ini memang perlu diapresiasi, tapi penggunaan kata ‘nyinyir’ oleh Bung Karno pada tahun 40an rasanya tidak tepat.

Keempat, slogan dan glorifikasi. Masih mengenai unsur miliu atau kontekstualisasi zaman. Dalam Soekarno, Hanung mencoba mengglorifikasi Bung Karno dan Bung Hatta secara berlebihan, lewat sejumlah adegan yang menunjukkan betapa rakyat begitu mengelu-elukan Bung Karno dan Bung Hatta dengan teriakan “Hidup Bung Karno!” atau “Hidup Bung Hatta!”. Memang tidak ada yang salah dengan slogan-slogan tersebut, tapi slogan yang populer atau salam perjuangan yang kuat pada waktu itu adalah teriakan “Merdeka!”. Menariknya, sepanjang film, tak terdengar sekalipun teriakan itu, baik ketika adegan rapat-rapat di Volksraad, pidato Indonesia Menggugat, maupun pidato-pidato Bung Karno lainnya. Mungkin Hanung takut bahwa teriakan “Merdeka!” bisa menjadi tendensi terhadap salam salah satu partai politik kita, yakni PDI Perjuangan. Padahal, teriakan “Merdeka!” bukan hanya milik PDI Perjuangan saja. Malahan, saat awal-awal pembentukan negara, teriakan “Merdeka!” oleh MPR RI ditetapkan sebagai salam nasional.

Kelima, lemahnya karakter pemain. Dari semua pemain utama —Bung Karno (diperankan Ario Bayu), Bung Hatta (Lukman Sardi), Bung Sjahrir (Tanta Ginting), Inggit Garnasih (Maudy Koesnaedi), dan Fatmawati (Tika Bravani), dan Sakaguchi (Ferry Salim)— mungkin hanya Lukman Sardi yang saya rasa cukup baik dalam melakoni perannya: Bung Hatta. Kuat atau tidaknya dari pendalaman karakter ini bisa kita bandingkan misalnya dengan film biografi lain semisal film The Iron Lady. Pada film karya Phillyda Lloyd pada 2011 itu, Meryl Streep begitu kuat memerankan Margaret Thatcher dalam kisah cintanya dengan suaminya (diperankan Jim Broadbent). Di saat yang sama, cerita mengenai kuatnya kebijakan-kebijakan Thatcher selama menjadi perdana menteri juga disajikan dengan perdebatan dan adu argumen yang kuat. Lalu, jika kita bandingkan dengan adegan perdebatan dasar negara Indonesia antara kaum Islam dan Nasionalis yang begitu instan itu dalam Soekarno, rasanya Hanung Bramantyo masih jauh dari kematangan penuturan yang sejatinya penting dalam film-film biografi.

Beberapa kelemahan dalam Soekarno ini saya rasa berasal dari ketergesaan dan lemahnya riset yang dilakukan Hanung. Jika kita berkaca dari film-film sejenis yang berhasil meraih Oscar, langkah pertama yang paling logis untuk ditempuh dalam memfilmkan sosok sebesar Bung Karno adalah melakukan riset yang kuat dan ketat. Bahkan, jika risetnya sendiri akan memakan waktu yang lama, ya lakukan saja. Tidak perlu tergesa-gesa, toh film besar selalu memakan riset yang lama, bahkan ada yang sampai sepuluh tahun. Tapi di atas itu semua, upaya Hanung dalam memperkenalkan dan menceritakan tokoh-tokoh bangsa selama ini dalam bentuk film, di tengah-tengah ketidakpedulian negara terhadap sejarah bangsanya sendiri, perlu diapresiasi dan diacungi jempol.

Soekarno: Indonesia Merdeka | 2013 | Sutradara: Hanung Bramantyo | Negara: Indonesia | Pemain: Ario Bayu, Lukman Sardi, Maudy Koesnaedi, Tika Bravani, Tanta Ginting, Ferry Salim


[1] Dr. Nazarudin Sjamsuddin (ed), Soekarno: Pemikiran Politik dan Kenyataan Praktek, (Jakarta: Rajawali,1988), hal. 95.

[2] Film ini pertama kali tayang di bioskop pada 11 Desember 2013 karya sutradara Hanung Bramantyo.

[3] Cindy Adams, Sukarno, An Autobiography as told to Cindy Adams, (New York: The Bobbs Merryl Companu.Inc. 1965). Hal. 23.

[4] Kapitsa M.S & Maletin N.P, Soekarno: Politicheskaya Biografiya, (Moskva: Msdl, 1980). Hal. 13

[5] Majalah Tempo, edisi khusus Douwes Dekker.

[6] Ir. Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, (Jakarta: Panitya penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1965). Hal.1-23