Pelajaran budi pekerti sudah hadir di tengah-tengah siswa sejak tingkat Sekolah Menengah Pertama. Ia dianggap sebagai benteng yang menjaga siswa agar tak melenceng dari nilai moral. Ia dihadirkan untuk mencetak lulusan-lulusan dengan kriteria terbaik, tak hanya tinggi intelektual tapi juga berbudi pekerti luhur.
Itu pula yang tertulis dalam pembuka dokumenter Layu Sebelum Berkembang: tujuan pendidikan di Indonesia kini bertujuan membentuk manusia seutuhnya, dengan penekanan khusus pada tiga nilai, yakni iman dan takwa, kebangsaan, dan disiplin. Untuk menunaikan salah satu dari iman dan takwa, ternyata tak cukup hanya dengan pelajaran budi pekerti. Kini sekolah sebagai sebuah institusi menelurkan hak inisiatif dengan menonjolkan kembali nilai agama yang dianggap sudah mulai diabaikan. Salah satunya dengan cara menyuntikan ajaran agama ke tiap kegiatan yang dalam beberapa hal justru berindikasi menanamkan kefanatikan. Lalu praktik lain dari upaya penanaman moral ini ialah dimasukkannya mata pelajaran agama ke dalam ujian praktik sebagai salah satu syarat lulus siswa.
Ariani Djalal menggambarkan masalah tersebut melalui filmnya, Layu Sebelum Berkembang. Selama 90 menit film ini mengajak penonton mengikuti dua siswa, Dila dan Kiki, mulai dari rumah hingga sekolah. Sebagai siswa kelas 6 dari salah satu Sekolah Dasar di Yogyakarta, mereka kini disibukkan dengan persiapan Ujian Nasional yang disusul dengan pendaftaran siswa baru di bangku Sekolah Menengah Pertama. Sembari mengikuti keseharian Dila dan Kiki penonton akan diajak untuk ikut duduk sebagai murid dan menyimak suntikan-suntikan agama yang dituturkan para pengajar di setiap kesempatan. Sesekali kita akan mengernyitkan dahi menyaksikan betapa agama yang wujudnya abstrak itu hadir dengan cara yang kongkrit di sekolah Dila dan Kiki. Misalnya ketika seorang guru mengajak siswanya berandai-andai: bagaimana jika suatu hari agama Islam tidak jadi mayoritas di Indonesia? Tak heran demi menanamkan nilai agama pada siswanya, sekolah pun mengadakan Pesantren Kilat di bulan suci Ramadhan.
Dalam Layu Sebelum Berkembang, nampak ajaran agama sebagai keyakinan pribadi kini dihadirkan dalam institusi pendidikan, bahkan dijadikan tolak ukur kelulusan, bersanding dengan ilmu-ilmu sekuler seperti Matematika, Bahasa Indonesia, dan IPA. Di menit-menit awal, pernyataan itu kuat terjalin dalam gambar-gambar yang dihadirkan di film ini. Akan tetapi, pada pertengahan film, fokus sutradara mulai berbelok. Film ini mulai menyoroti kekhawatiran orangtua juga ketegangan Dila dan Kiki dalam menghadapi ujian nasional dan bagaimana repotnya orangtua mereka saat mencarikan sekolah yang tepat.
Di menit akhir, Layu Sebelum Berkembang menghadirkan gambar-gambar pemantik yang memancing penonton untuk memperkirakan apa yang akan terjadi pada Dila dan Kiki di sekolah barunya. Film ini terjebak dalam beberapa fokus: mengulas kehadiran agama di dunia pendidikan, mempermasalahkan sistem pendidikan—khususnya ujian nasional dan penerimaan siswa baru yang membuat pusing baik siswa maupun orangtua, atau hanya menjadi mata kamera yang mengikuti kegiatan Dila dan Kiki serta keluarganya, baik di rumah maupun sekolah.
Setiap film tentu memiliki pendekatan tersendiri untuk mewujudkan premisnya. Misalnya seperti Flaneurs karya Aryo Danusiri yang memilih teknik one shot untuk memperlihatkan jemaat yang begitu tersihirnya oleh kehadiran para ulama yang begitu diagungkan itu. Dalam film ini, si sutradara mengambil gambar high angle dari arah panggung, tempat di mana para ulama-ulama berdakwah dan membagikan air suci. Dengan teknik ini, sutradara berhasil memperlihatkan dinamika ekspresi jemaat yang begitu antusias bahkan cenderung seperti terhipnotis oleh kehadiran tokoh-tokoh yang mereka sucikan tersebut. Kamera pindah fokus sekali saja saat memperlihatkan sosok para ulama di atas panggung, sementara sisanya haya memperlihatkan gambar jemaat, yang memang menjadi fokus dari The Flaneurs.
Dokumenter macam Born Into Brothel memilih pendekatan partisipatoris untuk merekam keseharian yang terjadi di rumah bordil di India. Sang sutradara mengajak anak-anak yang lahir da besar di rumah bordil untuk memotret kegiatan sehari-hari di sekitar mereka. Jika sutradara tidak melibatkan anak-anak barangkali ia tidak akan medapat gambar-gambar yang lebih detail seperti suasana di dalam rumah bordil.
Layu Sebelum Berkembang memakai pendekatan observasional. Pendekatan ini umumnya digunakan untuk lebih menyoroti sisi human-interest dalam sebuah film, dengan “meminjam” hidup seseorang atau beberapa subyek. Sutradara hadir dengan intervensi seminimal mungkin terhadap kehidupan subyeknya, tanpa mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk mempertajam isu yang diangkat. Ia hadir sebagai kamera itu sendiri. Penyutradaraannya dimanifestasikan melalui kecerdikannya dalam menentukan pilihan-pilihan gambar yang harus diambil selama subyek melakukan aktifitasnya yang disesuaikan dengan fokus filmya. Perangkaian gaya bercerita pun hanya bisa dilakukan di meja editing, itupun dengan porsi yang tidak cukup banyak.
Pendekatan observasional bertumpu pada tokoh-tokoh yang dijadikan subyek, bukan pada satu isu khusus seperti film-film yang menggunakan pendekatan ekspositoris. Walaupun pada lapisan lebih dalam, teknik observasional juga menghadirkan isu-isu tertentu, misalnya ekonomi dan sosial, yang dialami oleh tokohnya, akan tetapi isu-isu itu tetap dipayungi oleh karakter sebagai fokus utama filmnya dan hanya hadir sebagai konflik minor dalam filmnya.
Film-film yang menggunakan pendekatan observasional umumnya memakan waktu penggarapan yang lebih panjang—bahkan hingga bertahun-tahun—dibandingkan film-film dokumenter dengan pendekatan lainnya. Tak terkecuali Layu Sebelum Berkembang yang produksinya menghabiskan tiga tahun lebih. Hal ini dikarenakan sutradara harus melakukan pendekatan yang intens dengan subyeknya, hingga si subyek bersedia diikuti kesehariannya oleh si sutradara, bahkan tak jarang pembuat film harus mundur jika subyeknya merasa tidak nyaman untuk difilmkan. Sutradara juga harus mengikuti dinamika subyeknya yang notabene mengalami perubahan tidak hanya dalam waktu sekelebat.
Sutradara juga sebisa mungkin tidak kehilangan momen-momen khusus yang nantinya dapat memperkuat narasi filmnya. Inilah yang kemudian menjadi kelebihan film-film dokumenter dengan pendekatan observasional. Penonton akan dibuat tidak berjarak dengan subyek film, sebab sutradara berhasil menghadirkan kehidupan si subyek dengan utuh, subyek yang telah terbiasa dengan kamera akan bertingkah sewajarnya seolah-olah tak ada kamera.
Maka tak jarang menonton dokumenter observasional berkesan seperti seperti menonton film fiksi. Banyak aspek kehidupan subyek yang begitu naturalnya terekam kamera, tanpa perlu dihadirkan secara paksa demi membuat penonton termehek-mehek. Kepasrahan pada subyeknya ini juga menjadi salah satu risiko yang harus ditanggung sutradara dokumenter yang menggunakan pendekatan observasional, yakni ia harus siap jika perubahan yang terjadi pada subyeknya di kemudian hari tidak sesuai dengan yang ia harapkan. Proses pembuatan dokumenter observasional bisa dikatakan memakai alur maju, ia bisa menggunaka latar belakang tokoh-tokohnya sebagai titik keberangkatan filmnya, tapi ia tidak bisa menentukan nasib tokohnya di kemudian hari akan seperti apa.
Dengan segala kelebihan dan kekurangan pendekatan observasional tersebut, Layu Sebelum Berkembang justru kehilangan kesempatan untuk mengorek lebih dalam mengenai institusi sekolah yang dijadikan sebagai agen penguat iman seperti premis awalnya. Jika ingin memotret isu agama dalam dunia pendidikan, maka teknik observasional yang digunakan justru membuat film ini terlihat dangkal. Narasinya justru terjebak dalam keseharian Dila dan Kiki, entah mau ke mana atau bicara apa. Ia kemudian tidak disetir oleh isu, tapi oleh kedua tokohnya.
Begitu juga ketika Layu Sebelum Berkembang hendak menonjolkan sistem pendidikan yang bobrok, mulai dari ujian nasional yang memukul rata kemampuan muridnya yang ironisnya begitu menentukan masa depan mereka, misalnya dengan turut menentukan di sekolah mana mereka akan berakhir, favoritkah, atau hanya di daerah pinggiran. Teknik observasional akan lebih efektif apabila sutradara memang ingin menyorot kedua subyek sebagai representasi dari isu besar yang diangkat. Akan tetapi bila memang demikian, mengapa harus kedua tokoh ini? Apakah mereka mewakili tipikal siswa SD tertentu yang nantinya mampu menguatkan statement film sehingga tepat untuk dipilih menjadi subyek? Atau apakah sutradara hanya asal memilih subyek tanpa latar belakang—hanya karena mereka salah dua di antara siswa-siswa yang menikmati proses pendidikan dengan doktrin agama—lalu berserah pada nasib apapun yang dialami kedua subyek di kemudian hari?
Layu Sebelum Berkembang (Die Before Blossom) | 2014 | Durasi: 90 menit | Sutradara: Arian Djalal | Produksi: Tanamera Film | Negara: Indonesia