Sang Patriot dibuat untuk kebutuhan pemenangan Gerindra dan Prabowo dalam pemilu 2014. Diproduseri oleh Hashim Djojohadikusumo, konglomerat dan adik Prabowo, film ini hanya beredar di youtube. Sebelumnya, berturut-turut pada tahun 2009, 2010, dan 2011, Media Desa Indonesia, grup media milik Hashim, telah memproduksi tiga film: Merah Putih, Darah Garuda, dan Hati Merdeka. Berbeda dari tiga film sebelumnya, Sang Patriot adalah dokumenter—atau setidaknya diniatkan seperti itu.
Adalah kekeliruan besar ketika memandang dokumenter selalu bebas ideologi, bebas kepentingan politik, dan karenanya bukan propaganda. Triumph of the Will-nya Leni Riefenstahl, sebuah film propaganda Nazi, pada dasarnya merupakan dokumenter tentang kongres partai di Nurenberg. Demikian pula karya-karya Dziga Vertov yang dibuat untuk kebutuhan propaganda Bolshevik pasca Perang Sipil (1918-1922) serta bagian dari program pemberantasan buta huruf. Meminjam cara bertutur jurnalisime, dokumenter-dokumenter Michael Moore merupakan karya investigatif sekaligus pamflet politik progresif Amerika. Singkat kata, keberpihakan politik bukanlah sesuatu yang asing dari dokumenter, sebuah tradisi sinematik yang mengetengahkan diskursus tentang kenyataan yang meminjam gaya tutur pelaporan yang paling mendekati kenyataan. Apakah isinya sesuai dengan kenyataan, itu soal interpretasi yang bekerja dalam film tersebut, yang bisa disanggah oleh kritik maupun lewat dokumenter tandingan. Dengan kata lain, dokumenter adalah cara berargumentasi secara sinematik.
Sepanjang 33 menit Sang Patriot, Prabowo tak memberikan pernyataan langsung melalui wawancara. Alih-alih, film ini memakai narator dan testimoni orang ketiga untuk menggerakkan plot. Testimoni memunculkan kesan lebih berjarak dan objektif dalam membangun mitos Prabowo sebagai tentara, politisi, dan wirausahawan. Namun sejauh mana objektivitas itu bisa diukur? Kita bisa memeriksa siapa saja narasumber tersebut satu per satu: Peter Carey (sejarawan Oxford), Hashim Djojohadikusumo (adik Prabowo), Fadli Zon (wakil ketua umum Gerindra dan penulis buku Politik Huru-Hara Mei 1998), Yusuf Abraham Rawis (Ketua KPPI, paguyuban bekas aktivis angkatan ’66 yang mendukung Prabowo), Asmujiono (anak buah Prabowo di Kopassus), Efendi (mantan pelatih kungfu Kopassus), Dr. Ngadiran (Sekjen APPSI, Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia, yang diketuai Prabowo). Kecuali Peter Carey, seluruh narasumber memiliki hubungan darah dan/atau organisasional dengan Prabowo. Posisi Carey pun sebetulnya pun bermasalah karena belakangan diketahui menerima dana penelitian dari keluarga Djojohadikusumo.
Maksud Sang Patriot barangkali begini: semakin dekat sosok yang diwawancarai, semakin penuturan yang objektif bisa digali. Materi yang ditonjolkan adalah sosok Prabowo yang berbeda dari yang selama ini digembar-gemborkan media, yang dipoles melalui kisah-kisah inspiratif dari sejumlah orang dekatnya. Namun ada keganjilan dalam nalar tersebut. Objektivitas yang dipraktikkan dalam Sang Patriot semata menambah keterangan-keterangan yang bersifat personal, jika bukan solipsistik.
Mari kita berandai-andai. Sejauh ini belum ada satu pun film tentang Suharto. Akan mengherankan—bahkan memalukan bagi kreatornya—jika tiba-tiba muncul sebuah dokumenter tentang Suharto yang berpretensi objektif hanya dengan menggali kesaksian intim tentang “bapak” dari mulut Harmoko (mantan Menteri Penerangan), Tommy Suharto (anak kandung Suharto), Tutut (putri Suharto, bekas Menteri Sosial di kabinet Orde Baru yang terakhir), Sudono Salim dan Bob Hasan (keduanya rekan bisnis keluarga Cendana), sampai keponakan-keponakan Suharto di desa Kemusuk beserta kerabatnya yang lain. Dokumenter ini, pada saat bersamaan, alpa mengikutsertakan kesaksian para rekan Suharto di militer—termasuk kompetitor-kompetitornya—aktivis, para sarjana, hingga pembangkang. Tentu testimoni yang dihasilkan sekadar mengusap-ngusap sosok Suharto dengan kisah-kisah simpatik, bukan?
Jika objektivitas mengandaikan independensi si penilai dari yang dinilai, maka pemilihan narasumber Sang Patriot sama sekali tidak menunjukkan hal itu. Sebelum bertanya terlalu banyak, mari kita kembali ke substansi Sang Patriot.
Sepuluh menit pertama Sang Patriot menuturkan riwayat keluarga Prabowo, melalui wawancara dengan Carey, paparan silsilah, album foto keluarga, serta tampilan ikon-ikon heroisme Jawa seperti Diponegoro dalam penangkapannya yang diabadikan oleh lukisan Raden Saleh. Prabowo dikisahkan berasal dari garis keturunan para hero, yang—mengutip pernyataan sejarawan Oxford Peter Carey yang baru-baru ini dipermasalahkan—menolak untuk menjadi “yes men”. Menurut sang sejarawan, dari Banyakwide, asisten Diponegoro, “Jiwa ksatria yang dimiliki Prabowo menurun”. “Jiwa Ksatria” yang sama, dikisahkan menurun hingga ke dua saudara kakeknya (salah satunya bernama Subianto) yang gugur dalam pertempuran di era Revolusi Fisik. Soemitro Djojohadikusumo, ekonom Orde Baru yang menyandang julukan mentereng “Begawan ekonomi Indonesia” tak lupa diikutsertakan dalam paparan sejarah keluarga Djojohadikusumo, mulai dari perannya semasa perudingan Meja Bundar hingga jabatan menteri perdagangan di era Sukarno—tak disebutkan dalam kabinet yang mana.
Tentu pemaparan sejarah keluarga di sini penting selama bertujuan menyatakan bahwa keluarga Prabowo punya peran dalam tiap kancah sejarah Republik. Di era Revolusi Fisik, muncul Subianto Djodjohadikusumo yang gugur dalam perang; di era Sukarno dan awal Orde Baru, terdapat Soemitro; dan di akhir masa Orde Baru dan setelahnya, lahir ketokohan Prabowo. Paparan sejarah keluarga boleh jadi mampu menyasar kelompok-kelompok pemilih tradisional berusia lanjut yang masih percaya dengan trah dan segala kebaikan moral yang menurun secara genetik, sementara gambaran tentang kepribadian yang heroik, berani, dan anti-ABS (“Asal Bapak Senang”), diharapkan sukses meraup simpati kelompok pemilih usia muda yang gandrung wacana nasionalisme kontemporer seperti yang jamak digaungkan para selebriti urban masa kini. Namun di luar ekspektasi pemilih, peranan terpenting dari ekspos besar atas keluarga adalah ia menyiapkan legitimasi simbolik untuk kepemimpinan Prabowo. Substansi dari pesannya tak lain tak bukan adalah klaim historis berbasis ramalan mistis: bahwa Prabowo berhak atas kursi RI-1, karena dari sononya, dari trahnya, ia memang sudah dititahkan seperti itu. Sejarah Republik, dengan demikian, adalah sejarah keluarga Prabowo.
Sepanjang Sang Patriot, logika mistika tersebut dipadu-padankan dengan deretan “prestasi” Prabowo. Semisal perannya memimpin operasi pembebasan sandera di Mapenduma, Papua, pada pertengahan 1990an, keberhasilannya membawa tim pendaki Everest hingga ke puncak, masa-masa penugasannya di Timor Leste (selama fase akhir invasi militer Indonesia ke tanah bekas jajahan Portugis tersebut), sampai aktivitas-aktivitasnya membina sejumlah perusahaan dan LSM, setelah ia dipecat dari TNI lantas melarikan diri ke Yordania.

Tafsir dan swasensor
Film-film biografis yang diproduksi lima tahun belakangan ini, mulai dari Sang Pencerah, Soegija, Habibie-Ainun, hingga Jokowi, sebagian besar bercorak hagiografis, suatu penulisan riwayat hidup ala orang suci dan pahlawan penuh puji-pujian. Pada umumnya tradisi agama-agama dunia memakai hagiografi untuk penulisan riwayat orang-orang suci mereka. Negara menggunakan hagiografi untuk memoles persona para pahlawan dan martir, agar menjadi inspirasi bagi kelompok khalayak bernama bangsa.
Di sisi lain, hagiografi adalah corak representasi cerita kehidupan yang paling lemah. Ia tidak mampu—atau sejak awal tidak bersedia—merangkul sudut pandang yang berlawanan untuk diinterpretasikan demi kepentingannya sendiri. Karena sifatnya yang menghadirkan gambaran sosok serba sempurna, ia justru sangat terbuka untuk diragukan dan diserang. Mudah menemukan suara-suara sumbang sebagai tandingan atas representasi resmi yang penuh-sempurna atas seorang tokoh. Contoh yang disampaikan oleh Lars T Lih, biografer kontemporer Lenin, amatlah berguna di sini. Di Uni Sovyet era Stalin, misalnya, biografi-biografi resmi Lenin bercorak hagiografis, umumnya menggambarkan Lenin sebagai pelajar yang tekun, Lenin sebagai revolusioner yang tak mudah patah arang, dst. Setelah arsip negara dibuka di era Gorbachev, mendadak banyak biografi bertema kehidupan Lenin di balik kelambu dnegan judul seperti Selir Lenin (Lih, 2011: 13). Benar atau tidaknya klaim-klaim tandingan tersebut tak menjadi soal di sini. Poinnya adalah, untuk satu persona yang sempurna, terdapat seribu suara sumbang yang bisa jadi sama kuat.
Wabil khusus dalam sinema, posisi hagiografi ini analog dengan mekanisme swasensor (self-censorship) dalam sinema. Dalam risetnya tentang sensor film-film Hollywood klasik, Annette Kuhn (1988) menyatakan bahwa swasensor dalam sebuah teks justru mengundang penonton untuk menghasilkan pembacaan produktif yang berlawanan—atau yang sengaja disembunyikan—dari intensi teksnya. Aparatus sensor, demikian Kuhn, tidak hanya bekerja pada level negara (Lembaga Sensor Film, misalnya) dan monolitik, tapi juga bersifat plural dan mikro.
Dari coraknya, Sang Patriot, mekanisme swasensor tidak mengandaikan keberadaan negara yang mengawasi konten sebuah film, mengingat film ini hanya beredar di youtube, bukan di bioskop atau di televisi. Yang bekerja serupa sensor—dan diamini diam-diam oleh filmnya adalah—narasi-narasi tulisan atau sinematik yang berisi kesaksian para aktivis yang sempat diculik Tim Mawar, dokumen-dokumen investigasi yang mangkrak di Komnas HAM, kesaksian (keluarga) korban kerusuhan Mei, yang sebagian darinya terpublikasi secara luas sepanjang 1998 hingga hari ini. Dengan pelbagai slogan populer seperti “melawan lupa”, atau seperti yang nampak dalam pernyataan macam “seorang kriminal yang kabur dari pengadilan tak pantas maju sebagai pejabat pubik”, narasi-narasi ini diproduksi untuk kebutuhan peradilan HAM dan bertujuan menyediakan imperatif moral baru bagi publik. Di sinilah versi-versi lain tentang riwayat hidup Prabowo menjadi kontrol kebudayaan atas narasi yang diudar oleh Sang Patriot.
Lantas apa yang dihasilkan oleh kelindan hagiografi dan swasensor dalam Sang Patriot? Jawabannya sederhana: penonjolan riwayat leluhur secara berlebihan serta penempatan Prabowo sebagai sosok lurus tapi tragis, dengan menghindari topik-topik yang krusial nan sensitif.
Ingat, sepertiga dari film ini menuturkan trah Djojohadikusimo. Ekspos berlebihan diberikan pada asisten Diponegoro, Banyakwide, dan dua saudara kandung kakek Prabowo yang gugur dalam perang. Sebaliknya pada Soemitro, ayah Prabowo yang disebut-sebut sebagai “nasionalis” dan berjasa besar membangun perekonomian nasional pasca era Sukarno, eksposnya cenderung kecil. Saking sempurnanya kualitas moral silsilah keluarga tersebut, orang bisa dengan mudah bertanya seraya mengutip keterangan Peter Carey, “Bukankah garis keturunan Dora Sigar (Ibu dari Prabowo) berasal dari tentara yang berperang di sisi Belanda melawan Diponegoro dalam Perang Jawa?” Bagaimana pula dengan riwayat Soemitro sendiri yang terlibat dalam pemberontakan PRRI yang disokong CIA, serta—seperti yang dicatat sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam Kronik Revolusi Indonesia volum II—kedudukannya dalam delegasi Belanda pada perundingan pertama di PBB mengenai nasib Indonesia tahun 1946? Adakah Sang Patriot mengantisipasi hal-hal tersebut?
Kesempurnaan sosok Prabowo dalam Sang Patriot lagi-lagi dengan gampangnya mengundang berbagai versi tandingan, termasuk yang terkait terjang Prabowo di TNI, mulai dari sepak terjang Prabowo di Timor Leste, kerusuhan Mei (yang disebut dalam Sang Patriot sekadar sebagai “peristiwa aneh di pagi hari 14 Mei, dimana terjadi kerusuhan di Jakarta dan sekitarnya, [yang] melahirkan fitnah terhadap Prabowo sebagai dalang kerusuhan”), catatan-catatan indisiplinernya di TNI, hingga kasus penculikan aktivis. Jika Prabowo berkali-kali menyangkal keterlibatannya dalam penculikan aktivis, mengapa Sang Patriot sama sekali tidak membantah itu? Mengapa tidak sekalian mengundang sederet aktivis yang pernah diculik Tim Mawar dan kini bergabung ke Gerindra? Bukankah selama ini mereka menjadi pion terdepan yang yang mampu memutihkan posisi Prabowo? Terlalu sensitifkah? Ataukah presentasi semacam itu berpotensi membuka perdebatan lebih lanjut?
Saya heran, mengapa sederet “kisah gemilang” operasi militer tidak ditonjolkan—mungkin karena sifatnya rahasia, tapi barangkali pula lantaran detil-detilnya terlalu mengerikan. Kiprah Prabowo sebagai pengusaha juga tak tergambarkan secara proporsional dan lebih nampak seperti company profile yang mulus. Keterlibatannya di asosiasi-asosiasi seperti APPSI dan HKTI pun sekadar mengandalkan tuturan fungsionarisnya, bukan para pedagang pasar maupun petani yang konon ia besarkan.
Sepuluh menit memboyong nama besar keluarga rasa-rasanya terlalu boros, sampai-sampai menutupi kiprah Prabowo. Mungkin tim kampanye Gerindra keliru memilih sutradara dan penulis lakon. Atau mungkin juga tidak ada hal lain yang bisa cukup besar untuk disoroti—kecuali sederet kontroversi—pada tokoh sentral dalam Sang Patriot, sehingga harus menutupinya dengan silsilah berbau ramalan.
Demikian esensi dari Sang Patriot: seorang kandidat bermodal ramalan, bukan bakat atau kecakapan.
Sang Patriot | 2014 | Durasi: 33 menit | Sutradara: Helmi Adam | Negara: Indonesia
Film Sang Patriot bisa disaksikan di sini.