7 Hati 7 Cinta 7 Wanita: Membuka Lipatan Hidup Perempuan

7-hati-7-cinta-7-wanita_highlight

Tinimbang menggunakan istilah ‘premier’, pihak produser memakai istilah ‘penayangan perdana’ bagi film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita (selanjutnya disebut 777). Tak tahu kenapa, mungkin karena kata ‘penayangan perdana’ sendiri lebih Indonesia sementara ‘premier’ ialah kosakata asing, atau karena “premier” 777 sudah digelar di Australia –seperti santer terdengar- beberapa waktu lalu? Menarik juga melirik kejadian ‘penayangan perdana’ yang jauh setelah film ini menangguk penghargaan di Festival Film Indonesia, dan baru-baru saja di Indonesia Movie Award; terutama untuk penampilan Happy Salma. Arie Kartikasari, wartawati filmindonesia.or.id, mengorek bahwa penangguhan tayang perdana ini disebabkan oleh permasalahan bujet [1]. Akhirnya, 777 hanya akan beredar di Bioskop Blitz Megaplex, yang memiliki toleransi untuk menayangkan film berformat digital.

Cerita film 777 berporos di Rumah Sakit Fatmawati, bercerita tentang Dokter Kartini, spesialis kandungan dengan pasien-pasiennya yang tentu saja perempuan. Jikalaupun ada laki-laki, berarti ia datang mendampingi seorang perempuan. Terdapat Yanti si penjaja seks berperawakan riang cemerlang, Rara siswi SMP yang telat dua minggu, Ratna si buruh jahit yang solehah, Lili si penderita pukulan tiap kali berhubungan dengan suaminya,  dan Lastri, perempuan tembam yang tak hamil-hamil. Dua perempuan lagi adalah Rohana si dokter yang baru masuk kerja, dan tentunya Dokter Kartini sendiri. Genaplah sudah tujuh perempuan yang akan dikorek kehidupannya, lalu ditumpahkan korekan itu ke hadapan pemirsa.

Dari meja konsultasi di ruang kerja Dokter Kartini, kamera memasuki satu persatu kehidupan pasien; apa sebabnya sampai mereka berakhir di ruang pengobatan. Tiga di antaranya karena hamil, satu karena sakit serius, satunya lagi karena tak hamil-hamil. Arus narasi mondar-mandir, penempatan karakter pembantu yang terurus, serta kedisiplinan kamera yang berhasil, mewarnai menit-menit awal film. Long take dipadankan dengan perkenalan yang cepat -mengingat banyaknya karakter yang harus digali- silih berganti memasuki layar sesuai pengamatan personal Dokter Kartini, yang berfungsi sebagai semacam life observer bagi para pasiennya. Hanya saja, tata musik membuat kualitas film terjun bebas. Terdapat ketimpangan yang nyata antara adegan luar ruangan yang dikuasai suara diegetik dan adegan dalam ruangan dengan suara non-diegetik. Penyuntingan gambar bertengkar hebat dengan penyuntingan suara. Itulah pahit manis film 777 di awal-awalnya.

777 adalah film panjang debut sutradara Robby Ertanto yang juga membuat cerita filmnya. Sebagai film pertama, 777 cukup menampakkan jangkauan visi sang sutradara. Saya berkali-kali harus berdecak sebab meskipun begitu menyucikan perempuan dan mengkambing-hitamkan laki-laki, namun semuanya dibuat masuk akal dengan menyertakan musabab sosialnya. 777 menempatkan lima karakter sebagai warga kelas menengah ke bawah, hanya Dokter Kartini dan Rohana yang bisa disimpulkan sebagai warga menengah ke atas, sebagai diceritakan mereka kuliah di fakultas kedokteran, bahkan sempat beberapa kali penonton di perkenalkan dengan ayah Dokter Rohana yang elegan.

Dalam 777, permasalahan perempuan tak dapat dilepaskan dari tautannya dengan kelas sosial. Tidak hanya pemojokan lelaki secara garang pada lima karakter perempuan (disakiti secara seksual, dihamili, kanker rahim, dimadu diam-diam, diselingkuhi), Dokter Rohana tetap berpandangan bahwa tidak semua perempuan adalah korban. Adapun Dokter Kartini, ia membela perempuan (disebutnya sebagai “kaumku”) atas asas kesadaran intelektual yang ia anut. Kelas atas dalam 777 tak didera penindasan langsung dari laki-laki sebab mereka tak punya laki-laki, karakter kelas atas ini (terutama Dokter Kartini) justru dirundung kecemasan sebab tak ada laki-laki sebagai partner kehidupan mereka.

Secara langsung, kita bisa memantulkan pandang bahwa keadaan sosial-ekonomi berpengaruh besar terhadap nasib seorang perempuan. Perlakuan seimbang (arbitrariness) yang memukau dari Robby memaksa ingatan saya hinggap pada Gubra karya Yasmin Ahmad. Dalam film tersebut, atribut sosial yang sering dicatat sebagai hitam-putih, relijius-kafir, diskotik-mesjid, setia-selingkuh dijelaskan beserta pelbagai lantaran kejadiannya. Bukan serta merta ada disitu sebagai keberadaan yang tak terjelaskan. 777 memperlakukan narasi dan karakternya dengan cara semacam ini. Seorang berjilbab bisa saja berteriak “bangsat” kalau memang ia kesal, jilbab tidak menjadi satu-satunya penjelas eksistensinya, ada atribut sosial lain yang lebih membumi dibanding sekedar simbol agama yang memaksa orang jadi moralis. Memukau.

777 dipenuhi adegan mulai dari yang paling menyejukkan hingga yang paling menggiriskan, mulai dari yang mengundang decak kagum sampai yang setengah mati bikin kesal (lagi-lagi saya menyayangkan tata suara), mulai detil kecil yang begitu diperhatikan (seperti koreografi karakter pembantu) sampai pada detil renik yang bocor (lolipop Rara yang “membesar sendiri”, dokter memeriksa organ perempuan sementara celana dalam “lupa” dibuka), dan sebagainya. Saya kira sutradara Robby Ertanto patut berterima kasih kepada para rekanan yang mampu mengimbangi keinginannya yang jauh, sinematografer menjadi penerima hadiah jempol yang paling pantas. Pergerakan kamera di lorong-lorong rumah sakit, mengikuti karakter yang kisruh sebelum menikung, dua karakter lain muncul dan kamera beralih pihak, berjalan mundur. Demikian juga long take di rumah Ratna, yang menyaksikan naik-turun emosi karakter tanpa di-cut sekalipun. Menawan.

Menonton 777 sebaiknya jangan hanya memperhatikan subordinasi perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki, sebab 777 terlalu kaya bila hanya sekedar digunakan sebagai alat tuding. Film ini memiliki kekuatan sosial yang berlapis rangkap satu sama lain. Ia menuntut kita untuk aktif membuka rangkap demi rangkap lapisan sosial itu. Jangan hanya berfokus pada solilokui Dokter Kartini sebagai narator utama, sebab itu hanya akan menjadikan kita awan yang tak menyentuh bumi. Jangan hanya menyimak amukan Ratna, sebab ia hanya akan menundukkan pandangan kita ke tanah. Lapisan sosial yang kuat pada 777, rasanya pantas mendapatkan penghargaan pada ajang penghargaan domestik, meski kelemahan teknis (terutama pasca-produksi) masih juga menghantui.

7 Hati 7 Cinta 7 Wanita | 2010 | Sutradara: Robby Ertanto Soediskam | Negara: Indonesia | Pemain: Jajang C. Noer, Happy Salma, Intan Kiefli, Marcella Zalianty, Hengky Solaiman


[1] Sebagaimana yang dilaporkan dalam berita di situs FI.