X&Y: Hiruk Pikuk Film Vertikal

(foto: Studio Antelope)

Pada akhir Maret hingga awal April 2021, platform TikTok sempat diramaikan dengan peluncuran X&Y. Serial kolaborasi TikTok Indonesia dengan Studio Antelope ini menghimpun 120 ribuan likes dalam sepuluh hari pertama sirkulasinya. Terdiri dari enam episode yang masing-masing berdurasi satu menitan, serial ini mengisahkan fragmen hubungan Winda (Arawinda Kirana) dan Omar (Jourdy Pranata), dua anak kost yang kamarnya bertetangga atas-bawah. Keduanya saling memendam rasa, namun situasi tidak mendukung mereka untuk dapat bersama.

Promosi X&Y setia didampingi tagar #FilmVertikalTikTok, yang turut melekat pada berbagai konten lain dan sudah mencatat lebih dari dua ratus juta views. Dalam kasus X&Y, tagar ini terbukti sebagian. Dengan episode satu menitan, X&Y sungguh sejiwa dengan kekhasan platform TikTok, meski pembagian kisah secara episodik tidak lumrah ditemukan pada konten TikTok. Pengguna seringnya menonton TikTok untuk konten satuan, bukan rangkaian.

Bagaimana dengan sebagian lain dari klaimnya? Sebelum lebih lanjut membahas cara dan capaian X&Y memanfaatkan ke-vertikal-an aspek visualnya, mari kita telaah dulu gagasan film vertikal dalam diskursus layar gambar gerak secara global.

Menegakkan Bidang Pandang

Dalam sejarah perkembangan layar, diskursus mengenai layar ‘vertikal’ kerap dibingkai sebagai sesuatu yang menantang format widescreen—bentuk layar yang dianggap konvensional. Ketimbang seni visual pendahulunya, seperti seni lukis atau fotografi yang lebih lentur terhadap bentuk geometris wadah, sinema terhitung cukup ketat dalam perkara ini.

Standarisasi yang ketat ini merupakan manifestasi dari ilmu pengetahuan, teknologi, serta moda kapital yang turut memayunginya. Rentang field of view mata manusia secara horizontal mampu mencakup 210o, sementara secara vertikal hanya 150o. Hal ini turut berdampak terhadap tingkat ketahanan dan kenyamanan mata saat mempersepsikan elemen visual. Sejak itu, selama setengah abad pertama perkembangan sinema, standarisasi Academy Ratio 1.33:1 disepakati perusahaan manufaktur pita film (film stock), kamera, hingga proyektor.

Upaya mempertanyakan ulang Academy Ratio 1.33:1 atau 4:3 sempat dicetuskan Sergei Eisenstein dalam ceramahnya, The Dynamic Square, di Hollywood pada 1930. Ia meyakini kesepakatan mengenai aspek rasio ini dipengaruhi oleh klaim ukuran academic painting dan konvensi panggung Barat. Sayangnya gagasan itu tidak mendapat sambutan besar. Hasrat pasar untuk mendorong ke arah yang lebih lebar dari 4:3 tak lepas dari kontestasi sinema dengan televisi semenjak 1950-an. Pilihan merentang dari 1.66:1, 1.77:1, 1.85:1, Cinemascope 2.35:1. Lagi-lagi pengalaman menonton yang menggugah dan spektakular digadang-gadang untuk membuat orang keluar rumah dan kembali menonton di bioskop.

David Bordwell mencatat eksperimen Paolo Gioli pada 1970-an yang mendirikan kamera film stenopeic 16mm-nya untuk merekam gambar secara vertikal. Selain itu, jika menelusuri praktik video amatir dengan betacam atau handycam periode 1980 sampai 2000-an, ditemukan beberapa frame pengambilan gambar secara vertikal.Namun, potensi ini terbatas pada art film dan video amatir yang jangkauan publiknya terbatas. Mungkin Gioli hanya salah satu yang berhasil tercatat dalam sejarah.

Dari sini dapat dipetik bahwa kemungkinan layar vertikal barulah berupa gagasan lepas. Eksperimen medium ini tidak dikembangkan lebih jauh karena tidak didukung moda produksi yang ada. Jangankan estetika, bahkan aspek teknologi, ekshibisi, dan penerimaan penonton (reception) belum dapat bicara banyak akan potensi layar vertikal. Hegemoni tetap dikemudikan oleh format widescreen. Saking dominannya, ia menjadi ideologi tunggal. Saat tercetus istilah “sinematik”, lanskap visual yang dimaksud tak lain dan tak bukan adalah frame dengan layar yang lebar.

Diskursus layar vertikal mulai terangkat kembali paralel dengan menjamurnya budaya smartphone pada dekade kedua abad 21. Moda produksi yang setengah abad lalu belum terbayangkan perlahan dijawab oleh perangkat yang umumnya digunakan secara vertikal ini. Habit ini dipercaya mengubah lanskap sirkulasi gambar bergerak yang selama ini dipahami. Sebagai bagian dari media baru, smartphone memungkinkan interaktivitas penggunanya untuk merekam, mengedit, mendistribusikan, dan menayangkan konten video hanya dengan satu perangkat. Ruang tayangnya pun beragam, dari YouTube hingga TikTok, dan semuanya langsung terhubung ke khalayak ramai.

Budaya smartphone dan intensitas sirkulasi konten di media sosial turut mengakrabkan kosakata visual baru dalam keseharian publik: dari vertical video, 9:16 screen, vertical cinema/film, hingga tall screen. Pelaku pasar terus-menerus optimis semenjak industri video musik mulai memproduksi dua konten video musik resmi dengan aspek rasio HD 16:9 dan 9:16. Industri periklanan yang memanfaatkan reklame digital, platform e-commerce, IG Story, IGTV, hingga TikTok dengan format vertikal. Tak ayal jika beberapa pihak mulai mempertanyakan kemungkinan format ini dimanfaatkan sebagai medium penceritaan dan alternatif dari format widescreen.

Pada 2012, Vertical Video Syndrome (VVS) mencuat sebagai slang internet yang merespons kecenderungan penggunaan layar 9:16 pada konten video amatir yang beredar di platform digital. Istilah ini diadopsi dari sebuah judul video yang isinya menolak keras format vertikal, percaya akan ke-natural-an layar horizontal, dan menganggap layar vertikal tak ‘sinematik’. Meski begitu, sebagian yang mengklaim diri Anti VVS justru merayakan proyek sinema vertikal. Lantas, pada 2014, dicetuskan Vertical Film Festival. Pertama kali diadakan di Blue Mountain, Australia, festival ini memberi wadah bagi seniman, pembuat film, pembuat konten, dan siapapun yang tertarik mengeksplorasi potensi estetika film vertikal. Adam Sabire selaku direktur festival percaya film vertikal sebagai perkembangan dari expanded cinema dan eksplorasi kemungkinan estetika film masih terbuka.

Sayangnya, dari segi ekshibisi, Vertical Film Festival masih terperangkap dengan konsepsi ruang ekshibisi konvensional dengan imaji vertikal yang diproyeksikan dalam ukuran besar pada bidang datar. Meski memberi pengalaman menonton yang berbeda, tata proyeksi itu cukup meletihkan bagi field of view penonton. Mata dan memori penonton mesti bekerja dua kali lipat untuk mempersepsi elemen visual di layar vertikal, yang sejatinya bukan rentang pandang alami bagi mata manusia, yang lebih terakomodir oleh layar widescreen.

Tampaknya layar vertikal masih belum cukup mampu melayani kebutuhan ruang ekshibisi konvensional, khususnya dalam menghadirkan efek spektakular dan bombastis. Layar vertikal lebih bisa melayani kebutuhan penonton dalam setting personal nan intim. Kesadaran ini menjadi poin plus tersendiri bagi kreator yang mendistribusikan film vertikalnya menggunakan platform digital yang dapat diakses smartphone. Salah satu di antaranya X&Y.

Vertikal, Konvensional

Kecakapan untuk menggali potensi estetika dalam produksi film vertikal memang tidak mudah. X&Y sendiri secara dominan masih terperangkap dalam kaidah pembuatan film untuk layar konvensional, sementara kekhasan film vertikal menuntut pergeseran bahasa atau konsepsi visual yang berbeda dari film format widescreen.

Logika onscreen dan offscreen space pada film vertikal berputar 180o dari format widescreen pada umumnya. Dalam proses produksi, logika ini mesti diantisipasi oleh seluruh jajaran departemen. Ruang kanan-kiri dalam frame yang sebelumnya menjadi pusat perhatian untuk diisi, kini beralih ke ruang atas-bawah. Pergeseran frame ini berdampak terhadap hubungan subjek dengan dimensi ruang dalam film. Layar vertikal lebih memberi fokus terhadap subjek, karena dimensi ruang yang selama ini dielu-elukan format widescreen menjadi terbatas dan hanya efektif untuk segelintir situasi. Dalam X&Y, hal ini dapat dilihat melalui establishing shot posisi kamar kost Winda dan Omar pada adegan pembuka. Adegan ini secara efektif memanfaatkan sekaligus menyorot ke-vertikal-an filmnya. Dalam adegan ngobrol di taman sekian momen kemudian, frame vertikal malah menyempitkan ruang. Taman yang dimaksud hanya terwakili lewat ayunan yang diduduki Winda dan Omar, lalu visual film mengerucut pada wajah dan sosok keduanya. Gagasan akan dimensi ruang menjadi kabur dan dialihkan ke bentuk yang lebih privat.

Sebagai gantinya, subjek mendapat perhatian sentral. Ini terlihat betul dari kemampuan tipe shot yang mengakomodir diri subjek, khususnya melalui medium shot, medium close up,hingga close up. Porsi bagian wajah yang mampu ditangkap oleh layar vertikal jelas berbeda dengan widescreen. Secara umum, layar vertikal merespons tubuh manusia yang secara natural dominan bentuk vertikal. Alhasil ini memberi ruang lebih bagi aktor untuk lebih menjelajahi ekspresi dan gestur. X&Y sudah cukup bisa melihat potensi ini.

Secara keseluruhan, X&Y menerapkan elemen-elemen style dengan sangat berhati-hati. Film serial ini bermain dengan tipe shot yang aman dan sewajarnya. Kamera memusatkan perhatiannya pada Winda dan Omar di sudut-sudut ruang personal mereka, dari teras hingga kamar kosan. Tampak ada kesadaran dari pembuat film untuk menjauhkan diri dari tipe shot yang dianggap riskan seperti group shot atau over the shoulder, seolah paham betul pendekatan visual demikian belum tentu dapat dibunyikan secara piawai dalam film vertikal. Sesederhana insert shot teks surat dan buku catatan Winda saja tak mampu ditangkap secara jeli. Pesan yang ada justru dibantu diperkuat oleh suara ketimbang visual.

Penggunaan smartphone sehari-hari sesungguhnya sudah memperkenalkan kita pada potensi visual khas video vertikal melalui fitur video call. Mata kamera dapat silih berganti menghadirkan sudut pandang subjektif maupun objektif melalui tombol switch camera. Kamera dapat menangkap ruang privat, dari tempat tidur hingga kamar mandi, yang digerakkan secara handheld dengan spontan tanpa motivasi. Subjek, mata kamera, dan ruang privat bisa berpadu dengan lentur tanpa harus terkungkung kaidah tertentu. Kemungkinan bahasa visual ini yang tidak cukup sigap direspons X&Y, sehingga terkesan masih terperangkap bahasa film konvensional. Mata kamera masih didominasi sudut pandang objektif, sungkan masuk ruang privat, dan malah repot akan segala sesuatu yang mesti memiliki motivasi atau sesuai kaidah.

X&Y hadir pada waktu dan kondisi yang tepat untuk eksperimen film vertikal. Faktor-faktor pendukung seperti ketersediaan teknologi, platform ekshibisi semasif TikTok, serta habit menonton era smartphone terhitung lebih dari cukup untuk mengayomi proses peluncurannya. Di tengah hiruk pikuk dunia digital hari ini, karya dengan nilai produksi sekelas X&Y bisa menguatkan prestise layar vertikal sebagai alternatif untuk penceritaan. Sayangnya, sebagai produk budaya visual kontemporer, X&Y masih terbata-bata melakukan eksplorasi style. Terdapat sejumlah peluang visual yang semestinya secara sigap dapat diadopsi, namun tidak dilakukan.

X&Y tampak masih terpaku dengan kaidah film konvensional, walau di sisi lain hal ini bisa pula dibaca sebagai strategi. Di tengah maraknya video vertikal populer yang diwadahi TikTok, ternyata masih ada ruang untuk konvensi lama.

X&Y | 2021 | Sutradara: Jason Iskandar | Produksi: Studio Antelope, TikTok Indonesia | Negara: Indonesia | Pemeran: Arawinda Kirana, Jourdy Pranata, Dwynna Win, Avan The Love, Giovano Dhivaldi