Hype: Yang Terlupakan dalam Sejarah Grunge

hype-grunge-documentary_highlight

Grunge tidak lahir dari selangkangan Kurt Cobain dan Courtney Love, melainkan dari jalinan tangan suatu komunitas di Seattle. Fakta tersebut yang ingin diluruskan oleh Hype, dokumenter garapan Doug Pray tahun 1996 silam. Sebagai fenomena budaya pop yang menghebohkan dekade 90-an, kelahiran dan kematian grunge disimbolkan dalam dua ledakan: ledakan kreativitas para partisipannya, dan ledakan senapan yang membobol kepala Kurt Cobain. Di antara dua ledakan tersebut, ada dinamika industri musik yang nantinya mendefinisikan posisi grunge dalam sejarah musik. Ada band-band kecil yang menghilang begitu saja, dan ada nama-nama besar yang terus-menerus dirotasi media. Pada dinamika antar band tersebut, Hype menenun narasinya tentang sejarah grunge.

Pertanyaan bagi setiap narasi tentang sejarah adalah: siapa penyusunnya? Pada pembacaan yang lebih luas, sejarah bukanlah sekadar kronologi kejadian, melainkan sebuah wacana yang disusun oleh suatu pihak. Oleh karena itu, penyusunan narasi sejarah mau tidak mau terikat dengan kepentingan dan kompetensi penyusunnya. Doug Pray berasal dari Hollywood. Ia tumbuh besar dan belajar film di sana. Hype mengharuskan dia keluar dari Hollywood, baik dari pandangan dunianya maupun pakem produksinya, dan mencoba merekam sebuah fenomena di Seattle. Untuk menjadikan Hype sebuah potret yang menyeluruh tentang grunge, ada jembatan pengetahuan yang harus diseberangi Pray. Dia tidak saja harus melakukan riset perihal grunge, tapi juga masuk ke dalam nuansa kehidupan sehari-hari di Seattle. Pada titik ini, kapabilitas Doug Pray sebagai penyusun narasi sejarah diuji. Ia harus menegosiasikan dua hal yang kontradiktif: tuntutan Hollywood untuk mengedepankan nama besar, dan keinginannya mengangkat nama-nama yang tak pernah dianggap di lingkaran media.

Menilik dari perkembangan plot film Hype, Pray memulai narasi tiga babaknya dari akar kota Seattle, lalu menyusuri perjalanan musik grunge secara sosio-historis. Babak pertama ia isi dengan adegan-adegan para musisi Seattle, pemilik label rekaman, jurnalis dan warga lokal bicara tentang kotanya. Semuanya bukan nama-nama tenar, dan bicara tentang Seattle dalam nada nostalgis, seakan-akan ada kehilangan besar yang mereka rasakan. Narasumber yang Pray pilih jelas menyokong niatnya memotret grunge secara komprehensif. Pasalnya, semua narasumber tersebut berasal dari akar rumpun kota Seattle, orang-orang yang lama tinggal di sana dan paham betul seluk beluk kotanya. Menurut para narasumber tersebut, Seattle dulunya bukan apa-apa. Seattle hanyalah kota terpencil yang dihuni pemalas, pemabuk, dan pembunuh berantai. Salah satu narasumber bilang, “Soal kasus pembunuhan berantai yang tak terpecahkan, kota ini nomor satu di Amerika.” Kondisi tersebut menjadikan Seattle tidak terlalu dilirik di belantara permusikan Amerika. Sedikit sekali band yang mau mampir. Para EO pun juga ogah mengadakan acara musik besar-besaran di Seattle. Praktis Seattle menjadi kota yang kering hiburan.

Babak kedua menjadi gambaran konsekuensi dari kondisi yang diceritakan di babak pertama. Pada babak ini, Pray melanjutkan fokusnya terhadap akar rumpun kota Seattle. Fokusnya adalah pola relasi warga kota Seattle, dan pengaruhnya terhadap perkembangan grunge. Nyaris tertutup dari dunia luar, Seattle memungkinkan penduduknya untuk menjalin ikatan yang kuat. Semua orang kenal satu sama lain, dan mudah saja bagi mereka untuk saling menghibur satu sama lain. Gitaris A bisa bermain untuk band B, sambil membantu band C di acara D, yang diselenggarakan di tempatnya E, yang bermain drum untuk band F, yang latihan di satu garasi bersama bandnya gitaris A. Etos do-it-yourself plus kebersamaan itulah yang mendasari band-band di awal-awal kemunculan grunge, yang satu per satu Pray perkenalkan lewat klip penampilan live mereka. Sebut saja The Gits, The Melvins, The Posies, 7 Year Bitch, dan Coffin Break. Nama-nama inilah yang lenyap di babak ketiga, ketika fokus pembahasan Hype pindah ke eksploitasi grunge oleh media. Berkat kacamata media yang sempit, ledakan grunge sebagai sensasi dunia musik dialamatkan pada tiga nama saja: Pearl Jam, Soundgarden, dan Nirvana.

Secara taktis, Pray menaruh klimaks Hype pada kematian Kurt Cobain. Kebijakan Pray tersebut membingkai kematian grunge sebagai sesuatu yang tragis, sebuah gambaran yang berima manis dengan suasana nostalgis di awal film. Pasalnya, warga Seattle memang telah kehilangan grunge, dan mereka hanya bisa berkabung atas kematiannya di tangan media. Kematian Cobain menjadi representasi yang ikonik dari kematian semangat asli grunge. Sesuatu yang awalnya lahir bukan karena motif ekonomi, ujung-ujungnya mati sebagai ornamen dalam ruang-ruang komersil. Secara ironis, Pray mengkontraskan klip penampilan live band-band grunge dengan montase produk berlabel grunge: mulai dari “baju grunge”, acara-acara televisi nasional, hingga remix elektronik lagu Smells Like Teen Spirit.

Sayangnya, dengan menekankan kematian Cobain sebagai akhir dari grunge, Hype malah menyalahi niat awalnya. Hype memutus rantai narasi film yang berfokus pada komunitas grunge, dan menjebak dirinya dalam perspektif sempit ala media-media yang Hype coba kritisi. Menjadikan Cobain sebagai alasan utama kematian grunge jelas sangat menyederhanakan realita yang ada. Pasalnya, ada dua kejadian lainnya yang memecah belah grunge di level komunitas. Kejadian pertama adalah kematian Andy Wood, vokalis Mother Love Bone. Kematian Wood menjadi pukulan telak bagi komunitas grunge, karena Wood adalah salah satu figur yang turut mengembangkan grunge sejak awal. Kala kompatriotnya mulai menuai sukses sebagai ikon budaya pop, Wood meninggal dunia. Hal ini membuat banyak orang dalam komunitas grunge mulai jengah dengan ketenaran yang media sematkan pada mereka. Kejengahan tersebut sukses Pray tangkap dalam beberapa adegan wawancaranya. Masalahnya, Pray sebentar sekali menyorot kematian yang menyulut kejengahan tersebut. Pray lebih memilih memajang adegan panjang puluhan orang menangisi Cobain, ketimbang mendokumentasi lebih jauh reaksi komunitas grunge terhadap kematian Wood.

Kejadian kedua adalah pemerkosaan dan pembunuhan Mia Zapata, vokalis The Gits. Menurut beberapa catatan sejarah, kejadian ini yang paling memukul komunitas grunge. Kematian Zapata membuat banyak band Seattle merasa tidak nyaman menjadi selebritis lokal di kotanya. Satu per satu, mereka bubar, ganti aliran musik, atau menjauhkan diri dari sorot media. Karena ketidakmampuan polisi menemukan pelaku kejahatannya, kasus Zapata jadi sangat terkenal, sampai-sampai ia menjadi bagian dari budaya pop Amerika pada jamannya. Ratusan koran dan majalah meliput kasus tersebut. Belasan stasiun televisi mendedikasikan berjam-jam slot acara mereka untuk membahas kasus tersebut. Bahkan, tiga band grunge pujaan media (Nirvana, Pearl Jam dan Soundgarden) mengadakan konser tribut untuk Zapata. Mengingat The Gits turut disorot di babak kedua film, bagaimana bisa Pray tidak sedetik pun merujuk kematian Zapata dalam Hype?

Kegagalan Pray mengkontekskan kematian Wood dan Zapata menjadikan Hype timpang: ketat di depan, kendor di belakang. Perspektif luas yang Pray usung di awal film tiba-tiba menyempit di akhir film, menjadikan Hype kurang komplit sebagai sebuah potret komunitas. Meski begitu, sebagai narasi sejarah grunge, Hype hampir secara utuh mengangkat apa yang selama ini media sepenuhnya abaikan: darah dan keringat komunitas yang melahirkan grunge. Pembabakannya yang jelas, referensinya yang komprehensif, serta perhatiannya terhadap akar rumpun Seattle membuat Hype layak disaksikan. Terutama bagi mereka yang ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik popularitas grunge.

Hype! | 1996 | Durasi: 87 menit | Sutradara: Doug Pray | Negara: Amerika Serikat