Bisakah rekonsiliasi Afrika Selatan diterapkan di Israel-Palestina? Robi Damelin, seorang ibu yang anaknya tewas oleh penembak jitu dari Palestina, mencoba mencari tahu jawabannya. Perjalanan bersama Erez dan Miri Laufer ke Afrika Selatan, negeri kelahirannya, adalah memoar padat yang mengurai ingatan-ingatan pedih semasa rejim Apartheid. Berbekal kesabaran dan sepenggal kisah kehilangan dan konflik di tempat tinggalnya, ia berbagi pengalaman bersama para penyintas dari rejim tersebut. Apa yang telah (dan sedang terjadi) di Afrika Selatan adalah apa yang (seharusnya) dibutuhkan Israel-Palestina.
Membongkar Ingatan, Menempatkan Ruang Peristiwa
Membandingkan konflik kedua wilayah tersebut bukanlah perkara mudah. Konflik di Afrika Selatan berawal dari diskriminasi kulit putih (warisan kolonialisme) terhadap warga berkulit hitam yang difasilitasi oleh negara melalui sistem pemisahan ras. Kebijakan tersebut dilanjutkan ke generasi berikutnya hingga akhirnya eskalasi kekerasan antara kedua pihak kian memanas. Sementara itu, kekerasan antara Israel-Palestina adalah sejarah panjang tentang perebutan wilayah yang tak berkesudahan. Namun, konflik antara Arab dan Yahudi bisa disejajarkan dengan kekerasan kolektif di masa Apartheid. Keduanya didenyutkan oleh sentimen ras yang berujung pada semangat nasionalisme.
Hasil survei terbaru harian Haaretz, 24 Oktober 2012, mengungkapkan bahwa warga mayoritas Yahudi di Israel mengakui negaranya menganut sistem Apartheid. Sedangkan kelompok ultra religius menunjukkan sikap diskriminatif terhadap orang Arab dengan menuntut pemisahan dan perlakuan istimewa bagi warga Yahudi. Sebagai orang Israel, Robi memandang hal tersebut sebagai persoalan genting yang harus segera dituntaskan. Kamera yang selalu mengikutinya merangkai narasi mengenai pentingnya perdamaian dan mengakhiri konflik. Sesekali, audiens diingatkan (atau diperkenalkan) dengan rekaman-rekaman penting selama dan sesudah proses rekonsiliasi berlangsung.
Afrika Selatan adalah trauma yang dimonumentalkan di museum Apartheid. Bicara perihal trauma akan selalu melibatkan rasa kehilangan (major loss). Sejarah mencatat bahwa pengalaman Afrika Selatan sempat menghilangkan rasa kemanusiaan dan kepercayaan terhadap sesama. Pengalaman-pengalaman tersebut mengubah dan sekaligus menghancurkan relasi-relasi sosial. Kehancuran ini menimbulkan kegamangan dalam pondasi komunikasi horizontal. Akibatnya, terjadi proses labelisasi antar individu, dehumanisasi dan rasionalisasi kekerasan yang diiringi ideologi-ideologi pembenar.
One Day After Peace menawarkan satu jalan tengah dengan menampilkan wujud rekonsiliasi yang mungkin bisa diterapkan antara warga Israel dan Palestina. Ketika rejim Apartheid telah runtuh, Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi digelar untuk menjalin kembali struktur sosial yang telah terberai. Seperti yang terbentang di film ini, proses rekonsiliasi antar warga Afrika Selatan menimbulkan proses mengenang yang komples. Rekonsiliasi adalah tempat pertemuan antara kepercayaan dan belas kasih, di mana keadilan dan perdamaian saling bersentuhan. Sementara itu, untuk saling duduk bersama di forum, dibutuhkan proses yang tidak sederhana. Tindakan untuk melakukan rekonsiliasi hanya dapat terjadi jika ada kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain (korban dan pelaku); kita biasa menyebutnya sebagai Empati.
Robi pun telah mencoba cara tersebut dengan menggabungkan diri ke dalam Parents Circle Forum of Bereaved Israeli and Palestinian Families. Bersama ibu-ibu dari Palestina, ia menuturkan pengalaman kehilangan, bagaimana semua ini bisa terjadi, dan apa yang seharusnya mereka lakukan. Ketika ia berhadapan dengan seorang ibu Palestina yang masih menyimpan dendam terhadap pembunuh anaknya, ada semacam jeda yang mengingatkan kita pada spiral kekerasan akibat proses ketidakadilan. Dalam hal ini, akan sangat berbeda jika membandingkan antara Afrika Selatan sebagai otoritas tunggal dengan Israel-Palestina yang masih saling bergulat perihal formalitas kekuasaan. Kelompok-kelompok dari Palestina yang tertindas akan menuntut keadilan dan secara lugas merealisasikan tujuan dalam bentuk protes, konflik dan berbagai aksi yang disebut-sebut oleh media Barat sebagai terorisme. Di Israel, keadilan masih memiliki posisi tawar yang memungkinkan akibat konteks ekonomi dan politik yang ada. Sedangkan bagi orang Palestina, yang tersedia hanyalah sisa-sisa kerikil dari teritori yang kian menyempit. Dengan mengutip ungkapan lama; tidak bisa kita bicara keadilan jika masih ada perut yang kelaparan.
Bisa dipahami bahwa fakta-fakta lain yang terjadi antara Israel dan Palestina dipinggirkan demi kepentingan plot film. Dokumenter ini tak perlu banyak bercerita tentang ibu-ibu Yahudi dan Arab yang mengalami nasib serupa dengan Robi. Film ini juga tidak menampilkan bagaimana nasib orang Arab di Israel yang menjadi warga kelas dua. Padahal fakta itu seharusnya bisa menjadi benang merah efektif untuk menautkan sikap pemerintah Israel dengan rejim Apartheid di Afrika Selatan. Alih-alih menyampaikan pesan pentingnya perdamaian di Timur Tengah, One Day After Peace terjebak dalam parade ingatan dan perayaan perdamaian tanpa pemahaman konteks antara Palestina-Israel.
Apa yang diupayakan oleh Robi memang mulia meskipun sedikit naif. Selama perjalanan ke Afrika Selatan, dia membayangkan konsep perdamaian di negaranya. Sedangkan, perdamaian kadang-kadang dibakukan sebagai wujud dari sekadar ada bersama. Robi adalah seorang ibu yang ingin mencari ketenangan dalam kehidupan; hal yang ia inginkan setelah kematian David, anaknya. Lalu, keinginan tersebut kian menguat setelah melihat hasil rekonsiliasi dan perdamaian yang berlangsung di negeri kelahirannya. Di sana, telah terjadi transformasi identitas yang tidak diwariskan generasi sebelumnya. Orang kulit putih dan berwarna bisa saling beriringan membangun identitas baru dari Afrika Selatan. Tak heran jika Desmond Tutu membanggakan hasil tersebut sebagai Bangsa Pelangi. Romantisme tersebut pastinya memicu hasrat seorang ibu untuk menciptakan hal serupa di negaranya. Bagi Robi, rasa kehilangan adalah pengalaman fundamental yang menimbulkan banyak emosi negatif dan positif. Menghadapi rasa kehilangan akan mampu melahirkan pengalaman-pengalaman seperti kemampuan menolong sesama dan keberanian untuk menanggung derita bersama harapan. Ia ingin memulihkan luka bersama warga Palestina-Israel serta menjalin ikatan sosial yang lebih rapat dan penuh kedamaian.
Untuk mencapai perdamaian, dibutuhkan konsep keadilan yang jelas dan dipayungi oleh otoritas legal. Hal itu akan membuka kemungkinan berlangsungnya proses rekonsiliasi. Di negeri ini, proses rekonsiliasi (konon) telah berhasil memulihkan relasi-relasi sosial yang ada. Masyarakat Afrika Selatan berupaya membangun sejarah baru melalui transaksi ingatan dan melupakan. Di satu sisi, terjadi sakralisasi ingatan (dengan adanya museum Apatheid) sekaligus melupakan (saling memaafkan?) semua aksi kekerasan. Semua itu difasilitasi oleh Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi yang menjamin aspek-aspek keadilan, setidaknya dalam konteks tertentu.
.
Ironi Keadilan dan Rekonsiliasi
Film ini bisa menjadi rujukan untuk studi Perdamaian dan Rekonsiliasi. Beberapa rekaman kejadian dan penuturan di Afrika Selatan menggambarkan apa saja yang dijabarkan oleh John Paul Lederach untuk memungkinkan terjadinya rekonsiliasi: truth (kebenaran), justice (keadilan), mercy (pengampunan) dan peace (perdamaian). Tentu saja semua itu adalah tahapan-tahapan yang sangat lambat dan sulit dilakukan. Jadi, untuk menerapkan hal yang sama di Afrika dengan Timur Tengah jelas membutuhkan rangkaian proses yang sangat kompleks. Beberapa selipan footage sidang rekonsiliasi di Afrika ingin menegaskan bahwa semua aspek tersebut akan sangat mudah digenggam jika kita mau. Persoalannya adalah film ini cenderung membingkai gagasan-gagasan perdamaian tanpa menambahkan catatan-catatan kaki perihal latar belakang sosial dan politik yang mendukung proses perdamaian di masa itu.
Dalam berbagai pengakuan di sidang internasional, semua pihak di Afrika Selatan saling dihadapkan untuk berbagi pemaknaan tentang realitas di masa lalu. Dalam Perspectives on Loss and Trauma, John H. Harvey menjelaskan bahwa pemaknaan sangat penting bagi manusia. Ketika seseorang merasa mampu untuk memahami sebuah peristiwa, dia akan bisa mengendalikan diri saat mengingat peristiwa tersebut. Pencarian makna adalah instrumen untuk menggali harapan dan mengatasi rasa kehilangan (loss). Robi sedang menapak di jalan tersebut dengan mencari tahu mengapa anaknya bisa terbunuh dan kenapa konflik tak kunjung reda. Kenyataannya, sudah dipastikan bahwa kematian anaknya dan dipenjaranya sang penembak adalah konsekuensi logis dari kondisi perang. Mereka sama-sama menjalankan peran sebagai prajurit yang melindungi kepentingan masing-masing pihak.
Keadilan di Afrika Selatan berbeda warna dengan apa yang terjadi di Timur Tengah. Amnesty International telah siap untuk menjamin proses tersebut dengan ketentuan yang telah disepakati. Para pelaku kekerasan diadili, hak-hak korban dipulihkan/direhabilitasi bahkan jika perlu para korban mendapat kompensasi. Jika itu diterapkan di Israel dan Palestina, siapa yang akan mengadili siapa dan setelah itu apa? Selama pendudukan masih berlanjut dan kedaulatan belum terjamin penuh, keadilan hanya menjadi kata asing yang sulit untuk diterjemahkan ke kedua pihak. Mungkin bagi Israel, mustahil bagi rakyat Palestina. Wujud keadilan paling banal mungkin bisa disaksikan ketika Gilad Shalit yang tertangkap oleh milisi Palestina kemudian ditukarkan dengan ribuan pejuang yang ditawan di penjara Israel. Berharap bahwa pembunuh anaknya akan termasuk dalam tahanan-tahanan yang dibebaskan, Robi menanti dengan ketidakpastian. Gilad memang dibebaskan, tapi pembunuh anaknya masih meringkuk di penjara, tiada kabar. Sementara itu, transaksi antar tawanan tersebut sudah dibayar oleh Palestina dengan Operasi Militer yang dilancarkan Israel di Khan Yunis pada tahun 2006. Jika keadilan memang benar-benar ada di sana, itu adalah sebuah ironi.
One Day After Peace memang menarik untuk disimak ketika rangkaian peristiwa dramatis terekam dengan apik di beberapa bagian. Penonton bisa saja termenung ketika melihat Adrian Vlook (mantan Menteri Hukum di masa Apatheid) membasuh kaki seorang ibu yang anaknya tewas akibat titahnya di masa lalu. Di antara tangis sang ibu, Adrian beberapa kali mengucapkan maaf atas segala yang pernah terjadi dan berjanji untuk selalu mengunjunginya. Pengakuan dan penyesalan merupakan hal-hal sederhana yang bisa memuluskan jalan rekonsiliasi. Di sana, ada banyak peristiwa ingatan dengan tingkatan-tingkatan berbeda. Namun, itu menjadi faktor penting bagi terwujudnya langkah perdamaian karena adanya jaminan hukum yang memayungi segenap masyarakat Afrika Selatan sehingga mampu membangun kembali kepercayaan sosial tanpa kecemasan.
Di Palestina dan Israel, akan terasa sulit untuk membayangkan hal itu. Siapa yang akan menjamin keadilan setiap pihak sementara berbagai konteks masih saling membelit? Di penggalan akhir film, Robi gamang menghadapi kenyataan tersebut. Kapan pun, perdamaian selalu bisa ditawarkan atau dijual. Namun, antara Israel dan Palestina, siapa yang akan membeli? Peace sells, but who’s buying?
One Day After Peace | 2012 | Sutradara: Erez & Miri Laufer | Negara: Israel
Film ini diputar di Festival Film Dokumenter 2012, Taman Budaya Yogyakarta, 10-15 Desember. Jadwal pemutaran selengkapnya dapat diakses di sini.