
Setiap langkah dalam permainan catur adalah strategi dan antisipasi atas apa yang mungkin dilakukan lawan. Kemungkinan kombinasi posisi permainan catur, menurut Claude Shannon, ada di angka 10120, melebihi jumlah atom di alam semesta yang berkisar pada angka 1080. Tentu, ada posisi-posisi yang tak lazim dalam kombinasi tersebut, seperti langkah yang tak masuk akal atau tak menguntungkan secara taktis. Oleh karenanya, dibuatlah perhitungan yang mempertimbangkan kelaziman (sensible chess games), yakni sekitar 1040. Tetap saja banyak.
Menghadapi permainan serumit itu, beberapa pecatur—seperti Willhelm Steinitz, Paul Morphy, dan Bobby Fischer—sering dikaitkan dengan masalah kejiwaan. Ini juga digambarkan dalam The Queen’s Gambit, ketika Beth Harmon (Anya Taylor-Joy) disebut menyerupai Paul Morphy oleh Harry Beltik (Harry Melling), bekas lawan tanding yang sempat tinggal bersama Beth. Meski terasa prematur—dan lebih seperti sentimen alih-alih kesimpulan empiris—celoteh Harry cukup beralasan. Sepanjang tujuh episode serial produksi Netflix ini, Beth memang kerap kehilangan kendali, kecuali saat bermain catur.
“Chess doesn’t drive people mad, it keeps mad people sane,” kata juara catur Inggris, Bill Hartston. Secara ilmiah, entah bagaimana membuktikan kalimat tersebut. Namun, sebagai metafor, kalimat tersebut tercermin pada diri Beth. Kompleksitas catur digambarkan begitu klop dengan isi kepalanya yang mengemban trauma masa lalu. Di depan papan catur, Beth merasa memiliki kendali. “It’s entire world of just 64 squares, I feel safe in it,” ucapnya kepada seorang wartawan.
Opening
Alur pertandingan catur lumrah dikelompokkan menjadi tiga fase: opening, middlegame, dan endgame. Dalam fase opening, kemungkinannya masih terbatas, sehingga seringkali dilakoni secara saklek berdasarkan teori-teori dari berbagai literatur catur. Baru ketika langkah-langkah unik tercipta, permainan masuk ke fase middlegame. Unit-unit mulai berguguran dan kemampuan pecatur untuk beradaptasi pun diuji. Memasuki endgame, unit yang tersisa—layaknya pahlawan super di Avengers: Endgame—akan dioptimalkan untuk meraih kemenangan.
Orang sering berdebat mana yang perlu dipelajari pemula. Ada yang bilang bahwa pemula harus khatam opening dulu, baru berlatih endgame; ada juga yang berkata bahwa endgame lebih penting, karena opening buruk bisa diselamatkan, sementara luput di endgame adalah kekalahan. Dalam perdebatan ini, Pak Shaibel (Bill Camp) dan Beth Harmon sepertinya memilih untuk mengasah skill opening. Lebih dari itu, judul serial ini pun diambil dari nama sekuens opening.
Pion-ratu-maju-dua-petak adalah satu dari dua puluh kemungkinan mengawali sebuah pertandingan catur. Jika langkah itu direspons secara simetris oleh hitam, dan putih melanjutkannya dengan pion gajah maju dua petak (mengancam pion ratu lawannya) terciptalah Queen’s Gambit. Queen’s Gambit, seperti halnya Sicilian Defense—opening yang kerap digunakan Beth saat menggunakan hitam—adalah opening agresif. Dalam kedua opening, pion berpotensi dikorbankan demi membuka jalan bagi unit-unit lain.
Gaya permainan Beth yang ingin memegang kendali ini tampak berkaitan dengan kehidupannya. Kepada wartawan, Beth menekankan bahwa catur adalah dunia yang bisa didominasi. Setiap kemungkinan dalam catur dapat diprediksi, sehingga saat menelan kekalahan, hanya dirinya yang patut disalahkan. Jika si wartawan menggali lebih jauh hidup Beth, dan tidak terpaku pada sosok Beth sebagai seorang perempuan, mungkin akan ditangkap bagaimana catur menjadi obat untuk derita hidup Beth.
Saat kecil, Beth memiliki hidup yang bergerak secara autopilot. Awal hidupnya, tak seperti opening catur, dipilihkan oleh semesta yang bekerja secara asal-asalan. Ayahnya pergi, ibunya meninggal, dan Beth harus tinggal di panti asuhan. Tak ada satu pun kejadian yang bisa diprediksi dan diantisipasi. Belum Beth bersiap-siap, semuanya—termasuk baju bertuliskan namanya—direnggut dan diganti seadanya. Semua perkara lyfe inilah yang tampaknya membuat catur begitu spesial bagi Beth.
Perjuangan Perempuan dan Perang Dingin yang Minim
Sebagai karakter fiktif, Beth Harmon kerap dibandingkan dengan beberapa pecatur asli seperti Bobby Fischer dan Judit Polgár. Beth dan Bobby Fischer sama-sama pecatur Amerika Serikat yang merebut gelar juara dunia dari pecatur Uni Soviet pada masa Perang Dingin. Sementara sebagai prodigy perempuan, Beth sering dibandingkan dengan Judit Polgár, pecatur Hungaria yang pada usia 15 tahun mematahkan rekor Bobby Fischer sebagai grandmaster termuda.
Membandingkan Beth Harmon dengan kedua tokoh nyata tersebut dapat membuka dunia yang lebih luas daripada apa yang tampak pada The Queen’s Gambit. Sebab, dalam film, beberapa konteks penting tidak disorot secara cukup. Ketegangan politik saat Perang Dingin, misalnya, terasa begitu minim. Padahal pada masa itu, rasa cemas dan curiga menempel kuat pada Bobby Fischer dan lawannya, Boris Spassky. Melalui sejumlah kutipan di media, Bobby Fischer menyatakan waswas disadap atau bahkan diracuni. Sementara Boris Spassky, setelah kalah beberapa kali oleh Bobby Fischer, menuduh pihak Amerika menaruh benda elektronik di kursinya yang membuatnya kalah. Kecurigaan keduanya memang tidak terbukti, tapi adanya kecurigaan itu sendiri adalah bukti ketegangan politik saat itu.
Selain soal Perang Dingin, yang juga terasa minim adalah potret seksisme yang sesungguhnya dirasakan oleh pecatur perempuan di skena catur. Minimnya potret seksisme ini bukanlah keberhasilan film, dan malah cenderung problematis, karena seperti yang dikeluhkan oleh Monica Heese di Washington Post, The Queen’s Gambit menjadi karya yang ahistoris. Judit Polgár menyebut bahwa para pecatur laki-laki dalam film terlalu baik kepada Beth, karena sepengalamannya, pecatur laki-laki sering tidak terima saat kalah dari perempuan. Susan Polgár (kakak Judit), pecatur perempuan pertama yang mengikuti kejuaraan catur dunia (berisikan laki-laki) pada 1986, bahkan berkata bahwa ia tak pernah mengalahkan lawan laki-laki sehat—mereka selalu beralasan sakit kepala, sakit perut, dan sejenisnya.
Minimnya potret seksime dan Perang Dingin ini lantas membuat The Queen’s Gambit lemah sebagai potret zaman. Perjuangan Beth terasa steril dari kendala-kendala yang terkandung dalam latarnya, sehingga kekayaan konflik dan dunia filmnya nyaris tidak terasa. Meski demikian, hal ini tidak serta-merta membuat The Queen’s Gambit tidak memiliki tawaran apa pun. Lensa cerita jadinya punya lebih banyak ruang untuk fokus terhadap perkara-perkara pada skala yang lebih kecil, yakni kehidupan Beth. Di sinilah The Queen’s Gambit meninggalkan kesan mendalam.
Siapa yang Menang saat Beth Menang?
Pada Perang Dingin, kemenangan Bobby Fischer dapat dengan mudah disebut sebagai kemenangan Amerika Serikat atas Uni Soviet (atau atas komunisme). Sementara dalam The Queen’s Gambit, yang tidak terlalu fokus ke sana, kesimpulannya tidaklah sesederhana itu. Sebelum pertandingan pamungkas, Beth sudah terlebih dahulu menolak dana gereja yang memintanya menjelek-jelekkan komunisme—yang diasumsikan melandasi ateisme. Anjuran untuk menyebut enaknya menjadi warga Amerika Serikat juga diabaikannya.
Di depan wartawan, Beth tidak menyebut negara, gender, atau agamanya, tapi nama Pak Shaibel, janitor panti yang mengajarkannya main catur. Dengan disebutnya nama Pak Shaibel, yang tersirat kemudian adalah support system di belakang Beth. Selain Pak Shaibel, di sana juga ada Alma (Marielle Heller), ibu angkat Beth yang berperan layaknya manajer, Jolene (Moses Ingram) yang membantu Beth lepas dari alkohol dan memberi dana ke Rusia, hingga para laki-laki bekas lawan tanding Beth.
Mereka mengantarkan Beth ke titik puncak, tapi pada akhirnya tetap Beth yang menentukan. Kemenangan Beth tidak tercemar karena bantuan hal-hal yang menopangnya sebelumnya. Ia tidak lagi menggunakan pil, dan bantuan Benny (Thomas Brodie-Sangster) via telepon pun amat terbatas. Digambarkan jelas dalam film bahwa analisis Benny dan kawan-kawan segera patah ketika Borgov (Marcin Dorocinski) memajukan pion—langkah yang tidak diduga, dan segera disambut dengan umpatan oleh Townes (Jacob Fortune-Lloyd). Di posisi krusial itu, Beth melakukan apa yang perlu ia lakukan: memilih langkah terbaik untuk mencapai kemenangan.
Kesuksesan Beth pada akhirnya condong tampil sebagai capaian pribadi. Penuturan model ini dalam banyak hal membuat The Queen’s Gambit menumpulkan detail zamannya, menjadikan suasana dekade 1960an dan paranoia Perang Dingin sebatas pemanis mata, tapi cukup tajam dalam mengukir potret perjuangan seorang genius. Dengan support system di belakangnya, Beth bukan hanya mengalahkan laki-laki ataupun Uni Soviet, melainkan juga nasib buruk serta ketergantungannya terhadap obat dan alkohol.
Beth, layaknya ratu di atas papan catur, memang memiliki banyak kelebihan dibanding sejawatnya. Namun, sepemahaman saya sebagai pemain amatir, permainan catur yang baik tidak diciptakan dari ratu yang bergerak sendirian, melainkan dari kerjasama berbagai unit untuk saling menjaga satu sama lain. Sehebat apapun, Beth butuh orang-orang di sekitarnya, tak peduli apakah ia bapak penjaga gedung, ibu rumah tangga, gay, atau perempuan kulit hitam. Sebab, di atas papan catur, unit jelata macam pion pun bisa mendukung langkah sang ratu.
The Queen’s Gambit | 2020 | Sutradara: Scott Frank | Penulis: Scott Frank, Allan Scott, Walter Tevis | Produksi: Fitcraft, Wonderful Films, Netflix | Negara: Amerika Serikat | Pemeran: Anya Taylor-Joy, Marcin Dorocinski, Moses Ingram, Chloe Pirrie, Bill Camp, Marielle Heller, Thomas Brodie-Sangster, Harry Melling, Isla Johnston, Jacob Fortune-Lloyd