I
Mau. Ah, jangan bilang “Mau”. Pikirkan sebuah perbincangan. Persiapan? Tak perlulah. Musik. Kita bisa memperbincangkan musik. Dengarkan musik. Perbincangkan. Lalu sudah? Nah, rasa. Sekarang coba perbincangkan rasa saja. Rasa musik. Eh, rasa kok diperbincangkan? Rasakan rasa. Bagaimana? Cicip. Cicip dengan lidah. Iya, lidah. Juga kulit. Rasakan lidah dan kulit saling merasai. Hmm.. kulit jarimu saja. Kulit telinga juga boleh. Kulit telinga kok dicicip? Jangan, jangan dicicip. Jangan merasa. Perbincangkan saja. Ah, garing. Pindah; pindah tempat, perbincangkan yang lain. Masuk ke dalam. Uh, masuk. Aduh, ngomong apa? Mau. Aduh, jangan bilang “mau”! Tapi mau. Mau mencicip. Jangan. Sembunyikan, sembunyikan dengan musik. Rasai musik. Aduh, musik kok dirasai? Dengarkan. Perbincangkan. Perbincangkan musik lagi? Jangan. Kerjakan yang lain. Perbincangkan yang lain. Lihat yang lain. Nah, ada bahan. E-mail. Perbincangkan. Dengarkan. Dengarkan e-mail? Wih, lekuk. Aduh, jadi dengar atau lihat? Maunya merasa! Jadi, rasakan atau lihat? Musiknya atau e-mailnya? Pokoknya mau lihat dan mau rasa. Masih perlu dengar? Dengar musik atau e-mail? Pokoknya mau. Lagi. Nagih?
II
Menonton film untuk menikmati hasil kerja indera penglihatan dan pendengaran tanpa kerja keras? Bohong. Edwin mengobrak-abriknya. Lewat A Very Boring Conversation, Edwin menggiring penonton kelimpungan dalam mengontrol tangkapan indera dan apa yang diproses otak dari tangkapan tersebut. Ia mengganggu kecenderungan-kencenderungan pikiran yang dianggap begitu tabu (namun nikmat, tentu saja). Dalam durasi sembilan menit, Edwin dengan begitu detail menyusun plot-plot sarat preteks dalam menyublimasi sebuah obsesi. Akumulasi hasilnya? Indera yang porak-poranda dan nikmat.
Bermula dari adegan seorang wanita, Tante Eva, dengan seorang lelaki muda yang saling mendengarkan musik dan memperbincangkannya. Penonton dibawa untuk menurut pada rentetan percakapan yang begitu seadanya. ‘Seadanya’, dengan bercakap-cakap tentang apa saja yang ada dan yang bisa diperbincangkan: nada, disharmonisasi, rasa, lampu ruang tengah, e-mail, binatang peliharaan, hingga pendemonstrasian pramugari, rokok, dan banjir. Sebagaimana ia berjudul, penonton dihadirkan pada sebuah percakapan yang begitu boring. Basa-basi? Iya. Basi? Jelas tidak.
Konon, basa-basi adalah ciri khas gaya komunikasi orang Indonesia. Bahasa tak jarang digunakan untuk sekedar beramah-tamah. Indonesia adalah bangsa timur yang santun. Basa-basi jadi penyelamat untuk mencegah konflik akibat kelugasan dalam menyampaikan pesan, menjadi pelarian dari rasa ‘enggak enak-an’, atau sekedar menjaga citra diri; terlebih dalam kondisi masyarakat yang serba menabukan ini dan itu. Makanya, tak ayal yang disampaikan si komunikator bertolak-belakang dari esensi pesan yang ingin disampaikannya. Ia menutup-nutupi dengan lihai: mau tapi tak mau tapi mau dilihat mau.
Di sisi lain, komunikan –yang dalam lingkup kebiasaan ini adalah orang Indonesia– mau tak mau dituntut untuk mau dan mampu menafsir lapisan yang lebih dalam dari sebuah komunikasi. Karenanya, mengikuti rentetan percakapan yang begitu basa-basi dalam film ini menuntut penonton untuk menyelami cerita tak hanya dalam permukaan. Dari awal hingga akhir film ini bercerita, penonton diajak untuk bisa ber-multi-tasking dalam mempersepsi adegan yang berjalan. Kepekaan indera dan kesiapan untuk meluweskan kerjanya menjadi sumber kenikmatan dalam menonton film ini. Setiap gestur, diksi, pencahayaan, dan segala detail menyublimasi sebuah obsesi yang hanya bisa disampaikan lewat basa-basi di masyarakat Indonesia: obsesi akan hasrat seksual.
III
Edwin begitu lihai menyusun plot dalam film. Pengadeganan dalam film dengan detail membimbing penonton untuk bisa menafsir keinginan yang ditutup-tutupi. Sejak adegan awal indera kita dibenturkan untuk dapat bersinestesi: adegan menekankan percakapan untuk ditangkap indera pendengaran tentang nada, Naya (yang entah siapa), dan disharmonisasi; namun mata yang dituntut agar bekerja maksimal untuk menangkap gestur Tante Eva yang makan mi instan dengan tangan kirinya, bahkan dalam sepersekian detik mengemut jarinya.
Dimulai dari lampu yang kedap-kedip di ruang tengah, hasrat seksual mulai dihadirkan dengan jelas. Lampu mati dan menyala dengan ketukan yang begitu cepat dan tak terkontrol. Nyala lampu hanya bertahan ketika Tante Eva mendongakkan kepalanya. Dalam adengan di ruang tengah ini, jika kita tak menyinestesikan indera, kita bisa tak maksimal dalam menafsir cerita yang disampaikan. Memang Tante Eva yang menampilkan leher agar si lampu menyala menjadi gestur yang mulai seksual, namun ritma mati dan nyala lampu jika kita tangkap bukan dengan indera penglihatan saja, akan jelas memperdengarkan degupan jantung keduanya. Degupan akan hasrat seksual yang begitu disublimasi dalam percakapan mereka.
Dari adegan si lelaki membuat e-mail untuk Tante Eva, penyampaian pesan akan hasrat seksual ditampakkan semakin jelas hingga film berakhir. Mulai dari si lelaki muda yang duduk di depan komputer membuatkan e-mail untuk Tante Eva dan memperdengarkan kembali musik di awal adegan, pengambilan gambar Tante Eva mulai difokuskan dari bagian setengah leher hingga pinggul. Adegan pendemonstrasian pramugrari menyampaikan dengan begitu gamblang akan hasrat tersebut: gambar berfokus pada bagian dada. Si lelaki mendongakkan lehernya, mengulang gestur afirmasi seksual, lalu menahan dongakannya agar si lampu menyala. Ia menandakan fokus yang ditangkap oleh indera penglihatan dan apa yang mengendap di otak. Bahkan suara penjelasan tentang pelampung pesawat juga berubah seolah menjadi suara yang begitu jauh. Tak perlu memperkerjakan indera pendengaran, cukup penglihatan. Hanya perlu dada. Payudara. Pinggang. Pinggul. Tubuh. Juga tak peduli lagi itu siapa: wajah Tante Eva keluar dari frame.
Edwin begitu jeli dalam menuturkan semesta ceritanya di A Very Boring Conversation ini. Tingkat kebasa-basian semakin menurun menuju film berakhir tanpa menghilangkannya sama sekali, mencermin komunikasi basa basi ala orang Indonesia yang berhasil berjalan antara Tante Eva dan si lelaki muda. Ketika benturan-benturan indera juga semakin berkurang, pesan-pesan akan keinginan seksual antara keduanya semakin lugas sampai film berakhir. A Very Boring Conversation dengan cerdas menggiring penonton untuk masuk dalam komunikasi penuh ketabuan yang terjadi, mengalami benturan-benturan indera yang terjadi antara yang diinginkan dan yang ditangkap, hingga rasa bersalah yang mungkin akan muncul dengan sentimentil sewaktu menyadari otak kita yang mempersepsi dengan begitu seksual percakapan terakhir antara keduanya: ajakan merokok dan harapan agar tak banjir (”wet”).
IV
Lucunya, ketika menerjemahkan ‘basa-basi’ khas Indonesia menggunakan Google Translate ke bahasa Inggris, hasil yang keluar adalah: string attached. Edwin menyajikan hasrat seksual yang berlawanan dengan ‘basa basi’, no string attached, yang lugas tanpa memporakporandakan kerja indera. Menafsir hasrat seksual dan ketabuan belum pernah semenegangkan ini.
A Very Boring Conversation | 2006 | Sutradara: Edwin | Negara: Indonesia | Pemain: Tutie Kirana, Wahu Yuyu