Menonton Lewat Sepertiga Malam karya sutradara muda Orizon Astonia cukup membuat pikiran terganggu dan tergerak untuk kembali berpikir. Bagaimana sebenarnya kehidupan seks dalam sudut pandang perempuan, terlebih lagi para perempuan yang tumbuh dalam lingkungan pondok pesantren sebagaimana yang tampil dalam film pendek ini. Pondok pesantren, sebagaimana yang sering kita bayangkan, adalah lingkungan yang memberi batasan-batasan tegas terhadap hubungan-hubungan badaniah. Begitu stereotipnya. Dan Lewat Sepertiga Malam tidak mencoba untuk masuk lebih dalam. Stereotip yang sama diulang dan dijadikan pemantik cerita. Sepanjang film, pesantren hanya diwakilkan lewat sebuah tanda larangan, bahwasanya santriwati tidak boleh keluar lebih dari jam sebelas malam.
Peraturan ini yang diterabas oleh Sarah, Vina, dan Nisa—trio santriwati yang kiprahnya bakal kita saksikan sepanjang enam belas menit durasi film. Mereka mengendap-endap, meniti langkah dengan penuh hati-hati, melumasi gerbang pesantren agar tidak mengeluarkan suara saat diseret. Pertanyaannya: mengapa mereka harus pergi dari pondok pesantren? Apa yang sebenarnya ada dalam pesantren sehingga mereka harus kabur dan melanggar peraturan yang ada?
Pertanyaan pertama terjawab lewat tingkah laku ketiga santriwati. Sarah hendak menemui pacarnya. Ia menanggalkan kerudungnya, menggantinya dengan kostum ketat nan seksi. Vina mengeluarkan rokok dan minuman alkoholnya, sementara Nisa membuat sketsa adegan-adegan senggama di buku gambarnya. Vina kemudian berkata pada Nisa, “Sampai kapan mereka akan melakukan free sex sampai mereka sadar bahwa pada akhirnya mereka harus menikah?” Semua perilaku ini menyiratkan dan menyuratkan seks, seks, dan seks. Hasrat itulah yang menyatukan ketiga tokoh ini. Ada yang benar-benar bersetubuh, ada yang ingin dan merasa cukup dengan berfantasi, ada pula yang ingin tapi tak punya pasangan. Yang terakhir maksudnya adalah Vina, yang kemudian kita lihat berkenalan dan menggoda seorang pria bernama Faris di jalan sampai film habis.
Setelah menjabarkan bahwa ketiga santriwati ini ingin seks, lantas apa? Di sini Lewat Sepertiga Malam terasa sekali kekurangan amunisi dalam rangkaian ceritanya. Penonton disuguhkan sebuah logika hitam-putih, bahwa pesantren hanyalah soal larangan, bahwa para santriwati punya hasrat seksual yang terpendam, bahwa kedua hal tersebut tidak klop dan pemenuhan hasrat seksual hanya bisa dilakukan di luar pesantren. Sudah begitu saja.
Di sini jadi penting untuk menajamkan pertanyaan kedua: apa yang sebenarnya terjadi dalam pondok pesantren sehingga ketiga santriwati ini sampai nekat kabur? Apa yang sebenarnya mereka lawan? Bagaimana sebenarnya interaksi manusia yang terjadi dalam pesantren sehingga hasrat-hasrat ini bisa muncul—atau bahkan menjadi penting untuk dibicarakan? Sebagai penonton, kita tidak pernah tahu, tidak diberi kesempatan untuk tahu. Tidak sedetikpun dalam Lewat Sepertiga Malam berusaha memberi petunjuk tentang itu. Bahkan kita tidak melihat adanya santriwati lain yang bisa kita jadikan pembanding bagi tingkah laku Vina, Sarah, dan Nisa. Dalam Lewat Sepertiga Malam, mereka bertiga hanyalah akibat tanpa sebab.
Memang film bukan melulu soal sebab-akibat, namun dalam kasus Lewat Sepertiga Malam jadi sangat tidak adil apabila penyebab dari tingkah laku tokoh-tokoh dalam film ini tidak dihadirkan. Porsi terbatas mengenai pondok pesantren dalam film ini justru membuat pondok pesantren tidak memiliki nilai apa-apa dalam film, sehingga tidak lagi penting. Pesantren hanya hadir sebagai larangan yang terlampau umum, sebagai pemenuh kebutuhan cerita film akan adanya konflik. Ia tidak hadir sebagai sesuatu yang spesifik, sebagai suatu institusi yang berakar pada sendi-sendi kehidupan ketiga protagonis.
Coba bayangkan pesantren dalam Lewat Sepertiga Malam kita ganti jadi sebuah asrama putri yang ketat, atau sebuah rumah dengan orang tua yang tak ingin anaknya keluar malam, apa bedanya? Film akan tetap bisa berjalan sebagaimana yang diniatkan awalnya. Jika demikian, lantas mengapa harus memilih pondok pesantren sebagai bingkai dari kemunculan perilaku-perilaku itu? Hal inilah yang mengakibatkan Lewat Sepertiga Malam terasa hanya berhenti di prasangka-prasangka, menggeneralisir bahwasanya semua santriwati jebolan pondok pesantren selalu punya nafsu besar dan pikiran-pikiran mesum di balik kerudungnya. Terlalu banyak hal yang hilang, terlalu banyak konteks yang dipinggirkan.
Dalam bacaan yang lebih luas, Lewat Sepertiga Malam tidaklah menawarkan sesuatu yang baru. Ia hanya memproduksi (atau malah mereproduksi) gambaran-gambaran klise tentang pondok pesantren dan santri. Dan saat kita bicara klise, kita bicara gambaran yang terlampau karikatural. Film Indonesia terbiasa menggambarkan pesantren sebagai lembaga yang sarat nilai dan norma, sebagai tempat yang akhlaknya tanpa cela. Atau sebaliknya: sebagai tempat yang terlampau ketat dan mengikat, sehingga tanpa sadar menumbuhkan hal-hal “terlarang” macam hasrat seksual. Dalam Lewat Sepertiga Malam, Orizon hanya mengulangi gambaran-gambaran usang tersebut.
Lewat Sepertiga Malam | 2013 | Sutradara: Orizon Astonia | Negara: Indonesia
Tulisan ini merupakan hasil dari lokakarya Mari Menulis! edisi Malang Film Festival 2014