Catatan Harian dari PIFAN 2012 #2

catatan-harian-pifan-02_highlight

Hari keempat PIFAN adalah hari terakhir masa-masa repot para petugas ruang pemutaran. Inilah hari terakhir dimana setiap ruang pemutaran rata-rata memutar lima film dalam sehari. Entah apa sebabnya, tapi jadwal tayang film di festival ini bergulir dalam arus yang dekreskendo. Terkesan panas dan sibuk di awal, tapi kemudian semakin ke belakang semakin santai. Slot pemutaran yang diatur seperti ini menyebabkan film-film yang diputar di awal festival tak bisa ditonton oleh pengelana festival dari luar kota sebab biasanya mereka baru tiba pada hari ketiga atau keempat. Meskipun begitu, pemutaran tetap berjalan disiplin seperti biasa. Di bawah sinar matahari musim panas yang lembab, senyum para relawan tetap manis seperti hari pertama. Bahu mereka tetap membungkuk sedalam biasa.

Film Indonesia yang mendapat giliran putar kedua setelah Hi5teria adalah Parts of the Hearts karya Paul Agusta. Bertempat di Lotte Cinema Bucheon, bioskop nyaris penuh penonton. Setiap kali kedua karakter berciuman atau bermanis-manja, penonton serentak cekikikan berjamaah. Parts of the Heart menceritakan tentang Peter, seorang LGBT asli semula jadi beserta serangkaian petualangan hidupnya yang berpusar di sekitar asmara, kematian, krisis umur paruh baya, seksualitas, dan keluarga. Film yang dibagi ke dalam bab per bab ini seperti memori yang diputar kembali, setiap bilik memori memiliki nyanyiannya sendiri, menyulam mata rantai kecil yang membentuk eksistensi dan pandangan hidup seorang Peter. Pemutaran Parts of the Heart juga dihadiri oleh beberapa orang dari rombongan Indonesia yang baru saja tiba pada Minggu pagi. Setelah pemutaran, mereka harus menghadiri acara pembukaan NAFF (Network of Asian Fantastic Films) yang tahun ini secara khusus mengarahkan lampu sorotnya pada proposal-proposal film berbasis genre dari Indonesia. Acara pitching proposal sendiri baru akan berlangsung lusa, selasa 24 Juli.

Menjelang sore hari, lapangan alun-alun kota Bucheon mendadak diserbu penonton. Mereka datang secara khusus untuk menyaksikan Love Strike!, film Jepang yang memang dipromosikan secara menarik sepanjang festival. Trailer mereka yang terpajang di beberapa penjuru menguarkan aura manga yang riang gembira. Sang sutradara Hitomi Ohne sendiri datang mengawal film asuhannya itu. Love Strike! sendiri adalah adonan kental komik jepang yang dicampur dengan motif cerita, sebutlah, seperti Say Anything atau 500 Days of Summer. Moteki, judul aslinya dalam bahasa Jepang, kurang lebih berarti periode tertentu dimana keberuntungan seseorang sedang bagus-bagusnya dalam hubungan asmara. Diceritakan, Fujimoto adalah kutu buku berusia 31 tahun yang sehari-harinya hanya membaca komik, menonton film, mendengarkan musik, dan bermain twitter. Twitnya sudah mencapai 34 ribu namun pengikutnya baru tiga orang. Ia nyaris tak punya teman. Penghasilan pun tak banyak sebab ia hanyalah penulis pemula di majalah online tentang budaya-budaya populer. Janggal, ia tiba-tiba terjebak pada semacam hubungan dengan Miyuki, gadis manis yang memiliki selera musik yang sama dengannya. Fujimoto tentu saja jatuh cinta, tapi entah dengan Miyuki. Meskipun Hitomi menjelaskan bahwa film ini diangkat langsung dari cerita komik lokal di Jepang, tetap saja wajah Tom Hansen yang pertama kali terlintas di pikiran.

Film-film mati yang hidup kembali

Di PIFAN, saya juga menemukan tradisi yang sangat penting untuk dicatat. Dari beberapa festival film berskala menengah-ke-atas yang saya sambangi di Korea, selalu ada sesi retrospektif terhadap film-film Korea klasik tanpa peduli apapun tema festivalnya. Baik itu festival film aliran utama seperti Busan, sampai ke festival film digital obskyur macam Jeonju. Di PIFAN tahun ini, Badan Arsip Film Korea (KOFA) kembali memamerkan beberapa koleksi arsip mereka di bawah tema “K0medi Korea tahun 1970-an” yang berisi enam film komedi yang, sepandangan saya, kualitasnya banyak di bawah rata-rata. Tapi siapa yang peduli, yang paling penting adalah bahwa festival film tidak hanya berpotensi dan berfungsi sebagai etalase film-film yang baru dibuat, melainkan juga sebagai sebagai pintu reinkarnasi bagi film-film yang sudah lama mati. Sebagai contohnya, Cheeky Man (1970) dan A Car Moves by Water (1974), dua film minor dari sutradara Lee Hyung-pyo yang pernah terkenal lewat film Under the Sky of Seoul (1961), sangat ramai di serbu penonton PIFAN. Film-film “mati” yang dihidupkan kembali lewat festival ini umumnya diserbu oleh penonton-penonton usia senior. Beberapa pasang om dan tante datang bersama untuk sekedar bernostalgia. Lewat film-film yang dihidupkan kembali, ada kenangan-kenangan masa lalu yang juga turut terputar kembali.

Selain sekedar romantika, film-film yang diputar oleh KOFA juga biasanya diserbu oleh tamu-tamu dari festival luar, atau para akademisi film, yang datang untuk menjawab pertanyaan, “Seperti apa film-film lama di Korea,” “Sejauh mana pengarsipan dan eksibisi arsip mereka,” “Adakah film-film lama yang sekiranya penting untuk pendapat perhatian penonton di luar negeri?” dan sebagainya. Lewat program-program sederhana macam ini, sangat mungkin kanon-kanon baru bisa ditemukan kembali. Tentu semua masih ingat bahwa sutradara legendaris Korea Selatan Kim Ki-young beserta karya-karyanya nyaris tak pernah terdengar sampai pada pertengahan dekade 1990an, Festival Film Busan memutar beberapa filmnya dan kebetulan ditonton oleh banyak hadirin strategis. Lebih dari tiga puluh tahun mati setelah masa jayanya di industri, Kim Ki-young berhasil “dihidupkan” kembali lewat program pinggiran di sebuah festival film.