Sinema Kita, Sinema Ketiga, Sinema Dunia

wacana-sinema-kita-sinema-ketiga-sinema-dunia_hlgh

Pertanyaan pertama: bagaimana posisi sinema Indonesia ketika dikaitkan dengan peta sinema dunia? Yang saya maksud dengan sinema dunia bukanlah rantai pemutaran film, melainkan sinema dunia sebagai emblem yang senantiasa bersangkutpaut dengan globalisasi atawa kapitalisme global. Pertanyaan tentang film Indonesia dalam kaitannya dengan sinema dunia sudah saatnya sekedar melampau sekedar tataran pemutaran (konsumsi, santap-menyantap film, dulu-duluan premier, go international). Sekarang kita harus kembali pada takdir film sebagai produk absolut kapitalisme dan –meminjam wejangan Ustad Alain Badiou– “the face of the contemporaries.” Apa maknanya? Maknanya adalah bahwa pembacaan terhadap film tak akan pernah bisa dilepaskan dari pembacaan terhadap kapitalisme sebab film adalah anak kandung kapitalisme.

Mungkin kedengarannya saya terlalu gegabah dan tergesa mengambil kesimpulan. Mungkin saja. Toh, dari pertanyaan saya saja sepertinya sudah bermasalah, sebab istilah “sinema Indonesia” bisa saja menjebak banyak orang ke dalam imaji-imaji tentang national cinema, sesuatu yang sama sekali bukan yang saya maksud. Anda pernah dengar, kan? Kalau national cinema di Indonesia sebenarnya merujuk pada sinema seturut saran rezim Orde Baru? Terlepas dari benar atau tidaknya anggapan itu, yang jelas yang saya maksud bukan itu.

Kenapa sih tulisan ini loncat-loncat ke sana ke mari? Alasan saya sederhana, saya cuma ingin menunjukkan lubang-lubang, keragu-raguan yang sekiranya bisa kita tutup dengan artikel-artikel terlampir di bagian bawah halaman ini. Saya cuma ingin mengajak kita semua datang ke pengajian. Bukankah keraguan adalah modal terbesar untuk datang ke pengajian?

Terkait pertanyaan saya di atas, kami sajikan bacaan bergizi karya Paul Willemen mengenai kaitan sinema dengan kapitalisme dan bagaimana kita bisa kabur dari kungkungan sinema nasional yang telah sedemikian kejamnya membatasi analisa-analisa dan afeksi-afeksi kita sehabis menonton sebuah film, baik itu film Indonesia, film Malaysia, film Sierra Leone, maupun film Guatemala. Bisakah kita menghubungkan film satu dengan film lain dari daulat berbeda tanpa harus menyinggung negara sebagai variabel? Kalau menurut Willemen, bisa. Sebab yang memungkinkan pertemuan sinema satu dengan sinema yang lain adalah modal (capital) yang sifatnya universal, yang sejatinya adalah ibu kandung sinema itu sendiri. Dari artikel ini kita bisa telusuri kemungkinan lain dalam menempatkan sinema Indonesia dalam peta sinema dunia tanpa harus gusar pada pertanyaan semacam “Kenapa sih film Indonesia tidak sekeren film negara X?”, sebab bacaan ini menegaskan bahwa pertanyaan sebenarnya jauh lebih menantang daripada itu.

Lalu bila tidak tentang negara, lantas tentang apakah sebenarnya film Indonesia? Menurut Fredric Jameson, yang tulisannya terlampir pula di bawah, karya seni dunia ketiga selalu berkisar di seputar “orang-orang.” Ketika kita membaca Jameson, tentunya kita tak boleh melupakan bahwa konsep “orang-orang” disana bukan hanya sekedar memotret orang Indonesia dan tring! Film Indonesia! Melainkan harus melihat konsep “orang-orang” sebagai sebuah figurasi yang, dalam bahasa Jameson, menjadi pemersatu vertikal (vertical integrator) antara orang-orang tersebut dengan momen-momen tertentu dalam sejarah. Dengan kata lain, memotret orang-orang berarti juga memotret momen-momen historis yang berlaku padanya. Pertanyaan yang tepat tentu bukan lagi yang bernada menghakimi semacam, “Kok film Indonesia belum bisa seperti itu, ya?” Belum tentu. Apakah sempeyan menonton semua film Indonesia?

Tulisan Fredric Jameson mengambil tulisan penulis Cina Lu Xun sebagai studi kasus. Yang paling penting adalah bagaimana teknik kritik yang dilakukan Jameson. Dengan sastra sebagai studi kasus, Jameson bergerak melampaui kritikus picisan yang kerjaannya cuma menyalahkan seniman (dalam kasus kita: pembuat film): pembuat film kurang referensi-lah, pembuat film tidak cerdas-lah, dan segala macam, menuju ke teknik membaca yang menempatkan orang-orang sebagai pemersatu vertikal dengan momen-momen tertentu dalam sejarah orang yang bersangkutan. Bagi saya, ada dua hal yang bisa dibaca dari momen historis ala Jameson. Pertama adalah momen historis produksi orang-orang dalam film (karakterisasi, castingstardom, dan sebagainya), dan yang kedua adalah momen produksi narasi sejarah yang berlaku atas figur yang diperankan. Sebagai contoh, berbagai debat yang berlangsung di seputar film Soekarno yang dirilis baru-baru ini selalu berputar di antara debat dua momen produksi ini (termasuk yang ditulis oleh Akhi Irfan Rizki Darajat dan Akhi Sa’duddin Sabilurrasad di Cinema Poetica). Perdebatan ini penting, tapi juga sangat sulit. Di sinilah pentingnya membaca artikel Jameson sebagai bekal inspirasi untuk berdialog lebih lanjut. Jameson bisa jadi memang tidak bisa menjawab selisih antara dua momen produksi itu (sesuatu yang banyak dikritik oleh para pembaca Jameson), tapi setidaknya lewat artikelnya, kita bisa memafhumi keberadaan dua variabel tersebut dalam memafhumi  modus pemotretan dan pembacaan “orang-orang” dalam film.

Pertanyaan selanjutnya: lantas kenapa saya tiba-tiba bicara tentang dunia ketiga? Apakah saya merekomendasikan pembacaan atas sinema Indonesia untuk melampaui variabel negara dan lantas menggunakan dunia ketiga sebagai ukuran? Untuk sementara, jawaban saya adalah: ya. Alasannya: dunia ketiga adalah variabel yang senantiasa dengan aktif berdialog dengan kapitalisme global yang juga adalah penanda universalitas sinema. Anda mungkin pernah dengar istilah third cinema. Dalam perdebatan tentang third cinema, orang terus bicara tentang apa sebenarnya rujukan dari kata third tersebut. Apakah ia merujuk pada dunia ketiga? Apakah ia merujuk pada kelas periferal? Apakah ia merujuk pada pada konteks perang dingin sebagaimana yang dirumuskan pada Konferensi Bandung 1955? Apakah sinema ketiga yang dimaksudkan oleh sineas macam Octavio Getino, Mrinal Sen, dan Ousmane Sembene adalah sinema ketiga yang sama? Berdialog tentang pertanyaan-pertanyaan semacam ini, dalam penerawangan saya, niscaya bisa membawa kita pada krusialnya usaha untuk menempatkan sinema kita dalam sinema dunia bukan “dalam sistem operasi kapitalisme,” melainkan “dalam dialognya dengan sistem operasi tersebut.” Untuk memulai, terlampir sebuah refleksi atas kelahiran konsep third cinema yang secara ringkas dan manis ditulis oleh Nicola Marzano. Sengaja saya lampirkan tulisan ini bersama dengan manifesto asli sinema ketiga yang ditulis oleh Octavio Getino dan Fernando Solanas sebab akan sangat baik bila kita bisa melihat fenomena ini dari konteks yang “kini” dan “di sini” sebagai pembacaan berjarak atas konteks perjuangan sosialisme Amerika Latin yang sangat spesifik, berbeda, tapi berguna bagi konteks kekinian dan kedisinian.

Marzano memusarkan perhatiannya pada sinema ketiga di Amerika Latin dan Afrika. Yang penting untuk kita baca dari tulisan Marzano adalah bunga serampai kelahiran dan proses tumbuh kembang sinema ketiga di kampung halaman mereka. Setelah itu, mari kita tarik konsep ini ke dalam konteks tetangga kita yang selangkah lebih mirip dengan kita: Filipina. Adalah tulisan Antonio Sison tentang film Perfumed Nightmare (1977) yang menjadi tema kita kali ini. Dalam tulisannya, Antonio Sison menggunakan elemen-elemen dalam Manifesto Getino  dan Solanas sebagai tolok ukur dalam proses klasifikasi film Perfumed Nightmare sebagai  salah satu karya legendaris sinema ketiga. Akan tetapi, Sison menghindari fanatisme terhadap manifesto Getino dengan menambahkan elemen katolisisme, sesuatu yang sangat berpengaruh dalam proses produksi sejarah Filipina, pedang bermata dua yang menginspirasi kesadaran sosial masyarakat Filipina dan pada saat bersamaan digunakan sebagai ukuran modernisme kolonial yang dipupuk oleh penjajah Spanyol (film Anak Dalita karya Lamberto Avellana sangat fasih dalam menggambarkan fenomena ini).

Fredric Jameson pernah pula menulis tentang Perfumed Nightmare, akan tetapi perspektif yang ia gunakan sangatlah posmodernis (baca: kapitalisme kiwari, late capitalism). Baiklah kita simpan dulu tulisan  itu untuk pengajian-pengajian kita selanjutya bersama dengan selisih momen produksi yang kita telah tersinggung di depan.

Tulisan-tulisan dalam pengajian kali ini terserak dari satu tema ke tema yang lain, ditulis oleh orang-orang dengan domisili dan zaman berbeda. Akan tetap bila kita membacanya sembari senantiasa membayangkan bagaimana kita menempatkan sinema tentang orang-orang di Indonesia dalam forum dialog dengan sinema dunia sebagai sebuah sarang laba-laba raksasa yang dialiri modal, paling tidak kita dapat menjawab beberapa pertanyaan kecil sekaligus juga melahirkan berbagai pertanyaan kecil untuk level-level selanjutnya. Selamat membaca.

DAFTAR BACAAN

  • Introduction to Subjectivity and Fantasy in Action: For a Comparative Film Studies (Paul Willemen, 2013) | unduh
  • Third-World Literature in the Era of Multinational Capitalism (Frederic Jameson, 1986) | unduh
  • Toward a Third Cinema (Fernando Solanas & Octavio Getino, 1969) | unduh
  • The Art of Hunger: Re-defining Third Cinema (Nicola Marzano, 2009) | unduh
  • Perfumed Nightmare and Negative Experiences of Contrast: Third Cinema as Filmic Interpretation of Schillebeeck (Antonio Sison, 2002) | unduh