Soegija: Bukan Sejarah, Hanya Fantasi

soegija_highlight

I

Dalam film The Founding of a Republic, ada sebuah adegan anakronis yang jauh melampaui jamannya. Alkisah, di tengah long march ribuan kilometer Mao Tse Tung kehabisan rokok. Seorang anak buahnya cepat-cepat mencarikannya stok tembakau entah dimana—sebuah kebutuhan mewah di masa gerilya, tentunya. Apa komentar pertama Ketua Mao setelah satu pak rokok sampai di tangannya? Dialognya agak panjang, tapi kira-kira bunyinya begini: “Di masa depan kita harus buka industri tembakau, harus ada pabrik rokok dimana-mana.” Arti komentar itu bisa macam-macam, tapi yang jelas The Founding of a Republic disponsori besar-besaran oleh pemerintah RRC untuk merayakan dirgahayu pendirian republik di tahun 2009, di tengah industrialiasi Cina yang digenjot gila-gilaan dan kebijakan ekonominya yang semakin kapitalis. Tapi bukankah Mao Tse Tung mendirikan sebuah republik sosialis? Sejarah berkata demikian, tapi apalah peduli birokrat-birokrat Partai sekarang.

Pada saat bersamaan, orang pun harus bertanya: sosok Mao di periode mana yang cocok dengan kebijakan Partai Komunis Cina hari ini?

Penceritaan kembali kehidupan tokoh besar dalam sejarah senantiasa harus menjawab pertanyaan ini. Alasannya sederhana saja, mereka tidak satu dimensi, bisa berubah sikap seiring waktu berjalan. Asalkan didasari alasan yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan, seleksi atas bagian mana yang harus ditafsirkan ulang dan didedah dalam narasi akhirnya tidak bisa dihindari. Tanpa itu batasan antara interpretasi sejarah dan fantasi sejarah pun kabur. Pertanyaan yang sama bisa ditujukan untuk film Soegija: Soegijapranata mana yang mau diangkat Garin?

Inilah yang tidak terjawab dalam Soegija. Tapi mungkin Soegija memang tidak berangkat dari pertanyaan semacam itu. Sosok Soegijapranata dalam Soegija lebih mirip padri Katolik dari jaman kita yang dikirim ke masa lalu untuk mengomentari permasalahan-permasalahan sosial kita sekarang ini, mulai dari minoritas yang dianiaya sampai politisi korup. Selama dua jam pula, kita menyaksikan warga Tionghoa yang terus dijarah di jaman revolusi, dua pasangan yang gagal bercinta hanya karena perbedaan rasial, serta prajurit-prajurit beringas yang ternyata berhati lembut dan bosan berperang. Komentar-komentar dalam Soegija secara implisit menyatakan bahwa konflik-konflik serupa terus berulang di kemudian hari. Sayangnya, humanisme sentimentil Soegija gagal mengangkat konflik-konflik tersebut sesuai konteks yang spesifik di jamannya, sehingga perbandingan-perbandingan antara masa lampau dan masa sekarang kosong belaka.

Itu sebabnya Soegija lebih mirip fantasi sejarah, sekadar proyeksi mentah tentang hal-hal yang sekarang kita alami.

II

Albertus Soegijapranata, uskup pribumi pertama Indonesia itu, adalah seorang priyayi kecil Jawa yang dibaptis sebagai Katolik di usia 13 tahun. Salah satu gurunya, van Lith, dikenang sebagai pastor anti-kolonial pertama, anggota Volksraad, dan teman baik Husni Thamrin, berlawanan dengan mitos-mitos umum di jaman itu bahwa Kristen sama dengan penjajah. Dalam bukunya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Minorities, Modernity and the Emerging Nation: Christians in Indonesia, a Biographical Approach (2003) Gerry van Klinken mencatat beberapa fakta penting tentang hubungan antara Soegija, Gereja Katolik di Indonesia, dan kaum Republikan. Konon Gereja tidak terlalu simpatik dengan kaum Republikan di masa Revolusi Fisik. Trauma revolusi di Meksiko dan Perang Sipil di Spanyol yang menyebabkan gereja-gereja dijarah dan padri-padrinya dibunuh sudah cukup menjelaskan ketidaktegasan Gereja Katolik di Indonesia pada jaman itu; terlebih lagi, catat Klinken, garis politik dan retorika kaum Republikan cenderung kekiri-kirian. Sikap umum hirarki Katolik waktu itu direpresentasikan oleh Monsinyur Willekens, pemegang Vikariat Apostolik di Jakarta, yang masih memandang Republik sebagai problem keamanan bagi Belanda, tapi tidak bisa membayangkan apa yang bisa diperbuat orang Katolik Indonesia dalam masa-masa khaos. Ia masih berkeyakinan bahwa mereka menjadi Katolik karena Belanda dan sudah semestinya melayani Belanda.

Posisi Soegija unik. Ia paham betul jika dunia sudah berganti rupa. Kolonialisme rontok di mana-mana dan Perang Dunia II melahirkan negara-negara baru di Asia dan Afrika. Tapi sikap politik Soegija tidak melulu sejalan dengan pemuda-pemuda Republikan. Visi politiknya bukan “liberté, egalité, fraternité—ou la mort”, satu slogan yang selalu membuat hirarki gereja-gereja di Eropa gemetar, melainkan sebuah politik yang didasari noblesse oblige: suatu kesediaan moral bagi mereka yang kuat untuk mengambil jalan hidup asketis demi menolong yang lemah dan miskin. Dalam praktiknya, sekalipun komitmen dan simpati personalnya kepada Republik sangat besar, ia jauh dari radikalisme gaya pemuda Republikan; ia mengambil langkah-langkah yang dirasa perlu untuk menahan ekses-ekses kekerasan yang sulit dihindari dalam revolusi, ia juga harus meyakinkan hirarki Katolik yang waktu itu masih didominasi pastor-pastor Belanda agar mau menerima Republik. Situasi yang dihadapinya serba sulit, tapi berhasil diatasi dengan diplomasi yang ulung.

Sayangnya, untuk seseorang yang pernah mencetuskan semboyan “100% Katolik 100% Indonesia”, gambaran-gambaran di atas tidak hadir dalam Soegija, seolah-olah hirarki Katolik begitu saja merestui berdirinya republik, seolah-olah tidak ada perbedaan pandangan antara Soegija dan pentolan-pentolan republik, dan seolah-olah Soegija adalah manusia paripurna yang lahir tanpa kontradiksi-kontradiksi internal dalam dirinya. Yang kita jumpai di sini adalah Soegija yang steril dari situasi-situasi konkret pada jamannya.

III

Tapi apa salahnya sedikit menghiraukan sejarah demi penyampaian pesan-pesan moral secara efektif? Bukankah kita butuh gambaran yang meyakinkan tentang persatuan nasional di masa lalu agar terus diingat dan memberi penegasan bahwa bahwa republik tidak hanya didirikan oleh dan untuk orang Jawa dan Muslim?

Masalahnya, cara yang sama digunakan oleh Orde Baru selama bertahun-tahun. Dalam film-film sejarah berlatar Revolusi Fisik misalnya, nyaris tidak pernah ada gambaran tentang milisi-milisi dan laskar-laskar dalam kubu Republikan yang saling cekcok dan berebut rampasan perang; tidak pernah pula ditunjukkan perbedaan-perbedaan ideologis mereka, seolah-olah sejak awal sudah satu. Lebih khusus lagi, sebetulnya sampai level tertentu ada pula penekanan keragaman etnis dan agama dalam film-film perang Orde Baru. Tapi perlu diingat pula bahwa yang ditekankan bukan perbedaan politik. Artinya, ketika menampilkan perbedaan-perbedaan kultural yang luas, Orde Baru justru menafikkan keragaman visi bagaimana perbedaan itu harus dikelola dalam sebuah proyek politik. Dengan kata lain, “multikulturalisme” Orde Baru adalah multikulturalisme yang terdepolitisasi. Itu sebabnya sinema Orde Baru gemar meromantisir tema persatuan di masa perang namun tak pernah bertutur tentang kondisi pasca-Revolusi Fisik, karena pada fase itulah perbedaan-perbedaan, sebagai fakta sosial, diartikulasikan ke dalam berbagai macam tendensi politik yang saling bertarung, mulai dari Islamis, Nasionalis hingga Komunis–semua punya jawabannya masing-masing untuk merespon perbedaan.

Demikian, keragaman budaya, bangsa dan agama yang ditampilkan Garin dalam Soegija (yang bahkan bisa muncul di setiap frame) masih sekadar mengafirmasi fakta sosial bahwa kita berbeda—dan pernah berjuang bersama. Soegija tidak mengeksplorasi lebih jauh bagaimana perbedaan-perbedaan itu bisa diterjemahkan secara politis. Tentu akan lebih problematis jika Soegija mengambil latar pertengahan tahun 1950-an misalnya, ketika perbedaan politis antara Soegija dan kelompok Komunis mulai meruncing. Lebih substansial, tapi tentunya fantasi persatuan tidak akan seindah semasa perang.

Tapi tak usahlah buru-buru ke sana. Satu hal yang menonjol ketika figur seperti Monsinyur Soegijapranata diangkat ke layar adalah diplomasi, tapi anehnya tak satu pun nampak pertentangan soal taktik dan prinsip antara pemuda-pemuda yang memanggul senjata dan Soegija. Diplomasi dan senjata seolah senantiasa berjalan seiring. Lebih jauhnya lagi, diplomasi—satu topik yang tak pernah muncul dalam film-film sejarah Indonesia—pun tak dituturkan lebih lanjut, seolah-olah tak ada konflik di balik meja perundingan. Maka, diplomasi dalam film Soegija seperti perjuangan bersenjata dalam film-film Orde Baru: senantiasa sejalan dan tanpa konflik internal. Masalah film Soegija masih sama seperti film-film sejarah Indonesia kebanyakan, terjebak pada kultus.

Singkatnya, melalui penceritaan seperti ini, seakan-akan Soegija mau jujur tentang kondisi Indonesia sekarang, tapi tidak tentang masa lampau. Bukan tidak mungkin jika strategi penuturan semacam itu justru bakal mengonfirmasi rumor-rumor keblinger bahwa Soegija adalah “film dakwah”.

IV

Kita namai itu dislokasi: proyeksi masa kini atas masa lalu (atau proyeksi dari kondisi kita sekarang ke masa depan yang dekat). Sederhana saja: mungkin lebih aman dan leluasa untuk membicarakan masalah-masalah yang kita hadapi sekarang dengan mengopernya ke masa lalu atau ke tempat lain. Film-film tentang bencana alam (dari Volcano sampai Dante’s Peak), zombie, dan kiamat selalu menonjolkan solidaritas dan aksi heroik segelintir manusia di tengah situasi yang khaos, penjarahan, keserakahan, dan pemerintahan yang impoten. Jika kerangka naratif tentang bencana, zombie, dan skenario keramat itu dilepas, segala kekerasan dan hal-hal yang tidak mengenakkan itu kelihatan sangat masa kini, toh? Mungkin kita hanya kecewa karena momen-momen solidaritas massal justru absen ketika dibutuhkan tapi sulit mengungkapkannya dalam konteks kenyataan hari ini.

Di masa Suharto, negara tahu jawabannya: bikin saja film perang. Jawaban kita sekarang? Entahlah

Soegija | 2012 | Sutradara: Garin Nugroho | Negara: Indonesia | Pemain: Nirwan Dewanto, Annisa Hertami, Wouter Zweers, Wouter Braaf, Nobuyuki Suzuki, Olga Lydia, Butet Kartaredjasa, Hengky Soelaiman, Andrea Reva, Rukman Rosadi, Andriano Fidelis